Rabu, 18 Oktober 2017

Pendekar Sakti 5 Cersil Jawa Dudu

Pendekar Sakti 5 Cersil Jawa Dudu
Pendekar Sakti 5 Cersil Jawa Dudu Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
-Kwan Cu menjadi girang dan penuh harapan. Memang tujuan dari pada perantauannya ke tempat-tempat
aneh ini adalah untuk mendapatkan ilmu silat tinggi, dan sekarang dia telah menyaksikan orang-orang kecil
yang memiliki ilmu silat mengherankan. Bagaimana dua orang gadis ini seolah-olah mengenal ilmu
pedangnya yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai? Ia harus menyelidiki semua ini.
Setelah mengambil keputusan untuk mengalahkan dua orang gadis ini karena dia sudah puas
menyaksikan ilmu pedang mereka, tiba-tiba saja Kwan Cu berseru nyaring sambil meyembunyikan
sulingnya di balik lengan baju. Kini dia bersilat ilmu silat Sin-ci Tin-san, akan tetapi bukan menggunakan
tangan, melainkan menggunakan ujung lengan bajunya!
Serangan yang sangat dahsyat ini benar-benar membuat Malita serta Malika kewalahan sekali.
Seharusnya, ilmu silat ini dimainkan dengan jari tangan yang melakukan serangan menotok, akan tetapi
oleh karena Kwan Cu tak ingin mencelakai dua orang gadis ini, dia mempergunakan ujung lengan baju
sebagai gantinya. Ia telah memperhitungkan dengan tepat dan mendapat akal bagaimana harus
mengalahkan lawan-lawannya.
Sambaran pukulan yang dilakukan dengan ujung lengan bajunya itu mengandung tenaga lweekang yang
berat, maka benarlah sebagaimana perhitungannya, ketika ujung pedang kedua orang gadis ini beradu
dengan ujung lengan bajunya, mereka berteriak kesakitan karena telapak tangan mereka menjadi panas.
Kwan Cu mempergunakan lweekang-nya untuk mengubah ujung lengan baju yang tadinya keras kaku
menjadi lembek. Sekejap mata saja dua pedang itu sudah terlibat ujung lengan baju dan sekali dia
menggerakkan kedua tangannya, pedang-pedang itu lantas terampas olehnya.
Malita dan Malika menghentikan gerakan mereka dan dengan menjura Malita menulis di atas tanah dengan
ujung sepatunya.
‘Kami menyerah kalah dan percaya penuh akan kelihaianmu.’
‘Kalian memiliki ilmu pedang yang hebat sekali,’ jawab Kwan Cu sambil mengembalikan dua batang
pedang kecil itu.
‘Akan tetapi, Kahano beserta kawan-kawannya lebih berbahaya lagi. Kalau menghadapi mereka, kau harus
mempergunakan kedua tanganmu, dan untuk menjaga supaya jangan kau terluka oleh senjata mereka
yang mengandung racun berbahaya, kedua tanganmu harus digosok lebih dulu dengan obat kami,’ kata
Malita.
Sesudah mendapat kenyataan bahwa pemuda raksasa itu benar-benar lihai, Malita dan kawan-kawannya
menjadi amat gembira dan penuh harapan. Malita segera mengadakan pesta perjamuan untuk
menghormati raksasa muda yang akan menolong mereka itu. Di dalam kesempatan ini Kwan Cu
mempelajari bahasa mereka yang terdengar amat kaku bagi telinganya.
Malita dan Malika mengajak Kwan Cu untuk berunding bagaimana harus mengadakan penyerangan
terhadap pemberontak.
“Yang terberat untuk dihadapi hanya enam orang di bawah pimpinan Kahano itu,” kata Malita sambil
menjelaskan dengan tulisan bagian kata-kata yang tidak atau belum dapat dimengerti oleh Kwan Cu,
“tentang anak buah mereka, serahkan saja kepada kami dan kawan-kawan. Asal kau sudah dapat
mengalahkan dan menawan enam orang itu, tentu akan beres. Akan tetapi sukarnya, mereka itu
menyembunyikan diri dalam goa-goa yang panjang dan gelap dan pertahanan mereka di situ kuat sekali.
Setiap kali kami hendak menyerbu masuk, kami lantas dihujani anak panah dan senjata rahasia dari dalam
goa.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita lihat saja dulu keadaan mereka di sana, baru nanti mencari akal,” kata Kwan Cu sambil makan
hidangan yang enak akan tetapi aneh bagi lidahnya.
Dia merasa agak malu-malu ketika melihat betapa semua wanita itu menonton dia makan hidangan yang
bagi mereka amat banyak itu. Hm, alangkah gembulku dalam pandangan mereka, pikir Kwan Cu.
Malam hari itu Kwan Cu bermalam di dusun mereka. Karena tidak ada rumah atau kamar yang cukup
besar bagi Kwan Cu, terpaksa pemuda ini bermalam di luar rumah-rumah kecil itu, di udara terbuka.
Namun dia mendapat hiburan yang luar biasa sekali.
Pada saat hari mulai gelap dan dia telah membaringkan tubuhnya di bawah pohon untuk mengaso dan
mengenangkan semua pengalamannya yang amat aneh-aneh itu, tiba-tiba nampak banyak sekali obor
yang menerangi tempat itu. Berbarengan dengan munculnya obor-obor ini, terdengar suara tetabuhan yang
amat merdu namun aneh sekali iramanya. Suara tetabuhan ini lalu disusul oleh nyanyian bersama yang
membuat Kwan Cu merasa heran, karena dalam suara nyanyian bersama ini, dia mendengar adanya
suara laki-laki yang besar!
Obor-obor itu makin mendekat dan Kwan Cu melihat sesuatu yang membuat dia terkejut dan juga gembira,
karena tanpa diduga-duganya bahwa para pemegang obor itu adalah wanita-wanita dan juga laki-laki
bangsa katai itu. Mereka tampak begitu rukun dan damai, ada pun di antara mereka nampak pula banyak
anak-anak kecil yang dalam pandangan Kwan Cu luar biasa lucunya, seperti bayi-bayi berjalan!
Malita dan Malika memimpin rombongan ini dan menurut tafsiran Kwan Cu tidak kurang dari lima puluh
orang wanita-wanita muda dan dua puluh orang lelaki muda yang datang membawa obor itu. Pakaian
mereka seragam, yang wanita merah dan yang laki-laki biru. Agaknya mereka dalam keadaan dan
suasana berpesta riang gembira.
Kwan Cu bangun dan duduk bersandarkan pohon. Malita menghampirinya dan bersama Malika, dia
menjura tanda menghormat yang dibalas Kwan Cu dengan anggukan kepala dan senyum ramah.
“Nasehatmu baik sekali, saudara Kwan Cu. Lihat, laki-laki yang tadinya menjadi tawanan kami, sekarang
sudah kami bebaskan dan setelah kami menjelaskan tentang nasehatmu agar kami hidup rukun dan damai
saling mengalah dan saling melindungi, mereka mau menerima dengan gembira dan menyatakan hendak
membantu kami menumpas Kahano dan kawan-kawannya.”
“Bagus sekali! Tidak ada berita lebih menggirangkan dari pada ini,” kata Kwan Cu.
Ada pun orang-orang lelaki yang berada di situ, lalu bersama maju dan berlutut di depan Kwan Cu dengan
mata memandang kagum dan juga agak takut-takut.
Kwan Cu melihat betapa kaum lelaki di situ memang bersemangat kecil dan jelas sekali nampak sifat
rendah diri dan kalah pengaruh oleh kaum wanitanya. Namun harus diakui bahwa mereka pun mempunyai
bentuk yang tampan dan menarik serta potongan tubuh yang bagus. Anak-anak kecil kelihatan lucu sekali
ketika mereka memandang kepada ‘raksasa muda’ itu dengan mata terbelalak ketakutan.
“Kami sengaja mengumpulkan orang-orang untuk menghiburmu sebagai penghormatan,” kata Malita,
kemudian ia memberikan tanda dengan tangannya.
Tetabuhan dibunyikan semakin gencar dan dari rombongan itu keluarlah belasan orang gadis dengan
pakaian indah, menari-nari di hadapan Kwan Cu dengan gerakan lemah gemulai. Kwan Cu terpesona.
Belum pernah dia menyaksikan tari-tarian yang demikian indahnya, ditarikan oleh gadis-gadis yang biar
pun bentuk tubuhnya sudah menunjukkan kepenuhan dan kedewasaan, tapi tingginya hanya sampai di
pahanya saja! Seakan-akan dia melihat boneka-boneka hidup menari dengan indahnya.
Semua ini menggembirakan hati Kwan Cu, namun yang paling menggembirakan adalah sikap laki-laki dan
wanita yang berada di situ, saling pandang antara suami isteri, penuh cinta kasih dan pengertian, tertawatawa
dan tiada ubahnya dengan pasangan-pasangan di dusun-dusun di negaranya, di mana hidup petanipetani
yang sederhana akan tetapi selalu hidup rukun dengan keluarganya.
“Pesta seperti biasanya kami lakukan setahun sekali,” kata Malita kepada Kwan Cu tanpa mempergunakan
tulisan karena Kwan Cu yang berotak cerdik luar biasa itu sebentar saja sudah menguasai bahasa
percakapan yang mudah-mudah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Untuk merayakan apakah?” tanya Kwan Cu sambil menikmati gerak tarian para gadis cantik yang
berputar-putar di hadapannya menurutkan irama lagu.
“Untuk merayakan dewi bulan. Dalam perayaan itu para dara mendapatkan kesempatan untuk memilih
calon jodohnya.”
Kwan Cu tertegun. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata. Hemm, benar-benar dunia nyata di pulau ini.
Bahkan dalam hal memilih jodoh, wanitalah yang berhak memilih!
“Jadi laki-laki tak berhak memilih jodohnya?” tanyanya.
Sepasang mata Malita memancarkan sinar penasaran. “Laki-laki memilih? Hemm, akan rusaklah semua
kalau laki-laki yang diberi kekuasaan memilih jodohnya. Laki-laki selalu memilih jodohnya berdasarkan
kecantikan wanita dan keindahan bentuk tubuh! Laki-laki seakan-akan buta dalam hal memilih jodoh. Kalau
mereka memilih, tentu tak akan dapat terbentuk rumah tangga bahagia. Mereka selalu memilih yang cantikcantik,
akan tetapi akhirnya bercekcok di kemudian hari karena ternyata pilihannya itu tidak cocok dengan
wataknya sendiri. Kemudian bagaimana? Mereka itu, laki-laki buta itu, akan mencari-cari wanita lain!”
Kwan Cu tersenyum. “Malita, agaknya kau masih belum dapat melenyapkan kebencian terhadap laki-laki di
dalam hatimu.”
Malita tersenyum juga menjadi sabar kembali. “Bukan semata-mata terdorong kebencian, melainkan
berdasarkan kenyataan. Sifat buruk laki-lakilah yang memancing kebencian di dalam hati wanita.”
“Kurasa tak akan terjadi seperti penuturanmu itu apa bila pemilihan laki-laki berdasarkan cinta kasih.” Kata
Kwan Cu.
Tiba-tiba gadis bertahi lalat di pipinya itu tertawa berkikikan sambil menutupi mulutnya, seakan-akan
mendengar sesuatu yang sangat menggelikan hatinya. Tentu saja Kwan Cu menjadi melongo karena dia
tidak mengerti apa gerangan yang ditertawakan oleh Malita.
“Ehh, kau tertawa begitu geli, ada apakah?” tanyanya dengan tak senang karena berada di tengah-tengah
orang-orang katai ini, kembali datang perasaan tidak sedap dalam hati Kwan Cu yang merasa bahwa dia
akan kembali menjadi buah tertawaan.
“Apakah di antara bangsa raksasa terdapat juga perasaan cinta kasih yang membikin gila orang?” tanya
Malita.
“Tentu saja ada. Apa kau kira kami bangsa yang kau sebut raksasa bukan manusia yang mempunyai
perasaan dan hati?”
“Bukan begitu maksudku, saudara Kwan Cu yang baik. Melihat kau serta kepandaianmu, tadinya kukira
bahwa bangsamu adalah manusia-manusia yang sudah pandai dan tidak bodoh serta lemah sehingga
mudah pula dikuasai oleh perasaan palsu yang kita sebut cinta kasih. Akan tetapi ternyata sama saja
dengan kami, masih dapat dipengaruhi oleh perasaan palsu itu.”
“Bagaimana kau berani menyatakan bahwa cinta kasih itu adalah sesuatu perasaan yang palsu?” tanya
Kwan Cu penasaran.
“Cinta kasih yang timbul di dalam hati wanita memang murni dan suci, akan tetapi cinta kasih di dalam
dada seorang laki-laki hanyalah palsu belaka! Cinta kasih seorang laki-laki hanya berdasarkan nafsu,
berdasarkan rasa tertarik dan suka kepada wajah yang indah, bentuk tubuh yang menggairahkan!
Sebaliknya, cinta kasih yang timbul dalam hati wanita berdasarkan watak yang baik dan budi bahasa yang
halus, bukan semata-mata karena wajah yang tampan dan gagah!”
Kwan Cu kembali tertegun. Baru kali ini dia mendengar filsafat seperti ini sungguh pun dia memang jarang
sekali mendengar atau tidak pernah membaca tentang filsafat cinta kasih. Namun dia penasaran sekali
karena sebagai seorang laki laki dia merasa laki-laki sangat direndahkan oleh ucapan itu.
“Tak mungkin!” ia membantah. ”Tidak semua laki-laki hanya mendasarkan cintanya pada nafsu dan
keindahan. Ada pula laki-laki yang berpribudi dan bijaksana.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Seribu satu saudara Kwan Cu. Seribu orang hanya ada satu! Aku berani bertaruh bahwa seorang laki-laki
tidak akan suka mencinta seorang wanita yang buruk rupa atau cacad tubuhnya. Ehh, apakah kau sendiri
sudah mempunyai seorang wanita yang kau kasihi?”
Kwan Cu tak dapat menjawab, wajahnya memerah. Ia teringat akan sumpahnya di depan gadis raksasa
Liyani bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng! Akan tetapi di depan Malita dia tidak menyatakan sesuatu.
“Saudara Kwan Cu, andai kata kau sudah mempunyai seorang gadis yang kau cinta, aku berani
memastikan bahwa gadis itu tentulah seorang yang cantik manis, bukan seorang gadis yang tidak ada
hidungnya! Aku tidak percaya akan ada seorang laki-laki yang mau mencintai seorang gadis yang
hidungnya lenyap atau rusak.” Setelah berkata demikian, Malita tertawa mengejek.
“Kau mau menang sendiri saja,” Kwan Cu merasa perutnya panas, ”aku juga merasa yakin bahwa tidak
ada seorang gadis yang mau menjadi isteri dari seorang laki-laki yang hidungnya rusak seperti yang kau
katakan tadi.”
“Siapa bilang tidak mungkin? Banyak wanita yang mencinta sepenuh hati suaminya yang buruk rupa, yang
bopeng, yang pincang dan sebagainya. Cintanya suci murni, karena seperti kukatakan tadi, cinta kasih
seorang wanita berdasarkan kesetiaan, berdasarkan watak baik dan kecocokan hati dan pikiran, bukan
seperti laki laki yang buta cinta, hanya suka kepada apa yang baik dan menarik, akan tetapi mudah pula
bosan setelah melihat wanita lain yang lebih menarik!”
Kwan Cu menjadi panas, akan tetapi dia sempat menahan gelora hatinya dan hampir saja dia tertawa.
Untuk apakah berdebat urusan cinta dengan gadis ini?
“Sesukamulah, Malita. Hanya kalau kau dan kawan kawanmu mau menuruti nasehatku, dalam
menetapkan perjodohan, harus ada persetujuan kedua fihak, baik dari si wanita mau pun dari si lelaki, baik
dari fihak wanita mau pun dari fihak laki-laki jangan sekali kali ada paksaan. Dengan demikian, kiranya
baru akan dapat dibentuk rumah tangga yang damai.”
Pesta penghormatan itu berjalan sampai menjelang tengah malam. Tiba-tiba saja banyak sekali obor yang
mendadak padam dan terdengar jeritan di sana sini. Kwan Cu terkejut sekali melihat beberapa orang lakilaki
yang tadi memegang obor, terjungkal roboh dan keadaan menjadi panik. Di bawah penerangan bulan
kelihatan bayangan yang amat gesit di sana sini dan anak panah-anak panah yang kecil menyambarnyambar.
Kwan Cu dan Malita melompat bangun.
“Mereka datang menyerbu!” seru Malita marah sambil mencabut pedangnya.
“Biar aku yang menghadapi mereka!” Kwan Cu berseru. Pemuda ini berlari cepat dengan lompatanlompatan
jauh menuju ke arah para penyerbu.
Memang benar dugaan Malita, banyak sekali orang katai datang dari arah pantai sambil menghujankan
anak panah kepada orang-orang yang sedang berpesta itu. Kahano yang mendengar bahwa pulau itu
kedatangan seorang raksasa dan bahwa para wanita tengah mengadakan pesta pada malam itu, dan
terutama sekali mendengar betapa para laki-laki yang tertawan kini sudah berbaikan dengan para wanita,
menjadi marah dan memimpin semua orang menyerbu.
Kwan Cu yang berlari mendatangi, mendadak disambut oleh puluhan batang anak panah yang kecil-kecil
tapi datangnya cukup berbahaya. Pemuda ini cepat mencabut sulingnya kemudian memutarnya seperti
pedang sehingga semua anak panah yang kecil-kecil itu tersampok runtuh. Dia maju terus dan para
pemberontak itu ketika menyaksikan betapa raksasa ini amat tangguh, menjadi ketakutan dan berlari ceraiberai!
Akan tetapi, pada saat itu pula, Malita dan Malika serta kawan-kawannya telah datang menyerbu dan
terjadilah pertempuran yang hebat. Kwan Cu menyerang ke sana ke mari dengan sulingnya. Dia tidak ingin
membunuh, hanya mempergunakan tenaganya untuk membuat senjata-senjata lawan terlempar sambil
berseru berkali-kali,
“Malita, jangan bunuh mereka, tawan saja!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Menghadapi amukan raksasa ini, orang-orang katai yang sudah panik itu menjadi makin kacau balau. Apa
lagi memang kepandaian para wanita itu hebat dan walau pun mereka menerima latihan ilmu silat tinggi
yang aneh dari Kahano, namun masih belum sanggup mengatasi kepandaian para wanita.
Sebentar saja mereka sudah dapat dikalahkan, terluka dan tertawan. Kwan Cu sengaja mencegah mereka
itu melarikan diri, tetapi setelah dia menjaga di pantai dan menangkap setiap orang katai yang hendak
melarikan diri, dan pertempuran selesai, ternyata bahwa betapa pun juga, Kahano dan lima orang
kawannya telah melarikan diri dari pulau itu!
Malita dan kawan-kawannya girang sekali melihat betapa semua anak buah Kahano kini telah dapat
tertawan, sungguh pun Malita masih penasaran karena Kahano bersama lima orang kawannya yang
menjadi biang keladi kekacauan itu dapat melarikan diri.
Pada malam hari itu juga, Malita beserta kawan-kawannya lalu memberi nasehat kepada semua tawanan,
dibantu pula oleh orang-orang lelaki yang telah insyaf dan baik kembali. Para tawanan itu setelah
mendapat penerangan bahwa semenjak hari itu tidak akan ada tindas-menindas antara laki-laki dan
wanita, bahwa akan diadakan kerja sama yang baik menurut nasehat Kwan Cu raksasa muda itu, menjadi
sangat terharu. Mereka tadinya kena hasutan Kahano hanya karena mereka menganggap pihak wanita
terlalu menindas dan merendahkan mereka yang bertenaga lebih besar.
“Setiap pelanggaran atau kejahatan, setiap penindasan dan kekejaman, baik dilakukan oleh wanita mau
pun laki-laki, akan diadili dan yang melakukan akan dihukum!” demikian Malita menutup penerangannya,
sesuai dengan nasehat dan penerangan Kwan Cu yang memasukkan aturan-aturan bangsanya kepada
bangsa katai ini.
Pada keesokan harinya, diantar oleh Malita, Malika beserta sepuluh orang prajurit wanita, Kwan Cu naik
perahunya menuju ke pulau yang dijadikan tempat sembunyi Kahano dan lima orang kawannya. Melihat
pulau itu dari perahunya, Kwan Cu berdebar hatinya.
Tidak salah lagi, inilah pulau yang ditunjuk di dalam buku sejarah, tempat Im-yang Bu-tek Cin-keng
disimpan. Ia melihat pulau yang kecil dan bentuknya bundar dan dari jauh telah nampak pohon-pohon yang
keputih-putihan, batu-batu karang yang menjulang tinggi dan goa-goa di batu karang yang bermulut hitam
gelap.
“Itulah Pek-hio-to (pulau daun putih) yang dijadikan tempat sembunyi Kahano bersama kawan-kawannya,”
kata Malita kepada Kwan Cu.
Di dalam kegembiraan dan ketegangan hatinya, Kwan Cu tidak menjawab, melainkan dia mendayung
semakin cepat lagi ke arah pulau itu sehingga perahunya meluncur sangat cepat dan membuat para wanita
itu memandang dengan kagum.
Pulau kecil itu ternyata paling tinggi letaknya di antara semua pulau-pulau kecil yang ada di sekitar daerah
itu. Kelihatannya seperti bukit kecil yang berwarna putih.
Sesudah Kwan Cu mendaratkan perahunya, dia dan semua wanita katai melompat turun ke pantai. Malita
mengeluarkan sehelai sapu tangan warna putih dari balik bajunya dan memberikan sapu tangan itu kepada
Kwan Cu.
“Seperti telah kukatakan kemarin, Kahano dan kawan-kawannya menggunakan bisa ular pada ujung
senjata mereka. Bisa itu sangat berbahaya, dan kalau kulit tanganmu sampai terluka, nyawamu akan
terancam bahaya. Akan tetapi jika kau menggosok-gosok kedua tanganmu dengan sapu tangan yang
sudah mengandung obat penawar ini, kau tak usah takut menghadapi ujung senjata mereka.”
Kwan Cu menerima sapu tangan itu sambil mengucapkan terima kasihnya kemudian dia menggosokgosokkan
kedua telapak tangan dengan sapu tangan itu. Aneh sekali, terasa panas dan gatal-gatal
tangannya, akan tetapi Malita meminta dia menggosok-gosok terus sampai lenyap rasa gatal-gatal itu.
Benar saja, lama-lama lenyap rasa gatalnya, tinggal rasa panas-panas hangat di telapak tangannya. Dia
lalu mengembalikan sapu tangan putih kepada Malita dan diam-diam dia merasa kagum. Agaknya gadis ini
adalah seorang ahli mengenai senjata yang berbahaya dan racun sehingga perlu membawa sapu tangansapu
tangan yang aneh dari berbagai warna. Kwan Cu masih teringat sapu tangan merah yang dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
membuat dia mabuk dan tertidur.
“Di mana tempat mereka bersembunyi?” Kwan Cu bertanya sambil mengajak Malita dan kawan-kawannya
naik ke tengah pulau.
Mata pemuda ini memandang ke sekelilingnya dan dia melihat bahwa pulau itu memang aneh sekali dan
keadaannya juga menyeramkan. Pohon-pohon yang tumbuh di situ tidak banyak, akan tetapi daundaunnya
berwarna putih belaka, juga rumput-rumputan banyak yang berwarna putih.
Pulau ini mengingatkan dia kepada daerah utara bila mana sedang dilanda musim salju. Goa-goa yang
banyak terdapat di bukit karang itu nampak menghitam, sehingga sangat jelas terlihat di antara daun-daun
yang putih itu.
“Sukar untuk mengatakan di mana mereka bersembunyi. Goa-goa di sini banyak sekali dan di antaranya
terdapat lima buah goa yang merupakan terowongan bersambung satu dengan yang lainnya,” jawab Malita
sambil memimpin rombongan itu kepada sebuah goa yang gelap. “Nah, goa ini yang terbesar, akan tetapi
dari goa ini orang dapat mencapai goa-goa di lain bagian.”
Kwan Cu melihat ada bekas tapak-tapak kaki kecil di sekitar mulut goa dan tahu bahwa memang orangorang
katai itu menyembunyikan diri di dalam goa. Akan tetapi agaknya sia-sia kalau hendak mengejar,
karena orang-orang itu dari dalam goa yang gelap tentu akan melihat kedatangannya sehingga mereka
bisa melarikan diri melalui mulut goa yang lain. Di samping itu, goa itu memang cukup besar bagi orangorang
katai, namun bagi dia agaknya dia hanya dapat masuk dengan jalan merangkak! Ini berbahaya
sekali! Akhirnya dia mendapat akal.
“Kumpulkan kayu-kayu bakar dan daun-daun kering di mulut goa yang berhubungan satu dengan yang lain
itu, tutup empat mulut goa dengan kayu bakar dan daun kering, biarkan yang satu ini saja terbuka. Setelah
penuh dengan kayu bakar , bakar semua tumpukan itu supaya asapnya memenuhi goa dan terowongan.
Asap itulah yang akan memaksa mereka keluar dari goa melalui mulut goa ini dan aku akan menjaga di
sini.”
Mendengar siasat ini, Malita mengangguk-angguk dengan kagum. Dia segera mengatur dan memecah
kawan-kawan menjadi empat bagian untuk melakukan tugas menutup dan membakar mulut goa. Ada pun
Kwan Cu lantas bersembunyi di belakang batu karang, menjaga kalau-kalau para pemberontak itu muncul
dari goa besar itu.
Tempat sembunyi Kwan Cu adalah di balik pohon yang berada di dekat goa dan pemuda ini bersandar
pada batu karang itu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh batu karang yang hitam itu dan mendapatkan
bagian-bagian yang halus teraba oleh tangannya. Dia memandang dan melihat ukiran-ukiran seperti huruf
di dinding batu karang di luar goa. Akan tetapi coretan atau ukiran itu tak dapat dibaca karena telah tertutup
oleh tanah yang mengeras, merupakan kulit dari batu karang itu.
Kwan Cu mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan untuk menarik keluar kulit batu karang itu.
Sebagian dari kulit yang terjadi dari tanah mengeras itu terlepas dan ternyata bahwa huruf itu adalah huruf
LIU. Berdebar hati Kwan Cu.
Huruf ini mengingatkan dia akan bunyi kitab sejarah yang dia dapatkan di dalam sumur di Kun-lun-san,
yakni kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang menyatakan bahwa kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng
disimpan di sebuah pulau kosong oleh LIU PANG yang akhirnya menjadi raja. Dia segera mengerjakan
kedua tangannya untuk melepaskan kulit batu karang yang menutup huruf-huruf selanjutnya.
Sementara itu, Malita, Malika dan kawan-kawan mereka sudah mulai bekerja, menutupi empat mulut goa
yang lainnya dengan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu membakar semua itu. Asap yang tebal
bergumpal-gumpal lalu memasuki goa dan terus memasuki terowongan itu!
Karena amat tertarik oleh ukiran huruf di dinding sebelah luar goa, Kwan Cu lupa bahwa dia sedang
bertugas menunggu munculnya Kahano dan kawan-kawannya, dan dia tidak ingat lagi bahwa sudah
beberapa lama dia bekerja mencoba untuk melepaskan kulit batu karang yang sudah amat keras dan
menjadi satu dengan batunya. Setelah dengan susah payah bekerja sehingga kuku-kuku jari tangannya
sampai pecah-pecah, akhirnya Kwan Cu dapat membaca empat huruf yang berbunyi LIU SIN TONG TANG
(Guna Anak Ajaib Liu).
dunia-kangouw.blogspot.com
Hampir saja Kwan Cu berjingkrak saking girangnya. Tak salah lagi, yang dimaksudkan dengan anak ajaib
she Liu itu tentu bukan lain adalah Liu Pang, karena anak yang kelak menjadi kaisar patut disebut atau
menyebut diri sendiri sebagai anak ajaib. Ia pun makin dekat dengan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cinkeng
yang sudah lama dicari-carinya.
Akan tetapi pada saat itu asap telah memasuki terowongan dan bahkan sudah ada asap yang keluar dari
mulut goa yang dijaga oleh Kwan Cu. Tidak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk dan tampak enam
orang katai berlari-lari keluar dari dalam goa itu.
Gerakan mereka gesit sekali dan keenam-enamnya memegang sebatang pedang kecil yang nampaknya
tidak berbahaya, akan tetapi yang sesungguhnya mengandung racun putih yang sangat berbahaya pada
ujungnya. Enam orang itu bukan lain adalah Kahano beserta lima orang kawannya.
Kwan Cu yang mendengar suara mereka, lalu memandang. Dia melihat seorang katai yang usianya sudah
agak tua, dengan kumis dan jenggot putih tebal menutupi mulutnya. Lima orang yang lain berkepala gundul
dan biar pun mereka masih muda-muda, namun wajah mereka buruk rupa dan nampak kejam-kejam.
Kwan Cu teringat akan penuturan Malita bahwa lima orang yang menjadi murid Kahano adalah pemudapemuda
jahat yang dibenci oleh para gadis karena sikap mereka yang kurang ajar. Yang menarik perhatian
adalah sapu tangan yang mengikat kepala mereka. Sapu tangan itu berwarna kuning dan bentuknya sama,
seakan-akan dijadikan semacam tanda pengenal bagi golongan mereka.
“Tak salah lagi, dialah Kahano dan kawan-kawannya,” pikir Kwan Cu.
Hati pemuda ini sedang gembira sekali berhubung sudah ditemukannya huruf-huruf yang menyatakan
bahwa dia benar-benar berada pada pulau yang dicari-carinya. Ia melompat keluar dan dengan dua kali
lompatan saja dia sudah sampai di depan enam orang yang sedang mengatur napas untuk menghilangkan
pengaruh asap yang menyerang mereka di dalam terowongan dan goa. Cara mereka mengatur napas
membuat Kwan Cu terkejut, karena itulah pengaturan napas dari ilmu lweekang yang sangat tinggi.
Ada pun Kahano dan kawan-kawannya, pada saat melihat kedatangan Kwan Cu menjadi marah sekali.
“Hemm, jadi kaukah yang memimpin mereka dan melakukan akal ini?” tanya Kahano dan Kwan Cu
kembali merasa tertegun karena kini Kahano menggunakan bahasa yang biasa dipergunakan oleh
penduduk Tiongkok di bagian utara!
“Kau bisa bahasa daratan Tiongkok?” tanya Kwan Cu terheran-heran.
“Tentu saja bisa, karena aku pun seorang yang berasal dari sana,” jawab Kahano. “Oleh karena itu,
mengingat hubungan antara orang kang-ouw, kuharap kau tidak mencampuri urusan kami dan jangan kau
mengganggu kami.”
Memang benar bahwa sebenarnya Kahano adalah seorang keturunan Jepang-Tiongkok yang telah lama
merantau di daratan Tiongkok daerah utara, yaitu di perbatasan Mongol. Ketika merantau di sana, dia telah
mempelajari ilmu silat dan di dunia kang-ouw terkenal sebagai orang yang kurang baik. Kadang-kadang dia
turut dengan serombongan pemain akrobat dan bermain sebagai seorang pelawak yang cocok sekali
dengan keadaannya yang pendek kecil itu.
Setelah dia merasa bosan di daratan Tiongkok, dia mengambil keputusan untuk kembali ke Jepang dengan
naik perahu. Akan tetapi perahunya terserang oleh taufan hebat dan akhirnya dia terdampar dalam
keadaan pingsan di atas pulau bangsa katai itu.
Dia dianggap sebagai bangsa sendiri oleh mereka dan Kahano yang cerdik itu pura-pura bisu sehingga dia
tidak dicurigai. Sesudah dapat mempelajari bahasa orang-orang katai itu, barulah dia berbicara dan
mendongeng bahwa dia adalah seorang yang terpilih oleh dewata sebagai calon pemimpin mereka, akan
tetapi dengan syarat menjadi bisu untuk beberapa tahun!
Dongengnya ini dipercaya oleh sebagian orang lelaki, akan tetapi tidak dipercaya oleh kaum wanitanya
sehingga semenjak Kahano berada di sana, di antara mereka timbullah pertentangan. Akan tetapi,
ternyatalah oleh mereka bahwa Kahano pandai sekali ilmu silat dan bukan merupakan laki-laki yang lemah.
Melihat kecantikan Malita dan Malika, Kahano yang sudah agak tua itu jadi tergila-gila dan timbullah satu
dunia-kangouw.blogspot.com
kehendak rendah. Ia ingin menjadi raja dari bangsa itu dan mengambil Malita serta Malika sebagai isteriisterinya!
