Cersil Unik Pendekar Super Sakti 2 Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Cersil Unik Pendekar Super Sakti 2
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
“Aku bukan pengemis!” Han Han membentak dan mundur dua langkah, matanya memandang penasaran.
Gadis cilik itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu
cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti pakaian tambal-tambalan
dan kaki telanjang itu. Han Han merasa menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis
cilik itu sama sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang membuat anak
itu menduga bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benarbenar
hati bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus.
“Aku memang miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan
penolakanku.”
Kembali anak itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan
kata-katanya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apa lagi pengemis!
“Kau... siapakah? Dan apakah kehendakmu datang ke tempat ini?”
“Aku bernama Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku.
Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buah di hutan ini. Engkau siapakah? Kalau
tadi kau katakan di sini tidak ada dusun, bagaimana engkau bisa berada di sini?”
“Namaku Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi,
dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah ini milik suhu-ku dan siapa
pun juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat
menimpa kalian.”
“Nona Kim Cu, engkau baik sekali.”
“Eh, baik bagaimana?”
“Aku lancang memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa
mala petaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Anak perempuan itu menggeleng kepala. “Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu
seperti pengemis akan tetapi engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap
dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau... agaknya kau pandai ilmu silat, ya?”
Han Han cepat menggeleng kepala. “Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat...”
“Kalau tidak bisa, bagaimana tadi dapat memuji ilmu silatku?”
“Karena memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu
silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo
yang tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau dengan dia?”
Tiba-tiba wajah gadis cilik itu berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han. “Wah,
celaka...! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati menyebut-nyebut nama suhu...?”
Melihat gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang
tangannya dan berkata menghibur, “Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya
Kang-thouw-kwi...”
“Ihhhh...?”
Pada saat itu terdengar bentakan. “Han Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan malah
bermain gila dengan seorang gadis gunung!”
Han Han cepat melepaskan pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang
Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah mendatangkan kemarahan, akan
tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan
dituduh bermain gila dengan dia?
“Ouwyang-kongcu, jangan bicara sembarangan...!”
Kim Cu sudah melepaskan tangannya, dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang
Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan cahaya kilat.
“Sie Han, mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut
Kongcu, karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum patut!”
“Budak hina, jangan membuka mulut besar kalau tidak ingin kuhajar mulutmu!” bentak Ouwyang Seng yang
menjadi marah sekali. Selama hidupnya baru sekali ini ada orang berani menghinanya seperti itu.
“Kau yang membutuhkan hajaran!” Kim Cu berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan dengan serangan
kilat. Kedua kepalan tangan yang kecil itu dengan gerakan cepat sekali sudah menghantam ke arah kepala
dan dada Ouwyang Seng!
Akan tetapi murid Kang-thouw-kwi ini tertawa mengejek, menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap
kedua kepalan itu. Anehnya, gadis cilik itu tidak peduli, bahkan membiarkan kedua kepalan tangannya
tertangkap, padahal ini merupakan bahaya besar baginya. Ouwyang Seng memperkeras ketawanya karena ia
yakin bahwa sekali cengkeram, kepalan kedua tangan gadis itu akan remuk-remuk tulangnya. Namun segera
dia berseru kaget, cepat melepaskan cengkeramannya dan berusaha meloncat mundur. Terlambat! Perutnya
masih kena serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia terjengkang ke belakang sambil memegangi perutnya
dan meringis. Biar pun tidak mengalami luka, namun setidaknya perutnya menjadi mulas seketika.
Dengan kemarahan meluap-luap, Ouwyang Seng kini membalas dengan serangan yang dahsyat.
Bertempurlah kedua orang anak itu, ditonton oleh Han Han yang menjadi makin kagum. Jelas tampak betapa
gadis cilik itu telah memiliki dasar yang matang, gerakan-gerakannya jauh lebih cepat dari pada Ouwyang
Seng sehingga dialah yang lebih banyak menghujankan serangan dari pada murid Setan Botak itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Rebahlah, manusia sombong!” Kim Cu berseru keras dengan serangan desakan yang sukar sekali dijaga
karena kedua tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak saking cepat gerakahnya, dan tubuhnya
pun berkelebatan di kanan kiri lawan.
“Bukkk...! Aduuuhhhhh...!”
Kembali Ouwyang Seng terjengkang karena pukulan tangan kiri Kim Cu bersarang di dadanya. Kini agak tepat
kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun Ouwyang Seng yang terlatih sejak kecil telah memiliki
kekebalan, dan biar pun ilmu silatnya lebih unggul dan ginkang-nya lebih tinggi dari pada Ouwyang Seng,
namun agaknya gadis cilik itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk merobohkan lawan dengan
beberapa kali pukulan saja.
“Budak hina, engkau sudah bosan hidup!” Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah, mulutnya
menyeringai seperti mulut harimau haus darah.
Ia meloncat bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju, mengirim pukulan
dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan jari-jari terbuka ke arah Kim Cu, tubuhnya agak merendah.
Melihat ini, Han Han terkejut sekali. Itulah pukulan beracun yang dilatih Ouwyang Seng dengan tenaga inti api
sebagai hasil latihan merendam kedua lengan ke dalam air beracun mendidih.
“Kongcu...!” Ia berseru, akan tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan pesan suhu-nya
bahwa tidak boleh ia semberangan mempergunakan dasar pukulan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang itu.
Kim Cu yang tadinya sudah beberapa kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang rendah dan
melihat datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh.
“Plakkk...! Augghhhh...!”
Tubuh Kim Cu terlempar dan masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh sehingga pukulan
api beracun itu tidak mengenainya dengan tepat. Namun hawa pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis
cilik itu terlempar dan terbanting keras. Dan selagi Kim Cu masih pening, berusaha bangkit, Ouwyang Seng
yang masih belum puas telah meloncat dekat dan mengirim pukulan api beracun untuk kedua kalinya. Kalau
mengenai tepat dan tidak ditangkis, pukulan ini akan membahayakan nyawa Kim Cu!
“Jangan...!” Han Han cepat loncat mendekat dan mendorongkan kedua tangannya menyambut pukulan maut
yang dilakukan Ouwyang Seng itu.
“Desssss...!”
“Aiiihhhhh...!”
Kini tubuh Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh bergulingan, lalu
meloncat bangun dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya seperti terbakar rasanya dan tenaganya tadi
begitu bertemu dengan dorongan Han Han telah membalik dan membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah
dan heran ia sampai bengong terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan Botak dan Han
Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang tahu-tahu telah berada di situ.
“Anak setan, dari mana kau mencuri pukulan itu?” bentak Setan Botak yang kemudian menoleh kepada
Ouwyang Seng dan bertanya, “Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?”
Ouwyang Seng menggeleng kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia
menyambar sebatang kayu yang terletak di bawah pohon, kemudian meloncat ke depan dan menggunakan
ranting itu memukuli tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu bergerak itu. Terdengar suara bak-bukbak-
buk ketika ranting itu jatuh seperti hujan di seluruh tubuh Han Han!
“Pengecut...!” Bentakan ini dikeluarkan oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya
tepat mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu terlepas di atas tanah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ouwyang Seng sendiri meloncat ke belakang karena khawatir kalau mendapat serangan susulan dari gadis
cilik yang amat cepat gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja ia tidak berani lagi menggunakan pukulan
api beracun.
Kim Cu menolong Han Han dan membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak kembali dan
kini ia bangkit duduk. Biar pun totokan Setan Botak itu amat lihai, akan tetapi karena tubuh Han Han memang
memiliki sifat luar biasa, hanya sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat, timbullah
hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darahnya sehingga pengaruh totokan itu buyar.
“Budak hina, kacung busuk! Tunggu saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus!” Ouwyang Seng
menudingkan telunjuknya dan mengancam.
“Engkau bangsawan berwatak rendah melebihi anjing!” Kim Cu balas memaki dan diam-diam Han Han kecewa
sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki seperti Sin Lian. Dia sendiri amat marah kepada
Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu
untuk mencambuki tubuhnya.
Akan tetapi perhatian Ouwyang Seng segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara ketawa
terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia memandang, kiranya suhu-nya telah
bertanding melawan seorang kakek berpakaian hitam yang aneh sekali.
Kakek itu mukanya persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke depan. Rambutnya riap-riapan, namun
pakaiannya yang serba hitam itu amat indah dan mewah, dihias pinggiran benang yang kuning emas! Caranya
bertanding melawan gurunya juga aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing. Si Muka
Kuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri bertolak pinggang dan hanya dengan tangan kanan
yang dibuka jari-jarinya saja ia menandingi Setan Botak!
Ouwyang Seng belum pernah melihat suhu-nya berwajah serius seperti ketika berhadapan dengan Si Muka
Kuda itu. Suhu-nya berdiri tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda, yang kiri di belakang
yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya menampar dengan jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda.
Andai kata didiamkan saja pukulan itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu
bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat ampuh dengan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang!
“Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!” Si Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti
menangkis. Bukan tangan Setan Botak yang ditangkisnya, melainkan hawa pukulan itu yang bagaikan angin
panas menyambar-nyambar dahsyat. Dari kibasan atau tangkisan tangan kanan Iblis Tua Muka Kuda ini
bertiup hawa yang dingin luar biasa karena untuk menghadapi pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan
ilmunya Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin melebihi salju!
“Darrr...!”
Pertemuan dua hawa yang bertentangan itu menimbulkan suara nyaring dibarengi sinar berapi, seperti
pertemuan dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan kilat halilintar! Tubuh kedua orang tokoh
besar itu tergetar dan masing-masing mundur dua langkah.
“Hi-yeh-heh-heh...! Hwi-yang Sin-ciang tidaklah begitu buruk...!” Si Muka Kuda tertawa mengejek.
Kang-thouw-kwi Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan tenaga sakti itu tadi saja ia sudah dapat
mengukur kehebatan Swan-im Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi ilmunya. Padahal di dalam hatinya ia
sudah menganggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang yang dilatihnya itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran
dan mukanya merah oleh ejekan lawan.
“Siangkoan Lee, kau sambutlah ini...!”
Kini dari tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke
dalam sepasang lengannya. Mengepullah uap putih dari sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin
merah seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh meringkik-ringkik, namun sambil
dunia-kangouw.blogspot.com
meringkik itu dia pun telah mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya tampak mengebulkan uap pula,
uap putih yang bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya.
Biar pun sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan tetapi sesungguhnya
amatlah jauh bedanya. Uap yang keluar dari sepasang lengan Setan Botak adalah panas, sebaliknya yang
mengebul keluar dari lengan Si Muka Kuda adalah uap dingin.
Bentakan Kang-thouw-kwi itu disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang Si Muka
Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya. Namun Si Muka Kuda yang tahu pula akan kelihaian
serangan ini sudah melesat pula ke atas untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang
pula.
Kalau gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah dan masing-masing hanya ingin mengukur
kehebatan ilmu pukulan lawan, kini mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Karena kini mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan kedua telapak tangan, maka benturan
tenaga yang berlawanan sifatnya ini terjadi dengan dahsyatnya.
Ledakan keras disusul sinar terang menyilaukan mata dan tubuh keduanya mencelat ke belakang seperti
dilontarkan! Hanya bedanya, kalau Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung
di atas tanah, adalah Si Muka Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian turun ke atas tanah
dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) Si Muka Kuda masih
berada di atas Setan Botak tingkatnya.
“Suhu... suhu... tolong...!”
Mendengar seruan muridnya ini, Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh
Han Han dengan ranting, dicambuki dan setiap kali Ouwyang Seng hendak melawan, Han Han dibantu oleh
Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan
ranting di tangan Han Han. Sambil meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan tiba-tiba saja Han Han
dan Kim Cu kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika mereka
memandang ke depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh lengan Kang-thouw-kwi yang sudah
mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil berkata.
“Siangkoan Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu tidak buruk! Karena aku ada keperluan di kota raja, tidak
ada waktu untuk lebih lama melayanimu. Kau perdalam ilmumu itu agar kelak kalau ada kesempatan dapat kita
bertanding tiga hari tiga malam lamanya!”
Si Muka Kuda meringkik keras sekali, kemudian menjawab, “Gak Liat, engkau memang licik. Akan tetapi
karena tidak sengaja kau datang melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni nyawamu! Lain kali boleh kita
bertanding sampai mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.”
Mendengar ucapan mereka itu, Han Han mendapat kesan bahwa keduanya adalah orang-orang yang tinggi
hati dan sombong, menganggap diri sendiri terpandai. Akan tetapi pada saat itu, Kang-thouw-kwi sudah
menoleh kepadanya dan membentak, “Han Han, hayo kita kembali!”
Pada saat itu Han Han merasa betapa tangan kirinya dipegang orang, dipegang oleh sebuah tangan yang
berkulit lunak halus. Tanpa melirik ia mengerti bahwa yang memegang tangannya tentulah anak perempuan
yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada anak ini, merasa seolah-olah mereka telah menjadi
sahabat lama. Dan ia pun maklum bahwa ikut kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng berarti
mengalami siksaan karena Ouwyang Seng tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu berkata dengan suara
lantang.
“Saya tidak mau kembali! Saya tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan Ouwyang-kongcu yang jahat dan
kejam!”
Sepasang mata Setan Botak mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia memandang tajam, lalu terdengar
kata-katanya, “Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan sekarang engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau
mampus!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian, dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya, Kang-thouw-kwi
mendorongkan tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari jarak
jauh dengan penuh keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan menjadi hangus! Han Han
maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi nekat. Cepat ia pun mengerahkan seluruh kemauannya dan
memaksa hawa di pusarnya bergerak ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan kakek
botak itu.
“Desssss...!” Han Han tertumbuk hawa yang amat panas. Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah
remuk seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, bergulingan dan ia roboh
dengan mata mendelik. Ia telah pingsan!
Kim Cu lari menubruknya dan melindungi tubuhnya sambil berteriak ke arah kakek botak yang memandang
terheran-heran, “Jangan bunuh dia...!”
Kang-thouw-kwi Gak Liat benar-benar terheran-heran dan penasaran bercampur marah bukan main
menyaksikan betapa kacungnya itu mampu menangkis dorongannya sehingga tidak roboh hangus dan mati,
melainkan hanya pingsan saja! Dan ia juga dapat merasakan betapa dorongan anak itu mengandung hawa
yang jauh lebih panas dari pada tingkat yang dimiliki Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat
dimiliki anak ini kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah kecurigaannya bahwa
kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam daerah terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi
tempat ia berlatih dengan rahasia!
“Bocah setan, pencuri busuk! Mampuslah!” Ia mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini
membahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han Han.
“Desssss...!”
Hawa yang amat dingin menangkis pukulannya dari samping. Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, Si Muka
Kuda itu telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Gak Liat, apakah engkau
sudah tidak memandang aku sebagai orang setingkat, bahkan lebih tinggi dari padamu? Di daerahku ini tidak
boleh engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa seijinku!”
“Siangkoan Lee, aturan apa ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa sangkutpautnya
denganmu?” Setan Botak itu membentak marah.
Ma-bin Lo-mo tertawa meringkik. “Engkau boleh membunuh bocah itu, akan tetapi aku pun akan membunuh
muridmu itu.”
Gak Liat makin marah. “Mengapa?”
“Hemmm, engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh. Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari
pukulan muridmu, apakah kau kira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi tidak menangkis pukulan
muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kau kira muridmu masih dapat hidup sekarang? Aku sudah
memandang mukamu yang buruk, apa engkau berani memandang rendah kepadaku? Aku telah mengampuni
muridmu, apakah engkau masih berkeras hendak membunuh anak ini?”
“Tapi, dia bukan muridmu, dia kacungku!”
“Kau keliru. Setelah dia menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san!”
“Ahhh! Engkau tidak tahu siapa dia! Hemmm, dia telah mencuri ilmuku...”
“Itu bukan alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku melarang engkau membunuhnya dan kalau engkau
hendak melanjutkan pertandingan, silakan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setan Botak itu meragu. Ia tidak sayang kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid In-kok-san.
Apa lagi mengingat kakek anak itu! Hanya ia membenci anak itu yang sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang,
sungguh pun ia tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ia mendengus marah.
“Baiklah, lain kali masih banyak waktu untuk membunuhnya dan lain kali aku akan membalas kebaikanmu ini!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak itu bersama muridnya.
“Panggil saudara-saudaramu, bawa dia ke atas!” Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat
lenyap dari tempat itu.
Kim Cu lalu memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit keras dam
nyaring sekali. Suara suitan itu bergema ke empat penjuru dan dari sana-sini terdengar suitan-suitan balasan.
Tak lama kemudian muncullah dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh
sampai tiga belas tahun, berlari-larian dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah anak-anak yang tampan dan
cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu dengan hujan pertanyaan sambil memandang tubuh Han Han
yang masih menggeletak pingsan di atas tanah.
“Nanti saja kuceritakan. Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke puncak.”
Beramai-ramai lima orang anak ini menggotong tubuh Han Han. Sambil bercakap-cakap mereka menggotong
Han Han mendaki puncak dan asyik sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, tentang Kangthouw-
kwi Gak Liat yang sudah lama mereka dengar namanya itu.
Siapakah sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti telah diceritakan Setan Botak
kepada muridnya, dia bernama Siangkoan Lee dan julukannya adalah Ma-bin Lo-mo. Kakek ini di waktu
mudanya adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena menyalah-gunakan
kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan kedudukan, harta dan terutama sekali ilmu
silatnya yang tinggi, ia dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat.
Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya sehingga kemudian ia muncul sebagai seorang
tokoh atau datuk golongan sesat, melakukan segala macam perbuatan kejam dan tidak peduli akan perikemanusiaan.