Mula-mula kehendak atau cita-cita ini dipendamnya saja karena kedudukan ayah kedua gadis ini kuat
sekali sebagai raja yang terkasih dan bijaksana. Namun sedikit demi sedikit dia menanam rasa penasaran
dan memberontak dalam hati kaum laki-laki sehingga dia berhasil mempunyai pengikut yang banyak juga.
Kemudian meninggallah raja, ayah dari kedua orang dara jelita itu dan kesempatan ini segera
dipergunakan oleh Kahano untuk memberontak.
Ketika Kwan Cu mendengar Kahano dari daratan Tiongkok, dia menjadi sangat marah.
“Kahano, apa bila kau bukan penduduk asli, maka dosamu lebih besar lagi. Kau sudah menghasut orangorang
untuk memberontak dan maksudmu untuk menjadi raja serta mengambil puteri-puteri itu sebagai
isteri, telah menunjukkan betapa rendah martabatmu. Lebih baik kau dan pengikut-pengikutmu ini
menyerah saja. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum asal saja kalian suka
berjanji untuk selanjutnya tidak akan melakukan kekacauan lagi. Ketahuilah bahwa sekarang kaum
perempuan bangsa katai ini telah insyaf, bahwa cara satu-satunya untuk mencapai perdamaian antara
kaum laki-laki dan wanita, adalah dengan kerja sama dan persamaan hak, seperti yang terjadi di negara
kita.”
Kahano tertawa bergelak. Biar pun orangnya kecil, ternyata suara ketawanya besar.
“Ha-ha-ha, orang muda sombong. Kau dapat membodohi mereka ini, akan tetapi apa kau kira aku tidak
tahu bagaimana perangai kaum laki-laki di daratan Tiongkok? Apa kau kira aku tidak tahu betapa ayah
bunda yang kelaparan menjual anak-anak gadisnya kepada orang-orang kaya, tuan-tuan tanah tua, hanya
untuk ditukar dengan makanan? Memang sudah semestinya begitu. Orang perempuan memang dilahirkan
cantik dan ditakdirkan untuk menjadi alat penghibur laki-laki. Mereka makhluk lemah yang harus menurut
dan taat kepada laki-laki, akan tetapi di pulau ini terjadi sebaliknya. Aku hendak mengubah aturanmu itu,
sesuai dengan aturan bangsamu, apakah kau masih berani mati untuk merintangi kehendakku? Siapakah
kau ini berani mati mencampuri urusan orang lain?”
“Aku bernama Lu Kwan Cu dan aku sekali-kali bukan bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan
tetapi sudah menjadi tugasku untuk membela orang-orang tertindas dan melenyapkan pengacau-pengacau
keamanan seperti engkau ini!”
Kahano mengutuk dan memberi aba-aba kepada lima orang pembantunya. Enam orang katai itu segera
bergerak secara teratur sekali, mengurung Kwan Cu dari enam jurusan. Melihat gerakan kaki mereka,
diam-diam Kwan Cu memuji. Mereka ini memiliki gerakan kaki yang amat teratur dan gesit sekali, dan
sikap mereka menyatakan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tinggi.
Setelah Kahano berseru keras, enam orang itu mulai menyerang. Pedang pendek pada tangan mereka
bergerak cepat. Serangan mereka tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan secara teratur sekali,
susul-menyusul seakan-akan memang keenam orang itu sudah berlatih terlebih dahulu untuk maju
berenam dengan ilmu silat tertentu yang harus dilakukan oleh enam orang!
Kwan Cu terkejut dan cepat mengelak. Akan tetapi, biar pun dia dapat mengelak dari serangan pertama
tahu-tahu orang kedua sudah menyusul serangan dari belakang, dan ketika dia membalikkan tubuh sambil
mengelak ke kiri, orang di sebelah kanan sudah menyusul serangan ke tiga. Dengan demikian, setiap
serangan selalu datang dari arah belakangnya dan setiap serangan merupakan serangan yang amat
berbahaya.
“Lihai sekali!” seru Kwan Cu tanpa terasa lagi.
Dia merasa gentar untuk menghadapi mereka dengan tangan kosong, maka cepat dia mencabut sulingnya,
yakni satu-satunya senjata yang selalu berada di tubuhnya. Dengan suling ini, dia lalu mainkan ilmu
pedang Hun-kai Kiam-hoat. Ia menangkis dengan keras dan membalas serangan enam orang
pengeroyoknya.
Akan tetapi, segera terjadi hal yang sangat mengherankan, juga mengecilkan hati Kwan Cu. Tiba-tiba
Kahano berseru dan kini enam orang itu semuanya membalasnya dengan serangan yang mirip dengan
ilmu pedangnya pula! Malah lebih hebat lagi, agaknya enam orang itu setengah dapat menduga ke mana
pedangnya akan bergerak selanjutnya, dan seakan-akan keenam orang itu pernah mempelajari Hun-kai
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiam-hoat, meski pun belum mahir betul.
Menghadapi keroyokan yang dilakukan dengan ilmu silat yang sama dengan ilmu pedangnya, Kwan Cu
menjadi bingung sekali. Apa lagi senjatanya hanya sebatang suling yang tengahnya kosong sehingga tidak
dapat dia gerakkan dengan tenaga besar. Maka, walau pun dia dapat menangkis setiap serangan lawan,
namun dia tidak kuasa membuat lawannya itu melepaskan pedangnya.
Kwan Cu terkurung semakin hebat dan pada saat-saat tertentu, dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh
Kahano, enam orang itu mengubah gerakan mereka dan tiba-tiba saja maju menubruk berbareng dengan
dahsyat sekali! Walau pun Kwan Cu sudah berusaha mengelak sambil memutar sulingnya, akan tetapi
bajunya terobek oleh tiga ujung pedang kecil.
Pemuda ini berubah air mukanya. Ia maklum bahwa ujung pedang mereka mengandung racun yang
berbahaya. Sekali kulit tubuhnya tergurat ujung pedang, besar kemungkinan nyawanya akan melayang!
Lebih hebat lagi, selagi pemuda ini kebingungan, mendadak Kahano melompat ke atas dan sebuah
tendangan yang sangat cepat sudah mengenai pergelangan tangan Kwan Cu yang memegang suling.
Pemuda ini merasa pergelangan tangannya kaku. Memang dulu Kahano adalah pemain akrobat,
loncatannya tinggi dan tendangannya tepat mengenai urat besar sehingga Kwan Cu tidak kuasa
memegang sulingnya lagi yang langsung terlempar jauh.
“Ha-ha-ha! Lu Kwan Cu bocah sombong. Baru kini kau mengenal kelihaian Kahano!” Si katai berjenggot ini
tertawa bergelak saking girangnya. Lima orang kawannya mendesak makin hebat, mendapat tambahan
semangat melihat hasil tendangan pemimpin mereka yang lihai.
Kwan Cu segera dapat menenteramkan hatinya. Dia teringat bahwa di antara anggota tubuhnya, yang
berani menghadapi ujung pedang enam orang lawannya hanya kedua tangannya yang sudah diberi obat
oleh Malita. Dia teringat pula betapa tenaga keenam orang ini kecil saja, terbukti pula dari tendangan tadi.
Tendangan Kahano itu tidak mengandung tenaga besar, dan hasil yang baik itu hanya karena tepatnya
tendangan itu mengenai urat besar di pergelangan tangannya. Teringat akan hal ini, Kwan Cu berseri
wajahnya dan dia tersenyum.
“Kahano, kaulah yang sombong. Sekarang akan kau rasai kelihaian Lu Kwan Cu!” sambil berkata
demikian, Kwan Cu menggerakkan tangannya dengan jari-jari terpentang.
Ia lalu bersilat dengan ilmu silat Sin-ci Tin-san yang mengandung tenaga lweekang dan gwakang sangat
besar sehingga baru sambaran hawa pukulannya saja sudah sanggup merobohkan lawan. Di samping itu,
dia pun menggerakkan kedua kakinya menurutkan gerakan ilmu silat Sam-hoan-ciang sehingga dia
seakan-akan mempunyai muka tiga dan gerakan-gerakan kakinya selalu membentuk segitiga sehingga
tidak dapat di serang dari belakang oleh lawan-lawannya.
Sungguh tepat gerakan Kwan Cu ini. Begitu dia mainkan ilmu silat Sin-ci Tin-san, enam orang
pengeroyoknya menjadi bingung luar biasa. Mereka agaknya dapat pula menduga gerakan-gerakan
selanjutnya dari Sin-ci Tin-san, namun karena ilmu silat ini dilakukan dengan mengandalkan lweekang
yang tinggi dan tenaga yang besar, tentu saja mereka tidak dapat menirunya!
Hal ini merupakan keuntungan bagi Kwan Cu yang mendesak terus selagi enam orang itu kebingungan,
tak tahu harus berbuat bagaimana untuk menghadapi pukulan-pukulan sepuluh jari tangan Kwan Cu yang
baru hawa pukulannya saja sudah membuat tubuh mereka tergetar!
Melihat hasil serangannya, Kwan Cu mengamuk semakin hebat. Dengan heran sekali dia melihat betapa
keenam orang ini pun seakan-akan mengenal ilmu silat Sin-ci Tin-san, karena mereka dapat menduga
gerakan-gerakan selanjutnya dari ilmu silat ini, bahkan mereka mencoba untuk menyerangnya dengan
meniru gerakan itu. Ilmu silat apakah yang mereka miliki ini sehingga semua ilmu silatnya dapat dikembari
oleh mereka? Kalau dia berlaku lambat, tentu mereka akan dapat menguasai diri dan kalau sekali ini dia
tidak mampu mengalahkan mereka, agaknya itu akan menjadi tanda bahwa dialah sebaliknya yang akan
kalah dan mendapatkan bencana besar!
“Robohlah kalian!” Kwan Cu berseru untuk memperkuat pengaruh dan lweekang-nya.
Kedua tangannya bergerak cepat sambil mengerahkan tenaga sekuatnya. Yang paling dia desak adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
Kahano, maka ketika kedua tangannya bergerak, terdengar Kahano menjerit, disusul oleh dua orang
kawannya.
Ternyata bahwa hanya setengah pukulan Kwan Cu tadi yang mampu dielakkan mereka, akan tetapi hawa
pukulannya masih menghantam Kahano dan kedua orang kawannya, yakni seorang yang berada di
belakangnya dan seorang pula yang berada di kanannya. Pedang pendek Kahano terlepas dari pegangan
dan si katai brewok ini terpukul dadanya sehingga dia terlempar ke belakang dengan dada menderita luka
dalam.
Orang yang berada di belakang Kwan Cu lebih hebat lagi. Tangan kanan Kwan Cu, atau lebih tepat jari-jari
tangan kanannya, telah dapat menampar kepala orang itu sehingga si katai gundul ini terlempar bagaikan
seekor anjing dilemparkan dan dia roboh tanpa dapat bangun kembali. Orang yang berada di kanannya,
hanya terkena langgar telunjuk Kwan Cu, namun karena tepat mengenai tangannya yang memegang
pedang, pedang itu pun terlepas dari pegangan dan dia menjerit-jerit kesakitan sambil mundur dan
memegangi tangan kanan dan tangan kirinya. Ternyata bahwa tulang-tulang tangan kanannya telah patahpatah.
Tiga orang lainnya yang berada di depan Kwan Cu, ketika melihat ini, terbang semangat mereka dan timbul
watak pengecutnya. Mereka melempar pedang dan berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala yang
gundul itu, minta ampun! Memang, sudah terlalu lama kaum lelaki di pulau katai itu diperlakukan seperti
wanita sehingga rata-rata memiliki watak penakut dan berhati kecil.
Kwan Cu tertawa bergelak dengan puas dan mengambil sulingnya. Berhasillah tugasnya mengamankan
pulau itu. Akan tetapi, mendadak dia melihat bayangan beberapa orang berkelebat dekatnya dan lenyaplah
suara ketawanya ketika dia melihat apa yang sudah terjadi pada saat dia tertawa tadi. Ketika dia
memandang, enam orang laki-laki katai itu telah kehilangan kepala mereka dan kini tubuh mereka
tergeletak dengan leher terputus dan darah mengalir deras dari leher-leher yang tak berkepala lagi itu.
Dengan kening berkerut Kwan Cu memandang tajam pada Malita, Malika dan beberapa orang wanita lain
yang sudah berdiri di situ dengan pedang di tangan. Malita dan Malika menyusut darah yang menempel di
pedang mereka dengan menggunakan pakaian yang menempel pada mayat-mayat itu.
“Mengapa kalian lakukan ini? Alangkah kejamnya!” seru Kwan Cu tak senang.
Malika menghadapinya dengan sikap menantang. Gadis ini memang berwatak keras dan pemberani. Ia
menentang pandang mata Kwan Cu tanpa merasa takut sedikit pun juga, lalu berkata,
“Kau bilang kami kejam? Kalau mengingat betapa enam orang iblis ini hendak membuat kami kaum
perempuan menjadi barang permainan yang hina dina, hukuman penggal kepala masih terlampau murah
untuk mereka!”
Kwan Cu menghela napas, lalu berkata,
“Sudahlah, Malika, dan kau juga Malita. Yang sudah lalu biarlah lenyap. Memang mereka ini jahat sekali
dan patut dihukum mati, akan tetapi apakah perbuatan ini merupakan tanda bahwa kalian kaum wanita kini
hendak berkuasa lagi dan melupakan kerja sama yang baik?”
“Tidak, sama sekali kami takkan mengulangi kesalahan besar yang dilakukan oleh nenek moyang kami.
Kami sudah berjanji kepadamu dan janji kami selalu kami pegang teguh. Kami akan melakukan pemilihan
raja baru secara adil, kaum laki-laki pun berhak memilih. Dan kami tak akan memandang-mandang lagi
apakah ia laki-laki atau wanita, akan tetapi siapa saja yang bersalah akan dihukum dan yang tertindas akan
dibela, baik dia laki-laki mau pun wanita! Dan semua ini, kebahagiaan yang akan kami hadapi ini, semua
berkat pertolonganmu yang amat berharga, saudara Kwan Cu yang budiman!”
“Semua berkat pertolonganmu,” semua wanita berkata pula dan tiba-tiba, dipimpin oleh Malita dan Malika,
semua orang wanita yang berada di sana menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu sambil menangis
riuh-rendah!
Kwan Cu tertegun, kebingungan, kemudian dia menghela napas dan berkata di dalam hatinya,
“Perempuan, perempuan... perempuan namamu dan di mana pun sama saja, paling mudah menangis!”
berpikir sampai di sini, timbul pikiran lain yang membantahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahh, Kong Hoat putera Liok-te Mo-li itu terang seorang laki-laki, akan tetapi dia pun suka menangis.”
Pikiran kedua mengejek, “Ahh, Kong Hoat memang dasar cengeng!”
Demikianlah, menghadapi tangis karena berterima kasih dan gembira dari banyak wanita kecil-kecil ini,
Kwan Cu malahan melamun, teringat yang bukan-bukan. Akan tetapi, dia sadar kembali dan berkata.
“Sudahlah, untuk apa menangis? Kalian membikin aku merasa sedih dan jangan-jangan aku akan ikut
menangis pula. Malita dan Malika, saat ini boleh dibilang kalian merupakan pemimpin bangsamu, jangan
melakukan upacara yang berlebih-lebihan ini. Aku bertindak sebagai seorang manusia yang memang
seharusnya sebisa mungkin menolong manusia lain. Aku hanya ada satu permintaan, yakni kalau
sekiranya kalian tidak keberatan.”
Malita menyusut air matanya dan bangkit berdiri sambil tersenyum manis sekali.
“Apakah permintaanmu itu, saudaraku yang baik? Apa saja yang menjadi permintaanmu, pasti akan kami
turuti. Kau ingin menjadi pemimpin kami? Kami setuju sepenuhnya! Kau ingin memilih seorang jodoh di
antara kami? Kiranya takkan ada seorang pun dara akan menolakmu, siapa pun dia adanya!” sesudah
mengucapkan kata-kata ini, sadarlah Malita bahwa dia sudah berbicara terlalu banyak, maka merahlah
mukanya.
“Jangan main-main, Malita. Aku bukan Kahano! Tiada lain hanya ini. Perbolehkanlah aku tinggal di pulau
ini seorang diri, entah berapa tahun sampai aku merasa bosan dan pergi meninggalkan pulau ini. Selama
aku berada di sini, harap kalian jangan menggangguku, karena aku bermaksud hendak bersemedhi dan
menjauhkan diri dari keramaian dunia di tempat ini. Tempat ini amat menarik hatiku.”
Malita dan kawan-kawannya saling pandang dengan heran.
“Kau memang orang aneh, seorang sakti yang berbudi tinggi. Hal itu bukan merupakan permintaan karena
tentu tak seorang pun merasa keberatan kalau kau tinggal di pulau ini.”
“Nah, jika begitu selamat berpisah. Kalian pulanglah, kemudian aturlah pemerintahanmu sebaik-baiknya
dan tinggalkan aku di sini. Jangan ingat lagi kepadaku, karena aku pun tak akan mengganggu kalian di
sana.”
Mendengar keputusan ini, terkejutlah Malita.
“Mengapa begitu keras, saudara Kwan Cu? Setidaknya, perkenankanlah kami kadang kala
mengunjungimu di sini untuk melihat apakah kau tidak kekurangan sesuatu di sini,” kata Malita.
“Dan sudah tentu kami yang akan menjaga makananmu setiap harinya,” kata Malika.
Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepala dan menggoyang-goyang tangannya.
“Jangan! Kulihat pulau ini mengandung pohon-pohon yang berbuah dan tadi kulihat ada beberapa ekor
binatang hutan yang kiranya akan dapat menjadi bahan makanan bagiku. Aku ingin seorang diri saja di
sini, tanpa mendapatkan gangguan dari siapa pun juga. Kecuali...” sambungnya ketika meliha sinar mata
pada wajah mereka, “kecuali kalau ada sesuatu yang hebat menimpa kalian, tentu saja aku selalu bersiap
sedia untuk menolong kalian. Nah, sekarang pergilah, mayat-mayat ini tinggalkan saja, biar aku nanti yang
akan menguburnya di tempat ini.”
Terpaksa Malita memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk pergi dari sana dengan wajah kecewa
sekali. Akan tetapi, belum berapa lama dia berjalan, dia segera membawa kawan-kawannya datang lagi
dan berlutut.
“Ada apa lagi?” tanya Kwan Cu tak senang.
“Saudara Kwan Cu, sungguh pun kami tak berani melanggar laranganmu dan tidak akan mengganggumu
di tempat ini, setidaknya berjanjilah bahwa sewaktu-waktu engkau akan datang mengunjungi kami supaya
kami dapat melihat bahwa kau masih berada di dekat kami.”
Kwan Cu tersenyum. Ia tidak boleh terlalu keras agar mereka ini jangan menduga yang bukan-bukan
dunia-kangouw.blogspot.com
sehingga malah akan pecah rahasia sebenarnya dari keinginannya berada seorang diri di tempat itu.
“Baiklah, kelak bila mana kau dan adikmu menikah, beritahulah aku dan aku akan datang menyaksikan
pernikahan itu!”
Bertitik air mata di pipi Malita, bahkan Malika juga menangis sesenggukan akibat terharu. Mereka
kemudian pergi dari tempat itu menuju ke perahu-perahu kecil milik Kahano dan kawan-kawannya, sambil
menoleh beberapa kali ke arah raksasa muda yang masih terus berdiri bertolak pinggang melihat sampai
mereka pergi jauh dan tidak kelihatan lagi.
********************
Setelah menggali lubang dan mengubur jenazah Kahano beserta lima orang kawannya, Kwan Cu segera
menghampiri goa yang dijadikan tempat sembunyi para pemberontak tadi. Ia memeriksa dinding goa
dengan sepasang obor yang dibuatnya dari pada rumput kering dan alangkah gembiranya ketika dia
mendapat kenyataan bahwa dinding-dinding itu, sebagaimana telah diduganya semula, terhias oleh
gambar-gambar manusia sedang bersilat! Gambar-gambar ini ukirannya bagus dan jelas sekali sehingga
melihat gambar-gambar ini saja orang sudah dapat mempelajari ilmu silat yang terlukis di situ!
“Hemm, kiranya dari sini mereka itu mempelajari ilmu silat mereka yang aneh!” pikirnya.
Gambar-gambar itu benar-benar hebat luar biasa karena amat banyak dan mengandung gerakan dari
hampir semua ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari dan yang pernah dia dengar dari suhu-nya, Ang-bin
Sin-kai. Manusia gaib siapakah yang dulu telah membuat lukisan-lukisan pelajaran ilmu silat seperti ini?
Sampai seharian penuh Kwan Cu memeriksa gambar-gambar itu dan masih juga belum habis. Ternyata
bahwa seluruh terowongan yang menembus ke goa-goa lain juga terhias gambar-gambar seperti itu,
namun anehnya, semua lukisan itu menggambarkan orang bersilat tangan kosong! Tidak ada sebuah pun
gambar orang bersilat dengan senjata di tangan.
Ada yang bersilat seorang diri, ada yang bertempur, ada pula yang dikeroyok dua, tiga, sampai dikeroyok
puluhan orang! Agaknya lukisan itu dititik beratkan kepada tokoh yang dikeroyok, karena kedudukan tokoh
ini jelas sekali, setiap gerak kaki atau tangan teratur baik.
Pada saat menghadapi sebaris lukisan yang menggambarkan bagaimana cara seorang lelaki dikeroyok
oleh puluhan orang, Kwan Cu lantas menjadi terkejut sekali. Bukan main hebatnya kedudukan orang yang
dikeroyok itu, malah jauh lebih kuat dari pada ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to yang dia pelajari dari Ang-bin
Sin-kai.
Saking girangnya, Kwan Cu sampai lupa makan lupa tidur, setiap hari dia melihat dan mempelajari
gambar-gambar yang terlukis di dinding goa dan terowongan itu. Kemudian teringatlah dia akan niat
sesungguhnya dari kedatangannya ke pulau ini, yakni mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Hatinya berdebar keras. Betapa pun jelas ukiran-ukiran ini yang dengan sendirinya telah merupakan
pelajaran yang hebat sekali, namun tanpa buku petunjuk atau guru yang membimbing, ilmu-ilmu silat tinggi
itu bisa dipelajari dengan cara yang keliru!
“Bukan tidak mungkin bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang merupakan kouw-koat (teori ilmu
silat) dari semua lukisan ini,” pikirnya.
Sesudah berpikir demikian, Kwan Cu merangkak keluar dari goa kecil itu dan baru dia merasa betapa
tubuhnya sakit-sakit semua karena dia mempelajari dan melihat semua lukisan di dinding itu sambil
merangkak! Ternyata bahwa sudah dua hari dua malam dia berada di goa itu tanpa berhenti untuk makan
atau tidur. Kini dia merasa perutnya lapar sekali. Maka pergilah dia ke dalam hutan yang penuh dengan
pohon-pohon itu.
Keadaan di situ memang aneh. Semua pohon mempunyai daun yang keputih-putihan, sungguh pun daundaun
itu berbeda corak dan ukurannya. Dan di antara pohon-pohon itu, ada pula yang mengandung buahbuahan
yang biar pun ada yang berwarna merah, namun merahnya juga pucat seperti dikapur.
Kwan Cu berlaku hati-hati sekali. Biar pun perutnya amat lapar dan mulutnya amat haus, tetapi dia tidak
berlaku sembrono. Buah-buahan itu sangat asing baginya dan siapa tahu kalau-kalau di tempat aneh ini
dunia-kangouw.blogspot.com
terdapat buah-buah yang mengandung bisa.
Sebelum makan buah itu dia menciumnya terlebih dulu, kemudian menancapkan suling pemberian Hanghouw-
siauw Yok-ong ke dalam buah itu. Gurunya pernah memberi tahu bahwa suling itu selain dapat
dipergunakan sebagai senjata, juga dapat digunakan untuk menguji apakah dalam sesuatu benda terdapat
bisa yang berbahaya. Kalau suling yang kehijauan itu berubah hitam seperti hangus, itulah tanda bahwa
buah itu mengandung racun.
Sesudah dilihatnya bahwa suling itu tidak hangus, barulah dia berani mencoba makan. Ternyata buah itu
wangi dan manis, sehingga hatinya girang sekali. Juga di situ terdapat banyak binatang hutan yang
rupanya seperti kijang, maka dia tidak khawatir lagi akan makanan untuk perutnya.
Betapa pun tertarik hatinya untuk mempelajari semua lukisan orang bersilat di dalam goa yang kecil gelap
itu, namun Kwan Cu tidak mau melihatnya lagi. Hatinya tetap bahwa dia harus terlebih dahulu mencari
kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebab itulah tujuan utamanya datang mencari pulau ini.
Berhari-hari dia lalu mencari. Semua goa, dari yang besar sampai yang paling kecil dia masuki, tapi dia
tidak mendapatkan tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bahkan sebulan telah berlalu dia
belum juga bisa menemukan kitab itu.
Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang keras hati dan tidak mudah patah semangat. Dia yakin
bahwa kitab itu tentu belum ditemukan oleh Kahano, karena kalau Kahano sudah berhasil mempelajari ilmu
silat dari kitab itu, tak mungkin dia akan dapat mengalahkannya.
Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiu-bwe Coa-li
dan masih banyak tokoh-tokoh sakti dari dunia kang-ouw, semua ingin memiliki kitab itu. Hal ini saja sudah
membuktikan bahwa kitab itu tentulah mengandung pelajaran ilmu silat yang bukan main tingginya.
Kemajuan ilmu silat Kahano dan kawan-kawannya yang diherankan oleh Malita, tentulah karena Kahano
serta kawan-kawannya mempelajari sebagian dari gambar-gambar lukisan pada dinding itu.
Beberapa pekan telah berlalu pula dan tahu-tahu sudah tiga bulan Kwan Cu tinggal di pulau kosong itu.
Dan belum juga dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicari-carinya, biar pun sudah
beberapa kali dia memasuki goa-goa yang banyak itu dan memeriksa di balik batu-batu karang yang besar.
Selama seratus hari ini Kwan Cu belum lagi mempelajari ilmu silat yang dilukis di dinding, karena
kemauannya amat keras hendak menemukan kitab rahasia itu terlebih dahulu. Ia percaya penuh akan
kebenaran kitab sejarah peninggalan Gui Tin dan meski pun sudah seratus hari mencari dengan sia-sia,
kepercayaannya ini sama sekali tidak berkurang, bahkan dia menjadi semakin penasaran dan memakimaki
diri sendiri sebagai seorang yang bodoh dan sial.
Pada suatu hari, ketika dia mencari seekor kijang untuk dipanggang dagingnya, tiba-tiba dia melihat
bayangan putih berkelebat cepat di atas tanah. Hampir saja dia tidak dapat melihat apakah yang
berkelebat itu, karena gerakan bayangan ini cepat luar biasa. Akan tetapi, ketika dia mengejar ke arah itu,
dia melihat seekor binatang yang rupanya seperti kelinci berbulu putih, berlari cepat sekali.
Ia menjadi tertarik. Belum pernah dia melihat binatang seindah itu bulunya. Putih bersih bagaikan kapas
dan keempat kakinya yang pendek-pendek itu sangat cepat larinya. Dia mengejar sambil mengerahkan
ginkang-nya, dan meski pun dia tidak atau belum dapat menangkap binatang putih itu akan tetapi binatang
itu pun tidak mampu memperbesar jaraknya.
Binatang itu nampak kebingungan sekali dan segera berlari ke arah bukit batu karang yang ditumbuhi oleh
pohon-pohon berdaun putih yang tidak berbuah. Kwan Cu mengejar terus. Ketika binatang itu tiba di bawah
sebatang pohon di puncak bukit, pohon yang terbesar, tiba-tiba saja binatang itu lenyap!
“Ehh, ibliskah dia? Bagaimana dapat menghilang begitu saja sedangkan di sini, kecuali pohon-pohon besar
ini, tidak ada tetumbuhan lainnya?” pikir Kwan Cu penasaran.
Pemuda ini mencari-cari dengan pandangan matanya, dan akhirnya dia melihat sebuah lubang di dekat
pohon itu, lubang yang berada di tengah antara dua batang akar yang menonjol keluar dari permukaan
tanah.
“Hemm, jadi dia bersembunyi di sini,” pikir Kwan Cu sambil tersenyum gembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia mempergunakan pedang kecil yang dahulu menjadi senjata Kahano dan disimpannya karena dia
memang membutuhkan senjata itu untuk memotong sesuatu yang diperlukan. Dengan pedang yang kecil
seperti pisau ini, dia menggali lubang itu dan merenggut putus dua akar yang menjepit lubang. Semakin
dalam dia menggali, lubang itu semakin besar. Kegembiraan Kwan Cu membesar pula. Ini merupakan
pengalaman baru baginya. Bagai mana seekor binatang yang begitu kecil bisa membuat sarang begini
besar?
Kurang lebih tiga kaki dalamnya dia menggali dan tiba-tiba, ketika dia mengayun pedang itu dan
ditancapkan pada tanah untuk memperdalam galian, terdengar suara keras dan pedang itu patah! Kwan
Cu terkejut dan heran sekali. Dengan jari-jari tangannya dia lalu menggali tanah dan ternyata bahwa
pedangnya tadi sudah memukul dinding besi yang mengeluarkan cahaya kehitaman dan kelihatannya kuat
sekali!
“Apakah ini...?” katanya makin heran.
Ia menjadi makin bersemangat, menggunakan patahan pedang untuk menggali tanah di sekitar pedang
besi itu dan ternyata bahwa dinding ini merupakan sebuah peti besi segi empat yang lebarnya ada satu
kaki lebih. Di samping peti besi ini terdapat lubang lain yang kecil, agaknya binatang itu mempergunakan
peti besi yang kuat ini untuk perisai dan tentu dia bersembunyi di dalam sebuah lubang yang digalinya
tepat di bawah peti itu.
Namun Kwan Cu sudah tidak ingat lagi akan kelinci atau binatang berbulu putih yang tadi dikejar-kejarnya.
Sekarang seluruh perhatiannya tercurah pada peti besi ini. Hatinya jadi berdebar-debar dan diam-diam dia
berdoa kepada Thian semoga peti inilah yang akan memberi jalan kepadanya mendapatkan kitab rahasia
Im-yang Bu-tek Cin-keng!
Ia membawa peti besi itu ke goanya. Memang selama tiga bulan berada di situ, Kwan Cu telah memilih
sebuah goa yang paling besar, goa yang tidak merupakan terowongan dan sinar matahari dapat masuk ke
dalamnya, sebagai tempat tinggalnya, di mana dia dapat mengaso dan tidur.
Sesudah makan buah-buahan yang disimpan di dalam goa itu, Kwan Cu mulai mendekati peti besi dan
setelah diperiksanya keadaan di luarnya sambil membersihkan tanah yang melengket di situ, dia tidak
mendapatkan sesuatu tulisan. Lalu dia membuka tutup peti besi itu dengan amat hati-hati.
Hampir saja dia bersorak girang ketika melihat betapa isi peti itu memang sebuah kitab yang sudah kuning.
Jelas kelihatan bahwa kitab itu terbuat dari pada sutera putih yang sudah menguning saking tuanya dan
seakan-akan kitab itu akan hancur menjadi debu apa bila dipegang!
Dengan kedua tangan gemetar, Kwan Cu mengulurkan tangan hendak mengambil kitab itu, namun tibatiba
mukanya menjadi pucat dan dia segera menarik kembali tangannya. Keringat dingin membasahi
jidatnya, karena dia teringat akan kehebatan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu.
Baru kitab palsu itu saja oleh Panglima An Lu Shan sudah dipasangi racun yang sangat berbahaya hingga
menewaskan seorang tokoh yang berilmu tinggi seperti Hek-mo-ong! Apa lagi kitab ini kalau benar-benar
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentulah yang aslinya! Siapa tahu kalau-kalau penyimpannya, yakni Liu
Pang, juga menggunakan akal seperti yang telah di lakukan oleh An Lu Shan?
Kwan Cu mengeluarkan sulingnya dan beberapa kali dia menggosok-gosokkan sulingnya itu di atas kitab
tua itu. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada suling itu dan legalah hati Kwan Cu. Ia sudah yakin bahwa
kitab itu tidak dipasangi racun jahat, namun ketika dia menjamah dan mengeluarkan kitab itu dari peti, tetap
saja kedua tangannya gemetar dan wajahnya tegang sekali. Siapa orangnya yang tidak akan merasa
seperti itu bila mana mendapatkan kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh besar di daratan Tiongkok?