Namanya makin meningkat dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang lalu ia
berhasil mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mukjizat dan tinggi yang seolah-olah disebarkan oleh
penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan Koai-lojin (Kakek Aneh). Bersama-sama dengan
puluhan orang tokoh kang-ouw dia mengejar dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu
yang diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang mendapatkan ilmu inti sari
tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.
Biar pun puluhan tahun Ma-bin Lomo hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah
seorang yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung menentang pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di
lubuk hatinya ia membenci bangsa Mancu ini. Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san, di
mana ia mengumpulkan anak-anak berusia belasan tahun, anak-anak yang bertulang dan berbakat baik, juga
yang memiliki wajah yang elok-elok.
Ia sudah mengumpulkan belasan orang anak yang ia gembleng sebagai murid-muridnya dengan cita-cita untuk
kelak membentuk barisan murid-murid yang pandai untuk menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah,
memimpin rakyat yang berniat memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan
tak berperi-kemanusiaan terhadap lawan-lawannya, akan tetapi ia memimpin murid-muridnya penuh ketekunan
dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek terhadap cucu-cucunya. Namun di samping kasih sayang ini,
ia pun menekankan disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk memberi
hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.
In-kok-san (Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah yang mempunyai banyak lapangan datar. Di
situ Ma-bin Lo-mo membangun beberapa buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han Han digotong naik
ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati anak ini dari
pengaruh dorongan hawa Hwi-yang Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah
sembuh kembali. Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim Cu dan dua orang anak lakidunia-
kangouw.blogspot.com
laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat bangkit dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh
pertanyaan ditujukan kepada Kim Cu.
Anak perempuan ini tertawa lalu berkata, “Han Han, engkau berada di In-kok-san dan engkau telah menjadi
seorang di antara kami, menjadi murid Suhu.”
Mendengar ini, Han Han cepat meloncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda. “Aku... aku tidak
mau menjadi murid di sini! Aku tidak mau belajar silat!”
“Eh, kenapa, Han Han?” Kim Cu bertanya heran. “Engkau sudah memiliki pukulan sakti! Kalau engkau pandai
silat, tentu tidak akan mudah dipukul orang, seperti yang dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.”
Dengan keras kepala Han Han menggeleng. “Belajar silat menjemukan, membuang waktu sia-sia belaka.
Kalau sudah pandai hanya dipakai untuk memukul orang! Aku benci ilmu silat! Kalau aku tidak bisa silat, aku
tidak akan berdekatan dengan orang pandai silat dan tidak akan mengalami pukulan.”
“Wah, seorang jantan harus berani menghadapi pukulan, malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan
tegas agar tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang lemah dipukul orang kanan
kiri dan menjadi pengecut?” Ucapan ini keluar dari seorang anak laki-laki usianya paling banyak sepuluh tahun,
bahkan lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun.
Han Han yang merasa dimaki pengecut menjadi marah sekali. Ia menghadapi anak itu dan membentak, “Kau
bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut? Bukan aku, melainkan engkaulah! Engkau...!”
Di luar kesadarannya, dalam kemarahannya Han Han kembali telah memandang anak itu dengan sinar
matanya yang aneh, membentaknya dengan suara yang mengandung getaran hebat.
Anak laki-laki itu menjadi pucat. Tubuhnya menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik, “Ya...
aku... akulah yang pengecut...”
“Heiii, Sute! Mengapa kau ini...?” Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu.
Han Han menjadi sadar dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah kepada Sin Lian
dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan kemarahannya, menggunakan kekuatan kemauannya untuk
tidak melanjutkan pengaruh aneh yang menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah saja
mempengaruhi orang lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli terhadap anak itu yang telah bangkit
berdiri dan terheran-heran berkata, “Apa yang terjadi...? Ahhh... apakah aku mimpi...?”
“Ehhh... tak mungkin...!”
Seruan ini keluar dari mulut Ma-bin Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua pundak Han
Han, memaksa anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa seperti ini oleh Lauw-pangcu
dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas segala perasaannya
sehingga batinnya berada dalam keadaan ‘kosong’. Maka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang
mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu tidak mendapatkan sesuatu yang aneh kecuali sinar mata bocah itu benar-benar
amat terang dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar matanya.
“Hemmm, aneh sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping
itu pun engkau harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan menjadi jago yang sukar
dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat dan melanggar peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati
keras dan berkepala batu seperti engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus! Hayo lekas ceritakan
kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi pelajaran ilmu silat kepadamu!”
Di lubuk hati Han Han menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia melihat gadis cilik itu
berkedip-kedip dan mengangguk kepadanya, pandang mata anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan
penuh pembelaan. Sadarlah Han Han. Ia tidak boleh main-main. Kakek ini tidak kurang kejamnya dari pada
Setan Botak. Kalau ia menentang dan dibunuh, apa untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih
menyenangkan, terutama karena di situ ada Kim Cu yang manis budi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia duduk kembali di pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila, dan karena ia tidak
melihat jalan ke luar lagi, terpaksa ia lalu menekuk lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil
berkata.
“Teecu Sie Han menerima kebaikan Suhu untuk memberi bimbingan.”
“Heh-heh-hiyeeehhhhh...! Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu,
kumpulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han!”
Han Han mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar berumput
yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok domba berbulu putih.
Hawanya dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang jarang.
Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali.
Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah berlari-larian lima belas
orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu, sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah
semua murid, termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki,
kesemuanya sembilan belas orang. Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang laki-laki di
antara mereka cacat, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang buntung lengan kirinya dan seorang lagi
buntung kedua daun telinganya! Namun gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si
Buntung kaki itu pun dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat.
Ma-bin Lo-mo duduk di atas sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han
dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa
agak terharu. Benarkah guru barunya ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya
mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang
mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan
hatinya.
“Nah, berceritalah, muridku.”
“Jangan sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han Sute (Adik Seperguruan)!” kata Kim Cu gembira. “Di
sini kita berada di antara keluarga sendiri!”
“Benar! Benar sekali!” teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran kipas menghadapi
Han Han dan guru mereka.
Timbul kegembiraan di hati Han Han. Agaknya guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang
amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia pun mulai bercerita.
“Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh orang-orang Mancu yang kejam...”
“Aaahhh, aku juga begitu...!”
“Orang tuaku juga!”
“Keluargaku juga terbunuh orang Mancu...!”
Han Han tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya termasuk Kim Cu, berteriak-teriak
mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi oleh orang-orang Mancu! Mengapa begini
kebetulan? Ataukah kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari keluarga yang
terbasmi orang Mancu? Betapa pun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia
seorang saja yang bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga yang menjadi korban keganasan orang
Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia
ketahui.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Seorang diri aku mengembara merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu
dan menjadi muridnya hampir setengah tahun.”
“Kau maksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya.
“Benar, suhu.”
“Hemmm, apa saja yang ia ajarkan kepadamu?”
“Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di
samping belajar bersemedhi dan mengatur pernapasan.”
“Bagus, coba kau berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.”
Han Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agaknya guru baru ini penuh
perhatian terhadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke
depan, kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat
dari Sin Lian karena anak perempuan itulah yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya. Ia
sudah siap untuk bersikap sabar apa bila murid-murid yang lain akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa
mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata
mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah selesai mainkan langkahlangkah
itu, Han Han kembali duduk di dekat gurunya yang mengangguk-angguk.
“Baik sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari
ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.”
“Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi
bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya
melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya
aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan menuju ke kota raja dan
akhirnya bertemu dengan Suhu di sini...”
“Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat
kepadamu?”
“Sama sekali tidak, suhu.”
“Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagaimana engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?”
“Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?” Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan. “Teecu sama
sekali tidak mengerti dan tidak bisa...”
“Perlihatkan lenganmu!”
Han Han mengangsurkan kedua lengannya. Ma-bin Lo-mo memegang tangan muridnya ini dan menekan.
Rasa dingin menjalar ke dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya menggigil. Makin lama makin
dingin dan karena ia merasa tidak tahan, terpaksa ia mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan hawa
dingin ini. Hawa panas yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan Setan Botak
merayap ke luar melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu menjadi hangat kembali.
Ma-bin Lo-mo melepaskan kedua lengan anak itu dan berkata, alisnya berkerut. “Han Han, awas jangan
engkau membohong. Apakah engkau minta dihukum?”
Ketika kebetulan Han Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan itu menjadi pucat
dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata.
“Teecu sama sekali tidak membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi pelajaran apa-apa kepada
teecu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dari mana engkau bisa mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?” Wajah yang tadinya
ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, seperti muka seekor kuda marah.
Wajah Han Han menjadi merah karena malu. “Teecu mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada
Ouwyang Seng dan secara diam-diam teecu berlatih seorang diri tanpa mereka ketahui.”
Anak-anak itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan mentertawakannya karena terdengar mereka memuji.
Bahkan Kim Cu bersorak, “Bagus sekali! Engkau cerdik sekali, Han Han!”
Han Han memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya kelihatan girang dan
mengangguk-angguk. Bagaimana mereka ini? Mendengar dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik!
Agaknya Ma-bin Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya, maka ia berkata, “Kemajuan hanya dapat
diperoleh dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan, segala jalan dapat ditempuh, bahkan mencuri pun
baik saja. Demi tercapainya cita-cita, segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang buruk! Anak-anak
semua, contohlah perbuatan Han Han yang cerdik!”
Di dalam hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui pendapat ini, akan tetapi mulutnya tidak membantah.
Bahkan ia mulai meragukan pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang menyatakan bahwa
kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik. Kalau dia yang benar, mengapa semua murid
Ma-bin Lo-mo ini menerima dan menyetujui nasehat guru ini?
Betapa pun juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo sudah terbukti. Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin
dia bisa memiliki kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua lengan datam air panas, bahkan
membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han Han masih terlampau kecil untuk dapat yakin akan
kebenaran, dan tentu saja anak seusia dia itu mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa ia sadari,
mulailah pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya.
“Coba ceritakan bagaimana caramu melatih kedua lenganmu di sana,” kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara
memerintah. Anak-anak yang lain tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua mendengarkan
dengan penuh perhatian.
“Pertama-tama teecu merendam kedua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri obat-obatan
dan racun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula memang terasa panas, akan tetapi dengan
mempertebal tekad dan memperkuat kemauan sambil mengerahkan hawa dari pusar ke arah kedua lengan,
akhirnya teecu kuat bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian karena teecu disuruh menggodok batu
bintang...” Han Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal mengapa ia ceritakan ini semua! Ilmu yang
dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu bodoh untuk menceritakan kepada orang lain? Kalau barang
rahasia dibuka, tentu saja akan hilang keampuhannya.
“Batu bintang? Benar-benarkah Si Botak menggunakannya? Di mana ia mengumpulkan batu bintang itu?” Mabin
Lo-mo bertanya penuh perhatian.
Han Han tidak dapat mundur lagi. Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya. “Batu-batu
bintang itu didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di sebelah timur kota Tiong-kwan.”
“Lalu bagaimana? Teruskan...!” Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang agaknya ingin
sekali tahu bagaimana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Sakti Inti Api itu.
“Diam-diam teecu lalu merendam kedua tangan teecu ke dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah
digodok berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat ketekadan teecu, akhirnya
teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara diam-diam teecu lakukan, akan tetapi, sesungguhnya teecu
tidak pernah mempelajari ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi.”
“Inilah yang dinamakan bakat dan jodoh! Han Han, engkau berbakat secara ajaib sekali sehingga tanpa
bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan engkau berjodoh dengan kami, berjodoh
untuk menjadi muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang Sin-ciang, dan kelak
dunia-kangouw.blogspot.com
engkau akan membikin Gak Liat kecelik karena kau akan melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha,
jangan khawatir, aku akan menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku. Akan
tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang luar biasa. Sekarang engkau harus
melakukan kewajiban bersembahyang dan bersumpah, muridku.”
“Bersumpah...?” Han Han tertegun dan terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah berlari-lari
dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok.
“Semua murid harus menjalankan sumpah,” ia mendengar Kim Cu berkata.
Gadis cilik ini membawa sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han Han. “Untuk sementara kau
pakailah dulu pakaian seorang suheng (Kakak Seperguruan) ini sebelum dapat kubuatkan yang baru untukmu.
Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang paling kau sukai?”
“Putih...” jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian orang lain, akan tetapi karena
pakaiannya penuh tambalan dan kotor, dan dia tidak tega untuk menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya
juga. Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di situ, berarti menjadi seorang di antara anak-anak itu?
Masa ia memakai pakaian seperti pengemis?
“Lekas kau pakai pakaian itu dan membersihkan diri. Suhu telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah.
Hayo kuantar, di sana ada air...”
Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han, ditariknya dan diajak berlarian ke belakang
puncak. Ternyata di situ terdapat sumber air yang amat sejuk dan jernih sehingga segala batu-batuan di
dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri agak kehijauan saking jernihnya.
“Lekas kau mandi dan tukar pakaian, Sute.”
Mendengar sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun kemudian ia teringat akan Sin Lian yang juga
menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam merasa geli hatinya. Ada dua orang gadis
cilik yang keduanya lebih muda dari padanya, akan tetapi keduanya adalah suci-nya (kakak perempuan
seperguruan)!
“Eh, kenapa kau tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?”
Han Han tertawa. “Engkau... engkau baik sekali, Suci.”
“Tentu saja! Bagaimana seorang Suci tidak baik kepada Sute-nya? Kau pun harus baik dan taat kepada Sucimu.
Nah, hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih.”
Han Han mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat betapa Kim Cu masih berdiri di
situ menghadapinya dan memandangnya, maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia pegang untuk
ditanggalkan.
“Eh, Suci. Harap jangan memandang ke sini...”
“Mengapa sih?”
“Malu ah...”
Kim Cu mengangkat alisnya, membelalakkan kedua mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut
dengan tangan sambil membalikkan tubuh membelakangi Han Han. “Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang
aneh! Apakah tubuhmu mempunyai cacat maka kau malu untuk ditonton? Lekaslah mandi dan tukar pakaian,
aku menanti di sana. Jangan lama-lama karena Suhu sudah menunggu!”
Gadis cilik itu berlarian pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian, kemudian membersihkan tubuh
dengan pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi anak-anak di situ bertelanjang di depan orang lain
bukan merupakan hal yang membuat malu? Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan cepat ia
mandi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Air itu dingin sekali, membuatnya menggigil. Akan tetapi seperti biasa, berkat kekuatan kemauannya yang luar
biasa, secara otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan rasa dingin sehingga tubuhnya tidak menggigil lagi,
bahkan terasa sejuk dan segar. Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan masih
baru, memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa seolah-olah menjadi orang baru. Di
dalam saku baju itu ia menemukan sebuah pita rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia
lalu mengikat rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke pondok, semua murid Mabin
Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum. Apa lagi Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya
dengan kata-kata memuji.
“Sute, engkau benar-benar tampan dan gagah!”
Dipuji secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak, wajah Han Han menjadi merah. Ma-bin Lo-mo
tertawa dan memanggilnya dari belakang meja sembahyang.
“Han Han, muridku yang baik. Lekas engkau menyalakan sembilan batang hio dan bersembahyang, kemudian
berlutut di depan meja sembahyang untuk bersumpah menirukan semua kata-kataku.”
“Baik, Suhu.”
Han Han menghampiri meja sembahyang, ditonton semua murid di situ. Sambil menyalakan sembilan batang
hio, ia mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu terdapat arca setengah badan, arca
seorang kakek tua yang wajahnya kereng, hidungnya agak bengkok seperti hidung burung. Wajah yang
tampan dan gagah akan tetapi membayangkan kekejaman.
“Arca siapakah itu...?” Ia berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia mendengar suara
Kim Cu di sebelah kanan.
“Jangan banyak bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)...”
Hemmm, arca itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang dipuja-puja di tempat itu. Ia tidak
peduli lalu mulai bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan sikap hormat, kemudian
menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan terkepal
di depan dada. Pada saat itu, terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya.
“Murid baru Sie Han, sekarang bersumpahlah dan meniru semua kata-kataku.”
“Baiklah, Suhu. Teecu siap,” jawab Han Han.
Bulu tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu menyeramkan, apa lagi dengan asap hio yang
mengepul dan berbau harum, dan ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang terdengar parau mengandung getaran
penuh kesungguhan. Maka bersumpahlah Han Han, tidak sepenuh hatinya karena ia hanya menirukan ucapan
Ma-bin Lo-mo, dia bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.
“Teecu Sie Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat ini teecu menjadi murid Suhu
Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar dengan tekun dan rajin, mematuhi segala perintah dan larangan Suhu,
siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika teecu melakukan pelanggaran. Mulai saat ini, teecu
menyerahkan jiwa raga ke tangan Suhu Siangkoan Lee yang akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu
yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi nama besar Couwsu dan
nama besar Suhu, untuk mengusir penjajah dari tanah air dan untuk melaksanakan segala perintah Suhu.”
Di dalam hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi sumpahnya itu. Tentang ketaatan dan hukuman ia
dapat menerimanya, akan tetapi mengapa setelah tamat belajar, cita-citanya hanya mengusir penjajah dan
mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut tentang kewajiban para pendekar yang membela
dan mempertahankan keadilan dan kebenaran, membela orang-orang tertindas dan menentang pihak yang
sewenang-wenang?
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk menjenguk isi hati orang, demikian pikir Han Han,
karena kakek itu lalu mengajak mereka duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata.
“Han Han dan semua muridku. Jangan kalian mudah disesatkan oleh pendapat orang-orang yang menyebut
diri pendekar-pendekar kang-ouw bahwa seorang yang berkepandaian berkewajiban untuk membasmi orang
jahat dan membela orang benar. Karena jahat dan baik atau benar itu merupakan pendapat pribadi yang
sering kali menyesatkan! Yang penting bagi kita adalah kita sendiri! Tunjukkanlah setiap tindakan kalian untuk
kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah makhluk yang paling tidak mengenal budi, sehingga
akan percuma belaka kalau kalian menggunakan kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali! Yang
penting adalah diri kita sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir penjajah dan membentuk
pemerintah bangsa sendiri dengan kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan!”
Kembali timbul keraguan di dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang syarat-syarat
menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua murid mengangguk-angguk dengan wajah
berseri, dan ia pun merasa bahwa yang terpenting di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu.
Buktinya, dia sudah banyak mengalami penghinaan dan kesengsaraan, tidak ada orang yang membelanya.
Kalau dia tidak membela diri sendiri, tentu selamanya ia akan hidup terhina dan sengsara seperti itu. Pula,
kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagaimana ia akan dapat mengusir penjajah dan terutama sekali,
menghancurkan tujuh perwira terutama perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah
membasmi semua keluarganya?
“Han Han, sebagai murid baru kini engkau mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakanlah apa yang perlu
kau ketahui, dan jangan sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala pertanyaanmu akan kujawab,” kata Ma-bin
Lo-mo.
Sampai lama Han Han memandang gurunya yang baru ini. Sukar baginya untuk menilai kakek yang bermuka
kuda ini karena muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan. Ia tidak tahu apakah gurunya ini
jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah baik dan gagah seperti Lauw-pangcu. Betapa pun juga, ia tahu
bahwa gurunya ini amat lihai, dan pribadi suhu-nya diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat
gurunya. Karena itu tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.
“Hanya ada sebuah pertanyaan teecu. Yaitu, siapakah Suhu ini, bagaimana riwayat Suhu dan siapa pula
Couwsu yang kita puja-puja itu?”
Terdengar seruan-seruan heran di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid ketika diterima selalu
diberi kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua menanyakan tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada
murid baru yang datang-datang bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat dihormati
itu!
Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah dan
semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo
malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang
merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhu-nya dengan mata terbelalak. Memang gurunya
ini seorang aneh, lebih aneh dari pada Setan Botak.
“Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya
guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya
kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah
keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti dewa!
Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suheng-ku yang bernama Suma Hoat, puteranya
sendiri, putera tunggalnya. Betapa pun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supek-mu
(Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh!” Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya
mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.
“Di manakah Supek itu sekarang, suhu?” tanya Kim Cu dengan suara penuh kagum.
“Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar
namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini
dunia-kangouw.blogspot.com
sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama Supek kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk
mohon bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat
kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yangkang
sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Ada pun Supek kalian itu mendapatkan lebih
banyak lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang kepada Supek kalian.
Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh kang-ouw. Dia banyak
melakukan hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi memang itulah
sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi!”
Semua murid termasuk Han Han mendengarkan dengan kagum.
“Dan suhu sendiri?” tanya Han Han.
“Aku membantu Sukong kalian, kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, Sukong kalian banyak
dimusuhi orang kang-ouw, termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Mungkin karena petualangan Supek
kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian Sukong kalian menarik banyak orang gagah
menjadi iri dan memusuhinya. Namun Sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu berhasil
menghalau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah Sukong kalian meninggal dunia, aku tidak
mau menghadapi sekian banyaknya musuh seorang diri, apa lagi karena Supek kalian yang dapat diandalkan
telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan kedudukanku sebagai pembesar tinggi, merantau
pula dan akhirnya aku tinggal di sini, apa lagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu.
Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja, mana mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar
seperti Gak Liat itu rela dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian muridmuridku
yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi
patriot-patriot yang perkasa!”
Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan oleh
Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga para murid menjadi kagum
dan bangkit semangat mereka untuk belajar lebih tekun agar kelak dapat berjuang mengusir penjajah yang
tidak saja sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka.
Mulai hari itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan belajar ilmu silat. Mula-mula, ketika menerima
pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan tekun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena
pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu
memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat.
Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu.
Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat
bagaimana kelak jadinya dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah logam
yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo! Dan dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka
dia hidupnya diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan bentukan Ma-bin Lo-mo. Ia ingin
bebas!
Di antara murid-murid di situ, dia merupakan murid termuda. Bukan muda usia, tetapi muda karena dialah
orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah suci-suci-nya, dan murid-murid laki-laki adalah
suheng-suheng-nya. Di antara mereka hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan
sahabat-sihabatnya.
Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Kedua adalah seorang suci lain
yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang
tuanya dibunuh orang-orang Mancu. Ketiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih
muda dari pada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh keberanian dan
pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering kali bermain-main dan berlatih.
Akan tetapi sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai dari pada mereka berlatih dengan Ciok Lin atau
dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya akan kebebasan. Ia ingin merantau,
ingin melihat kota raja. Cerita tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supek-nya itu,
tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia akan bunyi sajak yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menganggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya,
sekenyangnya dan sepuasnya!
Sering kali ia termenung, dan kalau sudah demikian Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta
menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya mengenal keadaannya.
“Kenapa kau selalu murung, Sute?” Pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya.
Mereka duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya.
“Tidak apa-apa, Suci. Hanya... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan ke luar, turun gunung agar melihat
pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah setahun lamanya...”
“Tunggulah sebulan lagi, Sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun
Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun gunung selama beberapa hari.”
“Syukurlah kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?”
Gadis cilik yang kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sute-nya yang lebih tua setahun dari
padanya, lalu tersenyum manis. “Mengapa tidak senang, Sute? Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku...
sudah tidak mempunyai keluarga seorang pun.”
“Suci, engkau telah mendengar riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau
menceritakan riwayatmu kepadaku?”
“Apakah yang dapat kuceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota raja. Kami
diserbu orang-orang Mancu. Ayah bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh semua. Aku ditolong Suhu dan
dibawa ke sini semenjak aku berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat.”
“Dan semua Suci dan Suheng itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?”
“Benar.”
“Dan semua ditolong Suhu?”
“Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut Suhu, kelak
engkaulah yang paling hebat di antara kita.”
“Wah, jangan memuji, Suci.”
“Sesungguhnyalah, Sute.” Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han Han. “Ada sesuatu yang aneh
pada dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Engkau
amat kuat dan pandai, akan tetapi engkau selalu menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat,
Sute.”
Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri
mengapa ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat
bertanya.
“Tiga orang suheng yang cacat itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?”
“Ah, belum tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.”
“Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?”
“Siapa lagi kalau bukan Suhu? Kumaksudkan, Suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja murid-murid lain
yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hukuman potong kedua daun
telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan Suhu ketika Suhu bercakap-cakap di dalam
pondoknya dengan seorang tamu, sahabat Suhu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wah...!” Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada
di pondok. “Siapa yang melaksanakan?”
“Aku.”
“Hah...?” Han Han memandang suci-nya dengan mata terbelalak.
Kim Cu tersenyum geli. “Mengapa?”
“Kau... kau tega melakukan itu...? Kau... mengapa begitu kejam...?”
Kim Cu menggeleng kepala. “Sama sekali tidak, Sute. Aku hanya mentaati perintah Suhu dan syarat utama
seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau
tidak tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah
membuntungi kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh.”
“Dia... tidak mendendam kepadamu?”
“Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu.”
“Dan... yang lengannya buntung?”
“Kwi-suheng? Dia telah mencuri baca kitab milik Suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena
lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan.”
“Yang buntung kakinya?”
“Lai-suheng? Ia hendak minggat, tetapi lalu tertangkap. Karena kakinya yang melarikan diri, maka sebelah
kakinya dibuntungkan.”
Han Han bergidik.
Kim Cu berkata lagi, “Akan tetapi cacat mereka tidak menjadi halangan karena Suhu tidak membenci mereka,
malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan
dengan keadaan dan bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan.
Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.”
“Hemmm..., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan Suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku
tidak pernah melihat ada tamu datang.”
Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jeri dan takut. “Tamu itu seorang manusia yang hebat,
dan kata Suhu ilmunya melampaui tingkat Suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari Suhu...”
“Apa...? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu...?”
Kim Cu mengangguk. “Tidak ada yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk Suhu bercerita bahwa
Sukong mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang paling muda.
Lihainya bukan main, bahkan Suhu amat takut kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan hukuman
berdasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu...”
“Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?”
Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang membicarakan wanita itu. “Kita para murid
Suhu diharuskan taat kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut Suhu, akan tetapi
julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa).”
Han Han bergidik. “Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia.
Sudahlah, Sute, tidak baik kita bicara tentang Sian-kouw...”
“Kalau begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, Suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar
dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan petualangan mereka, terutama
sekali Supek yang disebut-sebut oleh Suhu, putera dari Sukong itu.”
“Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang
dikenal Suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut Suhu, Sian-kouw banyak mewarisi
ilmu silat Sukong. Akan tetapi banyak sekali tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak
pernah dikenal Suhu namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu.”
“Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut Suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?”
Kim Cu mengangguk. “Benar, dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas
dari segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih mau pun golongan yang disebut
golongan sesat.”
“Kita ini masuk golongan mana?”
Kim Cu tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi
merah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak patut!
“Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat dunia kang-ouw seperti yang diceritakan Suhu. Akan
tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada golongan kita yang
menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak sesat?”
Han Han menjadi bingung. “Ceritakanlah tentang Koai-lojin itu, Suci.”
“Menurut suhu, dia itu merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga
usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang. Tingkat kepandaiannya pun
tidak ada yang dapat mengukurnya, akan tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya.
Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu semua tokoh besar
selalu mencari-carinya, termasuk Suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil.”
“Seperti dongeng saja...” kata Han Han kagum.
“Memang seperti dongeng, dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut
suhu, dunia kang-ouw pada jaman Sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus
tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut Suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang
memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja! Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah
Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu silat
aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas yang kabarnya menerima ilmuilmunya
dari manusia dewa Bu Kek Siansu!”
“Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?”
“Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng Suhu, ada yang mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun
menerima ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti
pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara Mutiara Hitam dan
Suling Emas ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagaimana. Akan tetapi menurut
suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong
yang berkepandaian seperti dewa itu pun masih ada hubungan keluarga dengan Pendekar sakti Suling Emas,
tapi entah bagaimana.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han mendengarkan penuh kekaguman dan melamun. Di dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai
seperti itu. Kalau dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang
pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda yang kini menjadi gurunya?
“Heiiii, Sute dan Sumoi, kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih!” Terdengar seruan Lai Kwan
yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han.
Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri.
“Sie Han Sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang diceritakan Suhu,”
kata Kim Cu.
Gu Lai Kwan yang berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han. “Eh, Sute,
apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian
suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong!”
“Agaknya baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, Sute,” Kim Cu ikut pula
menggoda. “Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu!”
“Ha-ha-ha!” Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Untuk bertemu dengan dewadewa
dalam dongeng itu, agaknya Sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini tentu telah berada di
sana.”
Han Han diam saja. Akhirnya Kim Cu yang menaruh kasihan menarik tangannya dan berkata menghibur,
“Sudahlah, Sute. Jika kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan Suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi
orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada
jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar kita...”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus. “Hih-hih-hih-hehe-
he! Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat! Kalian ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah
orangnya yang akan dapat membimbing kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi
muridku!”
Empat orang anak itu cepat membalikkan tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang
amat aneh. Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut dan
mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut, “Sian-kouw...!”
Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han
tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh perhatian.
Nenek itu benar-benar amat aneh dan menyeramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih
dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita cantik sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya
sudah putih semua terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak putih, mulut yang
tak bergigi lagi itu kelihatan selalu tersenyum, senyum mengejek dan memikat.
Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak
pendek terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata rantainya besar-besar
seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat
nyaring. Tubuhnya yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera yang
mahal dan mewah sungguh pun potongannya ketinggalan jaman. Di tangan kanannya tampak sebuah guci
arak yang mengeluarkan bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua pipi
dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan terpengaruh hawa arak!
“Hi-hi-hik, aku suka mendengar semangat kalian! Aku akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat! Hi-hik,
yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan menjadi seperti aku di
waktu muda. Hebat!” Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya melengking nyaring,
“Heiiiii, Siangkoan Lee...! Ke sinilah kamu...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri memanggil hambanya. Kemudian ia
menenggak araknya dari guci arak, caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga
ada dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya.
“Teecu datang menghadap...!” Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya
bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek
tua itu.
“Harap Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat
menyambut.”
Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar-benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu
gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak tadi bahwa nenek
aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, jauh lebih hebat dari pada kepandaian Si Muka Kuda.
Teringat ia akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak Pencabut Nyawa)!
“Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku
beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi murid-muridku dan aku
sendiri yang akan mendidik mereka menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!”
Ma-bin Lo-mo mengangguk. “Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka ini
amatlah baik.”
“Karena mereka telah menjadi murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan
orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini
pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan
mereka! Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang
sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu.”
Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah keruh. “Ah, apa saja yang tidak dilakukan
anjing-anjing penjajah itu?! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi pelopor, menjadi anjing
penjilat penjajah.”
“Soal Gak Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting,
sekarang engkau harus dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal
besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan mengusahakan sebuah
perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.”
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.
“Sudahlah, kau boleh membuat persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat
muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan murid-muridku!” kata pula Si
Nenek.
Ma-bin Lo-mo kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah pondok
besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu
akan amat manis tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat
seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling
tabah, juga di antara mereka berempat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda dengan
anggukan kepala. Tiga orang adik seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki
pondok.
“Kalian semua sudah pernah disumpah, bukan?” tanya nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di
dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai.
Empat orang anak itu mengangguk.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula yang akan
menjalankan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biar pun kalian menjadi muridku, namun kalian
harus tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru.
Pelanggaran ini akan dihukum dengan pemenggalan kepala. Tahu?”
Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali, akan tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam
apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di hatinya,
akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang anehaneh
seperti tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja perasaan
tak senang itu dalam hatinya.
“Gerak silat boleh kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting, aku
akan mengajarkan kalian menghimpun sinkang, karena dengan kuatnya sinkang di tubuh, maka kalian akan
dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku! Aku sudah berusia seratus delapan puluh
tahun paling sedikit! Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?”
Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai
jurusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang dan menggoyang-goyang
pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata, “Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan?
Nah, inilah berkat kekuatan sinkang yang hebat!” Ia duduk kembali.
Han Han tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biar pun lihai, kiranya guru yang baru ini seorang yang
miring otaknya!
“Golongan kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan Swatim
Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian memandang rendah sinkang dingin ini, karena
kalau sudah dapat menguasai dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya
dengan sebuah pukulan. Sekali pukul, biar pun tangan tidak mengenai tubuh lawan, cukup membuat darah di
tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini!”
Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya
menyemburkan ke atas dan... berdetakanlah butir-butir es keluar dari perutnya melalui mulut, bertebaran di
atas lantai!
“Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat membuat air
membeku, juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah,
sekarang kalian harus mulai belajar semedhi untuk menghimpun Im-kang.”
Setelah memberi pelajaran teori tentang ilmu silat dan semedhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang
muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih semedhi dan tidak boleh berhenti
sebelum diperintah! Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan empat orang muridnya
menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam!
Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Han Han hal seperti itu biasa saja karena
memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar
biasa pula. Akan tetapi tiga orang temannya amat sengsara. Biar pun begitu, Kim Cu dan teman-temannya
tidak ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar.
“Bagus, kalian memang patut menjadi muridku!” Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira.
Dan sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid barunya, melainkan
hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi
penjelasan tentang latihan semedhi yang akan dapat menghimpun sinkang mereka, bahkan ia sendiri turun
tangan ‘mengisi’ mereka dengan sinkang-nya untuk membuka jalan darah mereka seorang demi seorang.
Akan tetapi ketika tiba giliran Han Han, nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid lain, Han Han
disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Imdunia-
kangouw.blogspot.com
kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat membangkitkan tan-tian yang
berada di dalam pusar.
Harus diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat bagi tenaga dalam di
tubuh manusia. Hanya bedanya, tanpa latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat
dipergunakan, hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja diam-diam menciptakan
segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun dengan latihan semedhi dan peraturan napas
dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan timbul dan dapat dikuasai.
Nenek itu mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia merasa betapa Im-kang
yang ia salurkan itu tiba-tiba ‘macet’ dan berhenti penyalurannya.
“Aihhhhh...! Di mana kau belajar mengerahkan sinkang untuk melawanku?”
Han Han juga kaget. Cepat ia menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar kesadarannya
itu sambil berkata, “Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan
Lee.”
“Hemmm, kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan.”
Kim Cu dan teman-teman lain pada dasarnya belum memiliki sinkang sehingga dapat menerima Im-kang yang
tersalur dari nenek itu secara wajar. Berbeda dengan Han Han yang merasa tersiksa sekali, dia merasa betapa
tubuhnya dijalari hawa dingin yang seolah-olah hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak
melawan akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya
bergerak dan menolak.
“Nah, latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri,” akhirnya nenek itu
berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang muridnya.
Cara nenek ini melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya.
Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang cepat dan
hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil
karena selalu terjadi pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa Yang, hawa
yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi.
Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan yang diberikan Lauwpangcu
dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya
untuk bersemedhi dengan memusatkan pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut
bersemedhi sambil menunggang naga sakti.
Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapasan sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas
panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam semedhi. Latihan ini dapat membuat pikirannya
terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pribadinya sehingga terbukalah jalan untuk
menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya. Sungguh pun cara yang dipergunakan Lauw-pangcu ini berbeda
dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah menyimpang.
Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang pelajaran semedhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama
yang mengajarkan soal semedhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam semedhi, orang selalu
menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut berulang kali: Gwan-si-thiancun.
Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada
Sang Buddha dan membaca mantera: Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khongcu
menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera: Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-lebut-
thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan
menyeleweng sehingga dapat dipusatkan.
Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam
bersemedhi mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu
yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan itu, tujukan
pikiranmu ke situ! Kalau engkau menaruh dendam kepada seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak,
tujukan pikiranmu mengingat dendammu! Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi perhatian
pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat menguasai pikiranmu.”
Memang cara yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan dari pada ajaran-ajaran
yang lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan. Justru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan
si murid mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia melayang!
Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat
dan kesaktian. Dan memang cara yang dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih mudah
dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak
memusatkan pikiran melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau
seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu.
Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san
diberi kebebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian
baru dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sedang sibuk
mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari
Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana
perginya tidak ada orang mengetahui.
Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han
menolaknya dan seorang diri ia turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan
hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti pakaian
seorang pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan diikat di atas
kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi,
membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri,
wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan hatinya
karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara.
Ia melakukan perjalanan menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki bukit.
Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Seperti juga kota-kota
dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apa lagi dusun
itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena
musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah
musim bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang dewa yang membagibagikan
rejeki kepada mereka.
Menyaksikan kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah semua orang
nampak berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian serba baru, kelihatan riang gembira, berlari-larian dan
bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang dengan hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka
membawa main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua mereka.
Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia
mendengar suara anak perempuan menangis! Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan suara lakilaki
kasar dan parau. Saking herannya, apa lagi karena hatinya tergerak penuh rasa iba kepada anak yang
menangis, Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan
biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat kediaman orang tanpa ijin!
Begitu memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh
tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan sedang berdiri dan menangis, menyusuti air
mata yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor.
Seorang laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang tukang pukul
berdiri dengan muka merah di atas anak tangga. Tangan kanannya bertolak pinggang di atas sebatang golok
dunia-kangouw.blogspot.com
besar yang tergantung di pinggang, tangan kirinya menuding-nuding dengan marahnya sambil membentakbentak.
“Maling cilik! Bocah hina! Kalau tidak lekas minggat, kuhancurkan kepalamu!”
Anak itu menggigil seluruh tubuhnya. “Aku... tidak mencuri apa-apa...”
“Tidak mencuri, ya? Kau hendak maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau
memanjat pohon ang-co (korma) tadi?”
“Aku... aku ingin makan buahnya... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?”
“Setan alas! Masih banyak membantah?” Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak
perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak itu terangkat ke atas.
Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan
mukanya. Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu kelihatan
makin lebar.
Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai. “Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih...! Hemmm,
sayang engkau masih begini kecil, dan kurus...” Kini tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang
tergantung itu secara kurang ajar.
“Ah, masih terlalu kecil... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm... hebat juga...!”
“Lepaskan aku...! Lepaskan...!” Anak itu meronta-ronta.
“Ha-ha, tentu saja kulepaskan kau. Minggat!” Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang.
Han Han cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh
anak perempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil memandang
laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh kebencian.
“Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil!” Han Han
memaki.
Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh
seorang pemuda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang
pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia
berkata.
“Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan jembel busuk ini!”
“Keparat! Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya!” Han Han menuding ke arah anak itu.
Merah muka si tukang pukul. “Apa? Engkau siapakah?”
“Aku seorang pelancong yang kebetulan lewat dan menjadi saksi kekejamanmu.”
“Wah-wah, lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?” Tukang pukul itu mengejek dan
berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tanggung yang kelihatan
lemah ini.
“Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!”
“Ha-ha-ha! Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah
tendangan kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak menjadi
gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari
terbuka ia hantamkan ke arah kaki yang menendang.
“Krakkk...! Aauggghhh...!” Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang betisnya telah
patah!
“Tidak lekas minta ampun?” Han Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki
itu baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok, dan anak perempuan
itu mengingatkan ia akan cici-nya dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.
“Setan kecil!” Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biar pun kakinya terasa nyeri, ia sudah
meloncat bangun, golok besar terpegang di tangannya.
Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan goloknya
membacok. Biar pun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan,
sedangkan Han Han, biar pun tidak pandai silat namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu
tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya memukul
ke arah kepala orang itu.
“Prokkk...!” Tubuh orang itu terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah!
Di luar kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang timbul karena latihan
Hwi-yang Sin-ciang! Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat orang
itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat mengerikan.
Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat betapa anak perempuan jembel itu
menangis, menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang
menimbulkan takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan berakibat
hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak itu
berlari.
“Hayo kita cepat pergi dari sini!” bisiknya
Berlari-larianlah kedua orang anak itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria
merayakan hari Sin-cia tidak ada yang mempedulikan mereka. Dalam suasana pesta seperti itu, memang tidak
mengherankan melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang
sedang bergembira dan bermain-main. Pada saat itu tidak terasa keganjilan melihat seorang anak laki-laki
berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti
anak jembel.
“Aduhhh... aduhhh... kakiku... aahhh, berhenti dulu... napasku mau putus...!” Anak perempuan jembel itu
menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan
tangan Han Han yang lupa diri dan mempergunakan ilmu lari cepat.
Mereka telah tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak
perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya, duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis.
Han Han berdiri memandangnya.
“Engkau bocah cengeng benar!” katanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa
iba terhadap anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi seorang jembel berkeliaran
tanpa teman.
Anak perempuan itu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan jeli,
memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han. Air matanya menetes turun ke atas pipi, kemudian
terdengar ia berkata, “Apakah engkau juga akan membunuhku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan sikap
serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya
yang jembel, tapi anaknya sendiri tidak patut menjadi jembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas rumput
dekat anak itu.
“Tentu saja tidak! Engkau siapakah? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran
di dusun itu dalam keadaan seperti anak jembel?”
Mendengar pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han
Han menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek benar,
akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya, ia dapat memaklumi
keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak
reda, ia berkata.
“Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatang-kara, bukan? Kehilangan keluargamu?”
Anak itu mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena isaknya.
“Nah, aku pun sebatang-kara, aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku,
dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang saudara, bukan?”
Anak perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan
muka basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki kesungguhan hati Han
Han dengan sinar matanya yang bening.
Han Han tersenyum. “Maukah engkau menjadi Adikku?”
Anak itu mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han
makin suka kepada anak ini. Tidak hanya sepasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya
membuat sinar matahari menjadi makin cerah!
“Engkau menjadi Adikku dan kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han Han,
she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagaimana kau sampai sebatang-kara dan
tiba di tempat ini?”
Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan
merangkul Han Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu. Dan
mulut yang kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih.
“Koko... Han-ko (Kakak Han)... Koko...!”
Han Han menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena mendapat
hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang tadinya terombang-ambing
dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan selalu ketakutan dan kengerian, lalu tiba-tiba mendapatkan
pegangan yang dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedipkan kedua
matanya agar matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai menjatuhkan air mata.
Setelah tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya,
memandangnya dan berkata, “Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa namamu?”
“Lulu...”
Han Han tercengang. “Eh, namamu lucu sekali! Lulu? Ayahmu she apa?”
“Ayahku seorang pembesar Mancu di kota raja...”
“Haaahhh...?” Han Han benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata
terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ayahmu seorang perwira Mancu?” tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah perwira muka
kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan dingin. Kedua tangannya yang masih
memegang pundak Lulu mencengkeram.
Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, namun cukup menyakitkan. “Ada
apakah, Han-ko...?”
Akan tetapi Han Han sudah mendorong tubuh anak itu sehingga terjengkang dan bergulingan. Anehnya, sekali
ini Lulu malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan
matanya yang lebar itu terbelalak.
“Ko-ko, engkau kenapakah?”
“Aku benci orang Mancu!” bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena
sesungguhnya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang
mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan tubuh.
Lulu lari menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu menjelajahi
wajah Han Han penuh pertanyaan.
“Kenapa, Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik...”
“Benci, ya, benci! Aku benci semua orang Mancu!”
“Tapi, kenapa...? Tentu ada alasannya. Apakah engkau... pemberontak?”
Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih
banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia
menjawab sebagai penjelasan sikapnya.
“Orang tuaku dibunuh, keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu! Maka aku benci orang Mancu.”
“Membenci aku juga?”
“Kalau kau orang Mancu, ya!”
“Tapi aku Adikmu!”
“Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu.”
Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis,
tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar.
“Han-ko, jangan... jangan membenci aku. Aku Adikmu... jangan membenci aku. Aku Adikmu..., dan aku... aku
pun sebatang-kara. Ayah bundaku, biar pun juga orang-orang Mancu, mengalami nasib yang sama dengan
orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang, keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya
dengan maksud agar aku menderita, agar aku menjadi seorang jembel. Malah pakaianku ditanggalkan lalu aku
dipaksa memakai pakaian jembel...! Yang melakukan pembasmian keluargaku adalah pemberontakpemberontak,
para pengemis pemberontak, dan... dan... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi... aku tidak
membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko!”
Han Han tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia percaya.
Perasaannya tertusuk melihat kenyataan bahwa gadis cilik yang keluarganya dibasmi ini tidak membenci
semua orang yang sebangsa dengan mereka yang membasmi keluarganya. Memang sungguh tidak adil kalau
dia membenci semua orang Mancu, apa lagi gadis cilik ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua hanyalah
menjadi korban perang yang kejam dan jahat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maafkan aku, Moi-moi...” Ia berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han
Han.
Mereka berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan setelah lama berpisah
dan hilang. Kemudian Han Han mengajak Lulu melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir
kalau-kalau ada yang mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andai
kata orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka seorang anak kecil seperti
dia yang telah membunuhnya?
“Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pengemis?”
Lulu mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau lebih tepat Lulu yang
selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak
angkatnya ini.
“Ayah sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya,
yaitu Ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok
pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh,
melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberontak itu lihai sekali, semua
pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang jembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi
kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia
pulalah yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah bunda
dan Kakakku. Aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak
akan melupakan kakek jembel yang disebut Lauw-pangcu itu!”
Tiba-tiba kaki Han Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir jatuh.
“Hemmm..., dia...?” kata Han Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah
gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu!
“Mengapa? Kau kenal dia Koko?”
“Ya, begitulah.”
“Kau hebat, kau lihai, dapat membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko.
Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?”
“Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan
kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai menjadi orang-orang
pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam. Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke mana pun aku
pergi.”
Lulu mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi. Wajahnya yang manis
berseri dan matanya yang lebar itu bersinar-sinar. “Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah darimu.”
Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar
otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu
untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya,
dan Lulu akan dapat mempelajari ilmu yang tinggi.
“Sute...!”
Han Han dan Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak
perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali sehingga Lulu memandang penuh kekaguman. Kim Cu memakai
pakaian yang indah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu kemerahan
karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han.
“Wah, Sute! Setengah mati aku mencarimu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ada apakah, Suci? Bukankah waktu libur masih sehari lagi sampai besok?”
“Ada perubahan, Sute. Suhu sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali
sekarang juga karena Suhu hendak pergi jauh. Juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita harus berada di
sana. Dan... eh, siapakah dia ini?”
Agaknya karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru
sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan bermata
lebar yang berdiri memandangnya penuh kagum dan heran.
“Aku hendak membawa dia menghadap Suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.”
“Wah, agaknya tidak akan mudah, Sute. Siapa sih anak ini?”
“Namanya Lulu, seorang bocah Mancu... Heee, tahan, Suci...!”
“Dukkk!” Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han Han.
Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah.
“Sute! Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan
aku membunuh dia!” Kim Cu melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan
itu.
“Tidak, Suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita.”
“Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi
keluargaku, dan keluargamu juga!”
“Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, Suci. Sebaliknya keluarga Lulu ini pun
terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir
luas dan adil, Suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut
bersalah, alangkah picik dan tidak adilnya ini! Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang
yang jahat, termasuk bangsa kita, Suci. Kalau karena kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu
bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan
terus-menerus terjadi. Tidak, Suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biar pun dia anak
seorang perwira Mancu.”
Kim Cu termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sute-nya ini amat pandai,
betapa pikiran sute-nya amat luas dan sute-nya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat
sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sute-nya dan tingkat sute-nya masih lebih rendah dari pada
tingkat murid lainnya.
Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa kasihan kepada
Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu
begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur
dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya.
“Agaknya engkau benar dalam hal ini, Sute. Akan tetapi salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu
kepada Suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu Suhu, dia tentu akan langsung dibunuh tanpa
banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, Sute.”
“Tidak bisa, Suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh Suhu, lebih baik aku tidak kembali ke In-koksan.”
“Eh, mengapa begitu? Apamukah bocah ini, Sute? Jangan bodoh...”
“Dia ini Adikku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa? Adikmu? Anak Mancu ini... mana mungkin Adikmu...?”
“Dia betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan melindunginya,
tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya, Suci,” kata Han
Han, suaranya tetap.
Wajah Kim Cu menjadi berduka. “Sute, kalau kau tidak kembali... bagaimana dengan aku? Aku akan
kehilangan...”
“Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan.
Sedangkan Lulu tidak mempunyai siapa-siapa, dia harus ikut bersamaku. Dan pula, sudah berkali-kali aku
katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, Suci.
Harap Suci suka mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.”
Kim Cu termenung dengan muka sedih. “Kalau engkau tidak kembali, Suhu akan marah sekali. Terutama
sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari Suhu,
dan kalau sampai engkau tertangkap... ah, hukumannya mengerikan, Sute.”
“Kalau melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?”
Lulu mengeluarkan jerit tertahan. “Keji...!”
Kim Cu memandang bocah itu dengan mata marah. “Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja
yang akan mendapatkan kemajuan! Sute, engkau sudah tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan
pergi.”
“Biarlah, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku, akan bersembunyi. Kalau
sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengatakan di mana kau bertemu
denganku, Suci.”
Kim Cu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala. “Aku tidak akan memberi tahu, Sute. Tapi... ah...”
“Sudahlah, Suci. Harap Suci suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga. Marilah, Lulu.”
Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh.
“Sute...! Tunggu dulu...!” Kim Cu meloncat dan berlari mengejar.
Han Han membalikkan tubuh, alisnya berkerut. “Suci, benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan
hendak menghalangi aku?”
Kim Cu maju dan memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun.
“Tidak sama sekali, Sute. Aku... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini... ah, setelah dia menjadi
Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu...” Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya,
mengeluarkan sepasang sepatu cadangan dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu.
“Lulu, kau pakailah ini agar engkau pantas menjadi adik Sie Han Sute.”
Lulu menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu berkata, “Enci, kau baik sekali, dan alangkah
mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko...”
“Cihhhhh...! Kanak-kanak bicara tentang cinta! Cinta apa?”
“Engkau mencinta Han-ko, Enci...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hush! Sudahlah...!” Suara Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari
situ dengan gerakan yang amat cepat.
Han Han berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang matanya,
kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, “Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta bagaimana?”
Lulu tersenyum. “Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan
senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia.”
“Eh-eh, gilakah engkau?” Entah bagaimana, sungguh pun ia hanya menduga-duga dan hanya mengerti
setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya berdebar-debar.
“Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan perjalanan.”
Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika muncul kembali, Han Han
memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata adalah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah kini
pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali.
“Kita ke mana, Koko?”
“Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya!”
“Aku datang dari sana, akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu akan
sampai juga.”
Maka pergilah kedua anak ini dengan tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari Inkok-
san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang
mengejar dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main.
Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari perjumpaan dengan
orang-orang agar tidak meninggalkan jejak. Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik
turun gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biar pun pakaian yang dipakai
Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik, setelah lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu
ditambal sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan.
Han Han menjadi makin suka kepada Lulu, setelah mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar
memiliki watak yang menyenangkan. Biar pun usianya baru sembilan atau sepuluh tahun, Lulu adalah seorang
anak yang tahu diri, tidak rewel, tidak banyak kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala
kehendak Han Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang kepada kakaknya ini, dan
juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han mencari makanan untuk mereka.
Betapa pun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang sukar, gadis cilik ini tak pernah
mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan
kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang
manusia keji dan mengerikan.
Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin
Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita
itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai,
sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya.
Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah
amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja
wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia
berusaha untuk menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang.
“Lulu adikku yang baik, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena
sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,” katanya hati-hati ketika
pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah hutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran. “Koko, keluargamu terbasmi oleh
perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam
kepada perwira-perwira itu?”
“Tentu saja.”
“Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam
kepada pembasmi keluargaku?”
“Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan
nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perang sungguh pun hal ini terjadi dalam perang.
Pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak
mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan
pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda!
Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan
kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan
Ayahmu adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan
musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan
berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa
dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh
seorang kaki tangan Mancu?”
Lulu merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa pun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja,
Koko. Apa pun yang menjadi dasar dari pada perbuatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada
bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan
bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan
mereka?”
Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat menjawab,
hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata, “Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir,
semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji! Perang menimbulkan mala petaka
yang mengerikan. Perang membuktikan betapa kejamnya makhluk yang disebut manusia. Perang dan bunuhmembunuh
antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya.
Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya
yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang
menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!”
“Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahatjahatnya
karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau
tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?”