Kwan Cu harus berlaku hati-hati. Kitab itu sudah tua sekali dan lembaran-lembarannya yang terbuat dari
pada sutera itu sudah lapuk. Maka dia meletakkan kitab itu di dalam peti lagi dan hanya berusaha
membuka halaman pertama, karena pada kulit muka tidak terdapat tulisan apa-apa.
Setelah halaman pertama dibuka, dia melihat deretan huruf-huruf kuno yang sudah amat dikenalnya, yakni
huruf-huruf yang dipergunakan pula untuk menuliskan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu dan yang Guisiucai
telah mengerjakannya sampai hafal betul. Dan huruf-huruf ini juga berbunyi: IM-YANG BU-TEK CINKENG!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dan membasahi pipi Kwan Cu. Inilah kitab rahasia Imyang
Bu-tek Cin-keng yang asli!!
Dapat kita bayangkan betapa girang dan terharunya hati Kwan Cu setelah dia mendapat kenyataan bahwa
kitab kuno yang dia dapatkan di atas pulau ini betul-betul adalah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli.
Kitab itu sudah diperebutkan oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan dicari-cari oleh pembesar.
Dia sendiri semenjak dahulu telah merindukan kitab ini, telah ditempuhnya jalan yang amat jauh dan
berbahaya. Sekarang, secara kebetulan sekali kitab itu telah berada di tangannya!
Sampai lama sekali Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut dan bibirnya bergerak-gerak. Ia menghaturkan
terima kasihnya pada Thian Yang Maha Kasih, kepada arwah Gui-siucai yang sudah membuka rahasia
kitab itu kepadanya. Kemudian dengan amat hati-hati dia mulai mempelajari isi kitab.
Ia harus berlaku hati-hati sekali karena sutera yang tertulis dengan huruf kuno itu sudah sangat tua. Baru di
buka lembar pertama saja, bagian pinggir yang tersentuh tangannya menjadi hancur! Bukan itu saja,
bahkan bagian tengah lembaran itu yang bergerak ketika dia buka telah menjadi robek-robek.
Maka dia mengambil keputusan untuk mempelajari selembar demi selembar, sama sekali tidak berani
membuka lembar berikutnya kalau lembar yang dibuka itu belum dihafalnya benar-benar. Juga ia berlaku
amat sopan dan menghormat isi kitab itu yang dianggapnya sebagai kitab suci, untuk menghormat
manusia sakti yang menciptanya.
Tiap kali hendak membaca kitab itu, terlebih dahulu dia berlutut sebagai penghormatan. Dan menjelang
malam hari, dia kembali berlutut menghaturkan terima kasih atas segala pelajaran yang telah diterimanya
pada hari itu. Hal ini dia lakukan setiap hari!
Pelajaran yang dia dapat dari lembaran-lembaran pertama adalah uraian tentang tenaga yang
menggerakkan seluruh dunia, yakni tenaga Im dan Yang (Positive dan Negative). Tentang dua tenaga
yang bertentangan tapi yang apa bila bersatu akan mendatangkan kekuatan dan daya penggerak di
seluruh permukaan bumi ini. Dia mendapat uraian yang amat jelas dan terperinci, disertai dengan contohcontoh.
Kemudian, pada lembar-lembar berikutnya, diterangkan dengan seluasnya mengenai unsur tenaga
alam yang terdiri dari ngo-heng (lima zat).
Kitab itu bukanlah kitab biasa dan untuk mempelajari isinya dibutuhkan kecerdikan yang luar biasa dan
bakat yang amat besar. Kwan Cu mengerahkan seluruh tenaga otaknya dan mencurahkan seluruh
perhatiannya. Tidak satu pun dilewatkannya, tidak sebaris pun kalimat dialpakannya. Semua dia telan
bulat-bulat, lantas diolah di dalam otaknya yang memang cerdik.
Baiknya dia berlaku hati-hati, karena ternyata kemudian olehnya betapa setiap kali dia membalikkan
lembar berikutnya, lembar yang terdahulu tergencet dan menjadi hancur! Jelasnya, setiap lembar yang
sudah dipelajarinya tidak akan mungkin dibacanya kembali karena sudah rusak. Orang lain takkan dapat
membaca kitab itu sesudah dia membaca habis, karena kitab itu akan merupakan kitab rusak yang hampir
menjadi debu.
Pelajaran-pelajaran berikutnya merupakan uraian lengkap tentang cara mempergunakan tenaga-tenaga Im
dan Yang di dalam tubuh sehingga hawa di dalam tubuh yang berupa tenaga tersembunyi itu dapat
dikuasai dengan baik. Ada pula pelajaran tentang semedhi dan mengatur pernapasan, tentang cara
menggugah panca indera dalam batin sehingga panca indera di tubuh menjadi kuat dan tajam.
Semua pelajaran ini disertai penjelasan-penjelasan terperinci tentang sebab-sebab dan akibatnya,
sehingga amat jelas bagi Kwan Cu. Pernah dia menerima latihan semedhi dan pengerahan tenaga
lweekang dari Ang-bin Sin-kai, tetapi pelajaran itu hanya merupakan pelajaran yang sudah mati, yang
dilakukannya sebagai tiruan atau jiplakan belaka. Kini dia baru mengerti mengapa segala macam tenaga
yang tersembunyi di dalam tubuh itu dapat timbul.
Sampai setahun lebih Kwan Cu jarang sekali keluar dari dalam goanya kalau perutnya tidak sangat lapar.
Jarang pula dia tidur kalau tidak sudah amat mengantuk dan matanya tidak dapat bertahan lagi. Tubuhnya
menjadi kurus kering dan matanya cekung. Setelah makan waktu satu tahun lebih, barulah selesai bagian
melatih semedhi dan pernapasan yang selain dipelajari teorinya, juga dipraktekkan setiap saat.
Kemudian mulailah kitab itu mengurai tentang ilmu silat! Bukan main hebatnya. Di situ dibentangkan
dunia-kangouw.blogspot.com
tentang ilmu-silat-ilmu silat yang sudah ada dan dimiliki manusia, ilmu silat ilmu silat tinggi yang dibuat
partai-partai persilatan menjadi termasyhur, seperti ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, Butong-
pai dan lain-lain.
Akan tetapi, yang diajarkan di situ hanya rahasia pokok dan dasar dari semua ilmu silat itu. Ternyata pula
bahwa lukisan-lukisan di dinding goa-goa dan terowongan itu adalah ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang
persilatan ini, memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang ternyata hanya pada variasi dan kembangannya
belaka. Ada pun pada dasarnya semua gerakan ilmu silat adalah serupa dan berasal dari satu sumber!
Untuk memperdalam pengertiannya, Kwan Cu meneliti semua lukisan di dinding goa-goa dan terowonganterowongan
itu, mempelajarinya dengan penuh perhatian. Sesudah dia mulai dapat menangkap apa yang
disebut pokok dasar gerakan ilmu silat tinggi, matanya menjadi terbuka dan amat mudahlah baginya untuk
mempelajari ilmu-ilmu silat itu.
Ia mempraktekkannya dengan melatih diri, meniru semua gerakan ilmu silat dari berbagai cabang itu.
Alangkah girangnya ketika dia dapat mainkan ilmu silat-ilmu silat itu dengan amat mudahnya! Tanpa
disadarinya, dia telah maju sekali dalam gerakan yang terdorong oleh tingginya tenaga lweekang dan
khikang, serta tanpa terasa latihan napas selama ini telah membuat ginkang-nya istimewa sekali.
Pada suatu hari, selagi dia berlatih seorang diri di dekat pantai laut pulau kosong yang berpohon putih itu,
tiba-tiba dia mendengar suara gaduh seperti dulu pernah didengarnya ketika dia mula-mula naik perahu
melintasi lautan ganjil itu. Ia tidak mempedulikan suara ini dan terus saja berlatih silat berganti-ganti
gerakan dan dia mainkan pelbagai ilmu silat tinggi dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai.
Tiba-tiba datang angin bertiup keras sekali, dibarengi suara mendesis hebat dan air laut di tepi pantai
bergelombang seakan-akan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) sendiri hendak keluar dari dasar laut! Akan
tetapi, Kwan Cu seperti tidak mendengar semua ini dan tidak merasakan sambaran angin pohon yang
begitu hebatnya, yang membuat pohon-pohon besar di pulau itu menjadi doyong.
Orang biasa saja apa bila kebetulan berada di situ, pasti akan melayang terbawa angin badai yang kuatnya
bukan main itu. Akan tetapi, Kwan Cu tetap bersilat dengan penuh semangat, sama sekali tidak merasakan
betapa pakaiannya sedikit demi sedikit mulai meninggalkan tubuhnya karena terbawa oleh angin. Saking
kerasnya angin, pakaiannya itu mulai robek-robek dan melayang entah ke mana perginya.
Tanpa diketahui oleh Kwan Cu, air laut mulai naik menjadi gelombang besar, membuat air makin
mendekati tempat dia bermain silat! Akhirnya setelah air menyentuh kakinya, barulah pemuda ini terkejut,
seakan-akan air itu menyerangnya. Otomatis dia melompat untuk mengelak dan otomatis pula dia
menendang ke arah air.
Air itu muncrat dan terpental saking kerasnya tenaga tendangannya. Pemuda itu kini melihat ombak besar
mendarat di pantai. Makin gembiralah hati Kwan Cu.
Seperti Ang-bin Sin-kai gurunya yang suka bercanda dengan laut, dia kini menghadapi ombak, bahkan dia
menerjang maju melawan ombak! Hebat sekali pemuda ini. Setiap kali ombak besar menyerangnya, bukan
dia terdorong roboh, bahkan air yang terdampar kepadanya dan yang dipukul atau ditendangnya, menjadi
buyar!
Akan tetapi, makin lama semakin hebatlah air menaik sehingga terpaksa Kwan Cu main mundur, terdesak
oleh air yang makin lama makin dalam, siap untuk menelan tubuhnya. Lagi pula, baru sekarang dia merasa
betapa tubuhnya sudah setengah telanjang, karena pakaiannya telah robek di sana sini dan ujungnya
sudah hilang semua entah terbang ke mana!
Angin bertiup makin keras dan ketika memandang ke arah laut, Kwan Cu membelalakkan matanya. Laut
menjadi demikian buas, dan airnya berombak-ombak tinggi disertai uap yang hitam menggelapkan langit di
atas laut.
Mulai takutlah hati Kwan Cu menghadapi kekuasaan alam yang luar biasa ini. Air kini naik semakin tinggi
seakan-akan hendak menelan pulau itu. Kwan Cu melompat-lompat mundur dan tiba-tiba dia terkejut
setengah mati ketika tanah yang diinjaknya bergoyang-goyang, miring ke sana ke mari seakan-akan pulau
itu berubah menjadi sebuah perahu yang mengambang!
“Aduh, akan kiamatkah dunia?” serunya kaget dan dia lalu berlari-lari ke goanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam berlari ini, beberapa kali dia terhuyung-huyung dan tentu dia sudah jatuh kalau saja ginkang-nya
tidak luar biasa baiknya. Sambil melompat ke kanan kiri mengimbangi goyangan tanah yang makin
menghebat, akhirnya bisa juga dia sampai di dalam goanya.
Ia melihat betapa semua pohon bergoyang-goyang dan daun-daun putih rontok, namun tidak sebatang pun
tumbang. Dia tahu bahwa akar-akar pohon berdaun putih itu sangat banyak dan dalam sekali, maka tidak
mengherankan apa bila pohon-pohon itu demikian kuat menghadapi serangan angin yang demikian
dahsyatnya.
Sampai sehari semalam Kwan Cu berdiam dalam goanya, serasa mabuk dan beberapa kali dia mau
muntah-muntah. Baiknya dia cepat mengerahkan hawa di dalam tubuhnya untuk menekan perut sehingga
isi perutnya tidak terlalu tergoyang oleh ‘gempa bumi’ yang tiada habisnya itu seakan-akan pulau akan
meletus setiap saat!
Goa itu sendiri dindingnya sampai retak-retak, sehingga pemuda itu khawatir kalau-kalau gambar-gambar
di dinding itu akan rusak dan pelajarannya terhalang karenanya. Begitu besar perhatian Kwan Cu terhadap
pelajarannya sehingga dalam keadaan sehebat itu, dia sama sekali tak mengkhawatirkan keselamatan
dirinya, sebaliknya mengkhawatirkan kalau-kalau pelajarannya akan terhalang atau tertunda.
Akhirnya gempa bumi itu reda dan suara ombak yang bergemuruh juga melenyap. Air tadinya telah sampai
di kaki goa di mana Kwan Cu berlindung, hal ini amat mengejutkan hati Kwan Cu karena kejadian ini berarti
bahwa air laut telah naik tinggi sekali.
Matahari bersinar kembali, tanah di mana dia berada tidak goyang lagi. Kwan Cu segera keluar sesudah
menaruh peti kitab dan buntalan pakaiannya yang semenjak kemarin dia peluk saja, terutama peti kitab itu.
Ia melihat bekas-bekas air laut, di mana-mana basah belaka. Akan tetapi, tidak sebatang pun pohon
tumbang, hal ini amat membanggakan hati pemuda ini. Betapa kuatnya pohon berdaun putih. Aku harus
bisa menjadi seorang manusia sekuat dia! Tidak tumbang oleh gelombang hidup yang betapa berat sekali
pun.
Akan tetapi, ketika dia tiba di pantai, dia melihat perahunya telah lenyap. Bukan itu saja, bahkan pulaupulau
kecil yang tadinya dia lihat banyak sekali ada di kanan kiri pulaunya, kini telah berubah arahnya. Ia
menengok ke sana ke mari dan betapa terkejutnya bahwa goanya sekarang juga berubah letaknya.
Biasanya, matahari terbit menghadapi goanya, berarti bahwa goanya itu menghadap ke timur, akan tetapi
sekarang, matahari terbit dari belakang goa. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa goanya itu
telah berubah letaknya, kini menghadap ke barat!
Ataukah matahari yang sekarang muncul dari barat dan tenggelam di timur? Tidak boleh jadi, pikirnya. Dia
kemudian teringat akan goncangan-goncangan pada pulaunya, maka berdebarlah hatinya. Apakah tidak
bisa jadi kalau pulaunya itu yang ‘pindah’? Pulaunya hanyut terbawa ombak yang mengamuk?
Dugaan Kwan Cu yang tidak dipercayanya sendiri itu sebenarnya sangat tepat. Memang pulaunya itu telah
hanyut! Pulau ini sudah terlepas dari dasar laut, dan hanya karena pohon-pohon berdaun putih itu akarnya
tertanam sampai dalam sekali, berpuluh meter panjangnya, yang menolong pulau itu dari kebinasaannya.
Dengan pohon-pohon yang masih tegak di atas pulau, maka tanah pulau itu pun tidak bisa pecah-pecah
dan masih merupakan pulau atau ‘perahu besar’ dari tanah dan pohon dan dengan kuatnya dapat melawan
badai, sungguh pun terpaksa harus pindah tempat karena dorongan ombak yang kuat sekali.
Bukan baru satu kali itu saja pulau itu berpindah tempat, tapi sudah berkali-kali apa bila datang taufan
hebat mengamuk seperti tadi. Sesungguhnya karena keistimewaan pulau ini belaka yang membuat Liu
Pang menyembunyikan Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau itu. Calon kaisar ini maklum bahwa hanya di atas
pulau itu saja maka kitab rahasia ini dapat disimpan dengan sentosa.
Ketika Kwan Cu memperhatikan pulau-pulau di sekitarnya, dia menjadi berdebar tegang. Pulau-pulau itu
sekarang kelihatan gundul dan bersih, dan jumlahnya jauh berkurang dari semula, seolah-olah banyak di
antaranya telah lenyap ditelan ombak. Segera ingatannya melayang kepada para raksasa, Lakayong dan
puterinya Liyani, teringat pula pada Malita dan Malika dan bangsa katai itu. Bagaimana dengan nasib
mereka?
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena perahunya telah lenyap, Kwan Cu segera merobohkan sebatang pohon berdaun putih yang ia tahu
batangnya amat kuat, membuangi cabang-cabang dan ranting-ranting serta daun-daunnya, kemudian
mempergunakan batang pohon itu sebagai perahu! Ilmu kepandaiannya telah meningkat amat tinggi dan
dengan berdiri di atas batang pohon itu yang mengambang di permukaan air, dia dapat mempergunakan
cabang pohon sebagai dayung dan mendayung cepat sekali sambil berdiri!
Mula-mula dia mencari pulau tempat tinggal bangsa katai, dan sesudah dia berkeliling dengan bingung
karena kedudukan pulaunya telah berubah, akhirnya dia mendapatkan pulau bangsa katai itu. Ia lalu
mendarat dengan dada berdebar tegang dan tenggorokan seakan-akan tersumbat sesuatu dan kedua
mata pedas menahan jatuhnya air mata.
Kwan Cu melihat betapa pulau itu telah musnah sama sekali. Bangunan-bangunan kecil semuanya hancur
dan hanya tinggal bekas-bekasnya saja, semua tersapu bersih oleh air yang mengamuk. Kwan Cu
memeriksa semua pulau dan hatinya semakin terharu karena tak seorang pun manusia katai selamat.
Agaknya semua telah hanyut oleh air dan sudah jelas nasib mereka, pasti semua terendam di dasar laut
atau masuk ke dalam perut-perut ikan-ikan besar.
Akan tetapi, saat dia melongok ke dalam sebuah goa, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat
air matanya keluar bercucuran. Di dalam goa itu dia melihat Malita dan Malika, dua orang puteri katai kakak
beradik itu saling peluk, dengan tubuh mereka yang terikat pada batu karang yang kuat, dalam keadaan
sudah tak bernyawa lagi!
Agaknya dalam serangan ombak yang menenggelamkan pulau, mereka sudah berdaya upaya untuk
menolong diri dengan mengikatkan diri sendiri pada batu karang dan saling berpelukan. Akan tetapi
mereka tewas karena tenggelam di dalam air yang menaik tinggi sampai menutupi semua pulau itu!
“Malita... Malika... kasihan kalian ...” kata Kwan Cu yang cepat melepaskan tubuh mereka dari ikatan.
Tubuh kedua orang gadis katai itu tidak kaku, akan tetapi sudah dingin sekali.
Tiba-tiba saja dia mendengar suara burung mayat yang beterbangan di pantai sebelah selatan.
“Tentu di sana terdapat korban lain,” pikirnya.
Ia lalu berlari menuju ke pantai itu dengan maksud mengumpulkan korban-korban untuk dikubur bersama.
Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dari jauh dia melihat tubuh seorang raksasa terbujur di pantai!
Ketika dia berlari cepat dan sampai di tempat itu, dia terbelalak memandang kepada jenazah seorang
wanita raksasa yang bukan lain adalah Liyani!
“Liyani...!” Kwan Cu cepat melompat dan berlutut untuk memeriksa.
Tubuh yang sudah hampir telanjang itu ternyata sudah tidak bernapas lagi, mati seperti Malita dan Malika.
Dengan hati tidak karuan rasa, teringatlah Kwan Cu akan pengalaman dirinya ketika dia berada di pulau
raksasa. Gadis raksasa ini suka kepadanya, dan kini, gadis yang baik hati ini telah tewas dalam keadaan
yang amat memilukan hati.
“Liyani... agaknya kau dan bangsamu juga musnah oleh amukan laut mengganas...!”
Tanpa kesulitan Kwan Cu segera memondong tubuh Liyani yang tinggi besar itu, karena sejak mempelajari
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tenaga pemuda ini sudah meningkat luar biasa sekali. Lalu dia membawa
pulang tiga jenazah itu dengan perahu ke pulaunya.
Ia menggali lubang yang dalam dan lebar, kemudian menurunkan tiga jenazah yang jauh lebih besar
ukuran tubuhnya itu ke dalam lubang. Sampai lama dia memandang kepada tiga mayat itu.
Dia melihat betapa keadaan Malita dan Malika masih cantik, pakaian mereka masih rapi dan rambut
mereka masih tergelung indah. Akan tetapi keadaan Liyani amat memilukan hati. Tubuhnya hampir
telanjang dan gelung rambutnya terlepas, agaknya cukup lama ombak mempermainkannya sehingga dari
pulau raksasa yang begitu jauh dia terdampar ke pulau bangsa katai.
Kwan Cu teringat akan tusuk konde yang dahulu dia terima dari Liyani, maka cepat dia berlari ke dalam
goanya, mengambil tusuk konde itu dari buntalan pakaiannya kemudian kembali ke dalam lubang kuburan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan hati penuh belas kasihan, dia lalu merapikan rambut Liyani yang digelungnya baik-baik dan
sedapat-dapatnya lalu dipasangnya tusuk konde itu di rambut gadis raksasa ini. Tiga orang gadis yang
sudah menjadi mayat itu diletakkan telentang berjajar, Liyani di sebelah kiri. Malita di tengah dan Malika di
sebelah kanan.
Ketika dia hendak menutupi lubang itu dengan tanah, hatinya tidak tega, maka dia cepat mengumpulkan
daun-daun putih yang rontok dan banyak sekali terdapat di pulau itu, dan dengan daun-daun ini dia
menutupi tiga jenazah itu sampai tidak kelihatan lagi. Setelah timbunan daun itu cukup tebal, barulah dia
menutupnya dengan tanah sampai bergunduk tinggi dan di tanamnya sebatang pohon berdaun putih yang
masih kecil di atas gundukan tanah kuburan ini.
Baiknya pulau berpohon putih itu tidak terbinasa oleh taufan dan ombak laut. Kalau saja terjadi demikian,
biar pun andai kata Kwan Cu dapat menyelamatkan diri, dia tentu akan kelaparan pula. Namun ternyata
bahwa semua binatang di pulau itu hanya mengalami kekagetan saja, dan mereka masih sempat
menyembunyikan diri ke dalam goa-goa yang banyak terdapat di pulau itu.
Semenjak saat itu, Kwan Cu, lebih prihatin. Kedukaan dan keharuan hatinya melihat dua bangsa manusia
yang aneh sekali itu yakni bangsa raksasa dan bangsa katai, termusnah oleh kekuasaan alam, membuat
dia semakin yakin akan kekuasaan alam yang dalam sekejap mata dapat memusnahkan dua bangsa
manusia.
Apa daya manusia terhadap kekuasaan alam? Kurang apakah kehebatan dan kekuatan bangsa raksasa
itu? Namun mereka tidak berdaya menghadapi bencana yang dilakukan olah alam maha kuasa. Kurang
bagaimana sederhana dan suci kehidupan bangsa katai itu? Mereka jauh lebih mulia dan suci hidupnya
apa bila dibandingkan dengan manusia biasa, dan kalau pun mereka pernah membuat dosa, agaknya dosa
itu tak sebesar dosa yang biasa di lakukan oleh manusia seperti bangsa Kwan Cu, akan tetapi kalau alam
menghendaki, bangsa yang suci ini pun dapat dimusnahkan!
Kenyataan ini membuat Kwan Cu semakin tunduk kepada kekuasaan alam yang berada dalam tangan
Thian Yang Maha Kuasa dan Sakti. Apa lagi sesudah dia semakin tekun mempelajari ilmu dari kitab Imyang
Bu-tek Cin-keng, terbukalah matanya.
Kitab ini tidak saja mengajarkan ilmu silat-ilmu silat yang tinggi-tinggi, bahkan memberi pelajaran mengenai
pokok-pokok dasar semua ilmu silat dan pergerakan tubuh manusia dalam pertempuran, akan tetapi juga
berisi filsafat-filsafat kebatinan yang sangat tinggi.
Filsafat kebatinan ini condong kepada aliran Lo Cu yang menyatakan bahwa makin tinggi kepandaian
seseorang, maka semakin terbukalah matanya bahwa semua yang di sebut ‘kepandaian’ itu sebenarnya
hanyalah kosong belaka! Makin terbuka mata orang akan kekuasaan alam, makin terasalah olehnya
betapa kecil tak berarti adanya dirinya, betapa menggelikan dan tiada harganya segala macam kepandaian
yang dimiliki manusia!
Oleh karena itu, makin dalam pengetahuan Kwan Cu, dan makin lama dia mempelajari ilmu dari kitab Imyang
Bu-tek Cin-keng, makin sederhana jiwanya dan makin pendiam wataknya. Ia merasa seakan-akan dia
bukan sedang mempelajari ilmu kepandaian, akan tetapi mempelajari ilmu pengertian untuk menemukan
diri sendiri dan untuk mengenal sifat-sifat manusia yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia telah mendapatkan ilmu yang sangat tinggi, mendapatkan semua dasar-dasar dari
segala pergerakan ilmu silat yang semuanya harus berdasarkan kepada tenaga Im dan Yang. Akan tetapi
dengan sadar dia sekarang bisa melihat betapa semua pengetahuannya adalah kosong belaka dan
membuat dia tidak berani menyombongkan kepandaian, karena segala kepandaian manusia dipelajari dari
otak, sedangkan siapakah penggerak otak manusia?
Kalau Yang Maha Kuasa mencabut tenaga dan kegunaan otak, habislah semua yang dianggap oleh
manusia sebagai ‘kepintaran’ itu! Bahkan lebih hebat lagi jika Yang Maha Kuasa menghentikan napas yang
keluar masuk tanpa disengaja oleh manusia, karena akan lenyaplah wujud yang disebut manusia! Apakah
makhluk yang begini lemah, yang mengandalkan hidup dan keadaannya dari pengaruh alam, patut
menyombongkan diri dan menganggap diri sendiri pandai? Menggelikan sekali!
Sang waktu berlalu cepat sekali tanpa dirasakan oleh manusia. Setiap lembar dari kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng, dipelajari Kwan Cu sedikitnya seminggu berikut prakteknya dan dua tahun kemudian, tamatlah
buku ini di pelajarinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Itu pun baru merupakan setengah dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, yakni bagian latihan tenaga
lweekang dan bagian ilmu silat saja. Ketika dia menamatkan bagian ilmu silat dan hendak mulai membuka
lembaran atau bagian ilmu perang, ternyata bahwa bagian ini sudah lengket menjadi satu dan kalau
dipaksa dibuka, lembaran-lembaran itu akan hancur! Di bagian paling bawah terdapat lembaran tentang
ilmu pengobatan, juga halaman-halaman ini tidak dapat dibuka.
Namun, setelah menamatkan bagian ilmu silat, Kwan Cu sudah tiada nafsu lagi untuk mempelajari bagian
lain. Untuk apakah bagian segala pengetahuan tentang ilmu perang? Dia benci akan perang yang hanya
merupakan penyembelihan antara sesama manusia, lepas dari pada persoalan yang menimbulkan perang
itu sendiri.
Ada pun tentang ilmu pengobatan, memang tadinya dia ada hasrat untuk mempelajarinya dan menjadi
agak kecewa ketika melihat bagian ini tidak mungkin dibaca lagi. Akan tetapi pengetahuannya yang mulai
mendalam mengenai garis-garis hidup membuat dia berpikir bahwa betapa pun pandai seseorang
mengobati orang sakit, bila Thian tak menghendaki, si sakit itu takkan tertolong juga!
Sembuh tidaknya seorang penderita penyakit memang tergantung dari pengobatan, hal ini dia percaya
sepenuhnya. Namun baginya, mati hidupnya seorang sama sekali bukan tergantung dari pengobatan. Apa
bila Thian menghendaki nyawa seseorang, walau pun seribu orang dewa datang menolong, orang itu pasti
akan mati juga!
Karena kini kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yakni bagian depan
setelah dia baca telah menjadi hancur dan robek-robek sedangkan bagian belakang telah lengket-lengket
tak dapat dibuka, maka Kwan Cu lalu mengubur kitab itu berikut petinya, di dekat makam tiga orang gadis,
yakni Liyani, Malita dan Malika.
Juga di atas ‘kuburan’ kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini dia letakkan tanda batu karang besar. Kemudian
dengan telunjuknya dia mencoret-coret batu karang itu dan... bukan main hebatnya, ternyata bahwa di atas
batu karang yang keras itu telah terdapat tulisan tangan yang amat jelas. Tulisan itu berbunyi seperti
berikut:
‘Teecu Lu Kwan Cu telah menerima petunjuk dan selamanya teecu akan mentaati semua pelajaran yang
teecu terima serta bersumpah untuk mempergunakan segala pelajaran demi kebaikan dan
perikemanusiaan.’
Kurang lebih sebulan kemudian, nampak pemuda itu membawa buntalannya, menyeret perahu buatannya
sendiri, menuju ke air laut yang tenang. Ia meluncurkan perahu ke air, melompat ke dalam perahu sambil
memegang dayung, lalu mendayung perahu itu ke tengah samudera.
Tidak lama kemudian, dia menghentikan gerakan tangannya yang mendayung perahu, menengok ke arah
pulau itu. Semua kelihatan jelas, bahkan pohon yang tumbuh di atas makam Liyani, Malita dan Malika kini
sudah tinggi. Juga batu karang yang ditulisinya itu kelihatan dari perahunya.
Segala pengalaman selama tiga tahun di atas pulau itu terbayanglah. Basah kedua mata Kwan Cu dan dia
cepat menyusutkan dengan ujung lengan bajunya yang sudah kumal. Kemudian dia menarik napas
panjang dan mendayung perahunya lagi.
Tak lama kemudian dia sudah memasangkan layar yang dibuatnya dari pakaiannya yang disambungsambung,
dan meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke utara, ke arah daratan tanah Tiongkok. Tak
seorang pun di daratan Tiongkok tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda yang telah mewarisi
kepandaian luar biasa dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, seorang pendekar yang sakti, sedang menuju ke
daratan Tiongkok, dan akan terjadilah sejarah baru dalam dunia kang-ouw!
********************
Sebaliknya, Kwan Cu yang sekarang telah berusia dua puluhan itu sama sekali tidak tahu bahwa selama
dia pergi dari daratan Tiongkok, yakni selama kurang lebih empat tahun, di Tiongkok telah terjadi
perubahan besar sekali. Telah terjadi hal-hal yang amat hebat!
Sebagaimana sudah diceritakan di bagian depan, pada masa itu, Kaisar Kerajaan Tang ialah Kaisar Hian
Tiong yang terkenal sebagai seorang yang amat doyan pelesir, mencari kesenangan dan hiburan bagi diri
dunia-kangouw.blogspot.com
sendiri belaka, sama sekali tidak mau mempedulikan pemerintahannya, apa lagi keadaan rakyatnya. Oleh
karena itu, secara sembrono sekali kaisar ini mengangkat An Lu Shan sebagai panglima besar di utara,
dan sama sekali dia tidak menaruh dugaan atau kecurigaan terhadap An Lu Shan. Bahkan sampai pada
saat An Lu Shan sudah membentuk pasukan yang besar dan mempunyai niat memberontak, kaisar ini
masih enak-enak saja berpelesiran di istananya yang indah, tentu saja dengan dikelilingi oleh selir-selirnya
yang banyak jumlahnya dan yang rata-rata amat cantik jelita dan muda-muda!
Bukan sampai di situ saja kelalaian Kaisar Hian Tiong. Bahkan ketika An Lu Shan mulai menggerakkan
tentaranya ke selatan, kaisar ini masih tinggal enak-enakan saja di dalam istananya.
“Bentuk pasukan, hancurkan pemberontakan bodoh itu, apa sih sukarnya?” katanya acuh tak acuh,
seakan-akan yang dihadapinya hanya persoalan kecil belaka.
Para menteri yang berwatak jujur dan setia lalu tergopoh-gopoh menghadap kaisar untuk memperingatkan
junjungan ini dari pada mabuk dan mimpinya. Akan tetapi kaisar tetap tinggal enak-enak, bahkan mencaci
para menteri itu sebagai pengecut-pengecut besar!
Menteri Lu Pin yang dianggap menteri tertua yang paling setia dan disegani oleh kaisar, segera didatangi
oleh para menteri dengan desakan agar Menteri Lu Pin suka memberi peringatan kepada kaisar.
Menteri Lu Pin lalu menghadap kaisar, namun diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan ucapan menyindir.
“Apakah kau yang terkenal sebagai menteri jujur, setia dan keturunan panglima gagah perkasa, juga
berhati pengecut seperti mereka itu dan hendak menakut-nakuti aku?”
Merahlah wajah Lu Pin mendengar sabda kaisar ini. Ia memberi hormat dengan berlutut sambil berkata,
“Harap Sri Baginda segera sadar dari keadaan Sri Baginda yang tidak sewajarnya ini. Sebenarnya para
perdana menteri dan panglima itu memberi nasehat amat baik kepada Paduka. Demikian pula kedatangan
hamba menghadap ini bukan karena hamba berhati pengecut, melainkan karena hamba melihat datangnya
bahaya besar yang mengancam keselamatan negara kita. Sadarlah Paduka dari mimpi, keadaan kita
benar-benar sudah terancam bahaya besar sebab tentara An Lu Shan si pemberontak jahat itu telah makin
jauh menyerang ke selatan.”