“Tidak tahulah... tidak tahulah... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah
depan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di
puncak bukit.
“Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuil tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita
pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.”
“Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak
pula. Aku pun dapat bekerja apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah,
apa saja.”
“Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?”
“Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah jemb...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hanya Adikku yang baik dan manis!” Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan
mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun ketika mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi dari
puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan
berseru.
“Lihat! Kebakaran!”
Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api
merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelompok rumah-rumah
yang kini terbakar.
“Celaka...! Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api, Moi-moi.”
“Aku... takut..., Koko.”
“Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah!” Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan
sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok.
Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam
dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam
perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan
adiknya, diajak bersembunyi.
Kiranya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia
berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Karena disinari api
yang membakar rumah, di sana-sini jelas tampak menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam
keadaan mandi darah. Mengerikan! Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya,
napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk
menenangkannya.
Perang tanding yang lebih banyak terdengar dari pada terlihat itu berlangsung semalam suntuk, demikian pula
kebakaran yang agaknya tiada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan
sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian
terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin
menghebat. Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api membakar
dan tiada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi!
Han Han memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang. Matanya menjadi silau
menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia
dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat
tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia
dapat menduga bahwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan
hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.
Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi
kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan
menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi.
Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih.
Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran.
Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang eraterat
oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang
biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat
agar adiknya itu bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan.
Lulu yang masih menggigil ketakutan berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang
belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan
dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena
sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar.
Yang amat mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang
banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula
wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka lebar,
seperti terbabat senjata tajam. Ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus, dan semua
mayat ini mandi darahnya sendiri.
“Han-koko... aku... aku takut hiiii...!” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wajahnya
pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.
“Tenanglah, Adikku... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana... Eh, dengar... ada orang merintih...!
Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu...”
“Aku... aku takut... nge... ngeri...!”
Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi
mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi
tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati,
namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai
tembus ke punggung! Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justru dua orang ini di antara puluhan
mayat yang hidup.
Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biar pun Lulu sudah hampir pingsan
saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat
langkahnya menghampiri dua orang itu sambil berkata.
“Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong mereka...!”
Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari
meninggalkannya. Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula
mengejar. “Koko... Han-ko, tunggu aku...!”
Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran.
Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh
puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok
dan gagah.
Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat
rapi. Pakaiannya seperti seorang sastrawan, jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik. Ada pun nenek itu
biar pun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga
pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang
menancap di perutnya sampai tembus punggung. ada pun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di
pundak kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung.
Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, gagangnya juga serupa. Pedang yang amat
indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek
inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang.
Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut yang ditembusi pedang itu tidak terasa nyeri
olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.
“Tenanglah, Yan Hwa... Tenanglah menghadapi maut bersamaku, Sumoi (Adik Seperguruan). Tenanglah,
Adikku, kekasihku...”
“Oughhh... Suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), kenapa baru sekarang menyebut kekasih...?
Aku... aku... selamanya cinta kepadamu, Suheng...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hushhh... ada orang datang, diamlah...”
“Aughhh... ahhh, panas rasa kerongkonganku..., aduh, Kanda, minum... minum...”
Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh
peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheranheran
dan juga timbul rasa iba di hatinya.
“Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air minum...!” Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang
dalam sekarat itu, ia bangkit dan cepat pergi mencari air.
“Han-ko... tunggu...!” Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri
kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.
“Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka...,” kata Han Han yang menanti adiknya, lalu
menggandeng tangan adiknya.
Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam
taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut
dan dada.
“Ini airnya, locianpwe,” kata Han Han.
Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan sembarang orang,
bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Ada pun Lulu
berdiri di belakang Han Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling
berpelukan mesra itu.
“Oohhh, mana air...?” Nenek itu mengeluh.
Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek
itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat
air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai
terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang.
Dengan sikap manja ia rebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya
merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi.
Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut
sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya
yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang
tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu! Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang
kepadanya dan bertanya.
“Engkau siapa?”
Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), bahkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan
yang bagaimana aneh wataknya sekali pun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul
keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang
matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu.
“Namaku Sie Han!” Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa
adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu.
Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak.
“Eh...! Matamu...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mataku kenapa?” balas tanya Han Han, makin penasaran.
“Seperti...”
“Mata setan!” Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan Lauwpangcu
dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan
matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya.
Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh... dia tersenyum geli. “Wah, tidak hanya matanya, juga
wajahmu dan sikapmu yang kepala batu... akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih... Eh, engkau
benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang amat baik.”
“Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak
membayangkan bahwa locianpwe baru saja bertemu dengan seorang sahabat,” Han Han menuding ke arah
dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka.
Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya. “Koko... siapa bocah setan ini? Perlu
apa bicara dengan dia? Mana... mana dia... Jai-hwa-sian?”
“Sabar, Moi-moi... Jai-hwa-sian belum juga datang... ahhh, sayang sekali... kalau sampai kita keburu mampus
sebelum dia muncul...”
Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini
demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian
disebut-sebut, ia terkejut.
“Locianpwe mencari Kongkong-ku?”
Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut. “Siapa mencari Kongkong-mu? Siapa itu Kongkong-mu?”
“Jai-hwa-sian...!”
“Hehhh...?”
“Ihhhhh...?”
Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia
tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia mengaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa
penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kangthouw-
kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian.
“Heh, anak setan, siapa nama Kongkong-mu?”
“Namanya Sie Hoat.”
Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek yang masih lemah itu telah menyandarkan kembali pipinya
ke pundak Si Kakek dengan sikap manja.
“Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?”
“Yang memberi tahu adalah Setan Botak.”
“Setan Botak? Kau maksudkan Setan Botak si...?”
“Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?” kata Han
Han, masih panas hatinya, apa lagi karena kakek itu menganggapnya main-main.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang
anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang
gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu!
“Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?” Kakek itu mulai menduga-duga, barangkali Jaihwa-
sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu. Kalau
anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi.
Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala. “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang
diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, menurut dongeng Ayah sudah puluhan tahun dia pergi
merantau...”
“Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?”
“Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi...”
“Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!” Kakek itu tertawa bergelak
sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi berubah
ingatannya alias menjadi gila.
“Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?”
“Locianpwe! Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?”
“Ha-ha-ha! Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya-ya,
biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?”
“Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu...”
“Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma...! Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi...”
“Locianpwe!” Han Han membentak, marahnya bukan main.
Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapa pun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang
ayahnya dan keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah
tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang
menceritakan, malah ditertawakan! Inilah yang benar-benar dapat disebut bocengli (tak tahu aturan)!
Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri, “Ha-ha-ha, hukum karma!
Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan! Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti
mengejarmu, betapa pun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua
perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah dari pada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri...
seperti juga kami berdua... Kami berdua mungkin lebih sesat dari pada engkau, maka buahnya pun lebih
pahit... aahhh!” Kakek itu kini menangis terisak-isak!
“Kakek... kenapa menggali hal-hal lampau...? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit... Engkau mati di
tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut... kita mati dalam
cinta... alangkah bahagianya...” Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan
mencium bibirnya! Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut
dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka!
Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup
angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak
penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia
terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah
terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah,
seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Moi-moi... anak ini cucunya... kita berikan saja kepadanya, ya?”
“Terserah, Koko... terserah kepadamu. Lekas berikan... aku sudah ingin sekali me-layang pergi bersamamu,
Koko...”
Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya. Tangan kirinya
mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku
di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan.
Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah
sekali.
“Dengar, anak yang bernama Sie Han... dengarlah baik-baik, berlututlah...”
Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat
membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi
menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga
dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada,
penuh hormat dan takut-takut.
Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning.
“Kau terimalah ini... kau simpan baik-baik dalam bajumu! Lekas... jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi
penjelasan...”
Han Han tidak diberi kesempatan membantah. Seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatinya, anak ini
menerima sepasang kitab yang kecil itu dan langsung ia masukkan ke balik bajunya.
“Dekatkan telingamu...”
Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya,
“Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan
menurun... “Sudah mengertikah engkau?”
Han Han mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguh pun ia sama sekali tidak mengerti
apa maksudnya.
“Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut
pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan
dua orang yang mau mati.”
Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya? “Aku berjanji, locianpwe.”
Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah, terutama
nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga,
mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.
“Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah bahwa kami berdua dikenal sebagai Siangmo-
kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang
dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoi-ku Ok
Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis
Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami...”
“Juga Koai-lojin tidak mampu...?”
Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.
“Engkau tahu pula akan Koai-lojin?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,”
jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.
“Anak, engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu.
Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan
sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi.
Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri,
tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami...”
“Sumpah apakah, locianpwe?” Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang
Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana
mengerikan sekali pun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.
“Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa...”
“Iihhh... kejam...!” seru Lulu.
“Karena itu, biar pun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini
membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai
mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap
jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas.
Dusun ini adalah sarang berandal. Dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh
kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami
yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi kembali kami saling
berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya... engkau lihat
sendiri akibatnya...” Kakek itu mulai lemah suaranya.
Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik, “Memang, jodoh antara kira harus
ditebus dengan nyawa, Koko... dan aku... aku girang sekali... aku bahagia...”
Kakek itu mencium kening nenek itu. “Sie Han... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris
kami... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu... engkau...
engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau...”
Han Han tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, maka ia tidak mau mengecewakan mereka.
Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang
ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan
dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada Suhu dan Subo (Ibu Guru).”
Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu.
Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan... mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan
seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus
tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.
“Suhu...! Subo...!” Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan
dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka
itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.
“Me... mereka... sudah mati... oohhh...!” Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang
selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.
“Aku harus mengubur mereka...”
“Hayo kita pergi, Han-ko... Aku takut sekali...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah Suhu dan Subo. Aku tidak mau
menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulah sebentar.”
“Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.”
Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung
bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah
matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua
buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.
“Pedang-pedang itu bagus sekali!” bisik Lulu.
Han Han menggeleng kepala. “Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan
agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka
berikut pedang-pedangnya.”
Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu ke dalam
lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian.
Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di
depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.
“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini...,” kata Han Han.
Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka
dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang
penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun
yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.
Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan
mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu! Bagaimana kalau
sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian
mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.
“Aduh... aduh... perlahan-lahan, Koko... kakiku sakit...!”
Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu,
segera berjongkok dan berkata, “Lekas, mari kugendong...”
Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali
kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak
angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan
mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki.
Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel di tubuhnya membuat hatinya
merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang
harus ia lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia
tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal
lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.
Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah
kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak
pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan
bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia ketahui
hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat.
Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis
Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu
ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat
dunia-kangouw.blogspot.com
akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya. Ayahnya memang tewas sebagai
seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki
kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?
Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat
(penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biar pun sakti dan
berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak
sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian.
Akan tetapi dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya. Dia
harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han
memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji
Kun si Iblis Jantan, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang
satu coretan menurun.”
Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya,
karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang.
Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhu-nya yang ke dua, Mabin
Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama
Lulu. Ke mana? Ke kota raja!
Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali.
Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana
ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh
persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus,
lapar, lelah!
Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar
tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan
tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu
yang dipeluknya, ia tertawa.
“Bocah malas! Enak saja kau, ya?” Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali
karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya
sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.
Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh
anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai,
mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur
nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu
dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.
“Kasihan...,” bisiknya penuh kasih sayang. “Aku harus mencarikan makanan untuknya.”
Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit
saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lomo!
Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi
yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han.
Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, kedua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya,
dan yang ketiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima
puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada
Han Han dengan muka bengis!
Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya
bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta dari pada
pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia
hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan
gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri.
Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami bencana. Oleh
karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.
“Suhu.”
“Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?”
“Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.”
Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah
dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkan sebelah kaki teecu, akan
tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.”
Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan
kedua kakinya untuk dipilih suhu-nya, mana yang akan dibikin buntung!
Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah
yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong
tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak,
melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!
“Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu.
Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!”
Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh
kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya,
mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga
orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat
ia menubruk kakaknya dan berkata.
“Koko... ada apakah...? Siapakah orang-orang buruk ini?”
“Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan,
kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah...”
“Kakimu dipotong...? Tidak...! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi...
pergi...!” Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak
harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.
“Moi-moi, ke sini...! Jangan begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap
Lulu itu.
“Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutimu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini!
Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!” Lulu masih berdiri
dengan sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar
Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.
Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut. “Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela
muridku yang durhaka ini?”
“Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”
“Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di
punggung anak itu dan mengangkatnya.
Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu
dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu... hemmm, kau anak Mancu, ya?”
Biar pun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.
“Bukan, Suhu... bukan...!” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik
angkatnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring, “Benar! Ayahku
perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!”
“Ngekkk!” Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.
“Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!” Han Han
berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.
Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot
marah. “Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang
perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau
bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah
Mancu ini...” Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak
bergerak itu.
“Suhu, jangan...!”
Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk. “Hemmm...,
bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang
Mancu yang menjadi saingan mencari pulau...”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han.
Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh
Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya, ada pun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu
lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu
lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam
perahu. Setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu menuju ke laut. Han
Han dan Lulu diikat kaki tangannya, lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu
juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu,
Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampingnya. Anak ini menarik napas
lega dan berbisik.
“Han-ko... syukur kakimu masih utuh...” Anak ini terisak.
“Diamlah Lulu. Jangan menangis...”
“Aku... aku... takut, Koko.”
“Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”
“Tapi... mereka jahat sekali...”
“Hushhh, diamlah...”
Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak
memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang
tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua
dunia-kangouw.blogspot.com
orang anak itu memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya
mengomel.
“Murid murtad...! Murid durhaka...!”
Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi.
Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat,
tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang
dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.
“Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak
berdosa, harap Suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.”
“Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, ada pun bocah Mancu itu, setelah aku
tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”
“Suhu...!”
“Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar
mulutmu sampai rusak!”
Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil
berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.
“Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?”
“Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”
Perahu kecil itu meluncur cepat sekali, dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran
yang amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak
yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah memiliki sinkang yang amat
kuat dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu.
Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu
dibelunggu ke belakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat
memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.
“Suhu...! Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu...! Dia...! Dia sakit!”
Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri
menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan... tertidur.
Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han
bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan
dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.
Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar.
Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu
ke belakang tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu Han Han dan
Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap
bersemangat tinggi dan berhati besar.
“Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti
intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya
berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.”
Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang
suram, ia bertanya. “Kita ini... dibawa ke mana, Koko?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, Suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah
aku mendengar para Suheng dan Suci bercerita tentang Pulau Es.”
“Pulau Es? Di mana itu? Mau apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh rasa kekhawatiran.
“Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah
kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.”
“Koko...!” Lulu menangis.
“Eh, malah menangis. Ada apa?”
“Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak.
“Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya
mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.”
“Han-ko...!” Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada
kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur.
Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam, cepat sekali karena di waktu angin
berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang
sakti yang memiliki sinkang kuat sekali, biar pun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan
perahu itu adalah ke arah utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita, akan
tetapi apa bila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita sekali, terutama Lulu.
Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur. Si Muka Bopeng
tiba-tiba berseru kaget. "Perahu di sebelah depan!"
Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah
perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam. Ma-bin Lomo
memandang ke utara, ke arah perahu itu dan melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang
matanya tajam sekali, lebih tajam dari pada kawan-kawannya, dan setelah memandang dengan pengerahan
tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.
"Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas
perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang
akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!"
Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah
kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan
pengejaran terhadap perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya
perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para
penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah
menanti datangnya perahu kecil yang mengejar.
Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas kebenaran ucapan Mabin
Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu
itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih
dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh
tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam. Mereka semua membawa
golok yang tergantung di pinggang dan sikap mereka tampak gagah.
Han Han memandang dengan hati tegang. Ia maklum bahwa akan terjadi hal yang mengerikan. Ketika ia
menoleh ke arah Ma-bin Lo-mo, ia melihat Iblis Muka Kuda itu duduk bersila dan memandang ke arah perahu
itu dengan pandang mata dingin dan sikap tak acuh. Si Hwesio dan Si Muka Bopeng juga memandang penuh
perhatian, sedangkan orang yang bermuka tengkorak segera berkata lirih kepada Ma-bin Lo-mo.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mereka adalah orang-orang dari Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam)!"
"Sikat saja, habiskan mereka!" kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang maklum
maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe, mereka itu adalah orang segolongan..." Si Muka Tengkorak berkata
dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.
Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah. "Orang she Swi, kau ini pembantu macam
apakah? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan menjadi
pembantu-pembantuku. Jika perjalanan ini berhasil, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku
mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw
yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?"
“Tidak... tidak takut… hanya…”
"Cukup! Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut
karena perahu mereka akan kutenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak
perahunya.”
Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan
perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak
tampak daratan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggelam
tentu akan mati di perut ikan!
Sementara itu, tiga belas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak.
Seorang yang tertua di antara mereka, berusia empat puluh tahun dan berjenggot panjang segera mengangkat
tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring.
"Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami! Harap Lo-enghiong menerima
salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini."
"Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apakah maka berlayar sampai disini?" suara Si Muka
Tengkorak terdengar dingin.
Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Kami menerima tugas rahasia dari
Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong
ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri."
"Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es dan menyaingi kami?" Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya
marah karena biar pun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan
perintah ini ia harus mencari alasan.
Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata, "Mana mungkin
kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami."
"Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus
mengambil kekerasaan terhadap kalian."
Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka
Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan
Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.
"Swi Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah
menguasainya. Siapa pun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Loenghiong
adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana
Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka
ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami."
dunia-kangouw.blogspot.com
"He-hemmm...," Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga.
Dia tidak takut kepada orang-orang Hek-liong-pang ini. Dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan
seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo
dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata, "Kalian mentaati perintah,
aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian sekarang juga, karena
perahu kalian harus ditenggelamkan di sini!"
Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liongpang
menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak
berkelahi, menyangka bahwa tentu di antara orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang
merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat
dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya.
"Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk
hwesio) itu?"
Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang
dapat tertawa. "Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang
tokoh dari Kong-thong-pai."
Tiga belas orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai
seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu.
Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
"Ada pun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka
Hitam)."
Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah
oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-taihiap hanya julukannya
saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacat yang amat menyolok, yaitu merupakan
seorang pendekar yang biar pun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak), namun
terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak
mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu.
"Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang
ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang
memusuhi kami?"
"Sama sekali tidak memusuhi!" kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. "Seperti juga aku, kedua orang sahabatku
ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini." Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo
yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.
Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran.
Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan
tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biar pun sakti, namun para anak buah Hekliong-
pang yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apa lagi terhadap kakek asing yang
mukanya seperti kuda itu.
"Siapakah locianpwe ini?" tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biar
pun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu
pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal.
Swi Coan tersenyum lebar. "Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak
mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian,
namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-koksan.
Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih, "Mukanya... jangan-jangan dia... Ma-bin Lo-mo...”
Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin terbelalak.
Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu. "Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti
muka kuda? Aku benarlah Si Iblis Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air. Hal ini hanya
kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan."
Tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa
dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya
adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja
mereka sedapat mungkin hendak membela diri.
"Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap
perintah Pangcu kami."
"Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?" Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang
pembantunya.
"Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?" teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir
perahu, diikuti oleh dua orang temannya.
"Suhu! Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka?
Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?" Han Han yang tidak dapat menahan kemarahannya lagi
berteriak nyaring.
"Tutup mulutmu, murid murtad!" bentak Ma-bin Lo-mo marah.
Tentu saja tiga belas orang anggota Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki
yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu, apa lagi
terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa
kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata.
"Sungguh menakjubkan! Si murid lebih bijaksana dari pada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua
Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang
yang menaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan
nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!"
"Orang-orang muda yang keras kepala!" teriak Ouw Kian si muka Bopeng.
Mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu. Sebagai
orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak
memaksa tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.
Akan tetapi mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini ketua
mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua
Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah.
Begitu melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas orang itu sudah siap
mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh
kuat, barisan golok yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Begitu tiga orang kakek itu mendarat di
perahu mereka, tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari berputaran
sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di luar lingkaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika tiga orang kakek itu sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak
mencengkeram seorang lawan dan dilempar ke laut, tangan mereka masing-masing bertemu dengan tiga
empat buah golok yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihai sekali. Mereka terkejut, cepat
mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu bergerak dan mereka
berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus mengubah posisi dan gerakan. Ternyata
barisan tiga belas golok ini lihai sekali dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan saling
melindungi.
Tiga orang kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha untuk menyerang,
namun selalu tidak berhasil. Andai kata tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu
mereka bertiga akan dapat ‘memasuki’ pertahanan mereka dan merobohkan seorang di antara mereka. Akan
tetapi tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi, maka mereka
memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat
sekali. Betapa pun tiga orang kakek itu berusaha, selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan
seorang di antara mereka berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya.
Setelah lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun di antara tiga
belas orang anggota Hek-liong-pang. Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar. "Sialan! Kalian menjadi pembantupembantuku
namun tiada gunanya. Mundur semua!"
Seruan ini segera diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu kecil. Sesungguhnya,
kalau mereka itu mau mencabut senjata masing-masing dan mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya
mereka akan berhasil. Namun mereka memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan
mengingat bahwa Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan.
Ketua Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam) adalah seorang
bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali. Dia terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak
perahu-perahu saudagar dan pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah
memusuhi orang-orang kang-ouw.
Kini terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan. Tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk bersila,
tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang itu
terkejut melihat tubuh kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu cepat
bersiap-siap dengan golok melintang di dada.
Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka,
perahu itu terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Pada saat itu Ma-bin Lo-mo
melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi mereka dengan kedua lengan bergerak-gerak
seperti mendorong. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata saja terdengar golok terlepas
dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul robohnya tubuh mereka.
Tiga belas orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-geliat dengan wajah berubah, mula-mula pucat,
kemudian makin lama menjadi biru, dan tubuh mereka yang menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan.
Mereka itu telah menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali.
Mereka itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin
yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku!
"Hemmm, kalian memang sudah bosan hidup!" kata Ma-bin Lo-mo.
Kakek sakti ini kemudian menyambar sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu, dan dengan
senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke lantai dan pecahlah dasar perahu
sehingga air mulai menyemprot masuk! Setelah melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya
ke perahu sendiri. Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang mulai
tenggelam, membawa tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat.
"Ohhh... kejam sekali... aahhh, Koko, aku takut..." Lulu berkata lirih dan mulai menangis.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang menjadi gurunya ini
dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Sukar ia menentukan siapa di antara kedua orang itu yang lebih kejam
hatinya. Memang mereka memiliki ‘pegangan’ yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan
seorang yang mau tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi seorang penentang
bangsa Mancu. Namun baginya, kedua orang itu merupakan orang-orang yang memiliki pribadi yang amat
mengerikan, memiliki watak kejam yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut
saja.
Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan merasa ngeri, tetapi merasa
muak. Diam-diam ia mempertebal keinginannya untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang pandai
yang kelak akan dapat menentang manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini.
Kembali tiga hari tiga malam telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan yang bebas. Kedua
orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu memasak air dan nasi. Han
Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap. Hanya di waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka
diharuskan tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya,
menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi telah tujuh hari mereka
memasuki lautan, perahu tiba di daerah yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak
dari jauh.
"Sudah belasan kali aku berkeliaran di antara pulau-pulau itu selama puluhan tahun yang lalu, namun tak
pernah berhasil menemukan Pulau Es," kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil berdiri di
kepala perahu dan menghela napas. "Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai mencari-cari, tentu
pulau itu telah muncul pula di permukaan air."
"Apakah dahulu pulau itu tenggelam?" tanya Kek Bu Hwesio dengan nada tertarik.
"Begitulah agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu dicari
oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?"
"Siangkoan Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha
sakti?" tanya Si Muka Tengkorak.
"Saya mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana...?" tanya Ouw Kian si Muka Bopeng.
"Kalian bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab
ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini,
mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja masih sulit."
"Ada perahu lagi...!" Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tangannya.
Empat orang itu sudah menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang
dengan cepatnya dari arah belakang. Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu
karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin Lomo
lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya
ikut memandang dengan kening berkerut.
Seperti juga tiga hari yang lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan
kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar tegang ketika ia berkata.
"Wah, sekali ini perahu Mancu! Kalian bertiga harus bersiap-siap dan jangan seperti anak kecil seperti ketika
menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di kapal itu dan kita harus bersiap untuk bertempur
mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak boleh dipandang rendah."
"Setan Botak ? Kang-thouw-kwi...?" Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan suara gentar. Menggelikan
sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tak usah khawatir! Gak Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat tidak
akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia sendiri mengilar untuk
mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada orang-orang Mancu. Ha-ha-ha!"
Sekali ini pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar
dan layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga
orang kakek itu pun dapat melihat seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar
itu terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian perwira-perwira Mancu!
"Bagus! Hanya tiga puluh orang perwira Mancu! Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat kalau
dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai Setan
Botak, akulah lawannya!" kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat. "Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau
begitu tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira Mancu itu tidak akan
membuang waktu sia-sia kalau belum tahu dengan pasti."
Pada saat itu, biar pun jarak di antara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin, jelas
dan mengandung getaran amat kuatnya!
"Ha-ha-ha-ha! Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah mati
kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan!”
Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang
dapat mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas,
adalah seorang lawan yang amat berat! Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika
mereka melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh
khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan
penuh tenaga mukjizat.
"Gak Liat Si Setan Botak! Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan
mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menjadi santapan ikan! Ada pun anjing-anjing Mancu itu,
suruh mereka mengeroyok!"
"Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si
Muka Tengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng! Para Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak
mau merendahkan diri bertanding melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha-ha! Kau sendiri tentu akan
mampus kalau melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka menyesal
sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda! Sekarang mampuslah bersama para
pembantumu!"
Setelah terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur banyak anak panah
yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Namun dengan kibasan tangan mereka,
empat orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka. Ada pun Han
Han cepat menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil merangkak Han Han
menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di dalam kamar perahu. Melihat ini Si Muka
Tengkorak lalu menendang kedua orang anak itu roboh.
"Belenggu mereka, agar jangan mengganggu!" kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah
menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan berkhianat. Si Muka Tengkorak
cepat melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke
belakang, kemudian melemparkan mereka di sudut lantai perahu.
"Ha-ha-ha, Setan Botak! Anak panah-anak panah macam ini kau kirim kepada kami? Boleh habiskan anak
panah-anak panah semua anjing Mancu!" Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk memanaskan hati lawan agar
perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu.
Ia percaya bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya
hal itu diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi ternyata Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biar pun para
dunia-kangouw.blogspot.com
perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan
lalu memberi saran untuk melepas anak panah berapi!
Serangan ini dilakukan dan terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak disangkanya musuh akan menggunakan akal keji ini.
Setelah puluhan batang anak panah yang membawa kain berminyak dan berkobar itu datang meluncur
berhamburan, dia dan tiga orang yang membantunya menjadi repot sekali. Selain harus menangkis dan
menghindarkan diri, mereka harus pula berusaha memadamkan api yang dibawa anak panah menancap pada
bilik perahu dan pada layar.
"Celaka, perahu terbakar!" seru Kek Bu Hwesio.
Dan benar saja, tiga orang itu kekurangan tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar perahu.
Mereka masih terus berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan api. Api berkobar besar dan
mengancam untuk membakar semua yang berada di perahu.
"Kita harus meninggalkan perahu!" seru Ma-bin Lo-mo. "Putuskan pengapung perahu dari bambu di kanan kiri
dan pergunakan untuk penyelamat diri!"
Tiga orang pembantunya yang sudah panik itu cepat melompat dari atas perahu yang terbakar. Mula-mula Si
Muka Tengkorak yang lebih dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si Muka Bopeng yang tadinya berusaha
memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas atap bilik ia melayang turun ke air dengan gerakan seperti
hendak terbang. Ada pun Kek Bu Hwesio yang tangannya gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke air.
Tiga orang ini mematahkan bambu pengapung perahu di kanan kiri dan menggunakan bambu-bambu itu untuk
menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sudah masuk ke dalam bilik yang
berkobar, dan keluar kembali membawa sebuah ember. Ember yang disangkanya berisi minyak yang
disediakan untuk memasang lampu itu ia siramkan ke atas tubuh Han Han dan Lulu sambil tertawa, "Aku tidak
berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian ikut berkobar bersama perahu!" Setelah menyiramkan isi
ember yang disangkanya minyak itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.
Han Han segera mengerti bahwa dalam keadaan marah dan panik itu Ma-bin Lo-mo telah keliru ambil. Di
dalam bilik hanya terdapat sebuah ember yang terisi minyak dan belasan ember terisi air, yaitu air persediaan
untuk minum. Begitu disiram, Han Han tahu bahwa yang membasahi dia dan Lulu bukanlah minyak, melainkan
air. Diam-diam ia menjadi geli dan girang, akan tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia bisa girang kalau
bahaya api itu sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti mati tenggelam karena kedua tangan mereka
terbelenggu. Tidak melompat akan mati terbakar.
"Koko... aku takut... api itu akan membakar kita...”
Tiba-tiba saja air laut bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka
sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak kilat menyambar-nyambar.
Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah nanusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan
sajakah pada saat itu badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya
ombak makin membesar dan langit makin gelap.
"Lulu, lekas berdiri, contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api!" kata Han Han sambil bangkit berdiri dan
mendekati api yang membakar bilik perahu.
Dia mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena begitu
terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sinkang yang sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua
tangannya tidak terasa panas sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman! Akan tetapi ketika Lulu mencoba
untuk mencontoh kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung belum
terlanjur terbakar.
Han Han dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya.
"Hayo kita meloncat ke air!" teriak Han Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak...! Aku takut...!" kata Lulu sambil menangis dan menutupi mukanya agar jangan terlihat olehnya
gelombang hebat yang seolah-olah hendak menelannya itu.
Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin, "Apakah kau ingin terbakar api?"
Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras sekali dan kedua orang anak itu
dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga
dengan tangan. Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.
"Hujan…!”
Bukan air hujan, melainkan percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air
menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam. Makin keras perahu terayun, makin hebat
gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit. Han Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu,
cepat menyeret tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi.
Ia berhasil menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik. Biar pun perahu masih terayun-ayun
sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada bahaya mereka terlempar ke luar
perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu, dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting
pada dinding sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan Han Han.
Han Han sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia
melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang
Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya. Pada saat itu ia
terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang
setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu yang dipeluknya erat-erat di dadanya.
Han Han tak dapat mengira-ngira, entah berapa lamanya badai mengamuk. Cuaca selalu gelap sehingga tidak
ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama sekali, terlalu lama.
Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya tahan yang tidak lumrah manusia biasa. Badai itu
mengamuk sampai dua hari dua malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan,
hanya sebentar-sebentar mengerang lalu ‘tertidur’ lagi. Namun Han Han tetap sadar!
Keadaan amat tenangnya ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang kembali. Han Han baru
merasa betapa tubuhnya nyeri semua, tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk. Terdengar suara Lulu
merintih perlahan.
"Bangunlah, Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti," bisiknya dan Lulu membuka matanya perlahan.
"Han-ko…, apakah kita sudah... sudah mati...? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa sakit..."
Han Han merasa kasihan sekali. "Kita masih hidup, Lulu."
Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya ketika ia menemukan guci
arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat dari pada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biar pun
terguncang dan terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang. Ia cepat membuka tutup guci dan
menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan tersedak, terbatuk-batuk. Akan tetapi hawa
yang hangat memasuki tubuhnya dan anak itu biar pun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk,
malah kemudian berkata, "Perutku lapar...”
Han Han tertawa dan pada saat itu ia pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu
membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan
Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia menemukan beberapa potong roti kering. Biar pun roti ini sudah
basah oleh air laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang kosong, mencegah
kematian karena kelaparan.
Setelah terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya
diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai ke luar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi. Han Han
berusaha mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka.
Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya. Dan perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu telah hanyut
jauh oleh badai yang mengamuk.
Hatinya agak lega karena kini dia dan adiknya terbebas dari pada ancaman manusia-manusia iblis itu. Akan
tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata. Mereka tidak mempunyai persediaan
makanan cukup, terutama sekali air minum. Selain itu, perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan,
layarnya pun sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan yang dekat. Betapa
mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu
apa yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan diri dari pada ancaman maut ini.
Memang, kalau menurut perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat
dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan ke luar lagi dan akal manusia tidak akan dapat
menyelamatkan mereka. Akan tetapi nyawa manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Apa bila Tuhan
menghendaki seseorang mati, biar pun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki
segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membebaskannya dari
pada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menentukan dia mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut
tetap akan datang menjemput.
Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biar pun tampaknya sudah tidak ada harapan
baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut. Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu.
Kedua orang anak ini sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun pada malam
harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan yang sudah mengering dan
membengkak! Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang mengguncang air sehingga ombak datang
bergulung-gulung.
Han Han dan Lulu kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan dan
menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan lagi. Mereka merasa betapa
perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk
pinggang Han Han, menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil berbisik dengan suara gemetar.
"Kita mati, Koko... kita mati... akan tetapi jangan tinggalkan aku... kita bersama…”
Suara dan ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han. Apa pun yang akan terjadi, dia
tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa
penasaran biar pun dia akan mati, asal dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat
mengawani dan melindungi adiknya ini.
Karena tubuh mereka sudah amat lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak
tahu lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu diombang-ambingkan terus dan cuaca
menjadi gelap, kemudian berubah terang, gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan
menumbuk dinding. Perahu itu membentur sesuatu!
Han Han membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke
dalam bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.
"Lulu, badai sudah berhenti lagi… mari… mari kita keluar..." kata Han Han dengan suara lemah.
Lulu membuka matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti dinina-bobokkan dan
ia merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur
selamanya dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau
membuka matanya.
"Lulu... mari kita keluar... Kita harus berusaha untuk mendarat..."
"Oohhh... lebih senang begini, Koko..." Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang Han Han dan sama
sekali tidak mau membuka matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya
seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau didiamkannya saja keadaan
adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu!
Maka ia menguncang pundak Lulu dan berkata keras. "Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus
berusaha! Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di sampingmu!"
Lulu membuka matanya dan seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan
matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas
ia bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai
dan berkata.
"Koko, kitab-kitabmu tercecer..."
Han Han menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitabkitabnya
memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab?
Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan
mengambil kitab-kitab itu.
Yang sebuah adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab peninggalan
Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi yang dua buah lagi adalah kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini
mengertilah ia bahwa dua buah kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua
buah kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu.
Yang sebuah berjudul ‘Menghimpun Tenaga Im-kang’ dan yang kedua berjudul ‘Berlatih Semedhi dan
Lweekang’, keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo. Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang agaknya
oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang entah lenyap
di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan Lulu diajak
keluar dari bilik.
Ketika muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga girang. Kiranya
perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang kelihatannya aneh sekali, serba putih! Bahkan
pohon-pohon yang tampak di situ diliputi salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia
diserang rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.