Marah sekali Kaisar Hian Tiong mendengar ini. Ia menggebrak meja dan menudingkan jari tangannya ke
arah pintu.
“Pergi! Pergilah! Hendak kulihat sampai di mana kebisaan An Lu Shan! Mustahil kalau para barisan
penjaga kita dapat dia bobolkan!”
Dengan hati terpukul, Menteri Lu Pin lalu keluar dari ruangan itu dan menuturkan kepada para menteri lain
atas kegagalannya itu dengan suara penuh kekecewaan dan kedukaan. Hati para menteri itu tidak senang
ketika mendengar bahwa kaisar tetap saja tenggelam dalam mimpi buruk. Keadaan sudah amat berbahaya
dan apa bila para pemberontak itu sampai berhasil memasuki kota raja, tentu mereka sekeluarga sekarang
takkan selamat pula. Hal ini yang melemahkan semangat mereka.
Ketika para mata-mata An Lu Shan datang menghubungi mereka, sebagian besar para menteri ini lalu
menerima uluran tangan para pemberontak. Demi keselamatan seluruh keluarga dan harta benda serta
kedudukan mereka, para menteri ini tidak segan-segan untuk berkhianat dan memihak pemberontak.
Diam-diam mereka memberi kesanggupan kepada An Lu Shan bahwa apa bila tentara pemberontak itu
memasuki kota raja, mereka diam-diam akan mengadakan bantuan dari dalam supaya pembobolan
benteng kota raja dipermudah!
Menteri Lu Pin dapat membuka rahasia mereka ini. Dengan hati sangat berang, menteri yang setia ini
segera menghadap kaisar dan membeberkan semua rahasia para menteri yang berkhianat. Kaisar sangat
marah dan baru sadar akan keadaan yang memang amat berbahaya.
Segera dia memeritahkan pasukan pengawal untuk menangkap-nangkapi para menteri dorna itu dan
menghukum penggal kepala sekeluarga mereka! Sesudah melakukan hal ini, kaisar lalu menggerakkan
barisan untuk mempertahankan kerajaan.
Akan tetapi, hal ini benar-benar merupakan pengobatan yang sudah amat terlambat bagi penyakit yang
dunia-kangouw.blogspot.com
berat. Dengan dihukumnya para menteri, keadaan menjadi semakin kalut dan lemah. Kalau saja Kaisar
Hian Tiong dari dahulu sadar pada waktu para menteri itu belum memiliki hati khianat, agaknya keadaan
masih dapat diharapkan akan tertolong.
Terlambatlah semua usaha kaisar ini. Barisan pemberontak An Lu Shan telah menerobos dan memasuki
kota raja! Pertahanan kaisar hancur luluh!
Dalam kekacuan yang menghebat ini, Menteri Lu Pin menjadi tujuan pertama dari An Lu Shan. Tentu saja
An Lu Shan telah mendengar bahwa Menteri Lu Pin inilah yang sudah menggagalkan rencananya
menghubungi para menteri, dan bahwa Menteri Lu Pin yang membuka rahasia para menteri pengikutnya
sehingga para menteri dorna itu sekeluarga dijatuhi hukuman mati oleh kaisar. Karena itu, begitu
memasuki kota raja, An Lu Shan memerintahkan semua anak buahnya untuk pertama-tama mencari
Menteri Lu Pin dan membunuh serta membasmi seluruh keluarganya!
Akan tetapi, atas desakan keluarganya, Manteri Lu Pin siang-siang sudah melarikan diri, mengungsi
dengan dikawal oleh pasukan panglima yang setia. Diam-diam Menteri Lu Pin mengumpulkan harta benda
dari istana dalam satu peti besar, bukan dengan niat hendak mempergunakan harta benda itu untuk dirinya
sendiri, akan tetapi dia bercita-cita besar hendak melarikan harta benda itu supaya jangan terjatuh ke
dalam tangan pemberontak dan kelak dapat dia pergunakan untuk membiayai pasukan yang akan
dipimpinnya untuk memukul mundur para pemberontak itu!
Kota raja diduduki, dan sungguh malang nasib keluarga Menteri Lu pin. Semua keluarga, dari yang tua
sampai anak bayi, dikumpulkan dan dibakar hidup-hidup oleh An Lu Shan! Bahkan Lu Seng Hok, puteri Lu
Pin atau ayah dari Lu Thong sekeluarganya juga dibasmi dalam pembersihan ini, tidak terkecuali para
bujang pelayan! Hanya Lu Thong seorang yang sedang dibawa pergi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yakni
gurunya, yang tidak ikut menjadi korban.
Lu Pin mendengar tentang berita ini dan di sepanjang jalan, kakek ini menangis keras, bukan semata-mata
karena menyedihi kebinasaan seluruh keluarganya. Memang kakek ini memang berjiwa patriot dan sangat
setia kepada pemerintah, maka sambil menangis ia bersembahyang dan bersumpah bahwa ia akan
menuntut balas kepada pemberontak An Lu Shan! Melihat kesetiaan ini, tiga orang panglima besar yang
turut mengawalnya bersama pasukan kecil, ikut pula menangis.
Akan tetapi An Lu Shan ternyata bukan orang bodoh dan sebentar saja dia sudah dapat mendengar ke
mana larinya Menteri Lu Pin yang dibencinya itu. Segera dia mengirim pasukan besar untuk melakukan
pengejaran terhadap Lu Pin serta rombongannya! Tiga hari kemudian, benar saja pasukan gerak cepat ini
berhasil menyusul rombongan Menteri Lu Pin.
Terjadilah pertempuran hebat. Pasukan pengawal Menteri Lu Pin melakukan perlawanan mati-matian,
namun jumlah pasukan pengejar jauh lebih besar sehingga banyak di antara mereka roboh. Akhirnya
hanya tiga orang panglima besar itu saja yang masih sempat menggendong Menteri Lu Pin dan membawa
peti harta dan melarikan diri.
Namun tentu saja para pengejar yang telah mendengar bahwa menteri tua itu membawa sepeti harta
benda yang tak ternilai harganya, melakukan pengejaran cepat sekali. Tiga orang panglima ini mempunyai
kepandaian tinggi, maka mereka berhasil membawa pergi Menteri Lu Pin. Namun, kalau mereka sampai
tersusul, menghadapi pengeroyokan yang demikian banyaknya, mana mereka mampu mempertahankan
diri?
Sudah sehari semalam mereka melarikan diri, terus dikejar oleh barisan pemberontak. Akhirnya, pada esok
paginya, ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang amat liar, kuda-kuda yang ditunggangi oleh tiga
orang panglima yang membawa lari Menteri Lu Pin, roboh dan tewas saking lelahnya. Padahal para
pengejar sudah begitu dekat hingga suara teriakan mereka telah terdengar riuh rendah.
“Kita terpaksa melawan mati-matian!” berkata tiga orang panglima yang gagah berani itu.
Menteri Lu Pin mengalirkan air mata. “Sudah terlalu banyak orang menjadi korban karena aku seorang,
padahal bukan maksudku untuk menyelamatkan badan yang sudah tua dan tak berharga ini. Sam-wi
Ciangkun (Tiga Panglima), harap Sam-wi membawa pergi harta ini dan usahakan agar supaya dapat
dibentuk pasukan baru guna menumpas penjahat An Lu Shan dan membalaskan sakit hati kerajaan kita.
Biarkan aku mereka tangkap, aku tidak takut mati.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun tiga orang panglima itu menolak. “Harta benda ini tiada artinya bagi kami bertiga. Tanpa adanya
Taijin yang bijaksana untuk mengatur, bagaimana dapat dibentuk pasukan besar? Tidak, Taijin, kalau
sudah semestinya kita mati, biarlah kita bersama-sama mati di tempat ini! Namun kami berjanji bahwa
penjahat-penjahat itu takkan mudah begitu saja untuk merenggut nyawa kita!” Sambil berkata demikian,
tiga orang panglima itu segera mencabut golok besar mereka dan menanti dengan penuh semangat.
Maka datanglah para pengejar itu dan mereka menyerbu bagai taufan mengamuk! Tiga orang panglima
perang itu menjaga Menteri Lu Pin yang berdiri di tengah-tengah. Mereka merupakan benteng segitiga
yang amat kuat sehingga para pemberontak yang terdekat segera terjungkal mandi darah akibat terlanggar
golok mereka yang tajam dan kuat.
Hebat sekali perang tanding yang tidak seimbang ini. Datangnya pemberontak bagaikan semut dan tak
lama kemudian, tiga orang panglima itu sudah lelah sekali. Mereka mulai menerima bacokan yang
mendatangkan luka, namun mereka tetap mengamuk bagaikan banteng-banteng terluka!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Menteri Lu Pin bersama tiga orang pengawalnya, tiba-tiba saja
terdengar teriakan-teriakan kaget dan kepungan para pemberontak menjadi kacau balau. Dan tak lama
kemudian, nampaklah tubuh para pemberontak terpental dan terlempar ke sana ke mari, seakan-akan ada
seorang raksasa perkasa yang menangkap-nangkapi dan melempar-lemparkan tubuh mereka.
Menteri Lu Pin memandang. Dia menjadi amat terharu pada waktu melihat bahwa yang sedang mengamuk
sambil memaki-maki para pemberontak itu bukan lain adalah Lu Sin atau Ang-bin Sin-kai kakaknya sendiri!
“Anjing-anjing pemberontak yang busuk! Kalian berani menganggu adikku yang tercinta?” berkali-kali Angbin
Sin-kai memaki.
Setiap kali tangannya diulur, tentu ada dua tiga orang pemberontak yang ditangkapnya dan
dilemparkannya sampai jauh. Ada pula yang ditendang seperti seorang menendang bal karet saja. Tubuh
para pemberontak melayang dan jatuh dengan kepala pecah atau tulang patah.
Keadaan amat kacau balau, ada pun para pemberontak menjadi gentar dan ngeri melihat sepak terjang
Ang-bin Sin-kai yang pada saat itu kelihatan sangat menyeramkan. Kakek pengemis itu yang biasanya
bermuka merah, kini menjadi makin merah mukanya. Kedua matanya bersinar-sinar, rambutnya terurai
serta jenggotnya melambai-lambai mengikuti gerakannya yang kuat dan cepat, pakaiannya pun robek di
sana-sini.
Ketika melihat kakek pengemis ini, ada dua orang perwira pemberontak menjadi sangat penasaran. Kakek
pengemis itu kurus dan tua, bertangan kosong pula, masa tidak dapat merobohkannya? Mereka melompat
turun dari atas kuda dan dengan pedang di tangan, kedua orang perwira itu menyerang Ang-bin Sin-kai
yang masih saja mengamuk dan melempar-lemparkan para pemberontak yang berada di hadapannya.
Ketika dua pedang dari kanan kiri itu menyambar dekat, tiba-tiba dia membuat gerakan seperti seekor
burung garuda hendak terbang. Kedua lengannya dipentang ke kanan kiri dan hebat bukan main, tahu-tahu
dia sudah dapat mencekik batang leher kedua perwira pemberontak itu, dan pedang mereka terpental saat
beradu dengan jari-jari tangan kakek ini.
Ang-bin Sin-kai maklum bahwa untuk dapat mengundurkan para pemberontak, dia harus menjatuhkan
pimpinan mereka. Karena itu ketika dia melihat bahwa yang terpegang oleh kedua tangannya adalah
perwira-perwira pemberontak, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas membenturkan kepala mereka satu kepada
yang lain!
Terdengar suara keras, suara batok kepala yang pecah karena saling bentur dan Ang-bin Sin-kai
melemparkan kedua tubuh perwira pemberontak yang kepalanya sudah pecah itu ke atas sampai tinggi.
“Lihat pemimpin-pemimpinmu ini, hai anjing-anjing pemberontak! Siapa yang berani mati hendak mengukur
tenaga dengan Ang-bin Sin-kai, boleh lekas maju!”
Suara ini dikeluarkan dengan nyaring dan menyeramkan. Tentu saja para pemberontak menjadi makin
ketakutan ketika melihat bahwa dua orang pimpinan mereka sudah tewas. Apa lagi pada waktu mereka
mendengar nama Ang-bin Sin-kai yang telah amat terkenal, tanpa pikir panjang lagi mereka lalu melarikan
diri. Suara derap kaki kuda menjauh dan tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap, kecuali
suara keluhan para anggota pemberontak yang tergeletak di sana-sini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang panglima pengawal Menteri Lu Pin menjadi kagum sekali, mereka kemudian memandang
kepada Ang-bin Sin-kai sambil menjura sebagai tanda terima kasih. Namun Ang-bin Sin-kai tidak
memperhatikan mereka, melainkan datang menghampiri Menteri Lu Pin dan berkata sambil tersenyum
pahit,
“Inilah jadinya kalau kau membantu kaisar lalim!”
Menteri Lu Pin sejak tadi telah basah matanya. Mendengar ucapan ini, dia mengedikkan kepala dan
berkata keras,
“Twako, aku bukan berjuang untuk kaisar, melainkan untuk tanah air dan bangsa! An Lu Shan telah
berkhianat dan merusak negara, semua bukan semata kesalahan kaisar, tapi para petugas juga
mempunyai bagian dalam kesalahan itu. Aku telah bersumpah hendak membalas dendam kepada An Lu
Shan, dan aku sengaja pergi membawa harta benda di dalam peti ini untuk membentuk pasukan baru agar
dapat mengusir penjajah khianat itu dari kota raja!”
“Adik Pin, suaramu seperti harimau ompong tak berkuku yang meraung-raung! Kau yang begini lemah
bagaimana dapat mengusir An Lu Shan dengan pasukannya yang dibantu oleh orang-orang pandai?” kata
Ang-bin Sin-kai.
“Kita sama lihat saja nanti!” jawab Menteri Lu Pin gagah. “Meski pun aku seorang lemah, hanya seorang
seniman bodoh, tapi semangatku masih tinggi, Sin-ko. Soal orang-orang pandai, ada kau di sini, takut
apakah?”
Melihat sikap adiknya, Ang-bin Sin-kai menjadi terharu sekali.
“Orang bodoh, kau kira aku tak tahu akan semua yang terjadi? Aku amat kagum padamu, Adikku. Kau
memang patut menjadi teladan semua pembesar dan pemimpin rakyat. Kau tidak tahu bahwa sejak kau
keluar dari kota raja, secara diam-diam aku selalu mengikuti kau. Aku sudah mendengar pula tentang nasib
keluargamu. Ahh, adikku yang gagah, kau menderita demikian hebat akan tetapi masih bersemangat
membela negara, benar-benar aku pengemis hina-dina merasa bangga dan juga malu kepada diri sendiri.”
“Sin-ko, jangan kau berkata begitu...”
Menteri Lu Pin mencucurkan air mata saking terharunya. Dia cepat menghampiri kakek pengemis itu dan
kedua orang kakak beradik ini berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Dari kedua mata Ang-bin Sin-kai berlinang dua butir air mata. Inilah adik kandungnya, menteri setia yang
berjiwa patriot asli! Dan adiknya ini padahal seorang lemah yang tidak mengerti ilmu silat! Sedangkan dia,
orang yang semenjak kecil mempelajari kepandaian silat, tidak mengacuhkan sama sekali tentang
keselamatan tanah air!
Ketika berpelukan dengan Menteri Lu Pin, terbangunlah semangat dalam dada Ang-bin Sin-kai. Tidak patut
dia disebut seorang gagah apa bila dia tidak dapat berbuat seperti adiknya ini, tidak dapat mengorbankan
diri untuk rakyat dan negara. Ia tahu bahwa An Lu Shan mendapat bantuan dari orang-orang pandai, di
antaranya Hek-i Hui-mo sendiri juga menjadi sekutu An Lu Shan. Siapakah akan dapat menghadapi
mereka jika tokoh-tokoh seperti dia tidak mau turun tangan?
“Adik Pin, kau betul. Harta ini harus kau simpan baik-baik sehingga dengan diam-diam kau dapat
mengerahkan kesatuan yang kuat, atau setidaknya dengan harta ini kau dapat membantu pengerahan
para pasukan rakyat untuk bergerilya. Aku tahu sebuah tempat persembunyian yang sangat baik, Adikku.
Pergilah ke timur, di sebelah bukit ini terdapat pegunungan dan sesudah kau menyeberangi sungai kecil,
kau akan melihat hutan pohon pek. Di sebelah selatan hutan itu terdapat sebuah goa besar yang penuh
tulang belulang binatang purbakala yang besar-besar. Goa itu lebar sekali, aku pernah menggunakannya
sebagai tempat bertapa. Kau bawalah harta ini dan kau bersembunyilah di goa itu. Goa itu tertutup oleh
serumpun pohon bunga cilan yang lebat sekali, takkan terlihat dari luar. Aku sendiri akan segera ke kota
raja dan akan kuhajar An Lu Shan dan kaki tangannya. Selamat berpisah adikku!”
Bukan main girangnya hati Menteri Lu Pin mendengar ini. Memang dia sangat kecewa melihat kakaknya
yang sakti ini di kala terjadi perang, tidak muncul sama sekali. Memang mereka sekeluarga adalah
keturunan patriot ternama, sudah selayaknya kalau kakaknya pun bersikap sebagai seorang pahlawan
dunia-kangouw.blogspot.com
bangsa.
“Terima kasih, Sin-ko. Semoga perjuanganmu berhasil,” jawabnya.
Dua orang kakak beradik ini kembali berpelukan, disaksikan oleh ketiga orang panglima yang memandang
dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Mereka menjadi saksi dari pertemuan dua orang kakak
beradik yang berjiwa gagah, namun yang keadaannya amat berlainan, seorang kakek pengemis dan
seorang menteri setia, namun keduanya gagah perkasa dalam bidang masing-masing. Mereka kemudian
berpisah dan tiga orang panglima itu melanjutkan kawalan mereka terhadap Menteri Lu Pin, menuju ke
tempat yang ditunjukkan oleh Ang-bin Sin-kai.
Benar saja seperti petunjuk dari Ang-bin Sin-kai, mereka mendapatkan goa besar yang amat lebar itu dan
di situ penuh dengan tulang-tulang besar yang putih dan kuat. Selain ini juga di sebelah ruangan kecil di
dalam goa itu mereka mendaparkan sebuah hiolouw (tempat hio atau tempat abu hio) yang amat besar
dan kuno.
Hiolouw ini biasanya dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk membakar akar-akar dan dupa untuk
mengusir hawa busuk dari dalam goa. Melihat tulang-tulang berserakan itu, Menteri Lu Pin tertarik sekali
hatinya. Dia adalah seorang ahli ukir yang kenamaan dan pandai, melihat tulang-tulang ini dia merasa
amat tertarik dan gembira. Tulang-tulang itu merupakan bahan yang baik sekali untuk diukir.
Setelah membereskan dan membersihkan tempat itu, Menteri Lu Pin lalu menyuruh tiga orang panglima
pengawalnya untuk mulai menghubungi para pejuang rakyat. Mereka lalu ditugaskan untuk memperkuat
pasukan-pasukan rakyat yang ikut melakukan perlawanan terhadap pemberontak An Lu Shan. Mereka
disuruh membawa sebagian dari pada harta istana itu untuk membiayai dan membantu pergerakan rakyat
dan sewaktu-waktu datang ke goa itu memberi laporan.
Ada pun Menteri Lu Pin yang hidup seorang diri di dalam goa, mendapatkan makanan dari buah-buahan
yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dalam waktu senggang, dia mulai membuat ukir-ukiran pada tulangtulang
besar tadi.
Menteri Lu Pin tinggal sampai bertahun-tahun di situ dan sudah menciptakan ukir-ukiran berupa tengkoraktengkorak
manusia yang luar biasa besarnya, semua dibuatnya dari tulang-tulang itu sehingga tengkoraktengkorak
atau rangka-rangka manusia raksasa itu seperti tulen, terbuat dari pada tulang-tulang! Ia
mengatur dan menyambung-nyambung tulang-tulang ini, didirikan di sepanjang terowongan goa, berjajar
seperti barisan raksasa yang menjaga goa, namun raksasa yang telah menjadi rangka yang amat
menyeramkan!
Memang, Menteri Lu Pin membuat ini tidak saja untuk menimbulkan daya khayalnya agar menjadi
kenyataan, namun juga dengan maksud supaya para penjahat yang iseng-iseng dan kebetulan masuk ke
goa itu, akan menjadi ketakutan lalu mundur kembali setelah melihat rangka-rangka raksasa yang benarbenar
menyeramkan sekali itu…..
********************
Walau pun An Lu Shan telah berhasil merebut kedudukan Kaisar Hian Tiong, akan tetapi ternyata bahwa di
mana-mana rakyat tak mau terima begitu saja. Pemberontakan terjadi di mana-mana di kalangan rakyat
jelata. Di sana-sini rakyat lalu melakukan perlawanan terhadap barisan An Lu Shan sehingga boleh di
bilang bahwa An Lu Shan tak dapat tidur nyenyak! Dia sudah melakukan banyak usaha untuk menumpas
perlawanan rakyat ini, akan tetapi bagaimana dia dapat memadamkan gelora dalam hati rakyat yang tidak
sudi melihat dia menduduki singgasana kaisar?
Tadinya Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan beberapa tokoh besar lain membantu usaha ini, menumpas
perlawanan rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi sesudah beberapa tahun perlawanan rakyat bukannya
mereda bahkan makin menghebat, diam-diam Jeng-kin-jiu dan yang lain-lain sadar serta terkejut.
Barulah mereka tahu bahwa sebenarnya rakyat tidak suka kepada pemberontakan An Lu Shan! Apa lagi
ketika kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan rakyat ini, diam-diam Jeng-kin-jiu
menjadi gentar. Dia lalu berunding dengan Hek-i Hui-mo dan yang lain-lain.
“Kalau begini, kita sudah menempatkan diri dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum menghebat
keadaan ini, lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pada kekeruhan ini,” kata
dunia-kangouw.blogspot.com
Jeng-kin-jiu.
Memang mereka merasa ngeri kalau teringat akan ucapan Ang-bin Sin-kai bahwa kelak mereka akan mati
sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dengan nama busuk selama ratusan tahun! Setelah
mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An Lu Shan dan menyatakan bahwa kini sesudah
kerajaan digulingkan, mereka hendak kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Tentu saja An Lu Shan menjadi amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan tokoh-tokoh besar
ini, bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal berupa harta benda yang sangat besar
jumlahnya dan dengan demikian dia dapat menarik janji mereka bahwa sewaktu-waktu bila mana ada
kesulitan menimpa kerajaan, orang-orang pandai ini bersedia untuk membantunya.
Sepeninggal orang-orang sakti ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada para anak buahnya untuk
melakukan kekerasan berlipat ganda kepada pemberontak. Mereka yang tertangkap, lalu disiksa di tempat
umum agar rakyat dapat melihatnya. Keganasan dan kekejaman terjadi di mana-mana dan biar pun rakyat
menjadi takut sekali, namun hal ini menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu
Shan…..
********************
Pada suatu hari, di kota Thian-cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai sekali. Tanah
lapang ini menjadi markas pasukan An Lu Shan yang melakukan ‘operasi’ secara berpindah-pindah. Di
kota mana saja mereka tiba, mereka mendirikan tenda dan mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang
mereka cap sebagai pemberontak untuk menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka.
Dalam hal ini tentu terjadi hal-hal dan cara yang amat kotor. Para petugas ini mendatangi orang-orang
biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai pemberontak. Kalau yang diancam ini mempunyai harta,
tentu dia tak segan-segan untuk mengeluarkan emas dan perak untuk menyogok agar dirinya selamat.
Ada pula yang sengaja menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga dengan jalan
mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada pembesar setempat supaya keluarga itu
bebas dari pada siksa dan kebinasaan! Masih banyak lagi hal-hal kotor yang terjadi dan dilakukan oleh
orang yang bermoral rendah, baik oleh anak buah An Lu Shan mau pun oleh pembesar-pembesar
setempat yang telah mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala pasukan yang beroperasi itu.
Penduduk Thian-cin dipaksa meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan dijalankan di
tempat terbuka, di suatu lapangan rumput dekat markas pasukan itu. Hal itu di sebut sebagai hari istimewa
karena menurut pengumuman kepala pasukan, yang akan menjalani hukuman adalah para pemimpin
gerombolan yang tertawan, yang jumlahnya ada sepuluh orang.
Penduduk berbondong datang ke tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang tersiksa, akan
tetapi akibat dipaksa oleh para anggota pasukan untuk datang menonton, dan juga karena ingin tahu
siapakah gerangan sepuluh orang yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pejuang rakyat itu.
Di tengah-tengah lapangan itu, sepuluh orang laki-laki diikat pada tiang-tiang dan mereka ini benar-benar
tidak patut di sebut pemimpin-pemimpin pejuang karena pakaian mereka seperti orang-orang sastrawan
dan mereka kelihatan lemah. Wajah mereka pucat-pucat dan mereka tergantung kepada tiang dengan
kepala menunduk.
Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam dengan sikap garang, sedangkan para
penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu. Kemudian datanglah
sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata mempunyai tubuh tinggi besar
dan nampak kuat luar biasa. Sambil memutar-mutar cambuknya, mereka menyeringai dan masing-masing
menghampiri para korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.
Seorang perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton kemudian berkata dengan suara
keras.
“Lihat, beginilah nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!” teriaknya dan
mulailah dia menghitung, “Satu...!”
Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tarrr...!”
Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh pada tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan
terdengar dan baju pun mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet.
Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini patut disebut sebagai pemimpinpemimpin
gerombolan? Mereka begitu lemah!
Sebenarnya, mereka ini adalah sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan
mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara mereka yang
tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.
“Dua...!” Komandan itu memberi aba-aba.
Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba
berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena
tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!
Mereka cepat memandang dan dapat melihat seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah
berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan
sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,
“Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini.”
Sambil berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan
dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu sudah terlepas dari ikatan tangan mereka! Semua
orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan
tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!
Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok
terhunus.
“Kau siapakah berani mati mengacau disini? Apa kehendakmu?” Biar pun bersikap galak, akan tetapi para
perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian
pemuda aneh ini.
“Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu tidak akan kuat
menerima lima puluh kali cambukan. Apa bila memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah
aku yang akan mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas
dapat merasa puas.”
Para perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda ini
tentulah salah seorang dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang
yang tidak waras otaknya.
“Kau benar-benar hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh orang dan
masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali
cambukan?” tanya seorang perwira.
Pemuda itu menoleh ke arah penonton. Pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang
berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan tapi sinar matanya mengandung pengaruh
yang luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan
wajah pemuda yang tadinya sangat keruh dan muram segera berubah girang.
“Boleh, boleh, sesukamulah!” katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali
wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, “Aku memang sudah patut menerima
hukuman lima puluh kali cambukan atas semua dosa-dosaku!”
“Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!” bentak komandan itu.
“Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku
dunia-kangouw.blogspot.com
adalah lima puluh kali!” jawab pemuda itu yang segera menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan
memeluk tiang di belakang tubuhnya.
Komandan itu menjadi gemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang yang gila, pikirnya. Lebih
baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang ‘bijaksana’ dan
yang berlaku adil.
“Rakyat semua!” serunya memandang pada penonton. “Orang muda ini dengan sesuka sendiri mau
mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima
permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai
gantinya, kalian diharuskan membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari
lamanya!”
Sepuluh orang itu saling pandang seperti tak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah
mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi
juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.
“Saudara yang baik, apakah kau benar-benar sudah yakin akan menolong kami sepuluh orang? Cambukan
lima ratus kali akan merenggut nyawamu,” berkata seorang di antara bekas tawanan itu.
Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,
“Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?”
Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton, akan tetapi tentu saja mereka tidak mau
pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.
“Hayo, pukul aku!” teriak pemuda ini.
Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda agar segera mulai
menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan
wajahnya menyeringai gembira. Kali ini dia menghadapi sebuah pengalaman yang aneh.
Ia telah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan hanya dengan tiga kali
cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang tadi dengan secara sangat aneh
dapat merampas cambuknya, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa.
Dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, pemuda ini sudah dapat merampas cambuk sepuluh orang
algojo, dan cambuk-cambuk itu lantas dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh. Ketika para
algojo mengambil cambuk mereka masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang
terbuat dari pada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!
Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan juga gentar. Akan tetapi sesudah sekarang
pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa
dan menggembirakan.
Dengan lagak gagah, algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman lalu mengangkat cambuk tak
bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali, lantas dengan sekuat
tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan
pada tiang oleh seorang algojo lain.
“Tarrr...!”
Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan
cambuk itu akan putus atau setidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang tingkah
lakunya seperti orang gila ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa.
Baju pemuda itu robek, sedangkan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu
mengerutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia agaknya sama
sekali tak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia lalu pejamkan kedua matanya untuk menahan
jatuhnya air mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya yang mulai robek
di sana-sini. Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil meramkan kedua
matanya.
“Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati. Biarlah Suhu
menganggap ini sebagai hukuman terhadap teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh
orang-orang jahat...”
Tak seorang pun di antara para penonton mau pun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud katakata
itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu.
Sastrawan ini memandang tajam, kemudian menghela napas dan dia berkata perlahan,
“Dia benar-benar menerima hukuman ini dengan suka rela. Ahhh... orang inilah harapan rakyat...! Benarbenar
dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan
mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu!
Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya
mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu? Orang ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat
jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu!
Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu
Fu dapat ikut menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu.
Sebagaimana sudah diceritakan pada bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan
dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Dia teringat akan pesan
suhu-nya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhu-nya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan
perahunya ke pantai ini.
Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat ditempuhnya dengan sangat mudah, karena kini dia
bukanlah Kwan Cu seperti pada empat tahun yang lalu. Tanpa dia sadari, kepandaiannya telah meningkat
puluhan kali, bahkan ratusan kali dan betul-betul dia kini telah menjadi seorang yang sakti.
Sesudah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil. Kemudian dia
bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang
pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.
Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian
itu, karena memang sesudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pemuda ini
pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah pula dikuasai oleh nafsu dan pertimbangan
otak sendiri.
Mata hatinya telah terbuka mengenai kekuasaan Thian. Dia percaya sepenuhnya bahwa semua peristiwa
di dunia ini sebenarnya dilakukan oleh manusia, akan tetapi keputusan terakhir tetap di tangan Thian. Oleh
karena ini, betapa pun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya
pasukan pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!
Hanya satu hal yang terpikir olehnya pada saat dia mendengar itu, bahwa suhu-nya tentu pergi ke kota
raja. Suhu-nya merupakan kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula. Peristiwa
perpindahan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat pada Menteri Lu Pin. Mustahil bila Angbin
Sin-kai diam saja dan tidak menengok keadaan kota raja.
“Pasti Suhu berada di kota raja dan tidak aneh apa bila aku mendapatkan dia di dapur istana, siapa pun
juga kaisarnya yang menempati istana itu,” pikir Kwan Cu dengan geli mengenangkan kesukaan gurunya
menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.
Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan ini, dia mendengar pula
mengenai usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan meski dia melihat betapa keadaan
memang benar-benar berubah, namun tidak mempengaruhi ketenangan batinnya.
Dia melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang
pemuda tampan sederhana yang berpakaian amat buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping
dunia-kangouw.blogspot.com
pakaian butut itu, harta lain satu-satunya adalah suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong.
Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengungsi yang sedang pergi menuju ke selatan, menjauhi
pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal sangat buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang
memiliki anak-anak gadis, banyak yang segera mengungsi ke selatan, pergi sejauh mungkin.
Ketika dia sudah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para
petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki
menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah
melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.
Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba saja di antara para pengungsi terdengar seorang
tua bernyanyi dengan suara yang lantang.
Seekor babi gemuk memimpin negara
mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi serigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran...! Penasaran...!
Sayang sekali dua saudara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga,
pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran...! Penasaran...!
Berulang kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai salah seorang di antara para pengungsi
menegurnya,
“Tu-siucai, harap kau diam dan jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua ditangkap dan
dihukum mati?”
Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,
“Di dalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan
bangsa bisa dapat dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An,
melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja
mulutku.”
Orang yang menegurnya tadi hendak kembali menegur dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba saja dia
berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa sang penyanyi yang
ditegurnya tadi, tanpa dilihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah rombongan
itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi terkejut, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti
melihat setan di tengah hari.