"Pulau Es...! Lulu, kita berada di Pulau Es !" Han Han berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu untuk keluar
dari perahu itu, lupa akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian.
Han Han yang menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas daratan yang
tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak sehingga mereka tidak terluka ketika jatuh
bergulingan. Mereka bahkan tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.
“Kita selamat…! Kita mendarat...!” seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah.
Anak ini dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah telah berhari-hari dapat bertahan terhadap segala
kesengsaraan, dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk menyelamatkan Lulu. Kini setelah kekuatan
yang luar biasa dan yang tadinya ia pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan ke luar
karena kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun menjadi sukar. Ia
berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa, diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi
tangan kirinya. Tiba-tiba Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga buah
kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya terlepas.
"Koko...! Han-ko...! Ah, Han-ko, bangunlah..." Lulu mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi Han
Han tidak bergerak.
Melihat kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air mata karena sudah
terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Han-ko...! Jangan mati, Han-ko... Jangan tinggalkan aku...!" Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh Han Han.
“Gerrrrr……!”
Suara gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini mengangkat mukanya
yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak
lebar sekali, mulutnya ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas. Tidak ada suara
keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan suaranya, hanya
melongo seperti orang mimpi atau kehilangan akal.
Di depannya, dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor beruang yang berbulu putih.
Beruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan tinggi sekali, mengeluarkan suara menggerenggereng
dan matanya yang merah itu sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian
menunduk dan memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan rongga
mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan meruncing. Setelah menggereng beberapa
kali, binatang besar itu lalu menurunkan kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.
"Ohhhhh, tidak... jangan…!" Lulu menggeleng kepalanya. "Jangan mengganggu Han-ko...!"
Memang luar biasa sekali cinta kasih bocah ini terhadap kakak angkatnya. Andai kata tidak ada
kekhawatirannya terhadap Han Han, tentu ia sudah roboh pingsan seketika itu juga saking ngerinya. Kini
melihat beruang itu mendekati Han Han, Lulu melupakan rasa takutnya dan berusaha mengusir beruang itu
dengan suara dan gerakan tangan!
Namun beruang itu agaknya tidak mempedulikan Lulu, menggunakan kedua kaki depan seperti sepasang
lengan manusia, memondong tubuh Han Han dengan amat ringannya, kemudian bangkit berdiri lagi dan
berjalan terseok-seok sambil memondong tubuh Han Han yang masih pingsan!
Lulu terbelalak, seperti terpesona. Beruang itu tidak menggigit Han Han, tidak mengganggunya, malah
memondong dan seperti hendak menolongnya! Ia pun lalu bangkit perlahan, mengambil tiga buah kitab yang
tertinggal di situ, kemudian berjalan perlahan-lahan mengikuti beruang itu. Dia merasa terlalu takut kalau
beruang itu menjadi marah dan mengganggu Han Han, maka Lulu melangkah maju tanpa mengeluarkan suara,
bahkan setengah menahan napas karena mengkhawatirkan keselamatan kakaknya.
Betapa indahnya dunia ini kalau perasaan kasih sayang yang begitu murni dan berada dalam hati setiap orang
manusia itu diperkembangkan! Betapa suci-nya cinta kasih sehingga dalam detik-detik yang mengancam diri
sendiri, orang masih lupa akan bahaya yang mengancam diri pribadi, bahkan mengkhawatirkan keselamatan
orang yang dikasihinya. Cinta kasih murni ini sajalah yang mampu mengalahkan dan mengusir kelemahan
utama manusia, yaitu mementingkan diri pribadi (egoism). Cinta kasih adalah suatu sifat yang suci, sebuah di
antara sifat Tuhan Yang Maha Kasih.
Beruang putih atau beruang es itu berjalan terus membawa Han Han ke tengah pulau. Dalam kekhawatirannya
akan keselamatan kakaknya, Lulu yang sebetulnya sudah amat lemah itu kini dapat berjalan terus mengikuti
beruang itu sampai ke tengah pulau. Padahal tadi, melangkah setindak pun sudah terasa amat berat bagi
tubuhnya yang kurang makan sampai berhari-hari dan telah mengalami kesengsaraan hebat itu.
Alangkah heran hati Lulu ketika ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar di tengah pulau dan ke arah
bangunan itulah beruang besar tadi membawa Han Han. Jantungnya berdebar tegang. Kalau ada rumahnya,
tentu ada orangnya! Orang macam apakah yang tinggal di pulau kosong ini? Lulu terus mengikuti beruang itu
yang membawa Han Han memasuki bangunan, terus masuk ke dalam. Lulu melongo.
Bangunan itu amat indahnya, dibuat dengan gaya seni yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat untuk
mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah itu. Kosong dan sunyi saja. Dan beruang
itu membawa Han Han masuk ke sebuah kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas
sebuah pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kamar itu pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah. Di sudut kamar itu
terdapat sebuah tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi pembaringan,
memegang tangan Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas,
tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan beruang itu
dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak keheranan.
Beruang itu benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja. Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu
menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu lalu mengambil kayu kering,
dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan
kedua tangan atau kedua kaki depannya yang besar. Kemudian binatang itu mengambil dua batang pedang
pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian.
Lulu menahan pekiknya dengan tangan. Kiranya beruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya
dengan hati ngeri. Ia melihat betapa beruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan kedua kaki
depannya, kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu berkelebat
menjadi sinar putih dan saling bertemu, menerbitkan suara yang nyaring sekali.
“Cringgggg...!”
Bunga api muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan bernyalalah kayu
itu di dalam tungku. Beruang itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan sepasang pedang tadi,
digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku
membesar dan terusirlah hawa dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu. Beruang itu
lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian keluar dari kamar.
Lulu seperti baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han. "Koko...! Koko…! Bangunlah...
Ada… ada binatang aneh...!" Akan tetapi Han Han belum juga sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas
dada kakaknya.
Akan tetapi ia segera menghentikan tangisnya karena beruang itu sudah kembali memasuki kamar. Mulutnya
menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya membawa benda putih membeku sebesar
kepala orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan
kembali mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu
kalau hendak menyatakan sesuatu.
Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia mulai dapat mengerti bahwa binatang itu sama sekali
tidaklah jahat. "Apakah kehendakmu?" katanya perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri
beruang itu.
Binatang itu kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat perabot-perabot dapur yang
cukup, terbuat dari pada perak. Ia menuding ke arah panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh
masak. Mungkin daun itu adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya! Teringat akan hal ini, cepat dia
mengambil panci itu dan membawanya ke depan beruang yang kini mengambil sebongkah es yang ia
masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara "arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh" ia menunjuk ke perapian.
Lulu tidak mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga, mendekati tungku dan
menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti
dan menjadi girang sekali. Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi
minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia kaget sekali ketika tiba-tiba
beruang yang besar itu melompat dengan ringannya, menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han,
lalu menunjuk-nunjuk dengan kaki depannya ke arah tungku.
"Paman beruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh?"
Beruang itu hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap
binatang itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada
tersembunyi maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga
bahwa binatang itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di atas api dan
dunia-kangouw.blogspot.com
beruang itu mengangguk-angguk! Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai mendidih lebih
dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi dugaannya keliru karena kini binatang itu
mengambil daun-daun beku dari atas atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.
"Ah, kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko? Begitukah, Paman Beruang?"
Beruang itu mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut beruang yang
gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Beruang itu mengeluarkan suara
ngak-ngak-nguk-nguk dan kaki depannya yang kiri dengan gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu!
Bocah ini menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga tak lama
kemudian daun-daun beku itu termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun ini
tinggal sedikit, beruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han Han dengan air obat itu. Air yang
tadinya mendidih sebentar saja menjadi dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati,
menuangkannya ke dalam mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya.
Hatinya girang sekali karena biar pun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu.
Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda putih biasa itu. Lulu
memasak benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum yang kemudian dimasak menjadi bubur encer.
Mulailah anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang sudah dapat
bergerak, namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han tertidur dengan wajah agak merah,
barulah Lulu teringat untuk makan dan minum. Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di
dekat kaki Han Han.
Atas perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh beruang es yang luar biasa itu, dalam
waktu sepekan saja Han Han telah sembuh dari sakitnya. Setelah sadar benar, dengan terheran-heran Han
Han mendengarkan cerita Lulu tentang beruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk
binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan! Setelah Han Han pulih kembali kesehatannya,
barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan, diantar oleh beruang putih.
Bangunan itu cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana
Han Han dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah kamar tidur yang
indah dan lengkap, ada pula ruangan yang amat luas untuk belajar ilmu silat, ada pula sebuah ‘taman’ yang
aneh karena di situ bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja
yang dapat hidup karena di situ selalu diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan batu-batu yang bentuknya
indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.
Ternyata pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah beruang es itulah. Pantas
saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena sekaligus ia memperoleh dua orang teman! Dan tentu saja
hal ini dapat dirasakan oleh beruang itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang.
Yang amat menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat banyak sekali
kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang tinggitinggi
tersusun rapi di lemari buku yang besar. Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw
berlomba untuk menemukan Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah!
Han Han dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini
bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah dapat menduga dari keadaan
beruang putih itu. Hanya seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi
seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat dan gerakgeriknya
tangkas seperti seorang ahli silat yang pandai.
Mula-mula Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah
orang. Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka mereka menjadi biasa dan menganggap bahwa
rumah yang mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri.
Kamar pertama adalah kamar yang paling besar. Perlengkapannya tidaklah sangat mewah, namun
menyenangkan. Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang berbentuk sajak dan Han Han amat
dunia-kangouw.blogspot.com
kagum membaca sajak-sajak ini yang selain mengandung filsafat yang dalam-dalam dan pandangan yang
amat luas dan bijaksana, juga ditulis amat indah.
Di bagian lain dari dinding bertulis di rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung
keluh-kesah, sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di
kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari kain yang dibungkus rapat dalam sebuah
kantung karet. Di luar bungkusan karet ada tulisannya: ‘Diharap yang menemukan ini menyampaikannya
kepada yang berkepentingan’.
Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis dengan cara yang lain dari pada sajak-sajak dan
tulisan-tulisan lain. Kalau tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah ditulis
dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam dinding. Amat indah goresannya, amat
kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga
belas tahun itu.
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Membaca sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat
menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli pula dalam kesusastraan, namun
seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati
yang merana dan berduka.
Ada pun kamar yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar
wanita. Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih lengkap dengan segala benda
keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah, perhiasan emas permata sampai alat-alat
kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam! Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati sebuah
di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak
itu tidak perlu khawatir lagi tentang kebutuhan pakaian.
Mengenai keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas ‘petunjuk’ beruang es,
di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi
rusak. Selain ini juga lengkap terdapat bumbu-bumbu masak. Ada pun untuk keperluan daging, amat mudah
didapat berkat bantuan beruang es. Binatang ini adalah seekor makhluk yang amat ahli menangkap ikan laut.
Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han
Han dan Lulu memasuki hidup baru yang amat aneh, terasing dari pada dunia ramai.
Mulailah Han Han menggembleng diri sendiri dan adiknya dengan pelajaran ilmu dari kitab-kitab yang banyak
terdapat di situ. Kitab pelajaran melatih lweekang, bersemedhi dan dasar-dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi
bagi Han Han sendiri terdapat kesulitan. Begitu membuka dan mempelajari kitab-kitab yang ditinggalkan oleh
manusia sakti penghuni Pulau Es, kepalanya menjadi pening dan hatinya mendingin, sama sekali ia tidak
tertarik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebaliknya, ketika ia membaca dua buah kitab yang ia temukan di dalam perahu, kitab tulisan Ma-bin Lo-mo,
ia dapat melatihnya dengan mudah! Selain itu, ketika ia mulai membuka kitab-kitab peninggalan Sepasang
Pedang Iblis, ia menjadi bingung dan terheran-heran karena kitab itu ditulis dengan huruf-huruf yang sama
sekali tidak dikenalnya! Huruf-hurufnya amat aneh, dengan coretan-coretan yang tak dapat dibaca sama
sekali!
Akan tetapi Han Han memiliki kecerdikan yang tidak wajar. Ia mengingat pesan kakek Pedang Iblis Jantan,
mengingat kembali kata-kata yang dibisikkan di dekat telinganya. "Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan
melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun."
Ia membuka dua kitab yang disatukan itu, memeriksa huruf-hurufnya dan mengingat bisikan itu. Sebentar saja
Han Han sudah tersenyum kegirangan. Kiranya huruf-huruf itu sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa
memiliki kuncinya, takkan dapat dibaca orang. Dengan mengingat kuncinya, maka setiap huruf dapat ditambah
atau dibuang titik mau pun coretannya dan akhirnya ia dapat mengenal huruf-huruf itu! Dengan tekun Han Han
lalu mulai membaca kitab-kitab itu, kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis dan kitab-kitab Ma-bin Lomo,
bahkan lalu mulai melatih diri dengan cara-cara yang tersebut dalam kitab-kitab peninggalan para datuk
golongan sesat ini.
Karena pada dasarnya Han Han melatih diri dengan ilmu-ilmu sesat, maka tentu saja ia lebih mudah
menggembleng diri dengan ilmu sesat. Tanpa disadarinya, ia telah mengisi dirinya dengan ilmu dari manusiamanusia
sesat dan yang ternyata amat cocok dengan dirinya yang sebenarnya telah menjadi tidak normal
sebagai akibat ketika ia disiksa para perwira Mancu dan kepalanya dibenturkan dinding, sedangkan perasaan
hati dan pikirannya menghadapi peristiwa mala petaka hebat yang menimpa keluarganya.
Ada pun Lulu yang juga mulai belajar ilmu karena bercita-cita untuk membalas kematian keluarganya,
dibimbing oleh Han Han, namun anak yang masih ‘bersih’ ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan ilmu yang
didapat dari kitab-kitab peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es. Hanya sukar sekali baginya karena
kitab-kitab itu mengandung ilmu-ilmu yang amat tinggi, sedangkan sebelum belajar ia sama sekali tidak
memiliki dasar apa-apa. Baiknya Han Han pernah dipimpin oleh Lauw-pangcu, maka biar pun amat terbatas
dan secara meraba-raba dan ngawur, sedikit banyak dapat juga Lulu memperoleh kemajuan.
Mula-mula, Han Han mencari di antara kitab-kitab dalam perpustakaan dan menemukan kitab pelajaran siulian
dan berlatih napas yang sesuai dengan ajaran Lauw-pangcu. Ia lalu menyuruh Lulu melatih diri melalui kitab ini.
Untung bahwa sebagai puteri seorang perwira, sejak kecil Lulu sudah diajar membaca sehingga lebih mudah
bagi Han Han untuk membimbingnya. Dan didasari hati mendendam karena kematian orang tuanya, ditambah
pula dengan meniru watak Han Han yang keras hati dan tak mengenal jerih payah, Lulu berlatih dengan tekun
sekali sehingga biar pun bakatnya dalam ilmu ini tidak sehebat bakat Han Han yang memang luar biasa, dapat
juga ia merasakan hasilnya.
Biasanya, semenjak berdiam di pulau yang amat dingin itu, Lulu melindungi tubuhnya dengan pakaian-pakaian
dari bulu yang terdapat dalam kamar yang ditempatinya. Akan tetapi berkat latihan-latihannya, setelah dua
tahun anak itu dapat mengerahkan sinkang yang mulai terkumpul di tubuhnya untuk melawan hawa dingin.
Hanya kalau hawa luar biasa dinginnya, ia terpaksa masih mengenakan baju bulu yang hangat.
Setelah tubuh Lulu menjadi kuat dan gerakannya menjadi lincah, Han Han mulai memberi petunjuk kepadanya
tentang pelajaran memasang kuda-kuda dan gerakan langkah kaki. Mulailah Lulu belajar silat dari sebuah kitab
yang mengajarkan ilmu silat tangan kosong. Ilmu silat ini amat tinggi tingkatnya seperti juga semua kitab yang
berada di situ. Tentu saja karena dasar yang dimiliki Lulu terlampau rendah, maka dia hanya dapat menguasai
gerakan-gerakannya saja, sedangkan intinya hanya dapat ia petik sebagian kecil.
Kemajuan Lulu menggirangkan hati anak itu sendiri yang mengira bahwa kini dia telah menjadi seorang ‘ahli
silat’ dan yang kelak, kalau mereka berhasil keluar dari tempat terasing ini, dapat ia pergunakan untuk
membalas dendam. Ada pun Han Han yang melatih diri dengan penggabungan ilmu dalam kitab-kitab Ma-bin
Lo-mo, Sepasang Pedang Iblis, dicampur dengan latihan-latihannya ketika ia ‘mencuri’ ilmu dari Kang-thouwkwi,
menjadi tersesat tidak karuan.
Secara ngawur ia telah dapat melatih dirinya sehingga memperoleh kemajuan yang aneh dan mengerikan.
Kalau seorang ahli lain melatih diri dengan sinkang berdasarkan pengerahan tenaga sakti di tubuh yang dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
dipergunakan untuk membangkitkan tenaga Yan-kang atau Im-kang, Han Han sebaliknya malah
membenamkan diri dalam cengkeraman hawa sakti Im-kang karena ia melatih diri dengan menggunakan hawa
dingin sebagai ujian.
Sebetulnya, dengan inti dari Ilmu Hwi-yang Sinkang yang ia curi dari Kang-thouw-kwi, Han Han dapat
membuat tubuhnya terasa panas untuk mengatasi hawa dingin di pulau itu, sungguh pun hal ini akan
merupakan sebuah cara yang berbahaya karena ia seolah-olah melawan dingin dengan kekuatan sinkang-nya.