“Di mana dia? Ke mana perginya Tu-siucai?” terdengar suara susul menyusul.
“Dia menghilang begitu saja!”
Ramailah rombongan itu. Akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan,
mereka akhirnya segera melanjutkan perjalanan itu sambil tak ada hentinya membicarakan peristiwa yang
aneh itu.
Apakah betul penyanyi tadi bisa menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang
sastrawan yang berbatin kuat, berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa
dia menghilang begitu saja.
Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat dilihat
oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati
kepala orang-orang di dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena
angin bertiup keras ke arah mukanya.
Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata,
“Siauwte mohon maaf sebesarnya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku
lancang membawa Siucai ke sini.”
Tu Fu biar pun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia
mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Sekarang dia menghadapi Kwan Cu dengan
senyum di bibir dan matanya memandang kagum.
“Orang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapa namamu dan murid siapakah engkau?”
“Siauwte seorang tak berarti, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk
diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi amat menarik hati siauwte. Apakah
siauwte boleh mengetahui siapakah adanya mereka itu? Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?”
Tu Fu tertawa. “Orang muda yang aneh, kau lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Baiklah, Bu-punsu
(Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi
sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang
kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin.”
“Apakah yang terjadi dengan mereka?” Kwan Cu bertanya.
Biar pun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini,
manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai seorang, oleh karena itu
sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja langsung menggerakkan hatinya.
Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh. Demikian pula
sastrawan Tu Fu. Meski pun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan
keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mana pun juga. Kekerasan hati dan
keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan.
Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia lantas mengedikkan
kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,
“Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai? Ada hubungan apa pula antara kau
dengan keluaraga Lu?”
“Sudah siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tidak perlu dibicarakan tentang diri
siauwte.”
“Hemm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kau ceritakan apa hubunganmu
dengan Ang-bin Sin-kai, bila tidak jangan harap dapat mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!”
Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak keras
dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata,
“Ang-bin Sin-kai adalah guruku.”
Mendengar ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kakinya sambil menudingkan
telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.
“Bu-pun-su, murid macam apa engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran
dan sekarang tiba-tiba saja kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia? Apa gunanya air bagi
tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tidak bernapas lagi?
Guru dalam bahaya dan mati-matian berjuang mempertahankan nama baik negara dan bangsa, tetapi kau
bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau berpurapura
muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu? Kau sudah sepantasnya mendapat
hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!”
Kwan Cu menjura lagi. “Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan sebenarnya apa yang telah
terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ang-bin Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti
engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat banyak tokoh kang-ouw membela pemberontak An Lu
Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu ke kota raja. Akan tetapi dia sendirian mana kuat menghadapi
tokoh-tokoh besar seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhu-mu benar-benar
seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah perkasa.”
Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhu-nya itu. Tak terasa pula dua titik air mata
meloncat keluar dari sepasang matanya. Dia terharu sekali akan nasib gurunya yang sangat dia cinta,
sudah setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan
kehormatan negara.
Hatinya mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhu-nya, tapi kesadarannya
timbul ketika dia teringat bahwa semuanya itu merupakan kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi.
Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,
“Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah
menjadi kehendak alam yang berkuasa?”
Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.
“Wahai semua makhluk yang kebetulan sedang berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata
seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak
dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang kuhormati?”
Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan
dan tunduk menghadapi orang tua ini yang memiliki pengaruh luar biasa.
“Siucai yang baik, siauwte mana berani mencela guru? Siauwte tadi hanya menyatakan dengan
sebenarnya bahwa memang semuanya merupakan kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya
manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu tidak
melihat kenyataan ini?”
Tu Fu makin marah-marah. “Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan
gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya jika orang
memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh! Akibatnya menjadi
seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman
matang bagai mangkok yang berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka! Bu-punsu,
engkau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tidak dapat dimengerti oleh
manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan
kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa pula bahwa manusia
juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara
membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air,
berbangsa, semua itu bukankah kehendak Thian pula? Kalau kau tidak dapat membela bangsa dan tanah
air, membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, apa kau patut disebut
seorang anak bangsa? Hemm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!” Tu Fu marah-marah dan
masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.
Kwan Cu menjadi tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal
baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi
Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.
“Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhu-ku dan yang dapat
mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?”
“Bu-pun-su murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?”
Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan
hanya satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dulu gurunya yang pertama, yakni Gui-siucai, berkalikali
menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kagum.
Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan
Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering
dunia-kangouw.blogspot.com
menyatakan kekagumannya terhadap Tu Fu.
Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus
tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan gurunya, malah
melebihi gurunya dalam hal ilmu kebatinan dan filsafat. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,
“Locianpwe, teecu sudah berlaku kurang hormat, mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat
alangkah besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe
bagaimana selanjutnya teecu harus bertindak, karena sebenarnya teecu tidak tahu harus berlaku
bagaimana.”
“Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan,” kata Tu Fu dengan wajah sungguhsungguh.
“Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa
percaya bahwa kau benar-benar telah sadar bahwa tindakan suhu-mu itu baik dan sempurna? Di kota
Thian-cin ini, tidak jauh dari sini, orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan akan
dihukum cambuk. Apa bila kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka, kau
akan dapat melanjutkan usaha suhu-mu membasmi para pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi
keselamatan negara dan bangsa.”
Mendengar ini, bangkitlah semangat Kwan Cu. “Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa
kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai tak akan sia-sia belaka.”
Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota
Thian-cin di mana segera akan berlangsung pelaksanaan hukuman cambuk atas diri sepuluh orang
sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin-pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya
adalah pejuang-pejuang rakyat.
Kwan Cu menurunkan Tu Fu di antara para penonton, ada pun dia sendiri sebagaimana sudah dituturkan
di bagian depan, kemudian turun tangan merampas cambuk, mencegah dilanjutkannya hukuman itu dan
dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman pada dirinya yang membiarkan
gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.
Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat
yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka
rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan.
Walau pun para penonton merasa sangat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila
dicambuki, akan tetapi diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan matanya
dan sama sekali tidak pernah mengaduh, sungguh pun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta
mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk.
Suara cambuk algojo memecah di udara, kemudian disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian
Kwan Cu sehingga menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para
penonton terdengar suara,
“Cukup, Bu-pun-su! Sudah lima puluh kali engkau menerima hukuman!” Inilah suara dari sastrawan besar
Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali.
Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang begitu jujur dan setia terhadap
sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa terhadap Ang-bin
Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal apa bila dipikir benarbenar,
pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak
tahu.
Baru saja ucapan ini selesai dikeluarkan oleh Tu Fu, mendadak algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu
itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah! Ternyata
bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa
hingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri.
Demikian lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu hingga membalik melukai
pemegang pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan si algojo terobek kulitnya
dunia-kangouw.blogspot.com
sehingga dia segera melepaskan cambuk, lalu mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang
berdarah!
Komandan pasukan mengira bahwa saking lelahnya algojo itu merasa sakit tangannya. Dia sudah amat
mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera dia memberi
aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lainnya untuk turun tangan pula.
Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu. Akan tetapi,
kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, berbareng sembilan batang cambuk itu terlempar dan
sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula!
Geger keadaan di situ. Para anggota pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga
ketakutan. Apa lagi ketika dengan sekali renggut saja Kwan Cu mematahkan ikatan tangannya, keadaan
menjadi makin kacau.
Para perwira bala tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju
mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau
balaunya.
Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa teman-teman
sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagai daun-daun kering tertiup angin. Terdengar pekik
kesakitan di sana-sini dan tidak lama kemudian, anggota-anggota pasukan menjadi bingung sekali karena
pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan begitu pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya.
Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka melihat sepuluh orang perwira telah terikat eraterat
di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para tawanan! Ada pun pemuda luar
biasa itu, entah pergi ke mana karena tidak kelihatan bayangannya lagi.
Semenjak peristiwa itu, nama Bu-pun-su menjadi terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan.
Nama ini mendatangkan rasa gentar di dalam hati mereka, karena selama menghadapi para pejuang
rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah memperlihatkan kepandaiannya pada saat dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan
diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapa pun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu Fu keluar dari
Thian-cin. Dia lalu menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk pujangga itu. Dia benar-benar tunduk
kepada sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu.
Apa bila pujangga itu lahir batin membenci terhadap seluruh pasukan An Lu Shan yang sudah
menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan
seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci terhadap para anggota pasukan.
Oleh karena ini, ketika dia dikepung dia tidak mau menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan
melempar-lemparkan mereka saja!
Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut
namanya, ia menjadi amat terharu dan segera timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah
membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa
tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu,
Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh
Kwan Cu di dalam hatinya dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi
seorang.
Yang membuat dia merasa sangat heran dan juga mendongkol adalah pada waktu dia mendengar bahwa
Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhu-nya. Dia tahu bahwa antara suhu-nya dan Jeng-kin-jiu, terdapat
hubungan yang sangat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan?
Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya
pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini, maka orang pertama yang hendak adalah
Jeng-kin-jiu.
Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di
sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan yang menindas rakyat,
pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada pasukan itu, mengancam perwiranya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas
pasukan dengan cara mengukir tulisan di dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:
APA BILA MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!
BU PUN SU
Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat,
membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggota-anggota
pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki
tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggota pasukan
pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata.
Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh
orang, yaitu dengan cara memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas
pasukan pemberontak…..
********************
Karena melakukan perjalanan cepat, biar pun banyak gangguan di jalan untuk menolong rakyat dari
gangguan pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian tibalah Kwan Cu di kota raja. Dia
teringat ketika dulu bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada
perubahan sama sekali.
Dia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu
kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari
rumah yang lama.
Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar. Agaknya rumah makan ini pun baru
karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besar itu.
Kwan Cu disambut oleh seorang pelayan yang menatapnya dengan mata penuh curiga. Maklumlah,
pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan perasaan curiga karena rumah makan
yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh para hartawan dan bangsawan-bangsawan belaka.
Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa
dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan serta biaya-biaya lainnya, maka dia sudah
mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya pada waktu dia memberi
ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.
Rumah makan itu sangat banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian
mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan sehingga suara ketawa mereka memecah di ruang makan
itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya ada seorang laki-laki berkepala botak yang
berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik.
Laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda
berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Kwan Cu diam-diam merasa geli karena
dia tahu bahwa pada waktu bicara laki-laki botak itu mengerahkan tenaga khikang-nya yang lumayan juga
hingga suaranya terdengar nyaring sekali.
Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di meja depan yang terletak di sebuah pojok, agak
jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Akan
tetapi Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa makanan.
Selagi menanti makanan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan.
Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus sedang makan tulang
yang hitam.
Pengemis-pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, salah seorang di antaranya bahkan terpincangpincang.
Melihat hal ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang. Bukan saja para pengemis itu
mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai yang juga selalu berpakaian pengemis, juga
dunia-kangouw.blogspot.com
pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang
manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu. Pengemis-pengemis itu
tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi.
Dia kemudian melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang dengan
muka angkuh.
“Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu. Aku yang akan
bayar.”
Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang
tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
“Pesanan Tuan akan kamu layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan
berikan sendiri.”
“Mengapa begitu?” tanya Kwan Cu dengan suara sabar.
“Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari
tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!”
Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya. “Baiklah, biar nanti aku yang
memberikan sendiri.”
“Hei, A-kiu...!” tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Kwan Cu.
Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlarian menghampiri meja si botak.
“Ada apakah memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?” katanya membungkukbungkuk.
“Bagaimana sih kerjaanmu? Banyak lalat busuk tidak kau usir dari sini?” Sambil berkata demikian, si botak
melirik ke arah Kwan Cu. “Membikin bau saja!”
Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara
bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang pengemis.
Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik. Pendengaran
Kwan Cu amat tajam sehingga dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang
sedang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah
dirinya sendiri!
Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau
marah, bahkan merasa amat kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda
begitu saja.
“Hm, agaknya dia orang jauh yang memiliki uang juga. Tidak apa kalau begitu. Asal saja bukan bangsa
jembel yang pura-pura memesan masakan kemudian tidak dibayarnya,” si botak berkata agak keras, dan
sikapnya ini terang sekali menghina dan tak memandang mata kepada orang lain.
Kemudian mereka melanjutkan percakapan mereka tadi. Tadinya Kwan Cu tidak sudi ikut mendengarkan
kelakar mereka, akan tetapi karena tadi dia sudah terlanjur memasang telinga mendengarkan percakapan
mereka ketika mereka bicara mengenai dia, sekarang perhatiannya masih ke sana dan tanpa disengaja dia
mendengarkan kata-kata si botak yang diucapkan dengan suara perlahan.
“Bunga liar cantik dan harum selalu banyak durinya. Makin sukar dipetik makin menarik,” kata si botak
tertawa-tawa.
“Siauw-ongya mengapa bingung-bingung? Bunga sudah berada di tempat bunga dalam rumah sendiri. Apa
sukarnya?” kata seorang pemuda dengan sikap menjilat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Si botak tertawa bergelak, lalu dia mengangkat cawan araknya. “Hayo minum arak untuk merayakan
malam gemilang hari ini. Malam terang bulan dan kini dia pasti akan menurut. Ha-ha-ha!”
Semua orang di meja itu minum arak dengan bunyi bibir dikecap-kecapkan keras. Kwan Cu mendongkol
sekali karena dia dapat menduga bahwa pemuda-pemuda itu tentu kaum berandalan yang suka menggoda
wanita baik-baik, atau sekelompok pemuda pemogoran yang tak kenal malu.
Akan tetapi diam-diam dia menjadi benci kepada si botak dan berpikir siapa gerangan bunga liar yang
hendak diganggu itu. Aku harus menolongnya, pikir Kwan Cu.
Pada saat itu pula, tiga mangkok bihun untuk para pengemis telah dikeluarkan. Kwan Cu merasa heran
sekali kenapa pesanannya yang terdahulu belum dikeluarkan, akan tetapi pesanan untuk para pengemis ini
demikian cepat matangnya.
Ketika dia melihat masakan itu, dia menjadi gemas sekali karena masakan bihun ini tidak karuan
macamnya. Sayur-sayurnya terang bukan sayuran segar, agaknya sayur yang seharusnya sudah dibuang.
Juga kuahnya kehitam-hitaman. Akan tetapi dia masih sabar dan segera membawa tiga mangkok itu
keluar, ke arah para pengemis yang masih duduk jauh dari rumah makan itu.
Para pengemis itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat seorang pemuda memberi mangkok
berisi bihun kepada mereka. Segera mereka menerima dan makan bihun itu, lupa untuk menghaturkan
terima kasih saking lahapnya. Kwan Cu memandang dengan terharu sekali. Ia mengeluarkan tiga potong
uang emas dan memberikan uang itu kepada mereka.
“Bawalah mangkok-mangkok itu, akan kubayar,” katanya.
Melihat semua pemberian ini, tiga orang pengemis yang sudah menghabiskan makanan kemudian
menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu. Akan tetapi tanpa mempedulikan mereka Kwan Cu berjalan
kembali ke dalam rumah makan.
Tanpa mempedulikan pandang mata orang muda botak dan kawan-kawannya yang amat memperhatikan
dirinya, Kwan Cu duduk kembali ke depan mejanya yang tadi. Ternyata bahwa masakan pesanannya
sudah tersedia di atas meja, masih mengebul hangat. Akan tetapi, ketika Kwan Cu mengangkat mangkok
dan mengerjakan sumpitnya, dia mencium bau tidak enak dari mangkok itu.
Ia meletakkan kembali mangkok serta sumpitnya di atas meja, mukanya menjadi merah dan segera dia
menengok ke belakang. Pelayan yang tadi melayaninya memandangnya dan cepat-cepat membuang
muka ketika melihat dia menengok.
Kwan Cu memanggilnya. “Sahabat pelayan, harap datang ke sini sebentar.”
Pelayan itu menengok dan menghampirinya.
“Ada apakah?” tanyanya singkat dan kurang hormat.
Kwan Cu lalu menuding ke arah mangkok-mangkok masakan itu. Suaranya masih tetap sabar ketika dia
bertanya.
“Masakan ini sudah masam dan bau, harap kau ganti dengan yang masih segar. Apakah restoran ini hanya
menjual barang-barang busuk belaka?”
Wajah pelayan itu memerah. Memang, melihat keadaan Kwan Cu yang pakaiannya tidak sesuai dengan
tamu-tamu lain yang biasa mengunjungi restoran ini, para pelayan berlaku curang dan memberi hidanganhidangan
sisa yang seharusnya sudah dibuang!
“Kau sombong amat!” pelayan itu berteriak marah. “Agaknya kau belum pernah makan masakan mahal
maka kini mengira masakan ini busuk.”
Kesabaran Kwan Cu ada batasnya. Apa bila orang sengaja berlaku keterlaluan, sudah sepatutnya kalau
orang itu diberi hajaran agar lain kali tidak berani menghina orang.
“Begitukah anggapanmu, Sahabat? Bagus, kalau begitu kau makanlah sendiri masakan ini, biar aku yang
dunia-kangouw.blogspot.com
membayarnya!”
Sebelum pelayan itu sempat menjawab, tangan Kwan Cu bergerak ke depan, menotok pelayan itu hingga
tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya terbuka lebar-lebar tanpa dapat ditutup kembali. Dengan tenang
Kwan Cu lalu mengangkat mangkok dan menggunakan sumpit untuk menjejalkan masakan itu ke dalam
mulut si pelayan, terus di dorong dengan sumpit memasukkan masakan ke dalam kerongkongan!
Pelayan yang tak berdaya itu mau tidak mau menelan semua masakan yang di jejalkan dengan paksa
melalui kerongkongannya!
Orang muda botak yang tadi disebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawankawannya.
Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke
atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang
menjadi amat pucat dan ketakutan.
“Nah, aku terima kalah,” Kwan Cu berkata. “Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk
dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini.” Ia
melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.
“Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?” Pangeran Muda An yang botak itu
membentak sambil mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh.
Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang
dapat memainkan senjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah joan-pian
(ruyung lemas) yang terbuat dari pada logam hitam diuntai, ada pun tangan kirinya memegang sebuah
hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh pendeta).
Kwan Cu telah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu serta kawankawannya
hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis yang tadi dia beri
makanan, datang bersama seorang lelaki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya,
terang bahwa orang muda ini merupakan seorang yang berpangkat pula.
Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini, ada pun kemarahannya
telah membuat mukanya menjadi amat merah. Dengan gerakan istimewa, kebutan di tangan kirinya
menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya.
Ujung kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri
dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini
menempel miring dengan empat kaki pada dinding!
Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal
itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kepandaian serta lweekang yang sudah tinggi
tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk
itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,
“Sekarang terlalu banyak orang pandai sehingga di mana-mana gampang melihat orang memamerkan
tenaga!” Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat
kakinya. Dengan gerakan perlahan saja dia memegang meja itu, dan sekali renggut ke bawah, meja itu
telah terlepas dari dinding.
Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun sebab ternyata
bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini malah kepandaiannya lebih tinggi dari pada si botak
tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding
sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata
dengan permukaan dinding.
Ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, air muka pemuda botak menjadi berubah. Dia
cepat-cepat menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.
“Ehhh, kiranya Suheng tidak menginginkan ada keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang
ajar ini kepada Suheng.” Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek lalu
meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti pula oleh kawan-kawannya yang kelihatan sangat takut
dunia-kangouw.blogspot.com
terhadap pemuda baju mewah yang baru datang.
Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya
muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di
mana dan bila mana.
Tiga orang pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu
dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas
pemberitahuan tiga orang pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan Cu.
Agaknya keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang pengemis itu
memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini
pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang tadi disebut pangeran muda itu
menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.
Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang pada Kwan Cu dengan penuh perhatian.
Sepasang matanya memandang dengan mulutnya tersenyum setengah mengejek.
Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus
namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, bahkan jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi,
pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar
biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
“Kiranya benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja sedang kedatangan
seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ahh, Kwan
Cu, sudah lupakah kau kepadaku?” pemuda itu berkata sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.
Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.
“Lu Thong...!” serunya.
Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di
tempat terbuka itu.
“Kita masih bersaudara, bukan? Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara
dengan enak dan leluasa.”
Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin
curiga dan benci.
“Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,” jawabnya.
Lu Thong mainkan alisnya. “Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu? Kwan Cu,
kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar keterangan yang sejelasnya
mengenai semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun? Nah, keterangan itu
hanya bisa kau dapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah… kau takut?”
Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, karena itu dengan gagah dia menjawab, “Siapa
takut? Kau sanggup berbuat apakah terhadap aku? Baiklah, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang
hendak kau lakukan.”
Lu Thong tertawa gembira dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar
pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun.
Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!
Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota. Tadi ketika
pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang
berani mendekat. Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat
dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan
memberi hormat pula.
Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini sudah mampu mengangkat diri dalam kedudukan yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga,
keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu
Thong secara diam-diam.
Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong serta Kwan Cu
dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik
jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima
orang itu sebagai selir-selirnya!
“Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok,” katanya tertawa, “karena itu,
mereka inilah yang sementara ini menghiburku dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup
sebatang kara ini.”
Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar
mata para wanita muda yang ditujukan padanya dengan sikap genit. Juga dia melihat tiga orang pengemis
tadi kini sudah turut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
“Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa.”
Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman
bunga beraneka warna, apa lagi dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga
teratai. Juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya
tempat berlatih ilmu silat.
“Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong,” kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat
itu. Dia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu mau pun taman bunganya, dikelilingi oleh
tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri. “Akan tetapi kau juga menjaga
tempatmu ini dengan sangat kuat seperti takut akan kedatangan musuh.”
Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah dipenuhi dengan hidanganhidangan
mewah dan guci arak berukir yang penuh berisi arak wangi.
“Duduklah, saudaraku. Matamu sungguh awas sekali dan kau pun dapat menduga tepat. Memang
sekarang kota raja sedang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja bagi para pembesar dan
penduduk, bahkan di dalam istana sendiri juga terjadi kekacauan dan persaingan hebat.”
“Seperti halnya suhu-mu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhu-ku,” kata Kwan Cu dengan
pandang mata tajam.
“Jangan kau persalahkan aku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu
tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa sangat menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan.”
“Akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, meski pun seluruh keluarganya telah musnah...,” Kwan
Cu menyindir.
“Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kongkong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup.”
Berubah wajah Kwan Cu. “Benarkah? Di mana beliau?”
“Itulah soalnya, Kwan Cu. Kongkong sudah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar
sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya kongkong Lu Pin.
Oleh karena itulah, biar pun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah
ditolong oleh suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan.”
Kembali Kwan Cu tertegun. “Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?”
“Hussh, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorang panglima gagah
perkasa dan bahkan sudah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak mungkin aku
diangkat menjadi pangeran malah dianggap sebagai putera angkatnya sendiri.”
“Hemm, begitukah...?” kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak bukan main terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya,
termasuk ayah bundanya, dan semua orang, sudah dibinasakan oleh An Lu Shan namun dia sendiri mau
diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.
“Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu.”
“Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku ke sini untuk menceritakan semua itu?” Kwan Cu
bertanya.
Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang
membayangkan kecerdikannya dan membuat Kwan Cu untuk bersikap waspada. “Baiklah, kuceritakan
semuanya dengan jelas keadaan di kota raja.”
Maka berceritalah Lu Thong…
Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono sudah mengangkat
An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Ho-pei.
Hal ini sebenarnya sudah ditentang oleh banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin.
Akan tetapi kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat
berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya benar saja, An Lu Shan lalu
memberontak dengan sejumlah tentara tak kurang dari lima belas laksa orang yang sudah dilatih sempurna
sekali dalam hal ilmu pedang, kemudian pemberontak ini memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan
panglimanya hanya mengutamakan kesenangan serta pelesiran saja seperti kaisarnya.
Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja
yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang sangat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor
cantik jelita dan genit. Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang
istimewa, lagi pula dibantu oleh banyak orang pandai, akhirnya kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan,
ada pun kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.
An Lu Shan para dan kaki tangannya, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang
kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, mereka bagaikan orang-orang kelaparan yang menghadapi
hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan akhirnya terjadilah perebutan kekuasaan.
Dalam keributan ini, An Lu Shan sudah dibunuh oleh salah seorang puteranya sendiri. Keributan
merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu akhirnya menjalar
sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa dengan diam-diam saling mempengaruhi dan
menanam bibit permusuhan serta persaingan yang dalam sekali.
Ada pun fihak tentara Kerajaan Tang masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Pada
waktu bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kaisar untuk
merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi
sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak. Dengan hati sedih
kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh
tentara Tang sendiri!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda
Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan, sedangkan
Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri
itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar.
Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan akhirnya dapat bersembunyi
di dalam goa yang selanjutnya disebut goa Tengkorak, karena bekas menteri ini membuat tengkoraktengkorak
raksasa dari tulang-tulang binatang purba kala yang banyak terdapat di dalam goa itu.
Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang
ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan sudah memaafkannya dan
mengambilnya sebagai anak angkat, bahkan diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,
“Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapa pun juga, An Lu Shan telah bersikap amat baik terhadap aku, dan
setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan hebat secara diam-diam.
Mereka saling menjaga supaya persaingan itu tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang
benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni di antara tiga golongan. Golongan
pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan
kedua yaitu tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Ada pun golongan ketiga adalah
Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan.”
“Hemm, diakah? Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu,” kata Kwan Cu yang teringat akan
pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.
“Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong.”
“Pemuda botak hidung belang tadi?” tanya Kwan Cu. “Dan dia itu sute-mu?”
Lu Thong menarik napas panjang. “Suhu selalu tak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia
itu sudah diangkat sebagai murid ke dua.”
“Lu Thong, sebenarnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan
aku. Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu, di
manakah gurumu itu?”
“Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhu-mu tewas oleh suhu-ku?”
tanya Lu Thong mengerutkan kening.
“Bukan hanya oleh suhu-mu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut.”
“Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang bersikap salah sekali, hendak membalaskan
sakit hati karena kakek Lu Pin sekeluarganya dihukum oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan,
sedangkan suhu beserta lain orang sudah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah
lama yang sudah runtuh?”
Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara
membujuk.
“Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih
banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, walau pun hanya cucu angkat
dari kongkong Lu Pin. Kini keturunan Lu hanya kau dan aku saja. Kalau saja kau suka membantuku, kita
dapat mengangkat nama keluarga kita!”
“Apa maksudmu?”
“Dengar baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing dengan hebat, bermaksud
saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam
tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?”
“Apa?!” Kwan Cu membelalakkan matanya. “Kau bercita-cita menjadi kaisar?”
“Apa salahnya? Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap
negara. Sudah sepatutnya apa bila keturunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja?
Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa engkaulah
orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, sekarang
marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik.”
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Apa bila kau mau
menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya
Jeng-kin-jiu agar aku bisa membuat perhitungan dengan dia!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong. Wajahnya yang tadinya kelihatan
manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu
masam dan penuh ejekan.
“Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!”
“Tidak, Lu Thong, aku hanyalah seorang yang tidak ada kepandaian (Bu Pun Su),” jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah
datang dengan langkah menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan
heran dan kecewa segera mengundurkan diri.
Kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang kini telah
berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga
orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah
mencabut pedang yang berkilauan!
“Lu Thong, apa kehendakmu?” tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.
“Kehendakku?” jawab Lu Thong menyindir. “Sudah kukatakan semenjak tadi bahwa aku menghendaki kau
membantuku untuk mencapai cita-citaku.”
“Aku tidak sudi!”
“Kau tetap bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku,
Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhu-ku, ini sudah merupakan dosa-dosa,
namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua kalinya, kalau memang sudah
mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya,
masih ingatkah kau betapa dahulu pada saat kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan
aku dan suhu-mu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi? Nah, karena sekarang kau
berkeras kepala, perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga
Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka
dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia semacam
engkau berani menolak ajakanku yang baik?”
Bukan main panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang sangat menghina serta merendahkannya itu.
“Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan kaki depan ketika melihat orang melemparkan tulang
kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong. Sudahlah, aku tidak punya banyak
waktu untuk melayani obrolanmu.”
Sesudah berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu. Akan tetapi tiba-tiba tiga
orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.
“Kalian mau apa?!” bentak Kwan Cu.
Lu Thong memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab, “Hendak
mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!”
Ucapan ini ditutup dengan berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat. Tidak
percuma mereka memperoleh julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka benar-benar amat
cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti
kilat menyambar.
Ini kalau dilihat oleh mata orang lain. Akan tetapi bagi mata Kwan Cu gerakan itu tidak seberapa hebat.
Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan serta pengertian tentang pokok dasar
segala pergerakan orang dalam bersilat, dia sudah lebih dulu dapat menduga ke mana tiga batang pedang
itu hendak menyerangnya!
Oleh karena itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan
mereka itu akan disusul dengan gerakan lain, hal ini dapat dia lihat dari pergerakan pundak dan pandangan
dunia-kangouw.blogspot.com
mata mereka. Maka, sebelum tiga orang itu sempat melanjutkan serangan mereka setelah Kwan Cu
mengelak cepat, pemuda ini pun sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan
yang dimiringkan ke arah pangkal lengan.
“Plak! Plak! Plak!”
Tiga kali jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah
jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas dan ketiga orang Pengemis Sakti
Berpedang Kilat itu lalu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya.
Ada pun pedang yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka mendadak
menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!
Untuk sesaat Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia sudah
melompat dengan senjata pada tangannya. Seperti main sulap saja melihat dia tiba-tiba memegang
sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung toya itu berkilauan karena memang
ujungnya terbuat dari pada emas.
Bagaimana tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadi tidak kelihatan dia
bawa? Ternyata bahwa toya itu dibuat secara istimewa, bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk
sehingga dapat digulungkan di pinggang, tertutup oleh baju luar.
“Kwan Cu, ternyata selama kau tidak muncul, kau sudah mempunyai kepandaian yang lumayan. Hendak
kulihat apakah kau cukup kuat pula menahan seranganku!” bentak Lu Thong sambil mengayun toyanya.
Kwan Cu dapat merasakan angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar
selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan mempunyai tenaga seperti gajah. Menurut penuturan Angbin
sin-kai dahulu, untuk masa itu, tingkat kepandaian dari Jeng-kin-jiu sudah amat tinggi dan dia
merupakan satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga mampu menggunakan
tenaga sampai seribu kati kuatnya!
Kwan Cu juga maklum bahwa Lu Thong tentu sudah mewarisi tenaga serta kepandaian suhu-nya, maka
dia berlaku sangat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta
pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa
pulau pohon berdaun putih, dia tahu bagaimana caranya harus menghadapi serangan toya yang bertenaga
besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran toya yang
datang bertubi-tubi.
Setelah menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu
karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam merasa
kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,
oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia
tangkap inti sarinya!
Kalau dia mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula
bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu toya itu
harus dilakukan dengan tenaga gwakang, barulah dapat berjalan sempurna.
Maka Kwan Cu segera mencabut sulingnya dan dia mulai melakukan serangan balasan. Dia dapat
menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan bergerak,
bahkan dia telah tahu ke mana toya akan menyambar hanya dengan memperhatikan gerak pundak dan
paha lawan saja!
Sebaliknya Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan
Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini tak akan mengherankan dirinya. Yang
membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu mengelak. Sebelum toyanya bergerak menyambar,
lawannya itu telah melangkah ke arah yang berlawanan dengan tujuan pukulan toyanya, seolah-olah Kwan
Cu sudah tahu lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang.
Kemudian Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu ini
gerakannya benar-benar sama dengan serangan toyanya, hanya bedanya apa bila dia menyerang dengan
gwakang untuk menghancurkan kepala atau mematahkan tulang, adalah Kwan Cu mempergunakan
sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pertempuran ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong segera terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi
lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan terlebih dulu oleh lawannya yang berbalik
menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan tetapi mendadak diubah lagi dengan ilmu silat
lain yang sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang,
sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.
Lu Thong merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toyanya dari
pegangan. Kwan Cu cepat-cepat menyusulkan sebuah totokan pula ke arah pundak, kini untuk
membebaskan totokan pertama tadi. Dia lalu melompat ke belakang, berdiri tegak dan berkata,
“Lu Thong, melihat muka Kongkong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan
berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!” Sebelum Lu
Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari situ.
Lu Thong menarik napas panjang dan membanting tubuhnya di atas bangku. Dia tidak mempedulikan
ketiga orang pembantunya yang sedang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu memberi
isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang diri.
“Dia benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya,” pikir Lu Thong
penasaran.
Ia tidak menyusahkan keadaan suhu-nya yang terancam oleh Kwan Cu, juga sama sekali tak memikirkan
kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja. Sayang Kwan Cu yang sakti tak mau
membantunya, pikirnya. Bagaimana seorang pemuda yang sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan
nasehat Kwan Cu?
Sampai berhari-hari Lu Thong masih bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik
tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik…..
********************
Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit tampak melompat-lompat di atas genteng-genteng
tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tiada seorang pun manusia menyangka bahwa malam
hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas genteng bangunan itu.
Memang, biar pun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga
menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang mampu menembus
penjagaan sehingga dapat berlari-larian di atas genteng? Penjagaan seluruh pintu istana amat kuat dan
daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi sekali, apa lagi dijaga oleh penjagapenjaga
yang berdiri pada sepanjang tembok! Seekor burung pun tidak akan dapat lewat tanpa terlihat oleh
barisan penjaga.
Akan tetapi, bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia
biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang sudah memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga
membuatnya menjadi seorang sakti.
Tidak sukar baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang sangat
cepat. Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa terlihat oleh penjaga,
karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga ada di antara penjaga yang melihat sosok
bayangan berkelebat, akan tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar
oleh lampu penerangan di luar tembok.
Kwan Cu sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jengkin-
jiu Kak Thong Taisu beserta tokoh-tokoh lain yang sudah membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di
kota raja. Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja.
Pertama, karena dia hendak menyelidiki di dalam istana dahulu, siapa tahu kalau-kalau di antara musuhmusuh
besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Kedua, dia ingin menyelidiki karena dia sempat
teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak
melakukan perbuatan jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk
sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dahulu dia pernah dibawa oleh suhu-nya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhu-nya,
mereka langsung menuju ke dapur istana dan tak pernah menyelidiki keadaan istana dari atas genteng.
Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu. Dia hanya mencari-cari dari atas genteng
dan mengintai ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.
Di bawah genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu terdapat langit-langit yang tebal, maka agak
sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apa lagi banyak sekali terdapat loteng, karena
rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat. Sering kali ia harus menggunakan kakinya untuk
bergantung dengan kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng.
Akan tetapi, dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh
wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula orang-orang yang
berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya mereka adalah para pengawal istana.
Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu
dinyalakan terang. Beberapa orang laki-laki sedang duduk menghadapi meja panjang, seakan-akan orang
sedang mengadakan rapat. Tertarik hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu.
Ia selalu berlaku amat hati-hati. Maka, ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan ringan
sekali bagai daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini melayang turun, lalu berjalan perlahan menuju ke
tempat itu.
Dari balik jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia melihat
ada lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan, agaknya membicarakan sesuatu
yang amat penting. Tiga orang di antaranya berpakaian sebagai panglima tinggi, sedangkan yang dua
orang adalah hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.
Ketika Kwan Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu.
Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli hatinya memikirkan betapa dahulu dia
pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat lagi gurunya yang mempermainkannya, karena dia
memukul panglima ini dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.
Panglima itu masih nampak tegap dan gagah, walau pun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya
menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui termasuk
seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!
Dia tidak mengenal dua orang panglima yang lainnya itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa mereka
pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia
tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik
perhatiannya. Dia ingin mendengar percakapan mereka.
“Apakah Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku pada putera mahkota?”
terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu.
Kwan Cu maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah
membunuh ayahnya sendiri itu. Karena itu dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Seorang di antara dua hwesio itu menganguk-angguk, “Sudah, Ong-ya.”
Kwan Cu merasa geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan terhadap seorang pangeran
muda.
“Apa pendapat beliau?” tanya An Lu Kui.
“Beliau merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, sebab harta yang dibawa oleh Menteri Lu
Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan.”
Mendengar jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kongkong-nya, Lu
Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.
“Dan beliau memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?” tanya An
dunia-kangouw.blogspot.com
Lu Kui.
Hwesio itu mengangguk. “Itulah sebabnya maka beliau sengaja mengutus pinceng (saya) berdua untuk
merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si).”
“Bagus,” kata An Lu Kui. “Memang dalam menghadapi para pemberontak yang semakin kuat serta dalam
mengatur rencana untuk mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan seluruh tenaga.
Herannya, kenapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak datang?”
“Pinto (aku, sebutan pendeta To) datang!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh.
Diam-diam Kwan Cu terkejut. Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus
mengirimkan jawaban, tentu saja adalah seseorang berkepandaian tinggi yang mahir menggunakan Ilmu
Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka pemuda ini cepat menyelinap dan bersembunyi di
tempat yang gelap.
Tidak lama kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua
yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang di sekelilingnya,
kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam ruangan.
“Kalian amat sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu kalaukalau
ada orang lain ikut mendengar!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng
agaknya untuk menyelidiki apakah betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi.
Kwan Cu semakin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia
mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.
“Dia itulah orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!”
Tak lama kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata,
“Keadaan aman, tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!”
An Lu Kui tertawa bergelak. “Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati
melakukan pengintaian? Mari Totiang, silakan duduk. Karena Totiang belum lama datang, agaknya belum
kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo Beng Hosiang yang berjulukan San-tian-jiu (Si
Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu,
inilah pembantu sekalian penasehat, dan juga guru dari Panglima Si Su Beng yang bernama Kiam Ki
Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara).”
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan kedua orang hwesio itu.
“Hmm, hemm, apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor?
Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apa lagi?”
Pujian ini sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang
yang berwatak keras, karena itu biar pun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura
bertanya,
“Pinceng (saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya
menggegerkan dunia, tak tahu masih ada hubungan apakah dengan Toyu (Sahabat)?”
Wajah Kiam Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidak
senangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Adat Kiam Ki Sianjin ini memang sombong.
Dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggapnya mengembari namanya.
Mereka berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, kemudian bertempur hebat. Sesudah
hampir satu harian mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan lawannya yang
ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada
Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Maka kini mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah mendengar akan pertempuran itu.
Suara ketawa dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Akan
tetapi tenaga khikang yang terkandung di dalam suara itu seakan-akan menggetarkan tiang-tiang ruangan
itu.
“Gunung dan bukit biar pun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biar pun
berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa disamakan dengan pinto?” Jawabannya ini
sudah menyatakan alangkah sombongnya tosu ini yang menganggap diri sendiri seakan-akan gunung dan
Pak-lo-sian hanyalah bukit, atau yang mengumpamakan diri sendiri naga sedangkan Pak-lo-sian hanya
ular biasa!
Sebagaimana sudah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, di antara mereka ini memang terdapat
persaingan. Bu-eng Siang-hiap bersama dua orang hwesio gundul itu adalah pengikut setia dari pangeran
mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, ada pun Kiam Ki Sianjin adalah guru dari
pemberontak Si Su Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan.
Tentu saja di dalam hati mereka satu terhadap yang lain sudah ada perasaan dendam dan permusuhan.
Sekarang hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, mereka
bersedia datang berkumpul untuk merundingkan cara untuk menghancurkan rakyat yang memberontak di
sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri
itu. Tak mengherankan apa bila di dalam percakapan mereka terdengar ucapan-ucapan yang menyindir
dan saling memandang rendah.
Mendengar ucapan Kiam Ki Sianjin yang menyombongkan diri, Mo Beng Hosiang yang berwatak keras
menjadi tak senang.
“Memang nama besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat laksana naga!” katanya
sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang.
Terang sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena
kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti bukit dan ular!
Melihat suasana sudah mulai panas di antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An
Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka sekali melihat perpecahan antara dua
wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan
bertempur.
Pada masa itu, dia justru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai citacitanya,
yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, dan kedua untuk mencari Lu Pin dan harta
pusaka kerajaan. Setelah dua hal ini tercapai dan beres, baru dia akan mencari jalan untuk menggulingkan
kedudukan dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik
sekali.
Ia melompat di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,
“Pada waktu rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa.
Akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus bersatu padu
memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Jiwi
suka bersabar dan mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan halhal
yang amat penting demi keselamatan negara.”
An Lu Kui masih merupakan orang yang sangat berpengaruh karena dia adalah paman dari putera
mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.
“Kiam Ki Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat.”
Kiam Ki Sianjin lalu berkata sambil tertawa. “Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto
dengan baik, tentu masih belum percaya.”
Suasana damai dan persahabatan dapat cepat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu
Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ang-ciangkun dipersilakan untuk menguraikan rencananya,” kata Kiam Ki Sianjin.
Dia menggunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas.
Padahal malam hari itu udara sangat dingin. Tosu yang sombong ini masih saja ingin mendemonstrasikan
kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan menunjukkan bahwa dia bukanlah ‘orang biasa’!
Melihat sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap ketololtololan,
akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa memang tosu ini memiliki
kepandaian yang tinggi sekali.
“Menurut hasil penyelidikan mata-mata kita,” An Lu Kui mulai bicara, “pemberontakan-pemberontakan yang
dilakukan oleh para petani kini makin merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari
orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan.
Akan tetapi, walau pun mendapat pimpinan orang-orang pandai, agaknya mereka itu tidak akan banyak
berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari
petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan.
Kemudian mata-mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan
Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang yang sangat besar,
yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!”
“Ahh, tentu harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!” teriak Kiam Ki Sianjin.
“Memang! Anjing Lu Pin itu sudah menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai
pemberontakan,” kata An Lu Kui marah.
“Keparat jahanam!” Mo Beng Hosiang turut memaki. “Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan
rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya.”
An Lu Kui mengangguk-angguk. “Begitulah kiranya. Memang, semenjak dulu pun sudah diketahui oleh
semua orang bahwa Menteri Lu Pin merupakan menteri yang paling setia terhadap Kerajaan Tang. Seluruh
keluarganya sudah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun ia masih ingin
menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang
paling baik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan dan harta pusaka
Kerajaan Tang bisa dirampas, kiraku tanpa dipukul, para pemberontak itu dengan sendirinya akan
mengundurkan diri.”
“Akan tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?” bertanya Mo Keng Hosiang atau Si
Ruyung Pemecah Gunung.
“Benar, di mana kita bisa mencari dia? Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencari dia dengan sia-sia.
Agaknya dia sudah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak.” Kata Mo Beng Hosiang.
“Tadinya aku pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus,” An Lu Kui berkata, “akan tetapi barubaru
ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia tengah bersembunyi di dalam sebuah goa
dan dari sanalah dia mengatur serta merencanakan semua pemberontakan para petani.”
Mendengar ini, tidak saja kedua hwesio serta Kiam Ki Sianjin menjadi sangat tertarik, bahkan Kwan Cu
yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar keras dan baru sekaranglah terbuka
matanya betapa gagah dan mulia adanya kongkong angkatnya, Menteri Lu Pin.
Ketika dia mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kongkong
angkatnya itu. Akan tetapi, selama ini pikirannya dipenuhi oleh keadaan suhu-nya yang meninggal dunia
dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia pikirkan lagi.
Akan tetapi sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa sangat kagum
terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang sudah tua sampai terluntalunta,
dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!
“Kongkong benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya,” kata Kwan Cu di dalam
hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat persembunyian kakek
angkatnya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Di goa manakah dia bersembunyi?” teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya.
Suara tosu ini tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang
tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan? Bukan
dikarenakan mereka terlalu membenci menteri ini, akan tetapi semata-mata karena menteri itu membawa
harta pusaka kerajaan!
Inilah yang merupakan daya penarik luar biasa. Selain harta yang dibawa Menteri Lu Pin, harta yang
terdapat di dalam istana itu sudah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah habis. Sekarang semua hati
dan mata yang selalu membayangkan harta dunia, ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh
Menteri Lu Pin.
“Inilah yang masih harus diselidiki,” An Lu Kui menjawab sambil mengeluarkan segulung kertas. “Menurut
penyelidikan, dia bersembunyi dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit Tengkorak Raksasa. Akan
tetapi di dalam peta tak terdapat bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru-baru ini saja muncul
menjadi sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan mata-mata, bukit ini adanya di antara
Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang
mengalir di situ.”
An Lu Kui lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh
perhatian.
“Pembantuku ini, Cang-ciangkun, sudah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau jelaskan
lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu,” An Lu Kui berkata kepada seorang di antara dua orang panglima
yang semenjak tadi tidak ikut bicara.
Panglima perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar,
berwajah kereng dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah
peta itu dengan telunjuknya.
“Pasukan penyelidik yang kupimpin sudah sampai di bagian ini. Di sepanjang jalan kami mencari
keterangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu sering didatangi
oleh seorang pengemis tua yang aneh.”
“Ang-bin Sin-kai...,” kata Kiam Ki Sianjin perlahan.
An Lu Kui mengangguk membenarkan.
“Kemudian kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit
Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa, daerah ini sering
kali didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biar
pun tak seorang pun yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun
agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, sebab setelah mereka pergi lagi,
menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat.”
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk. “Sangat boleh jadi...”
Akan tetapi tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang
pada waktu itu, Kwan Cu sangat memperhatikan dan ingin sekali dia juga dapat melihat peta di atas meja
itu. Maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit suara ini
ternyata sudah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.
Ketika Kiam Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua
Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali,
pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan. Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu,
disambut oleh An Lu Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.
“Siapa... kau...…?” An Lu Kui bertanya.
Maksudnya hendak membentak marah, akan tetapi melihat cara pemuda itu yang masuk begitu saja tanpa
mereka ketahui, membuat dia sangat terheran-heran dan gugup. Apa lagi ketika dia mengajukan
dunia-kangouw.blogspot.com
pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!
An Lu Kui dan kawan-kawannya bersiap menyambut. Akan tetapi tiba-tiba tubuh pemuda itu terapung ke
atas kepala mereka, terus ke atas lalu sebelum menyentuh langit-langit, tiba-tiba tubuh itu berjungkir balik
dan kini bagaikan seekor capung beterbangan di dalam kamar, tubuh pemuda itu menukik ke bawah dan
tahu-tahu gulungan peta itu telah dapat dirampasnya!
An Lu Kui hendak menubruk, akan tetapi terlambat karena Kwan Cu sudah melompat pula dari atas meja
melalui kepalanya dan kini pemuda itu telah berdiri di tengah ruangan sambil tersenyum-senyum. Ada pun
peta itu lantas dia masukan ke dalam saku dengan sikap amat tenang!
Untuk sejenak, An Lu Kui beserta kawan-kawannya tercengang, karena sesungguhnya gerakan pemuda
tadi luar biasa sekali. Tiada ubahnya seekor capung atau burung yang begitu ringan dan gesit. Apa bila
tidak menyaksikan dengan mata sendiri sukarlah untuk mempercayai kejadian itu.
“Siapa kau yang berani mati bermain gila di sini?” kembali An Lu Kui membentak dan kini panglima ini
mencabut sepasang tombaknya yang lihai.
Kwan Cu tersenyum dan menjawab, “An-ciangkun, apakah baik kabarmu? Kau sudah kelihatan tua, akan
tetapi tetap saja ganas dan galak!”
Mendengar ini, An Lu kui tercengang dan tidak jadi menyerang. Sebaliknya Cang Kwan panglima
brewokan itu membentak,
“Bangsat kecil, siapakah kau yang sudah bosan hidup?”
“Bangsat besar, aku bernama Lu Kwan Cu. Kalian tadi membuka mulut besar hendak menangkap
kongkong-ku Lu Pin? Jangan bermimpi, Kawan!”
“Bohong besar!” seru Liong Tek Kauw panglima kedua pembantu An Lu Kui, “Aku tahu benar keadaan
Menteri Lu Pin dan dia tidak mempunyai cucu yang bernama Lu Kwan Cu!”
Kwan Cu tersenyum lagi. “Tentu kau seorang panglima pengkhianat dan penjilat maka kau tahu baik akan
keadaan kongkong-ku. Akan tetapi aku tidak peduli akan kata-katamu itu, pengkhianat. Pendeknya, jangan
kalian bermimpi untuk menangkap Menteri Lu Pin yang setia dan gagah berani, pahlawan bangsa! Tidak
seperti kalian ini, hanya kumpulan katak-katak busuk yang berbahaya.”
“Tangkap dia!” tiba-tiba An Lu Kui berseru keras. “Dia adalah bocah gundul murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku
ingat sekarang, dia memang sudah diakui cucu oleh Lu Pin!” Sambil berkata demikian, An Lu Kui lalu
menyerang dengan sepasang tombaknya.
Kwan Cu mengelak tangkas sambil menyindir. “Hmm, kau sudah ingat betapa dahulu aku pernah membagi
beberapa kali tamparan kepadamu, An-ciangkun?”
“Bangsat, mampuslah kau!” An Lu Kui berseru sengit dan tombaknya melakukan gerakan menyilang dari
kanan kiri, hendak menggunting leher pemuda itu.
Akan tetapi, hanya dengan merendahkan tubuhnya sedikit saja, Kwan Cu sudah berhasil membebaskan
diri dari ancaman, sepasang tombak itu hanya melayang melewati atas kepalanya. Cang Kwan dan Liong
Tek Kauw, dua orang panglima pembantu An Lui Kui dengan marah maju menyerang dengan golok besar
mereka yang menyambar-nyambar menyilaukan mata ketika terkena cahaya lampu yang terang.
“Rebahlah kalian!” bentak Kwan Cu.
Tahu-tahu, ketika dua batang golok itu sudah dekat dengan tubuhnya dari kanan kiri, dia melompat ke
belakang dan sebelum dua orang panglima itu dapat menarik kembali golok mereka, dua kali berturut-turut
Kwan Cu menotok dengan telujuknya dan sunggguh aneh! Dua orang panglima itu roboh dan terus
bergulingan sambil mengaduh-aduh, kemudian mereka tak bergerak lagi, rebah dengan tubuh lemas tak
berdaya di dekat dinding.
Kwan Cu tidak mau membuang banyak waktu. Ketika dia melihat An Lu Kui tercengang, dia cepat
menggerakkan kakinya, melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan panglima itu. Terdengar
dunia-kangouw.blogspot.com
suara keras ketika sepasang tombak itu terlepas dari pegangan An Lu Kui dan terlempar jauh ke atas lantai
mengeluarkan suara nyaring.
An Lu Kui masih mencoba untuk mengelak ketika tangan Kwan Cu menyambar, namun terlambat.
Pundaknya kena ditepuk sehingga panglima ini jatuh terduduk dengan tubuh lemas dan setengah tubuhnya
sebelah kanan terasa lumpuh!
Pada saat itu, terasa angin pukulan menyambar dari depan dan belakang. Kiranya dua orang hwesio itu
sudah turun tangan. Tadi mereka hanya menonton saja karena memang sebetulnya di dalam hati mereka,
dua orang hwesio ini tidak suka kepada An Lu Kui dan mencurigainya. Akan tetapi, setelah melihat An Lu
Kui dan dua orang pembantunya telah roboh, mereka tidak mau tinggal diam dan segera menyerang.
Mo Beng Hosiang Si Tangan Kilat menyerang dengan kedua tangannya yang jari-jarinya dibuka,
melakukan pukulan hebat sekali sesuai dengan julukannya. Ada pun Mo Keng Hosiang Si Ruyung
Pemecah Gunung sudah menyerang dengan ruyungnya yang aneh. Joan-pian (ruyung lemas) itu
merupakan rantai pendek yang ujungnya sudah dipasangi bola baja sebesar kepalan tangan dan
digerakkan dengan ayunan keras menghantam punggung Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali melihat datangnya serangan yang memang hebat sekali ini. Dengan tangan
kirinya dia menangkis pukulan Mo Beng Hosiang sehingga hwesio itu terhuyung ke belakang. Bola baja di
ujung joan-pian yang dipakai menyerang oleh Mo Keng Hosiang hampir saja mengenai sasarannya, yakni
punggung Kwan Cu.
Pemuda ini yang maklum menghadapi lawan-lawan tangguh, cepat mencabut sulingnya sambil mengelak
dengan gerakan Kong-ciak Kai-peng (Merak Membuka Sayap) hingga serangan senjata Mo Keng Hosiang
lewat di atas punggung serta kepalanya. Sekaligus Kwan Cu menyerang Mo Beng Hosiang yang sudah
maju lagi itu dengan sulingnya.
Mo Beng Hosiang bukan seorang lemah, dia memiliki ilmu pukulan yang di sebut Pek-lek Sin-jiu (Tangan
Geledek Sakti). Menghadapi pukulan suling yang meski pun dilakukan secara perlahan akan tetapi telah
dapat dia duga kehebatannya itu, dia cepat menampar dengan tangan kanannya. Jari-jari tangan kanan ini
menegang dan kaku laksana baja. Tamparannya dilakukan keras luar biasa dengan maksud membuat
suling itu remuk atau terlepas dari pegangan Kwan Cu.
Namun pemuda ini sudah mempunyai kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Baru melihat sekali saja
dia sudah tahu ke mana tamparan itu di arahkan. Maka, sebelum tamparan itu datang, sulingnya sudah
ditarik ke bawah dan tangan kirinya yang tadi dia pentang, memukul ke depan sambil tubuhnya diputar
sedemikian rupa, dan cepat sekali sebelah kakinya menendang ke arah Mo Keng Hosiang!
Bukan main hebatnya serangan ini dan amat indah pula gerakannya sehingga terdengar pujian, “Bagus
sekali!”
Yang memuji ini adalah Kiam Ki Sianjin yang berdiri menonton saja. Seperti sikap Bu-eng Siang-hiap saat
menonton pertempuran antara Kwan Cu dengan An Lu Kui bersama dua orang pembantunya, kini Kiam Ki
Sianjin juga menonton saja, enggan membantu kedua orang hwesio itu yang memang tidak disukainya.
Namun diam-diam dia sangat memperhatikan gerakan pemuda aneh itu dan makin lama kedua mata tosu
ini semakin terbelalak lebar karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan ilmu silat demikian
anehnya seperti yang sedang dimainkan oleh pemuda pemegang suling itu!
Kiam Ki Sianjin adalah seorang kang-ouw yang ulung dan banyak pengalaman. Sudah banyak dia melihat
ilmu silat tinggi-tinggi dan serba aneh. Bahkan dia mampu mengenal ilmu silat dari lima tokoh besar dunia
persilatan, yakni ilmu-ilmu silat dari Ang-bin Sin-kai, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi belum pernah dia melihat ilmu
silat yang dimainkan oleh pemuda ini.
Tadi dia telah mendengar seruan An Lu Kui bahwa pemuda ini adalah murid dari Ang-bin Sin-kai dan
memang betul, gerakan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia perhatikan,
ternyata banyak sekali perbedaannya.
Pemuda ini bergerak seenaknya saja seperti bukan orang main silat, lebih patut disebut main-main saja,
seperti seorang pemuda tidak becus main silat yang berpura-pura mau bermain silat. Akan tetapi, semua
dunia-kangouw.blogspot.com
gerakannya menghindarkan diri dari serangan kedua lawannya tepat sekali dan biar pun gerakannya
ketolol-tololan, akan tetapi bukan main hebatnya.
Apa lagi setelah dia memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu kini bersilat tepat seperti ilmu silat yang
dimainkan oleh kedua lawannya, Kiam Ki Sianjin menjadi bengong! Setiap kali diserang oleh Mo Beng
Hosiang, pemuda itu melayani hwesio tangan kilat itu dengan ilmu silat yang sangat mirip dengan Pek-lek
Sin-jiu! Ada pun apa bila Mo Keng Hosiang yang menyerang, pemuda ini juga menghadapinya dengan ilmu
silat tepat sama seperti yang dimainkan oleh Ruyung Pemecah Gunung itu.
“Iblis muda dari manakah dia? Ilmu silat apa yang telah dia pelajari?” Demikian Kiam Ki Sianjin bertanyatanya
di dalam hatinya sendiri.
Tosu yang cerdik itu sengaja tidak mau turun tangan lebih dulu. Bukan saja karena dia memang tak suka
untuk membantu dua orang hwesio kepercayaan putera mahkota yang diam-diam dimusuhi pula oleh
muridnya, yaitu Si Su Beng, akan tetapi juga dia hendak mempelajari terlebih dahulu gerakan pemuda itu
untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaiannya supaya nanti kalau dia harus menghadapi pemuda
itu, dia sudah dapat mengetahui cara bagaimana harus melawannya.
Ada pun Kwan Cu, setelah menghadapi keroyokan dua orang hwesio itu beberapa puluh jurus, diam-diam
terkejut. Baru sekali ini dia menjumpai lawan-lawan yang benar-benar tangguh. Walau pun dengan mudah
dia dapat menghadapi semua serangan mereka dan dapat menyelamatkan diri tanpa banyak kesukaran,
namun untuk membalas menyerang, juga bukan hal yang mudah. Setiap pukulan sulingnya dapat ditangkis
oleh tangan yang keras dan kuat dari Mo Beng Hosiang, ada pun senjata yang aneh dari Mo Keng Hosiang
juga cukup tangguh untuk menangkis setiap serangannya sulingnya.
Ketika dia mempelajari ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau berdaun putih, Kwan Cu sudah
mempelajari pula semua ilmu-ilmu silat tinggi yang terukir pada dinding-dinding goa. Ilmu silat itu hampir
meliputi seluruh pokok dasar ilmu silat tinggi yang ada di dunia persilatan.
Dari latihan-latihan ini, kemudian dimatangkan oleh kepandaian pokok dasar persilatan yang dipelajarinya
dari kitab rahasia itu, Kwan Cu sudah dapat menggabung semua ilmu silat itu sehingga dengan sendirinya
menciptakan berbagai ilmu silat yang aneh-aneh. Di antaranya, dia telah dapat mengatur ilmu silat tangan
kosong berdasarkan lweekang dan khikang, disertai hawa di dalam tubuh menurut latihan siulian dari kitab
itu.
Ilmu silat ini dia beri nama Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Ia memberi nama ilmu sihir karena di
dalam gerakan ilmu silat ini bangkit tenaga batin yang amat kuat sehingga kedua lengannya dapat
mengebulkan uap putih seperti mega putih. Uap putih inilah yang mempunyai pengaruh menolak segala
serangan yang dilakukan berdasarkan tenaga dari ilmu hitam atau segala macam hoat-sut (ilmu sihir).
Selain ini, masih banyak sekali ilmu-ilmu silat yang aneh dan tinggi yang diciptakan oleh Kwan Cu. Akan
tetapi maklumlah, dia masih muda sekali dan belum banyak pengalaman bertempur sehingga ketika
menghadapi dua orang hwesio yang tangguh itu, dia masih belum mendapat jalan bagaimana harus
mengalahkan mereka.
Menghadapi ketangguhan mereka, timbullah niat di dalam hati Kwan Cu untuk mencoba ilmu-ilmu silat
yang diciptakannya sendiri. Karena itu, ketika dia mengelak dari serangan lawan-lawannya, dia segera
menyelipkan sulingnya kembali pada ikat pinggangnya, lalu dia mengeluarkan seruan tinggi dan nyaring.
Maka berubahlah ilmu silatnya. Kini dia tidak mau meniru ilmu silat dari kedua lawannya untuk menjaga
diri, melainkan langsung mengerahkan tenaga dalam dan mainkan Pek-in Hoat-sut.
Bukan main hebatnya akibat dari permainan ilmu silatnya ini. Dengan dua kali sampokan lengannya yang
mengebulkan uap putih, tangan Mo Beng Hosiang tertangkis dan lantas memekik kesakitan, sedangkan
Mo Keng Hosiang berseru terkejut karena senjatanya terpental dan terputus pada tengah-tengahnya!
Kemudian, dua kali lagi pukulan Kwan Cu diikuti oleh jerit kesakitan dan terpentallah tubuh dua orang
hwesio itu sampai ke dinding ruangan dan mereka rebah tak bergerak lagi karena sudah pingsan!
Akan tetapi, Kwan Cu sendiri setelah mengeluarkan empat kali gerakan itu, tubuhnya lalu terhuyunghuyung
dan cepat-cepat dia mengatur pernapasannya sehingga sebentar saja keadaannya sudah pulih
kembali. Tahulah dia bahwa dalam menggunakan tenaga luar biasa ini, karena kurang pengalaman, dia
telah mengerahkan terlampau keras sehingga menguras hawa di dalam tubuhnya sendiri!
dunia-kangouw.blogspot.com
Oleh karena itu, dia sekarang maklum bahwa ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut tidak boleh dibuat main-main
dan harus dilakukan dengan sewajarnya dan tidak dipaksa. Akan tetapi dia girang sekali melihat hasilnya,
meski pun dia merasa agak menyesal karena khawatir kalau-kalau dua orang hwesio itu tewas.
“Hebat… Hebat…! Entah ilmu silat iblis apakah yang sudah kau pergunakan tadi. Anak muda, kau benarbenar
lihai sekali. Amat aneh kalau Ang-bin Sin-kai mempunyai murid seperti engkau.”
“Kiam Ki Sianjin, aku memang murid dari mendiang suhu Ang-bin Sin-kai,” kata Kwan Cu sederhana.
Sesudah dapat mengalahkan dua orang lawannya yang tangguh tadi, besarlah hati Kwan Cu. Dia sedang
mencari musuh-musuh besar suhu-nya yang sangat tangguh, yakni di antaranya Jeng-kin-jiu dan Hek-i
Hui-mo, dua orang tokoh besar yang sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Maka sekarang, di
samping dia ingin memberi hajaran kepada orang-orang yang bermaksud mencelakakan kongkong-nya ini,
juga dia hendak menguji kepandaiannya sendiri.
“Hemm, biarlah, aku tidak peduli kau murid dari siapa. Akan tetapi coba kau menghadapi pedangku, kita
main-main sebentar, anak muda.”
Baru saja kata-kata ini habis dikeluarkan dan tangannya bergerak sedikit ke belakang, tahu-tahu tosu ini
sudah memegang sebatang pedang yang bukan sembarang pedang, karena pedang itu hitam seluruhnya!
“Hemm, orang tua. Siapa yang percaya omonganmu? Kau bilang main-main, akan tetapi mengeluarkan
pedang. Dan kau pun bermaksud mencelakakan kongkong, maka dengan demikian berarti bahwa kau juga
musuh. Tak perlu kau menggunakan kata-kata hendak main-main, marilah kita mengadu kepandaian,
hendak kucoba lihainya Dewa Utara!”
“Bagus, terimalah ini!” Kiam Ki Sianjin berseru sambil melompat maju dan menusukkan pedang hitamnya
ke arah ulu hati Kwan Cu.
Akan tetapi, melihat gerakan ini dan mengerling sekilas ke arah pundak tosu itu, Kwan Cu sudah dapat
menduga bahwa serangan ini tidak akan dilanjutkan oleh tosu itu dan hanya merupakan pancingan belaka.
Sebab itu dia sengaja berdiri tegak, tidak mengelak mau pun menangkis sama sekali!
Sikap pemuda ini sangat mengherankan hati Kiam Ki Sianjin, akan tetapi karena sudah kepalang, dia
melanjutkan serangannya. Memang benar dugaan Kwan Cu, serangannya yang dia namakan gerak tipu
Menggertak Bintang Menghancurkan Bulan ini, serangan pedang ke ulu hati lawan tadi hanya gertakan
belaka, akan tetapi sebetulnya pada saat pedangnya sudah mendekati, dia akan menariknya kembali dan
berbareng tangan kirinya menghantam ke arah kepala lawan sambil mengajukan kaki kirinya ke depan!
Apa bila lawan dapat terpikat, tentu akan mengelak atau menangkis serangan pedang sehingga tidak
menyangka akan datangnya pukulan tangan kiri yang tiba-tiba dan amat berbahaya itu. Pukulan tangan kiri
ini memang hebat sekali, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk menggulingkan seorang lawan
yang kurang kuat. Di dalam pukulan ini, Kiam Ki Sianjin menggunakan tenaga yang disebut Soan-hongkang
(Tenaga Angin Puyuh).
Namun Kwan Cu sudah bersiap sedia menghadapi ini. Ia sudah dapat menduga bahwa serangan
susulanlah yang berbahaya. Menghadapi pukulan yang mendatangkan hawa pukulan dingin ini, dia hendak
mencoba tenaga pukulan Pek-in Hoat-sut, maka dia tidak mau mengelak, sebaliknya lalu mengangkat
lengan kanan yang telah mengeluarkan uap putih untuk menangkis.
“Dukkk...!”
“Ayaaaaaaa, lihai sekali!”
Kiam Ki Sianjin berseru sambil mudur dua langkah, karena pertemuan lengan itu sudah membikin gempur
kuda-kudanya.
Juga Kwan Cu merasa lengan kanannya tergetar hebat dan dia pun mundur sampai dua langkah. Bukan
main hebatnya pukulan Soan-hong-kang dari Kiam Ki Sianjin tadi. Akan tetapi diam-diam Kwan Cu menjadi
girang bukan main.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia tadi hanya mengerahkan setengahnya lebih dari tenaga Pek-in Hoat-sut, kira-kira hanya enam bagian.
Kalau tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya, dia yakin bahwa dia tentu akan dapat membuat tosu itu
terpental jauh. Hal ini amat membesarkan hatinya dan dia tersenyum lebar. Tentu saja dengan pengertian
bahwa ilmunya masih lebih tinggi dari lawannya ini, dia pun menjadi tabah sekali.
“Totiang (panggilan untuk tosu), kau belum lagi menyaksikan semua pukulanku ini, bagai mana sudah tahu
kelihaiannya? Nah, kini cobalah kau tahan!” Setelah berkata demikian, Kwan Cu membalas serangan tosu
itu dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, kini dia tambah tenaganya kira-kira tujuh bagian.
Benar saja, Kiam Ki Sianjin terkejut bukan main. Ia melihat betapa kedua lengan tangan pemuda itu
mengebulkan uap asap putih yang mendatangkan hawa panas luar biasa. Angin pukulan itu saja sudah
menggetarkan tubuhnya. Maka dia lalu menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Tangan kirinya
menggunakan tenaga Soan-hong-kang, sedangkan tangan kanannya memainkan pedang hitamnya
dengan cepat sekali.
Akan tetapi harus dia akui bahwa dia terdesak hebat, karena sebelum mengenai tubuh lawan, pedang
hitamnya itu telah bertolak kembali oleh hawa pukulan aneh dari lengan beruap putih itu! Sampai tiga puluh
jurus Kwan Cu sambil tersenyum-senyum girang memainkan ilmu Pek-in Hoat-sut.
Hatinya semakin besar karena dengan ilmu silat ini saja, apa bila dia mau mengerahkan tenaga
sepenuhnya, dia percaya akan dapat segera menang dari tosu ini. Akan tetapi pengalamannya tadi sudah
membuat dia kapok, tidak berani lagi dia mengerahkan terlalu banyak tenaga, khawatir kalau-kalau dia
kehabisan hawa dalam tubuh.
“Kurang cukup lihai, Totiang? Nah, ini ilmu silatku yang lain!” Pemuda ini dengan gembira mengejek.
Tiba-tiba saja ilmu silatnya berubah hebat sekali. Kalau tadi gerakannya tenang namun bertenaga,
sekarang gerakannya lincah dan seperti tidak karuan. Dia melompat-lompat, menubruk dan kedua kakinya
bukan menendang, melainkan mencakar! Namun kedua tangannya yang dibuka laksana cakar pula,
mencengkeram sana-sini dengan kekuatan serta kecepatan luar biasa sekali. Inilah ilmu silat ciptaannya
sendiri yang dikarangnya menurut lukisan-lukisan pada dinding.
Banyak sekali pelajaran ilmu silat yang berupa Kin-na-hoat atau ilmu silat mencengkeram yang
dipergunakan untuk merampas senjata musuh. Karena banyaknya ilmu silat macam ini, dia lalu memilih
dan menciptakannya menurut gerakan seekor burung merak, maka ilmu silat ciptaannya yang aneh ini
bernama Kong-ciak Sin-na atau Ilmu Mencengkeram Burung Merak!
Kembali Kiam Ki Sianjin tertegun. Kalau selama hidupnya dia belum pernah menyaksikan Ilmu Silat Pek-in
Hoat-sut yang tadi dimainkan oleh pemuda ini dan yang telah membuat dirinya repot sekali, adalah ilmu
silat yang dimainkan lawannya sekarang ini, jangankan melihat, bahkan dalam mimpi pun belum pernah
dia menyaksikannya!
Dia bisa menduga bahwa ini adalah sejenis ilmu mencengkeram, akan tetapi Kin-na-hoat macam apa?
Gerakannya kacau-balau, namun pemuda itu seakan-akan kini mempunyai empat tangan. Kedua kakinya
merupakan dua tangan pula karena pemuda itu melompat tinggi dan baik kaki mau pun tangannya lalu
mencakar-cakar dan mencengkeram ke arah mata, hidung, tenggorokan, ulu hati dan mencoba untuk
merampas pedangnya!
Kiam Ki Sianjin bingung dan kelabakan. Dia lalu menjadi penasaran dan mencoba untuk membabat
pinggang pemuda itu ketika lawannya sedang melompat tinggi. Akan tetapi, kaki Kwan Cu mencengkeram
ke arah pundaknya sedemikian cepatnya sehingga kalau Kiam Ki Sianjin melanjutkan babatannya,
sebelum pedang mengenai tubuh lawan tentu pundaknya sudah akan terkena cengkeraman kaki atau
semacam tendangan yang aneh gerakannya.
Kiam Ki Sianjin menarik kembali tangannya untuk membabat kaki yang menyerangnya. Akan tetapi tibatiba
tangan Kwan Cu mencengkeram pergelangan tangannya dan di lain saat, pedangnya telah terampas!
Kwan Cu tertawa dan melompat berjumpalitan ke belakang, kemudian dia berdiri sambil tersenyumsenyum
dengan pedang hitam di tangannya.
“Pedang busuk!” katanya dan sekali dia menekuk tiga jarinya pada pedang itu, terdengar suara nyaring
karena pedang itu telah patah pada bagian tengahnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Terimalah kembali senjatamu!” seru Kwan Cu sambil melontarkan potongan pedang itu kepada
pemiliknya.
Kiam Ki Sianjin melihat dua sinar hitam berkelebat menuju ke tenggorokan dan dadanya. Dia cepat-cepat
mengelak sambil melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari senjatanya sendiri. Akan tetapi
ketika dia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari depannya!
“Setan...! Iblis...!” Beberapa kali Kiam Ki Sianjin berkata seorang diri sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Dia harus akui bahwa selamanya dia belum pernah menghadapi lawan yang sedemikian pandainya dan
dia mengaku bahwa di dunia persilatan telah muncul seorang pendekar muda yang amat sakti. Maka dia
berjanji hendak memperdalam ilmu silatnya karena dia merasa bahwa dia telah tertinggal jauh sekali…..
********************
Hati Kwan Cu gembira dan puas sekali ketika dia meninggalkan ruangan besar tempat orang-orang penting
itu berkumpul. Tanpa disengaja dan dicari, sekarang dia telah dapat menemukan sebuah peta berikut
penjelasan dari An Lu Kui beserta kawan-kawannya tentang tempat persembunyian Menteri Lu Pin. Hal ini
sudah amat membesarkan hatinya karena selain dia juga sudah mendengar makin jelas mengenai
kegagahan sepak terjang kongkong-nya itu, juga ia mendapat kesempatan untuk mencari kongkong-nya
kemudian melindungi orang tua yang baik hati itu.
Selain dari pada itu, dia pun mendapat kesempatan untuk menguji kepandaiannya pada orang-orang yang
memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi di samping kepuasan ini juga dia maklum bahwa kini tidak saja dia
menghadapi musuh besar yang lihai dan yang sudah menewaskan suhu-nya, namun juga mendapat
musuh-musuh besar yang mengancam keselamatan kongkong-nya.
Malam itu ia tidak langsung keluar dari lingkungan istana, akan tetapi masih mencari-cari dan menyelidiki.
Dia ingin sekali menyelidiki keadaan di sana dan juga ingin mencari pangeran botak putera An Lu Kui untuk
menolong wanita yang terancam oleh pangeran mata keranjang itu.
Malam sudah amat larut dan bulan tua mulai menampakkan diri di antara mega-mega hitam. Kwan Cu
sudah mulai putus asa mencari tempat kediaman Pangeran An Kong karena keadaan di situ sunyi belaka.
Dia pikir bahwa pangeran botak itu mungkin sekali berada di luar istana dan hal ini membuat dia menyesal
sekali mengapa tadi siang dia tidak mengikuti pangeran itu, dan tidak menanyakan keterangan kepada Lu
Thong. Dia menyesal karena dipikirnya bahwa wanita itu tidak akan dapat tertolong lagi.
Akan tetapi mendadak dia mendengar suara wanita menangis perlahan. Cepat bagaikan seekor burung,
dari atas genteng Kwan Cu melompat ke bawah dan mengintai ke dalam sebuah kamar dari rumah gedung
yang berada di sebelah selatan kelompok bangunan istana itu. Hatinya berdebar girang dan juga warna
merah menjalari mukanya ketika dia melihat siapa adanya orang yang berada di dalam kamar itu.
Di dalam kamar itu sangat terang dan keadaan perabot kamarnya mewah sekali. Bahkan dari luar jendela
saja sudah dapat tercium bau yang amat harum, tanda bahwa penghuni kamar adalah seorang pesolek
yang mewah. Di atas meja yang indah terdapat guci arak yang menyiarkan bau harum pula, arak baik yang
amat mahal.
Wanita yang menangis terisak-isak dengan suara perlahan karena takut, adalah seorang gadis berusia
kurang lebih delapan belas tahun, berwajah cantik akan tetapi pucat sekali. Rambutnya terlepas serta
terurai menutupi sebagian mukanya yang berkulit halus, ada pun pakaiannya kusut. Gadis ini duduk di atas
sebuah bangku sambil menangis sedih.
Di depannya, juga duduk di atas bangku sambil kadang-kadang minum arak dari cawan emasnya,
nampaklah pangeran botak An Kong dengan mata bersinar-sinar dan mulut tersenyum-senyum.
“Kui Lan, mengapa kau begitu keras hati dan keras kepala? Mengapa pula kau berduka? Ingatlah, bukan
sembarang wanita dapat masuk ke kamar ini dan lebih-lebih lagi bukan sembarang wanita dapat menjadi
biniku, walau pun hanya bini muda. Aku amat sayang kepadamu, Kui Lan, kau cantik jelita dan halus
gerak-gerikmu, aku sayang dan kasihan kepadamu. Tahukah kau bahwa kalau bukan kau, tapi gadis lain
yang berkeras menolak kehendakku, akan kusuruh algojo untuk menyiksanya? Atau aku akan
dunia-kangouw.blogspot.com
mempergunakan kekerasan. Akan tetapi kepadamu aku tidak mau berlaku demikian, Kui Lan. Aku cinta
padamu dan aku ingin kau membalas cintaku itu.”
Jawaban Kui Lan gadis itu, hanyalah suara tangis yang lebih menyedihkan hati. Kwan Cu sudah mendidih
darahnya menyaksikan keadaan ini, akan tetapi dia masih bersabar. Dia hendak mendengar dan melihat
lebih lanjut apa yang akan terjadi, oleh karena dia belum mengerti duduknya perkara.
“Kui Lan, kalau kau mau menyambut cinta kasihku, dan kalau kau mau berlaku manis kepadaku,
percayalah, ada kemungkinan kau akan kuangkat menjadi isteriku yang sah! Menurutlah, Kui Lan, bungaku
yang manis,” kata pula An Kong dengan suara membujuk setelah dia menenggak habis arak di dalam
cawannya.
Kini gadis itu menurunkan kedua tangan yang menutupi mukanya. Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa
gadis itu memang luar biasa cantiknya.
“Siauw-ong-ya...” Gadis itu berkata dengan suara gemetar, namun terdengar merdu dan halus, “aku tidak
menghendaki semua kedudukan tinggi itu. Apakah kau tidak kasihan kepadaku, Siauw-ong-ya. Kau sudah
tahu bahwa aku... bahwa di sana sudah ada The Kun Beng... bahwa aku harus bersetia kepadanya
karena... Aku sangat cinta padanya... Siauw-ong-ya, kembalikanlah aku kepada orang tuaku atau… atau
kau bunuh saja aku agar aku dapat bersetia pada The Kun Beng sampai matiku, sesuai dengan
sumpahku...”
Mendengar ini, Kwan Cu menjadi terkejut sekali. The Kun Beng... Ia ingat betul nama ini dan terbayanglah
wajah seorang bocah tampan yang manis budi, yaitu murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Sekaligus terbayang pula semua pengalaman dirinya dengan murid Pak-lo-sian ini ketika dia masih kecil
dan perhatiannya makin membesar terhadap gadis yang mengaku cinta kepada The Kun Beng ini.
Tapi sebaliknya, An Kong nampak marah sekali. Pemuda botak ini bangkit berdiri dengan kasar sehingga
bangku yang didudukinya terguling, menimbulkan suara berisik. Mukanya menjadi semakin merah,
sebagian karena pengaruh arak akan tetapi sebagian besar lagi karena pengaruh kemarahannya.
“Kau benar-benar keras kepala dan menggemaskan! Bagaimana kau berani menyebut-nyebut nama The
Kun Beng, pemuda liar murid iblis tua Siangkoan Hai itu? Apa kau kira aku takut jika kau menyebut-nyebut
namanya? Apa kau kira aku tak tahu akan riwayatmu yang kotor dengan pemuda itu? Kui Lan! Boleh jadi
kau mencinta pemuda iblis itu karena tertarik oleh ketampanannya, akan tetapi kau goblok sekali. Kau pun
tahu bahwa dia tak mungkin dapat menjadi suamimu karena dia sudah bertunangan dengan Bun Sui Ceng,
gadis liar itu!”
Kembali Kwan Cu terkejut dan hatinya berdebar keras, mukanya pun berubah. Kun Beng bertunangan
dengan Sui Ceng? Terbayanglah wajah Sui Ceng yang manis dan teringat kembali dia akan pembohongan
terhadap gadis raksasa Liyani pada saat dia menuturkan bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng!
Ataukah hal itu bukan suatu kebohongan? Apakah benar-benar dia mencinta Sui Ceng? Tak mungkin!
Akan tetapi mengapa dia merasai hatinya berdebar dan telinganya panas mendengar bahwa Sui Ceng
sudah bertunangan dengan Kun Beng?
Kembali Kui Lan mengucurkan air mata. “Meski semua itu benar belaka, Siauw-ong-ya, namun aku cinta
kepada Kun Beng dan aku bersumpah tidak akan menjadi isteri laki-laki lain, biar pun aku tiada harapan
untuk menjadi isterinya.”
“Perempuan bodoh! Bagaimana kau masih setia terhadap seorang laki-laki yang berlaku begitu kejam
terhadapmu? Dia telah merusak namamu, telah mengkhianati suheng-nya sendiri, telah melakukan
perbuatan terkutuk padamu, telah menyeretmu ke dalam lumpur kehinaan...”
“Cukup. Siauw-ong-ya! Walau pun apa yang akan terjadi, aku akan bersetia sampai mati kepadanya. Dia
tetap merupakan laki-laki tunggal yang boleh menguasai hati, jiwa dan ragaku. Bunuhlah aku kalau kau
kehendaki!”
Marahlah An Kong mendengar ini. Ia melompat dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Kui Lan. Ia mengulur
tangan menangkap pergelangan tangan wanita itu, akan tetapi Kui Lan sigap mengelak.
Kwan Cu yang tadinya sudah bersiap hendak melompat masuk, tertegun melihat betapa gadis itu
dunia-kangouw.blogspot.com
sedikitnya mengerti ilmu silat, karena gerakannya ketika mengelak menunjukkan bahwa dia mengerti ilmu
menjaga diri.
Akan tetapi, kepandaian gadis itu ternyata tidak seberapa karena di lain saat, tangannya sudah tertangkap
oleh An Kong.
“Kui Lan, aku cinta padamu. Marilah kita minum arak bersama, Manis!” kembali suaranya melembut karena
sesungguhnya dia tidak tega untuk bersikap kasar terhadap gadis ini. Dia menarik Kui Lan ke meja dan
melepaskan pegangannya, lalu menuangkan arak ke dalam cawannya yang kosong.
“Minumlah, Manis, mari kita habiskan isi cawan ini seorang setengah. Hayo minumlah, Sayang...”
Tetapi Kui Lan menggunakan tangan kanannya yang tidak terpegang untuk menyampok cawan. Gerakan
ini tidak hanya membuat cawan itu terlepas dari pegangan An Kong, malah guci arak yang berdiri di atas
meja pun terguling sehingga pecah. Arak yang putih harum mengalir keluar membasahi meja.
Habislah kesabaran An Kong. “Kau menghendaki kekerasan, bunga liar? Baik, baik, aku akan melayani
kehendakmu!” setelah berkata demikian, An Kong hendak memeluk.
Akan tetapi Kui Lan menampar mukanya sehingga terpaksa dia menggunakan tangan kiri menangkap
tangan yang menampar itu. Pada saat mereka bergulat, terdengarlah suara tenang akan tetapi
berpengaruh,
“An Kong, anjing berwajah manusia, lepaskan dia!”
An Kong kaget sekali. Cepat dia melepaskan Kui Lan dan melompat sambil membalikkan tubuhnya. Di lain
saat dia telah mencabut sepasang senjatanya, yakni kebutan di tangan kiri dan joan-pian di tangan kanan.
Pada waktu dia memandang, ternyata bahwa yang berada di dalam kamarnya itu adalah pemuda
berpakaian sederhana yang siang tadi dia lihat di rumah makan dan yang telah dihinanya kemudian dia
dicegah oleh Lu Thong, suheng-nya. Memuncak kemarahannya dan dengan gemas dia membentak,
“Jembel busuk, bagaimana kau berani memasuki kamarku?”
Kwan Cu tersenyum mengejek. “An Kong, semua yang mengelilingi dirimu, pangkat dan kedudukan,
pakaian yang mewah, kamar yang indah, kesemuanya ini hanya merupakan selimut yang
menyembunyikan watak aslimu yang rendah dan hina dina. Orang macam kau masih berani memaki aku?”
“Bangsat bermulut kotor! Kau telah mengetahui namaku, apakah kau tidak tahu bahwa aku adalah murid
dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tokoh besar dari selatan? Siapakah kau yang begitu berani mati
mengantarkan nyawa sendiri ke sini?”
“Aku bernama Kwan Cu dan gurumu itu sudah lama aku kenal, jadi tidak perlu lagi kau
memperkenalkannya kepadaku.”
An Kong sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi, sambil berseru keras dia segera menyerang
dengan joan-pian di tangan kanannya, lalu diikuti oleh sambaran kebutannya yang menotok jalan darah
Kwan Cu di bagian iga.
Kwan Cu maklum bahwa kepandaian An Kong cukup tinggi kalau dibandingkan dengan ahli silat-ahli silat
tingkat biasa, akan tetapi baginya tentu saja bukan apa-apa. Dengan mudah dan sigap dia miringkan tubuh
untuk mengelak dari sambaran joan-pian, ada pun serangan kebutan ke arah iganya itu dapat dia sampok
dengan jari-jari tangannya. Lalu secepat kilat Kwan Cu melanjutkan gerakan menyerang, dia menyampok
muka pemuda botak itu dengan telapak tangannya.
An Kong terkejut sekali melihat cepatnya gerakan lawan dan bagaimana lawannya dapat menyampok
serangan kebutannya yang terkenal lihai sekali itu. Cepat dia menggunakan kebutannya untuk menangkis
tamparan pada mukanya ini dengan maksud untuk melukai tangan Kwan Cu.
Akan tetapi, betapa heran dan kagetnya ketika kebutannya itu pada saat beradu dengan tangan lawannya,
kemudian terpental kembali dan menyabet ke arah mukanya sendiri! An Kong mengeluarkan teriakan
tertahan dan cepat melompat mundur sambil berjungkir balik beberapa kali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha, An Kong, lihatlah baik-baik. Cambukmu bahkan lebih mengerti bahwa orang macam kau yang harus
dihajar!” kata Kwan Cu yang tidak mau memberi hati lagi.
Pemuda ini lantas menyerang dengan pukulan-pukulan tangan miring yang dipelajarinya dari lukisanlukisan
di dinding goa. Ini merupakan ilmu silat tangan kosong lain macam lagi yang telah dipahaminya,
yaitu ilmu silat yang dimainkan dengan kedua tangan miring dan jari-jari tangan terbuka. Kwan Cu
menamakan ilmu silatnya ini Heng-pai Hud-jiu (Ilmu Silat Memuja Budha Tangan Miring). Namun gerakan
kakinya masih mengambil sistem dari Ilmu Siat Sam-hoan-ciang (Ilmu Silat Tiga Lingkaran) yang dia
pelajari dari suhu-nya, Ang-bin Sin-kai.
Menghadapi serangan-serangan aneh ini, An Kong tak berdaya dan segera dia terdesak mundur terus.
Meski pemuda botak ini mengerahkan kepandaian dan tenaga, mencoba menyerang lawan dengan
sepasang senjatanya, akan tetapi tubuh lawannya bagaikan bayangan saja yang tak dapat diserang
dengan senjata.
Kwan Cu yang sudah tahu akan semua gerakan lawan, tahu pula ke arah mana senjata itu menyambar,
tentu saja lebih dulu dapat mempersiapkan diri mencari kedudukan yang kosong lalu menyerang tanpa
mempedulikan sambaran senjata yang tentu takkan dapat mengenai tubuhnya yang sudah mengambil
tempat yang kosong itu.
Ada pun Kui Lan, gadis itu, berdiri dengan mulut ternganga. Ia tahu betul akan kelihaian An Kong yang
memiliki kepandaian setingkat dengan The Kun Beng. Akan tetapi bagai mana pemuda aneh itu mampu
menghadapinya dengan tangan kosong, bahkan dalam beberapa gebrakan saja telah mendesak An Kong
sedemikian rupa?
Kwan Cu belum pernah menghadapi peristiwa seperti yang dia lihat di dalam kamar tadi. Hal ini
menimbulkan kebenciannya terhadap An Kong dan karena kali ini dia menghadapi musuh dengan hati
benci. Karena itu, dia tidak main-main lagi dan ingin menyelesaikan pertempuran itu secepat mungkin.
Pada saat lawannya sudah terdesak hebat di pojok kamar, Kwan Cu cepat memasukkan tangannya
menghantam pinggang An Kong. Pemuda botak ini menjerit keras dan kedua senjatanya terlepas dari
tangannya, lalu dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan. Dari mulutnya keluar darah!
Pada saat itu terdengar pintu kamar diketok orang dan suara yang keras memanggil.
“Kong-ji (anak kong), kau belum tidur?”
Itulah suara An Lu Kui, pikir Kwan Cu. Dia mendengar pula tindakan kaki banyak orang, maka tahulah dia
bahwa An Lu Kui tidak datang sendiri. Cepat dia melompat ke depan gadis itu.
Kui Lan melangkah mundur dengan wajah makin pucat. Sepasang matanya yang bening memandang
kepada Kwan Cu penuh kecurigaan. Ketika Kwan Cu mengulurkan tangan dengan maksud mengajak gadis
itu lari keluar dari tempat itu, Kui Lan mundur lagi sambil menggeleng-geleng kepala dan berkata,
“Tidak... tidak... jangan kau sentuh aku.”
Bukan main gemasnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Mukanya menjadi merah sekali. Dia tahu bahwa
gadis ini telah menjadi ngeri hatinya melihat laki-laki, setelah mengalami kekagetan dari An Kong. Hmm,
apakah dia menganggap aku juga seorang laki-laki mata keranjang? Hatinya gemas dan dia berkata
dengan kaku,
“Nona, kamar ini sudah terkurung, maka aku tidak perlu banyak cakap. Pendeknya, kau ingin keluar dari
sini atau tidak?”
“Tentu saja!” jawab Kui Lan cepat dan gadis ini lalu menggerakkan kaki melompat ke arah jendela yang
masih tertutup.
Kwan Cu maklum akan maksud gadis itu, yakni hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi, melihat gerakan
gadis itu yang tidak begitu kuat, dia khawatir sekali dan sebelum gadis itu sampai di jendela, dia telah
menyambar dan tahu-tahu dia sudah memeluk pinggang yang ramping itu, langsung dipondongnya tanpa
mempedulikan betapa gadis itu terus meronta-ronta dalam pondongannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu mencabut suling dan melompat ke arah jendela, sekaligus menendang daun jendela terbuka
sambil memutar sulingnya. Baiknya dia melakukan hal ini karena begitu jendela terbuka, beberapa batang
golok sudah menyerang ke arah jendela. Akan tetapi golok-golok ini tertangkis oleh putaran sulingnya
sehingga beterbangan dan mencelat ke sana-sini dan ada pula yang patah menjadi dua! Kemudian Kwan
Cu meloncat ke atas genteng.
An Lu Kui dan beberapa orang perwira menyusul, akan tetapi dua orang yang terdepan, roboh kembali ke
bawah genteng karena tendangan Kwan Cu yang telah siap sedia. An Lu Kui yang sudah tahu akan
kelihaian Kwan Cu, tidak berani mengejar, hanya berteriak-teriak memberi tanda pada para pengawal
istana untuk mengejar pemuda itu, kemudian dia segera memasuki kamar puteranya. Alangkah kagetnya
ketika dia melihat keadaan An Kong, maka dia segera menolongnya.
Sedangkan Kwan Cu dengan gadis itu masih berada di dalam pondongannya, berloncat-loncatan dari
genteng ke genteng hingga dia sampai di dinding tembok yang mengelilingi kelompok bangunan istana.
Para pengawal telah siap sedia dan segera mengeroyok pemuda itu. Akan tetapi mereka ini tentu saja
hanya merupakan makanan empuk bagi Kwan Cu. Dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan
kanannya, beberapa orang pengawal lantas terlempar jauh dalam keadaan pingsan menimpa kawankawan
lain sehingga para pengeroyok menjadi gentar. Ketika mereka memandang, ternyata pemuda itu
bagaikan seekor burung garuda sudah melompat naik ke atas dinding yang demikian tingginya.
Barisan anak panah dari dalam dan luar tembok menghujankan anak panah mereka ke arah bayangan
Kwan Cu, namun pemuda itu terlalu gesit bagi mereka. Apa lagi dengan tangan kanannya mengebut ke
sana ke mari, anak-anak panah itu runtuh semua dan sebentar saja Kwan Cu sudah melompat turun di luar
tembok dan menghilang ke dalam kegelapan.
Gempar seluruh istana. Belum pernah istana diserbu oleh seorang pengacau sedemikian lihainya sehingga
nama Lu Kwan Cu menjadi buah tutur semua orang. Ketika Lu Thong mendengar akan hal ini, diam-diam
dia mengeluh dan berkali-kali menyayangkan bahwa pemuda sedemikian saktinya tidak mau bekerja sama
dengan dia…..
********************
Kita tinggalkan dulu Lu Kwan Cu yang menolong Kui Lan dan membawa lari gadis itu dari dalam istana.
Marilah kita menengok keadaan Menteri Lu Pin, menteri yang amat setia dan berjiwa patriot.
Di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, di sebelah selatan kira-kira lima puluh lie dari kota Tai-goan, di antara
dua pegunungan besar yakni Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, terdapat daerah
pegunungan yang amat liar. Banyak bukit-bukit kecil di daerah ini dan di antaranya terdapat sebuah bukit
yang penuh batu karang, akan tetapi anehnya di atas batu-batu karang ini tumbuh pula pohon-pohon
besar.
Di atas bukit ini, di tempat yang sangat tersembunyi dan tertutup oleh batu-batu karang raksasa yang
menjulang tinggi, tempat yang amat sunyi dan sepi seperti mati, terdapat sebuah goa batu karang. Goa ini
luar biasa besarnya dan amat gelap sehingga orang akan merasa ragu-ragu untuk memasukinya, karena
goa semacam ini biasanya menjadi tempat persembunyian binatang-binatang buas. Malah di dalam
dongeng, goa-goa besar seperti ini biasanya ditempati oleh naga-naga atau siluman-siluman buas!
Apa lagi kalau ada orang memberanikan diri memasuki goa ini, mungkin dia akan jatuh pingsan saking
kaget dan takutnya. Agak ke sebelah dalam dari goa ini yang diterangi oleh cahaya matahari dari lobanglobang
di atas goa, terdapat pintu raksasa yang amat tebal dan berat. Sepuluh orang biasa saja belum
tentu dapat mendorong pintu itu sampai terbuka.
Di belakang pintu raksasa ini terdapat ruangan yang luas serta tinggi. Dan hebatnya, di sepanjang dinding
ruangan luas ini nampak barisan tengkorak-tengkorak yang tinggi dan besar, berdiri berderet-deret dengan
mulut terbuka yang menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar. Tengkorak-tengkorak ini dahsyat
dan menyeramkan sekali karena amat besar dan tinggi, sedikitnya ada tiga kali tinggi manusia biasa.
Bukan main seramnya keadaan di goa itu. Tengkorak-tengkorak raksasa itu seakan-akan hidup. Mata
mereka yang bolong itu seperti melirik-lirik, ada pun gigi yang besar-besar itu seperti berbunyi menggerutgerut.
Bahkan kedua lengan yang besar-besar itu bagaikan bergerak-gerak hendak menerkam siapa saja
dunia-kangouw.blogspot.com
yang berani memasuki ruangan itu.
Inilah goa Tengkorak yang dijadikan tempat sembunyi oleh Menteri Lu Pin. Sebagaimana telah dituturkan
pada bagian depan, Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dari kepungan para pasukan An Lu Shan,
kemudian Ang-bin Sin-kai menunjukkan tempat sembunyi yang baik bagi adiknya itu, yakni di goa ini.
Tadinya goa ini menjadi tempat bertapa dari Ang-bin Sin-kai selama bertahun-tahun dan di sana memang
banyak terdapat tulang belulang rangka bekas tulang binatang-binatang purba kala. Sesudah Menteri Lu
Pin bersembunyi di sana, menteri yang juga seorang ahli seni ukir yang amat pandai itu dalam waktu
senggangnya kemudian membuat tengkorak-tengkorak dari tulang-tulang binatang purba, lalu didirikan di
situ sebagai penjaga goa!
Tengkorak-tengkorak raksasa inilah yang menolongnya dari bencana, karena siapa saja yang berhasil
membuka pintu raksasa, akan terkejut dan ketakutan, lalu mundur kembali. Siapa orangnya yang tidak
akan gentar menghadapi tengkorak-tengkorak raksasa yang demikian dahsyat dan mengerikan?
Di dalam persembunyian itu, Menteri Lu Pin tidak tinggal diam dan enak-enak saja. Dia mengadakan
hubungan dengan para pemimpin pemberontak atau pejuang rakyat yang menentang pemerintahan An Lu
Shan dan kawan-kawannya. Tiga orang panglimanya yang setia kerap kali datang ke goa itu untuk
menerima petunjuk-petunjuk, mendatangi patriot-patriot yang dikenal baik oleh Lu Pin, menerima harta
pusaka yang diambil sedikit demi sedikit untuk membiayai pasukan-pasukan pejuang!
Akhirnya, harta pusaka itu habis digunakan oleh para pejuang dan yang tinggal hanyalah sebatang pedang
pusaka Kerajaan Tang yang disebut Liong-coan-kiam. Lu Pin merasa puas dan senang sekali. Betapa pun
juga, dia masih sempat melakukan bakti terhadap negara. Kalau tadinya para pemimpin pejuang masih
sering datang untuk merawat dan mencarikan makan baginya, kini kakek ini tidak memperbolehkan mereka
datang lagi.
“Kalian berjuanglah. Usirlah penjajah dari tanah air dan tolonglah rakyat jelata dari pada penindasan. Itulah
kewajiban orang-orang gagah di dunia ini. Dan tentang aku... jangan kalian pedulikan. Aku sudah tua dan
kalau untuk mencari makan saja, di bukit ini masih banyak buah-buah dan sayur-sayur yang dapat
kumakan. Tinggalkan aku seorang diri,” katanya.
Dan semenjak saat itu, benar saja kakek ini hidup sebagai seorang pertapa, seorang diri di tempat sunyi
itu. Pada waktu dia merasa lapar, dia keluar dari goanya untuk mencari buah-buah yang dapat
mengenyangkan perut. Pintu raksasa itu dapat dibuka dari dalam dengan mudah, karena ada alat
pembukanya.
Pada suatu hari, karena makanan yang disediakan di dalam goa sudah habis, kakek Lu Pin hendak keluar
dari goa untuk mencari buah-buah baru. Seperti biasa pula, sebelum membuka pintu raksasa itu terlebih
dahulu dia mengintai dari lubang kecil yang sengaja dibuatnya untuk mencari tahu keadaan di luar goa.
Alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa di luar goa itu sudah dipenuhi orang-orang yang berpakaian
sebagai tentara dan terdengar pula ringkik kuda di luar goa. Dia dapat mengerti bahwa mereka ini adalah
pasukan dari pemberontak An Lu Shan, maka segera dia menutup itu dan kembali ke dalam goa, duduk di
dekat hio-louw besar sekali sambil bersemedhi untuk menenteramkan hatinya.
Ia maklum bahwa fihak pemberontak telah menemukan tempat persembunyiannya. Akan tetapi diam-diam
kakek ini tertawa memikirkan bahwa kedatangan mereka itu tentu bukan semata-mata untuk
menangkapnya, melainkan lebih banyak akibat tertarik untuk merebut kembali harta pusaka Kerajaan
Tang. Dan harta pusaka itu telah habis dia pergunakan untuk membiayai perjuangan rakyat!
Benar saja dugaan Menteri Lu Pin. Yang datang itu adalah barisan penyelidik dari An Lu Shan yang terusmenerus
mencari Lu Pin serta harta pusaka kerajaan yang dibawanya lari. Melihat keadaan goa ini, para
penyelidik itu menjadi curiga. Biar pun mereka belum dapat memastikan bahwa orang yang dicari-carinya
berada di dalam goa, akan tetapi keadaan goa yang tersembunyi ini hendak mereka selidiki.
Di antara pemimpin pasukan ini, terdapat beberapa orang perwira yang sangat kuat dan berkepandaian
tinggi. Dengan mempersatukan seluruh tenaga, akhirnya mereka berhasil juga membuka pintu raksasa.
Akan tetapi segera mereka melompat mundur kembali dengan muka pucat sekali dan tubuh menggigil
ketika mereka menyaksikan barisan tengkorak besar-besar menyambut mereka di belakang pintu! Dan
dunia-kangouw.blogspot.com
anehnya pintu raksasa itu tertutup sendiri!
Hal ini sebetulnya terjadi karena memang pintu itu dipasangi alat oleh Menteri Lu Pin dan apa bila terbuka,
dapat tertutup kembali. Untuk kakek itu, mudah saja membuka pintu dari luar karena ada rahasianya dari
luar.
“Goa siluman...,” berkata seorang perwira ketakutan.
“Goa tengkorak raksasa... siapa tahu di dalamnya terdapat siluman atau raksasa hidup?” kata yang lain.
“Agaknya tak mungkin tempat seperti ini didiami oleh manusia,” kata pula suara lain.
Akan tetapi mereka tetap tidak mau meninggalkan goa itu dan menjaga di luar goa, agak jauh di tempat
aman. Sampai dua pekan lamanya mereka tetap berada di tempat itu!
Tentu saja kakek Lu Pin yang sudah tua dan lemah tubuhnya itu tidak mempu menahan lagi. Setiap hari
dia selalu mengintai dari lobang dan melihat betapa goa itu tetap terjaga, tahulah dia bahwa dia akan mati
kelaparan di dalam goa. Akan tetapi dia tidak gentar menghadapi maut.
Di dalam keadaan tersiksa ini, teringatlah dia akan Lu Kwan Cu. Seluruh keluarganya telah musnah,
kecuali Lu Thong. Ia telah mendengar dari para pemimpin pejuang rakyat bahwa cucunya itu bahkan
menerima kedudukan dari pemberontak An Lu Shan. Hal ini amat menyakitkan hatinya.
“Thian Yang Agung, mengapa dalam keluarga hamba terlahir manusia seperti itu? Rusak dan hancurlah
nama keluarga Lu oleh binatang Lu Thong itu...” berpikir sampai disini, sering kali kakek ini menangis
sedih.
Lalu dia teringat kepada Lu Kwan Cu, cucu angkatnya. Kepada anak inilah harapannya disandarkan dan
sekarang, pada saat menghadapi maut, kakek ini mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk mengukir
beberapa huruf pada dinding goa. Dengan tangan-tangan gemetar dan tubuh lemas dia mengukir hurufhuruf
pesan terakhir untuk Lu Kwan Cu ini, kemudian setelah ukiran huruf-huruf itu selesai, dia roboh tak
sadarkan diri lagi sampai maut merenggut nyawanya!
Pada saat bekas Menteri Lu Pin yang setia itu menghembuskan napas terakhir di dalam Goa Tengkorak, di
luar goa terjadi hal yang lebih hebat lagi.
Tiga orang tinggi besar berpakaian seperti petani sedang dikeroyok hebat oleh puluhan orang pasukan
penyelidik An Lu Shan. Mereka ini bukan lain adalah tiga orang panglima yang dahulu mengawal Menteri
Lu Pin. Sudah berbulan-bulan mereka tidak datang dan kini mereka sengaja datang hendak mengunjungi
kakek Lu Pin. Betapa kaget dan cemas hati mereka melihat puluhan orang anggota pasukan musuh
sedang menjaga di situ!
Tanpa banyak tanya lagi, tiga orang panglima yang sekarang sudah berganti berpakaian bagai petani itu
lalu mencabut senjata dan menyerang pasukan musuh. Mereka mainkan golok besar mereka dan sekali
lagi mereka mengamuk seperti ketika dahulu mereka mengamuk membela Lu Pin dari kepungan bala
tentara musuh. Banyak anggota tentara lawan mandi darah menjadi korban golok besar mereka.
Akan tetapi selain fihak musuh terlalu banyak jumlahnya, juga di situ berkumpul pula para perwira-perwira
barisan pemberontak An Lu Shan yang berkepandaian tinggi, maka tiga orang panglima itu sebentar saja
sudah terkurung dan terdesak sangat hebat. Telah ada beberapa luka di tubuh mereka terkena senjata
musuh, namun mereka mengamuk terus laksana tiga ekor naga sakti.
Pada saat nyawa tiga orang panglima gagah yang setia ini terancam maut, tiba-tiba saja terdengar
bentakan nyaring.
“Anjing-anjing pengkhianat, rebahlah kalian!”
Bentakan ini disusul munculnya seorang gadis cantik yang gagah sekali. Usianya masih sangat muda, baru
belasan tahun. Pakaiannya sederhana sekali dan ringkas, pedangnya tergantung di pinggang sebelah kiri.
Akan tetapi gadis muda ini benar-benar hebat sekali sepak terjangnya. Begitu ia muncul, terdengar jeritanjeritan
di sana-sini dan kelihatan robohnya banyak anggota tentara An Lu Shan yang mengeroyok ketiga
dunia-kangouw.blogspot.com
orang panglima itu. Padahal gadis itu tidak mencabut senjata sama sekali dan hanya mempergunakan
kedua tangan dan kakinya saja.
Melihat hal ini, para perwira yang tadi mendesak tiga orang panglima pengikut Lu Pin itu terpecah menjadi
dua dan empat orang perwira segera menyambut kedatangan gadis itu. Melihat gerakan yang tangkas dan
kuat dari para perwira, gadis ini kemudian mencabut senjatanya, yakni sebatang pedang panjang yang
cahayanya berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Akan tetapi empat orang perwira musuh itu ternyata cukup tangguh sehingga meski pun dengan susah
payah, mereka masih dapat menghadapi amukan gadis cantik ini. Akan tetapi tiba-tiba entah dari mana
datangnya, muncul seorang nenek tua yang memegang cambuk. Sekali cambuknya berbunyi di udara,
empat orang perwira yang mengeroyok gadis itu berseru kaget dan senjata golok mereka terbang pergi
dari tangan mereka.
Ternyata bahwa cambuk itu mempunyai sembilan cabang dan kini dengan sekali gerakan saja telah dapat
membelit serta merampas senjata empat orang itu sekaligus! Gadis itu berseru gembira dan dua kali
pedangnya bergerak, robohlah dua orang perwira dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Yang dua lagi
tidak sempat melarikan diri, karena cambuk nenek itu mengejar mereka dan ujung-ujung cambuk yang
seperti ular itu menotok jalan darah kematian di punggung mereka, membuat mereka roboh tak bernyawa
lagi.
Kemudian gadis dan nenek itu mengamuk. Banyak sekali tentara di fihak musuh tewas, termasuk para
perwira yang mengeroyok tiga panglima pengikut Lu Pin. Hanya sedikit saja yang dapat melarikan diri,
karena biar pun banyak yang melompat ke atas kuda dan membalapkan kuda mereka, namun gadis cantik
itu mengeluarkan panah tangan lantas berkali-kali tangannya bergerak. Setiap gerakan melayangkan
sebatang anak panah dan robohlah seorang penunggang kuda. Dari puluhan orang pasukan itu, hanya ada
tujuh orang saja yang sempat melarikan diri dan terbebas dari pada maut.
Siapakah gadis dan nenek yang sakti itu? Nenek itu bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti tokoh
besar dari selatan. Gadis itu adalah muridnya, yakni Bun Sui Ceng, bocah perempuan yang dahulu amat
lincah itu dan kini telah berubah menjadi seorang gadis yang amat cantik dan perkasa.
Tiga orang panglima itu memandang semua sepak terjang yang hebat dari nenek serta gadis itu dengan
bengong dan kagum. Kemudian mereka cepat menjura dengan hormat dan seorang di antara mereka
berkata,
“Banyak terima kasih atas budi pertolongan Suthai dan Lihiap. Jika tidak ada pertolongan Ji-wi, tentu kami
sudah menjadi korban keganasan anjing pemberontak itu. Mohon tanya, siapakah Suthai dan Lihiap yang
gagah perkasa?”
Kiu-bwe Coa-li menggerak-gerakkan cambuknya dengan sikap tidak sabar, “Sudahlah, cukup segala
penghormatan ini. Pinni (aku) bukan menteri, juga bukan kaisar. Lebih baik lekas tunjukkan saja di mana
adanya Lu Pin bekas menteri itu!”
Melihat sikap yang amat galak dari Kiu-bwe Coa-li, tiga orang panglima itu terkejut sekali. Mereka maklum
bahwa di dunia kang-ouw banyak sekali terdapat orang-orang aneh dan maklum pula bahwa tokoh-tokoh
ini sering kali mengejar harta-harta pusaka. Siapa tahu kalau-kalau nenek sakti yang amat galak ini pun
mencari Menteri Lu Pin dengan maksud kurang baik. Mereka adalah patriot-patriot sejati yang gagah, yang
siap mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dan bangsa, siap pula membela Menteri Lu Pin yang
amat mereka junjung tinggi.
“Suthai menanyakan Lu-taijin ada maksud apakah?” tanya seorang di antara mereka.
Bun Sui Ceng memandang khawatir. Ia sudah maklum akan watak gurunya yang keras dan tidak mau
dibantah oleh siapa pun juga. Benar saja, nenek sakti itu mengerutkan kening dan pecutnya bergerakgerak
di tangannya.
“Kau peduli apa dengan segala urusanku? Hayo katakan di mana dia berada dan habis perkara!”
Namun tiga orang panglima itu adalah orang-orang yang setia. Jangankan baru gertakan seorang nenek
tua yang sakti, walau pun maut mengancam nyawa, mereka takkan sudi membuka rahasia persembunyian
Menteri Lu Pin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau Suthai tidak memberitahukan maksud Suthai menjumpai Lu-taijin, maafkan kami tidak dapat
memberitahukan di mana tempat tinggalnya.”
Baru saja pembicara itu menutup mulutnya terdengar bunyi nyaring sekali dan…
“Tarrr…!”
Cambuk di tangan nenek itu menyambar turun ke atas kepala tiga orang panglima tadi!
“Suthai, jangan...!” Bun Siu Ceng melompat maju sambil mengangkat kedua tangannya seakan-akan
melindungi kepala ketiga orang panglima itu. “Mereka adalah para pejuang rakyat, jangan dibunuh!”
“Pejuang atau bukan, mereka telah kurang ajar dan harus dibunuh, habis perkara!” jawab Kiu-bwe Coa-li
dengan suara menyeramkan.
Sui Ceng cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya dan berkata dengan suara memohon.
“Suthai, ampunkan kesalahan mereka. Mereka tidak tahu siapa adanya Suthai. Biarlah teecu (murid) yang
bicara dengan mereka.”
Cambuk berekor sembilan itu masih bergetar di tangan Kiu-bwe Coa-li dan dipegang di atas kepalanya.
Akan tetapi, perlahan-lahan cambuk itu turun dan nenek itu lalu berkata penuh penyesalan.
“Hemm, kau anak nakal! Siapa peduli akan menteri dan kaisar? Dasar kau yang senang mencari-cari
perkara!”
Namun jawaban ini sudah cukup bagi Sui Ceng. Setiap kali gurunya menyebutnya ‘anak nakal’, itu berarti
bahwa gurunya memenuhi permintaannya. Dengan girang dia kemudian melompat bangun dan
menghadapi tiga orang panglima yang memandang dengan mata terbelalak, masih kaget dan takut melihat
sikap Kiu-bwe Coa-li yang aneh dan galak.
“Sam-wi Lo-pek (Paman Bertiga), sebenarnya guruku ini tidak peduli sama sekali tentang di mana adanya
Lu-taijin. Hanya atas desakanku saja beliau terpaksa mencari tempat persembunyian Lu-taijin. Harap Samwi
jangan mencurigai kami. Walau pun kami sudah mendengar bahwa Lu-taijin membawa harta pusaka
besar, namun kami bukan sebangsa perampok dan kunjungan kami hanya sekedar hendak bertemu
karena aku ingin sekali bicara dengan orang tua yang mulia dan gagah perkasa itu.”
Merahlah wajah tiga orang panglima itu mendengar ini. Mereka segera menjura dalam sekali dan salah
seorang di antara mereka berkata,
“Maaf, maaf! Mohon maaf sebanyaknya bahwa kami yang sudah menerima pertolongan, sebaliknya telah
berani mati untuk mencurigai Ji-wi. Kebetulan sekali kami pun baru saja tiba dengan maksud mengunjungi
Lu-taijin yang sudah lama kami tinggalkan di sini. Akan tetapi ketika tadi kami melihat pasukan
pemberontak berkumpul di sini, kami menjadi khawatir dan segera menyerbu mereka. Lu-taijin berada di
dalam goa itu, Lihiap. Marilah kita bersama-sama masuk ke dalam untuk menemuinya, karena kami sudah
sangat ingin melihat keadaannya.”
Biar pun tiga orang panglima itu bergerak cepat memasuki goa, tetap saja Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng
dapat mendahului mereka. Dan alangkah heran dan kaget hati tiga orang itu ketika melihat betapa dengan
tangan kirinya saja Kiu-bwe Coa-li dapat mendorong pintu raksasa itu sehingga terbuka, nampaknya tanpa
mengerahkan tenaga sedikit pun juga.
Mereka mengeluarkan lidah saking kagumnya. Mereka bertiga yang bertenaga besar masih tak dapat
mendorong pintu itu terbuka dan biasanya mereka hanya masuk dengan mempergunakan alat pembuka
pintu yang tersembunyi di luar pintu itu.
Lima orang ini memasuki pintu. Kiu-bwe Coa-li nampak tertegun sejenak ketika melihat tengkoraktengkorak
raksasa itu. Biar pun ia seorang nenek sakti yang sudah ratusan kali menghadapi bahaya maut
dan kejadian yang aneh-aneh serta menyeramkan, akan tetapi selama hidupnya baru pertama kali ini ia
menyaksikan tengkorak-tengkorak yang begitu menyeramkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada pun Bun Sui Ceng yang masuk di belakang gurunya, mengeluarkan seruan tertahan dan merasa bulu
tengkuknya berdiri! Tak terasa pula dia memegang tangan gurunya.
“Apa kau takut?” tanya Kiu-bwe Coa-li tak puas sambil menoleh dan memandang kepada muridnya. Bun
Sui Ceng cepat melepaskan pegangan tangannya dan menggeleng, kini mengangkat dada dan
mengedikkan kepalanya yang manis.
Mereka masuk terus ke dalam dan tiba-tiba tiga orang panglima itu menjerit berbareng.
“Lu-taijin...!”
Tergopoh-gopoh mereka berlari mendatangi tubuh kakek yang telah menggeletak miring di bawah dinding
goa itu. Tangan kiri kakek itu memegang pedang Liong-coan-kiam, ada pun tangan kanannya memegang
alat pengukir.
“Lu-taijin...!” kembali tiga bekas penglima itu berseru sambil beramai-ramai mengangkat tubuh kakek itu
yang sudah lemas dan dingin.
Melihat sekelebatan saja, Kiu-bwe Coa-li tahu bahwa kakek itu sudah tak bernyawa lagi.
“Tidak perlu ribut-ribut, dia sudah mati,” katanya. “Marilah kita pergi, Sui Ceng, untuk apa berdiam di sini
lebih lama lagi setelah orang yang ingin kau temui itu meninggal dunia?”
Akan tetapi muridnya tidak menjawab dan ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, dia melihat muridnya itu
tengah membaca ukir-ukiran yang berada di dinding tepat di mana kakek tadi menggeletak mati. Kiu-bwe
Coa-li melangkah maju dan turut membaca huruf-huruf yang diukir amat indahnya itu.
Lu Kwan Cu
Kau cucu tunggal setelah seluruh keluargaku dibakar oleh pemberontak An Lu Shan. Lu Thong tidak
termasuk hitungan. Kepadamu kuharapkan agar kau membinasakan seluruh keluarga An Lu Shan, bukan
untuk membalaskan kesengsaraan keluargaku, melainkan kesengsaraan rakyat dan negara! Pedang
Liong-coan-kiam kuberikan kepadamu. Sekali lagi, bebaskanlah rakyat dari pada angkara penjahat besar
An Lu Shan sekeluarganya!
Kongkong-mu,
LU PIN
“Hebat! Sampai nyawanya meninggalkan raga, beliau tetap seorang patriot sejati untuk nusa dan
bangsanya,” kata Sui Ceng dan ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, ia melihat mata muridnya itu berlinang
air mata.
“Hmm, hmm, hmm, kau sudah terpengaruh oleh semangat kakek itu, Sui Ceng. Mari kita kembali ke
gunung, untuk apa menyeret diri ke dalam kancah permusuhan?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Suthai. Meski pun Suthai di mulut berkata demikian, akan
tetapi teecu telah tahu akan perasaan hati Suthai. Bukankah dulu Suthai juga menjadi marah dan mencoba
untuk membasmi kaki tangan An Lu Shan? Teecu akan membantu untuk memenuhi cita-cita Lu-taijin yang
mulia, hendak teecu basmi para penjahat yang menindas rakyat itu,” katanya dengan gagah.
Kiu-bwe Coa-li menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka itu kuat sekali, Sui Ceng. An Lu Shan dibantu
oleh banyak orang pandai dan agaknya sudah menjadi takdir bahwa negara kita harus berada dalam
kekuasaan mereka. Lagi pula, bukankah menurut pesan Lu-taijin, yang diserahi tugas adalah Lu Kwan Cu?
Heran aku, siapakah Lu Kwan Cu itu?”
Tiba-tiba Sui Ceng tersenyum. Gadis ini memang luar biasa sekali, mudah menangis dan mudah pula
tersenyum. Dia teringat akan Kwan Cu, bocah gundul itu dan tak terasa pula dia tersenyum geli apa bila
mengingat betapa tugas seberat itu diserahkan kepada bocah gundul setolol itu!
“Suthai, tidak ingatkah Suthai akan anak laki-laki yang menjadi sebab keributan dahulu? Semua tokoh
besar memperebutkan dia, gara-gara kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Berubah wajah nenek sakti itu. “Ahh... dia...?” Dia mengerutkan kening dan berkata. “Sui Ceng, bocah itu
bukan bocah biasa dan siapa tahu kalau-kalau dia sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Sui Ceng kembali tersenyum geli. “Mana mungkin begitu, Suthai? Pada waktu gurunya, Ang-bin Sin-kai,
tewas oleh keroyokan kaki tangan An Lu Shan, Kwan Cu tidak muncul dan sudah lama sekali dia tak
memperlihatkan diri. Bagaimana dia bisa melakukan tugas sepenting ini? Biarlah aku mewakilinya, karena
tugas ini bukan hanya tugasnya, akan tetapi tugas setiap orang gagah yang membela negara dan
bangsanya.”
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li bangga dan girang melihat sikap muridnya. Tidak percuma ia mempunyai murid
yang hanya seorang ini, karena memang muridnya ini berjiwa gagah. Dia sendiri jemu untuk berurusan
dengan segala keruwetan dunia, apa lagi ia memang merasa amat kecewa ketika tak berhasil
membinasakan tokoh-tokoh yang mengkhianati bangsa.
“Baiklah, Sui Ceng. Kau boleh melakukan tugas ini, akan tetapi kau berhati-hatilah. Dan jangan lupa bahwa
kau harus mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maksudku sebetulnya, kau harus mencari pemuda murid
iblis utara itu, The Kun Beng.”
Merah sekali wajah Sui Ceng. Sebetulnya ia mengerti akan maksud gurunya, akan tetapi untuk
mendapatkan penjelasan yang lebih nyata, ia pura-pura bertanya,
“Mengapa teecu harus mencari dia, Suthai?”
“Bocah bodoh! Seorang anak harus mentaati kehendak orang tuanya. Sebagai gurumu, aku sendiri tidak
dapat berkata apa-apa, karena dalam hal perjodohan, orang tuamulah yang lebih berhak. Biar pun ibumu
sudah tidak ada, akan tetapi pesannya harus ditaati. Bukankah ibumu sudah mengikatkan tali perjodohan
antara kau dan The Kun Beng murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Nah, kau carilah dia supaya
perjodohan ini dapat dilangsungkan segera. Tentu saja kau harus memberi tahu padaku apa bila
pernikahan akan dilangsungkan.”
Warna merah makin menjalar luas sampai membikin merah kedua telinga gadis itu.
“Aahh, Suthai...! Perlu benarkah itu? Antara dia dan aku tidak ada hubungan sedikit pun juga. Bahkan
semenjak kanak-kanak sampai sekarang, aku tak pernah melihat dia!”
“Meski pun begitu, Sui Ceng. Jodoh itu sudah ditakdirkan oleh Thian dan disahkan oleh orang tua. Apakah
sulitnya mencari murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Dia tentu lihai sekali seperti suhu-nya.”
Sui Ceng cemberut. “Walau pun dia lihai dan baik, teecu tidak peduli, Suthai. Mana ada wanita mencari
laki-laki? Jika dia memang sudah diikatkan dengan teecu, kenapa bukan dia yang mencari teecu?
Mengapa harus teecu yang mencarinya? Teecu tidak sudi!”
Kiu-bwe Coa-li tertawa, suara ketawanya aneh sekali. “Bodoh, apa kau lupa bahwa kita berdua
menyembunyikan diri di gunung dan tidak seorang pun tahu di mana kita berdua? Andai kata dia mencari,
apa kau kira dia mampu menemukan kita? Sudahlah, kau boleh berangkat dan hati-hatilah, jangan kau
berpikiran singkat. Ingatlah semua nasehat dan pelajaran yang selama ini kau dapatkan dariku.”
Kiu-bwe Coa-li lalu meraba kepala muridnya dengan sentuhan mesra. Menghadapi sikap yang tidak seperti
biasanya dari gurunya, terharulah hati Sui Ceng sehingga gadis ini lalu memeluk gurunya sambil menangis.
“Jaga baik-baik dirimu, Suthai. Tidak lama lagi teecu tentu akan menyambangi Suthai di puncak gunung.”
Pada saat itu, tiga orang panglima sedang sibuk mencoba untuk memindahkan hio-louw (tempat abu hio)
yang sangat besar, akan tetapi sia-sia belaka. Hio-louw itu beratnya seribu kati lebih dan tidak dapat
mereka angkat!
Mendengar suara mereka “ah-ah-uh-uh-uh!” mengerahkan tenaga, Kiu-bwe Coa-li lantas menengok.
“Eh, ehh, ehh, tidak mengurus jenazah baik-baik melainkan mengangkat-angkat hio-louw besar itu, apaapaan
kalian ini?” Kiu-bwe Coa-li menegur mereka.
Mendengar ini, tiga orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suthai yang mulia, tolonglah kami. Lu-taijin dulu pernah berpesan bahwa apa bila beliau meninggal dunia,
agar supaya jenazahnya dikubur di bawah hio-louw ini. Tidak tahunya hio-louw ini demikian beratnya
sehingga kami bertiga tidak kuat memindahkannya.”
“Hm, hm, hm, orang-orang lemah seperti kalian ini mana bisa berhasil melawan pasukan-pasukan An Lu
Shan?” kata Kiu-bwe Coa-li mengejek.
Akan tetapi dia bertindak juga menghampiri hio-louw itu. Dengan tangan kanannya dia memegang telinga
hio-louw lalu dengan sekali sentak, hio-louw itu terangkat naik dan diturunkannya lagi di tempat yang agak
jauh dari tempat semula!
Ketiga orang itu saling pandang dan mereka menghaturkan terima kasih sambil berlutut. Kemudian mereka
cepat-cepat menggali lubang di bawah hio-louw itu.
Kiu-bwe Coa-li mengambil pedang Liong-coan-kiam dari tangan jenazah Lu Pin. Nenek ini memandang
pedang itu dan mengangguk-angguk kagum.
“Pedang pusaka yang baik,” katanya.
“Suthai, pedang itu adalah pedang untuk Kwan Cu,” berkata Sui Ceng, mengira bahwa gurunya
menginginkan pedang tadi.
“Untuk apa pedang macam ini bagiku?” kata Kiu-bwe Coa-li.
Sekali dia menggerakkan tangan yang memegang pedang, pedang itu meluncur seperti anak panah dan
tertancap sampai ke gagangnya pada dinding batu karang yang diukir oleh Lu Pin! Pedang itu tertancap di
tengah-tengah tulisan-tulisan itu sehingga sukarlah bagi orang biasa untuk mencabutnya kembali!
“Aku pergi dulu, Sui Ceng,” kata nenek itu dan tanpa menanti jawaban tubuhnya sudah berkelebat lenyap
dari situ.
Tiga orang panglima yang sedang menggali lubang, melihat kepergian nenek itu, menjadi bingung sekali.
Mereka keluar dari lubang dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sui Ceng.
“Lihiap, harap kau jangan pergi dahulu. Siapa yang akan mengembalikan hio-louw itu ke tempat semula?”
Sui Ceng ragu-ragu. Akan tetapi melihat kepada mayat Menteri Lu Pin yang wajahnya masih
membayangkan keagungan, dia pun lalu mengangguk.
Tiga orang itu bekerja keras dan sesudah lubang itu cukup dalam, dan dengan penuh penghormatan serta
diantar oleh tangis, mereka mengubur jenazah Menteri Lu Pin. Sui Ceng lalu mengerahkan tenaganya,
akan tetapi hanya sesudah mempergunakan kedua tangannya, gadis ini dapat memindahkan hio-louw
yang memang amat berat itu.
Tiga orang panglima itu juga membaca tulisan yang diukir di dinding, kemudian mereka menyatakan
kepada Sui Ceng bahwa di dalam perjuangan mereka hendak mendengar-dengar pula kalau-kalau ada
pemuda seperti yang dimaksudkan oleh mendiang Lu-taijin itu. Setelah itu, mereka lalu keluar dari goa.
Sui Ceng berkata, “Mari kita tutup goa ini dengan batu-batu agar tidak ada sembarang orang dapat
memasukinya dan mengganggu goa ini.” Setelah berkata demikian, gadis ini melempar-lemparkan batubatu
besar menutupi mulut goa.
Tiga orang itu tertegun. “Akan tetapi... bagaimana kalau pemuda yang bernama Lu Kwan Cu itu datang ke
sini? Bagaimana dia akan dapat masuk?”
Sui Ceng tertawa. “Kalau dia sanggup menunaikan tugas yang diberikan kepadanya, apa susahnya untuk
membongkar batu-batu ini dan membuka goa?”
Terpaksa tiga orang itu lalu membantu sehingga sebentar saja goa itu telah tertutup oleh batu-batu yang
bertumpuk dan tidak kelihatan dari luar. Kemudian tanpa banyak cakap lagi Sui Ceng lalu melompat pergi
diikuti oleh pandang mata tiga orang panglima itu yang merasa takjub dan kagum sekali…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
“Turunkan aku...! Lepaskan aku...! Lepaskan, kau laki-laki kurang ajar!”
Gadis dalam pondongan Kwan Cu itu meronta-ronta dan memaki-maki minta dilepaskan dari pondongan.
Namun Kwan Cu tidak mempedulikannya, sama sekali tidak menjawab bahkan membiarkan saja kedua
tangan gadis itu memukul-mukuli dadanya.
Ia merasa betapa pukulan tangan gadis itu cukup antep dan keras, namun baginya tidak terasa sama
sekali. Diam-diam Kwan Cu merasa mendongkol sekali, maka dia sengaja tersenyum sambil berlari terus
dengan cepatnya, keluar dari kota raja.
Akhirnya gadis itu tak dapat melanjutkan makiannya karena dia merasa lelah. Dia hanya menangis sambil
menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda yang membawanya lari.
Setelah tiba jauh dari tembok kota raja, Kwan Cu masuk ke dalam hutan dan barulah dia menurunkan
gadis itu di bawah sebatang pohon. Malam telah berganti pagi dan keadaan yang suram sejuk itu seakanakan
menyatakan kepadanya akan kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh gadis yang telah
ditolongnya. Kwan Cu tersenyum.
“Nah, di sini kau boleh memaki-maki dan menjerit sekerasmu. Para pengejar dari istana telah tertinggal
jauh dan keadaan kita tidak terancam bahaya lagi.”
“Kau... kau laki-laki kasar, kurang ajar dan sombong! Kau berani memondongku, laki-laki sopan tidak akan
sudi menyentuh kulit tubuh seorang gadis yang tidak dikenalnya. Kalau ada kakakku di sini, kepalamu tentu
akan dihancurkan!” Gadis itu memaki lagi dengan sepasang matanya bersinar-sinar, menyaingi bintang
pagi yang masih berkedip-kedip di angkasa.
Kwan Cu tersenyum lebar. “Kau maksudkan kakakmu Gouw Swi Kiat? Murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai?
Aha, dia takkan marah-marah seperti kau, bahkan akan mengucapkan terima kasih kepadaku. Wahai gadis
manis, tahukah kau mengapa aku menolongmu?”
“Mengapa lagi kalau kau tidak tertarik oleh kecantikan seorang gadis muda? Laki-laki di mana-mana sama
saja, gila kecantikan dan lupa daratan, lupa peri kemanusiaan menjadi budak nafsu binatang!”
Berkerut kening Kwan Cu. Hatinya tersinggung sekali.
“Hemm, entah karena memang watakmu yang galak dan kasar ataukah karena kau telah mengalami
banyak penderitaan maka kau bisa mengeluarkan tuduhan keji itu. Dengarlah perempuan, aku
menolongmu karena empat hal. Pertama-tama aku benci melihat An Kong si pangeran botak yang mata
keranjang itu. Ke dua karena aku mendengar bahwa kau adalah kekasih The Kun Beng, salah seorang
kenalanku yang baik. Ke tiga, karena kau adalah adik dari Swi Kiat seorang sahabatku pula, dan keempat
karena aku melihat muka si tua Siangkoan Hai dan murid-muridnya. Kau kira aku mempunyai maksud lain
apa lagi? Kalau kau tidak suka, sudahlah, biarkan aku pergi. Terima kasih atas segala makian dan
tuduhanmu yang keji!”
Setelah melontarkan kata-kata ini dengan suara gemas, Kwan Cu segera membalikkan tubuhnya dan
hendak pergi. Dia merasa mengkal sekali.
“In-kong... (tuan penolong), perlahan dulu...”
Kwan Cu mengangkat alis dan menoleh. Ia tertegun melihat gadis itu berdiri memandang padanya dengan
mata sayu dan di atas kedua pipi yang halus itu nampak butiran-butiran air mata! Benar-benar heran sekali,
bagaimana gadis ini yang tadi marah-marah malah sekarang berbalik menangis? Sikap dan watak wanita
benar-benar merupakan teka-teki besar bagi Kwan Cu.
“Ada apa lagi kau memanggil aku? Mengapa pula memakai sebutan In-kong? Aku tidak menolongmu.
Apakah kurang cukup makian-makianmu tadi?”
Makin deras keluarnya air mata dari sepasang mata yang bening itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar-benarkah kau... tidak akan menggangguku seperti yang kusangka semula?”
Kwan Cu tersenyum pahit, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Kau memang manis dan gampang
menggugah hati laki-laki untuk mengganggumu. Akan tetapi karena kau sudah terlalu banyak menderita
yang diakibatkan oleh sinar mata keranjang pria kau kemudian menganggap bahwa semua laki-laki gila
nafsu dan mata keranjang. Tidak Nona, aku Lu Kwan Cu selama hidupku tidak akan mempergunakan
kekerasan mengganggu wanita.”
Gadis ini terkejut mendengar nama ini, karena tadi di dalam kamar An Kong, dia sama sekali tidak
memperhatikan nama ini.
Baca JUga:

Share:
cersil...
Comments
0 Comments