Kalau dia menang, dia tidak akan kedinginan, akan tetapi kalau sampai kalah, dia yang menggunakan Yangkang
secara ngawur akan terancam bahaya maut.
Untung bahwa dia tidak sampai terancam bahaya ini karena dia memulai latihannya dengan menggunakan
kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan Sepasang Pedang Iblis. Kitab Ma-bin Lo-mo mengajarkan tentang
menghimpun tenaga Im-kang dan karena di dalam diri Han Han telah terkandung tenaga mukjizat, begitu ia
bersemedhi dan mulai melatih diri, sebentar saja ia dapat menghimpun tenaga ‘dingin’ ini.
Berlatih menghimpun tenaga dingin di dalam hawa yang dinginnya seperti Pulau Es itu, pada hari-hari pertama
merupakan siksaan hebat pada tubuhnya. Darahnya seolah-olah menjadi beku dan hampir saja Han Han
beberapa kali terancam maut kalau saja Lulu tidak selalu menjaganya. Kalau sudah melihat kakaknya
menggigil kedinginan, mukanya membiru seperti itu, Lulu cepat turun tangan, menyelimuti tubuh kakaknya
dengan baju bulu, atau membuat api unggun di dekat kakaknya, atau mengguncang-guncang tubuh Han Han
sehingga terpaksa Han Han menyudahi latihannya menghimpun tenaga dingin.
Akan tetapi Han Han memiliki kekerasaan hati yang tidak lumrah manusia biasa. Dia tidak pernah merasa
kapok dan selalu berlatih Im-kang di waktu hawa sedang dinginnya sehingga akhirnya ia dapat membuat
keadaan tubuhnya lebih dingin dari pada hawa dingin di luar tubuhnya. Karena dia membuat suhu tubuhnya
lebih dingin dari pada suhu di luar tubuh, setelah latihannya matang ia malah merasa bahwa hawa yang amat
dingin, yang bagi orang lain akan tak tertahankan itu masih kurang dingin! Setelah berlatih tiga tahun lamanya,
di waktu hawa di Pulau Es itu amat dingin, Han Han mulai berlatih sambil membuka sepatunya dan
pakaiannya!
Demikianlah, dengan ditemani beruang es yang merupakan teman bermain, bahkan teman berlatih silat yang
amat tangguh bagi Lulu, kedua orang anak itu hidup terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu aneh
tanpa bimbingan sehingga kepandaian yang mereka peroleh amatlah aneh bagi umum!
Setelah tinggal di Pulau Es selama tiga tahun, Han Han dan Lulu menganggap pulau itu seperti milik mereka
sendiri dan makin banyak mereka mengenal istana itu, makin tebal keyakinan mereka bahwa dahulu tempat ini
merupakan tempat tinggal orang-orang sakti dan bahwa kemudian terjadi hal-hal yang amat hebat di situ
sehingga kemudian ditinggalkan para penghuninya.
Akan tetapi selama tiga tahun itu, Han Han dan Lulu tidak pernah menemukan sesuatu yang menceritakan
tentang para penghuni itu. Tulisan-tulisan di dinding hanya merupakan sajak-sajak yang selain mengandung
filsafat-filsafat hidup, juga membayangkan kepahitan dan penderitaan batin si penulisnya namun tidak pernah
menyinggung soal nama mau pun riwayat mereka yang dahulu tinggal di istana Pulau Es itu.
"Ah, Paman Beruang! Kalau saja engkau mampu bicara, tentu ceritamu tentang para penghuni istana Pulau Es
ini amat menarik hati," kata Han Han sambil mengelus bulu putih lengan binatang itu.
"Mungkin dia sudah berkali-kali bercerita kepada kita dengan gerakan-gerakannya. Sayang kita yang tidak
mengerti," kata Lulu sambil tertawa.
"Boleh jadi!" kata pula Han Han, juga tertawa setelah memandang wajah adik angkatnya penuh kagum. Kini
Lulu telah menjadi seorang gadis cilik dan jelas tampak betapa manis dan cantik anak ini. Matanya yang lebar
itu bersinar-sinar, mulutnya kelihatan manis dengan lesung pipit di pipi kiri.
“Benarkah, Paman Beruang? Apa sih yang hendak kau ceritakan kepada kami tentang manusia-manusia sakti
yang telah melimpahkan kebaikan kepada kami sehingga kami ditinggali segala kemewahan ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nguk-ngukk... ger-gerrrrr...!” Lulu meniru suara beruang itu dan menggerak-gerakkan kedua lengannya
dengan lagak seperti beruang itu sehingga Han Han menjadi tertawa geli.
Mendadak beruang itu menggereng, lalu menyergap hendak mencengkeram pundak Lulu. Akan tetapi dengan
sigap sekali Lulu miringkan tubuhnya sehingga cengkeraman itu luput.
"Ihhh, salah sangka selalu kau, Paman Beruang! Aku tidak ingin mengajak kau berkelahi!" kata Lulu. Melihat
gadis cilik itu tidak balas menyerangnya, beruang itu pun hilang semangatnya dan tidak menyerang terus.
Mendadak terdengar desir angin yang amat keras sampai salju-salju beterbangan dan dari tempat yang agak
tinggi itu tampak air laut dari jauh bergelombang besar. Lulu dan Han Han memandang ke arah laut sambil
melindungi muka dari hantaman salju tipis yang terbawa angin. Keduanya teringat akan peristiwa tiga tahun
yang lalu ketika mereka diombang-ambingkan perahu yang menjadi permainan badai. Angin cepat sekali
berubah, makin membesar dan suaranya berdesir menakutkan.
"Agaknya badai akan mengamuk lagi…!" kata Han Han.
Biar pun mereka tidak perlu mengkhawatirkan badai karena sekarang berada di tengah Pulau Es, namun
teringat akan pengalamannya tiga tahun yang lalu, Lulu merasa ngeri juga. Mendadak beruang es itu
mengeluarkan bunyi pekik yang belum pernah mereka dengar selama ini. Pekik ini seperti suara yang
mengandung kecemasan dan tiba-tiba Han Han dan Lulu terkejut karena binatang besar itu telah menyambar
tangan mereka dan menarik mereka memasuki istana.
"Paman beruang, bukan waktunya untuk main-main!" Lulu berusaha untuk merenggut tangannya.
"Dia tidak main-main, Lulu. Dia ketakutan dan mengajak kita masuk. Tentu ada sebabnya. Hayo kita ikut dia
masuk!" kata Han Han dan berlari-larianlah mereka memasuki istana.
Akan tetapi beruang itu sambil mengeluarkan suara mengeluh panjang mendorong-dorong untuk terus masuk
dan menuruni anak tangga yang membawa mereka ke dalam gudang di bawah tanah, yaitu gudang tempat
penyimpanan bahan makanan. Setelah mereka tiba di gudang bawah tanah ini, beruang es itu lalu berjingkrakjingkrak
seperti mabuk atau ketakutan, dan menuding-nuding ke arah dinding sebelah belakang sambil
membuat gerakan seperti mendorong dengan kedua lengannya ke arah dinding.
"Apa maksudnya?" tanya Han Han.
"Aneh sekali, dia seperti minta kita mendorong dinding. Padahal kalau memang begitu, tenaganya yang amat
besar tentu lebih berhasil dari pada kita," jawab Lulu dan anak ini lalu menghampiri dinding, mengerahkan
tenaga dan berusaha mendorong seperti yang diperlihatkan dengan gerakan oleh binatang itu. Akan tetapi
dinding itu tetap tidak bergerak.
"Eh, Paman Beruang. Kalau memang harus didorong, kau bantulah aku!" kata Lulu rnendongkol karena tidak
mengerti maksud binatang itu.
Han Han menghampiri dinding itu, membantu Lulu mencoba untuk mendorongnya. Akan tetapi tiba-tiba
beruang itu memegang pundaknya dan menariknya ke belakang, lalu menggereng-gereng dan menggelenggeleng
kepala, kemudian membuat gerakan mendorong lagi dari jauh sambil menuding-nuding ke arah Han
Han. Mereka telah tiga tahun bergaul dengan binatang itu dan sedikit banyak sudah dapat mengerti bahasa
gerakan ini.
"Han-ko, agaknya Paman Beruang minta engkau yang mendorong dinding!" kata Lulu.
Han Han mengerutkan kening. “Tidak, aku tadi mendorong dia tarik ke belakang. Ah, jangan-jangan dinding ini
ada rahasianya dan harus didorong dengan hawa sinkang dari jarak jauh. Mundurlah, Lulu."
Ketika mendengar ini dan melihat Lulu mundur, beruang itu mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara
seperti kalau dia sedang bersenang hati. Makin yakin hati Han Han dan ia lalu mundur. Dalam jarak satu meter
ia lalu menekuk kedua lututnya, memusatkan perhatian, menahan napas, mengerahkan hawa sinkang di dasar
dunia-kangouw.blogspot.com
perut dan disalurkan ke arah kedua lengannya lalu mendorong ke arah dinding. Karena setiap hari selama tiga
tahun ini ia melatih hawa sakti Im-kang, tentu saja ketika mempergunakan dorongan ini ia pun otomatis
mempergunakan Im-kang.
Kemajuan yang diperoleh Han Han selama berlatih tiga tahun ini amatlah hebatnya. Hawa dingin yang amat
dahsyat menyambar dari kedua tangannya yang mendorong itu dan dinding yang terbuat dari baja itu tergetar
hebat, akan tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Yang sebelah kirinya tergetar keras, akan tetapi yang sebelah
kanan tidak tergoyang sedikit pun.
"Bagus! Sudah tergetar, Koko! Coba lagi, lebih kuat!" kata Lulu setengah berteriak, mengharapkan untuk
membuka rahasia tempat ini dan ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi.
Sementara itu suara badai mengamuk di luar istana terdengar amat santer dan angin malah masuk sampai ke
tempat itu. Dapat dibayangkan betapa hebatnya badai itu mengamuk kalau angin dan suaranya sampai
memasuki ruangan di bawah tanah itu!
Han Han sudah siap untuk mencoba lagi, akan tetapi beruang itu menggereng-gereng marah dan menggerakgerakkan
kedua kaki depan tanda tidak setuju, akan tetapi masih tetap membuat gerakan mendorong-derong
dinding. Han Han tidak jadi mendorong lagi, lalu mempergunakan pikirannya. Memang dia harus mendorong,
akan tetapi agaknya keliru cara menggunakan sinkang. Kalau dorongan ini hanya membutuhkan tenaga kasar,
tentu binatang itu sendiri akan sanggup melakukannya, karena dalam hal tenaga kasar, beruang itu jauh lebih
menang dibandingkan dia.
Tentu harus menggunakan sinking, akan tetapi mengapa salah? Tiba-tiba ia teringat. Ah, dia melatih sinkangnya
berdasarkan ilmu-ilmu dari Ma-bin Lo-mo yang ia gabungkan dengan ilmu dari kitab Sepasang Pedang
Iblis, yaitu mempergunakan Im-kang. Inilah agaknya yang menjadi kesalahannya. Tentu saja ilmu dari
penghuni istana di Pulau Es ini berbeda sinkang-nya dengan Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi, tenaga sinkang ada dua macam, kalau tidak hawa sakti dingin tentu hawa sakti panas, yaitu Yangkang.
Dia sudah mencuri ilmu ini dari Kang-thouw-kwi, akan tetapi sudah tiga tahun ia tidak pernah melatih
Yang-kang. Betapa pun juga, Han Han masih belum melupakan untuk mempergunakan tenaga yang keluar
dari hawa sakti itu. Latihan-latihannya dengan batu bintang dan dengan nyala api tulang manusia sudah cukup
mantang.
“Apakah dengan tenaga Yang-kang?" Ia bertanya kepada diri sendiri, sedangkan Lulu hanya memandang,
tidak berani mengganggu karena maklum bahwa kakaknya sedang berusaha keras untuk membuka rahasia
dinding ini.
Han Han kembali menekuk kedua lututnya, kemudian ia berdiam sampai lama, berusaha mengobarkan hawa
Yang-kang di tubuhnya. Memang amat sukar dan sebentar saja peluh membasahi muka dan lehernya, akan
tetapi ternyata ia berhasil karena kedua tangannya mulai menjadi panas, bahkan mengepulkan asap! Lulu
terbelalak kagum dan beruang itu meloncat ke belakang ketakutan.
Memang luar biasa sekali anak ini. Keadaan jasmaninya yang tidak wajar lagi menimbulkan kekuatan mukjizat
dan kekuatan kemauannya bukan main besarnya sehingga hawa sakti di tubuhnya itu lebih dikuasai
kemauannya dari pada kematangan latihannya. Setelah merasa kedua lengannya menggetar-getar dengan
hawa panas seperti dahulu kalau ia berlatih secara diam-diam di daerah terlarang belakang istana Pangeran
Ouwyang Cin Kok, Han Han lalu melakukan gerakan mendorong untuk kedua kalinya ke arah dinding itu.
Kembali dinding itu tergetar hebat seperti tadi. Akan tetapi sekali ini yang tergetar hebat adalah bagian dinding
di sebelah kanannya, sedangkan di sebelah kiri sama sekali tidak bergerak, menjadi sebaliknya dari pada tadi.
Beruang itu mulai ‘mengomel’ lagi dan membanting-banting kaki belakang seperti orang marah, lalu menudingnuding
Han Han lagi sambil menggunakan gerakan mendorong-dorong. Han Han menjadi bingung. Kalau
dengan Im-kang dan Yang-kang keduanya gagal, habis cara bagaimana ia harus mendorong dinding itu?
Sementara itu, kini angin yang masuk dengan santer membawa pula butiran-butiran es yang keras sehingga
mengejutkan mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Han-ko, apa bedanya doronganmu yang pertama dengan yang ke dua?" Tiba-tiba Lulu yang sejak tadi
memperhatikan itu bertanya.
“Yang pertama menggunakan hawa sakti dingin, yang kedua menggunakan hawa sakti panas."
Lulu bertepuk tangan dan wajahnya berseri. "Ah, sekarang aku mengerti! Ketika engkau menggunakan Imkang
yang pertama tadi, dinding sebelah kiri yang terguncang hebat sedangkan yang kanan tidak bergerak.
Sebaliknya, ketika kau menggunakan Yang-kang, dinding di kanan yang tergetar sedangkan yang kiri tidak.
Sekarang, kau doronglah dengan kedua hawa sakti Im dan Yang. Kalau lengan kirimu mendorong dengan Imkang
ke sebelah kiri dinding dan lengan kananmu mendorong dengan Yang-kang ke sebelah kanan, tentu
akan terbuka rahasia ini, Koko!"
"Agaknya engkau benar, akan tetapi betapa mungkin menggunakan dua hawa sakti yang berlawanan secara
berbareng?"
“Mengapa tidak mungkin Koko? Kita pernah membaca kitab tentang ilmu silat Im-yang-kun yang berada
diperpustakaan. Bukankah ilmu itu pun mempergunakan dua macam sinkang?"
"Benar, dan sepasang kitab Suhu dan Subo yang diberikan kepadaku pun mengandung tenaga yang
berlawanan. Akan tetapi hal itu dimainkan oleh dua orang, tentu saja dapat. Kalau aku seorang diri harus
mengerahkan tenaga yang berlawanan, betapa mungkin? Aku belum pernah belajar tentang itu!"
"Koko, engkau seorang yang paling cerdik dan pandai di seluruh dunia ini! Apa yang tidak mungkin bagimu?
Cobalah, engkau tentu bisa! Lihat, badai makin hebat mengamuk! Butiran-butiran es seperti peluru dan aku
harus selalu menangkis, akan tetapi butiran-butiran itu hancur kalau mengenai tubuhmu dan kau seperti tidak
merasakan! Koko, aku dapat menduga bahwa tentu ada tempat persembunyian rahasia dan Paman Beruang
agaknya hendak mengajak kita bersembunyi di tempat itu!"
Han Han menoleh dan melihat betapa beruang itu repot menutupi mukanya agar jangan terkena hantaman
butiran-butiran es yang kalau mengenai matanya atau hidungnya tentu akan mengakibatkan luka. Binatang ini
ketakutan dan mengeluarkan bunyi seperti anak kucing.
“Harus kucoba,” pikirnya.
Mulailah ia menekuk kedua lututnya, menghadapi dinding dan mulailah ia mengatur hawa sinkang yang
disalurkan dari pusarnya, naik ke atas dan dia mencoba untuk membaginya menjadi dua hawa sakti Im dan
Yang. Sesungguhnya hanya orang yang sinkang-nya sudah amat tinggi saja yang akan dapat mengerahkan
Im-kang dan Yang-kang secara berbareng. Di luar kesadarannya, Han Han telah memiliki tenaga sinkang yang
amat kuat.
Akan tetapi karena dia belum pernah berlatih di bawah bimbingan ahli, maka ia repot sekali membagi sinking
ini. Kedua tenaga sakti itu menarik-narik, kadang-kadang menjadi Im-kang semua yang amat hebat sehingga
tubuhnya menggigil kedinginan, kadang-kadang Yang-kang menang kuat dan semua tenaga menjadi hawa
sakti yang panas dan membuat kepalanya mengepulkan asap! Ia merasa tersiksa sekali, dadanya sampai
terasa nyeri dan napasnya terengah-engah.
Akan tetapi ketika ia hendak membatalkan usahanya yang sia-sia ini dan melirik ke arah Lulu, ia melihat
adiknya itu memandang kepadanya penuh kekaguman dan penuh kepercayaan. Hal ini memberi kekuatan luar
biasa kepadanya dan cukup memberi dia kenekatan untuk berusaha sampai berhasil, biar pun dia akan
menderita sampai mati sekali pun. Memang hebat sekali tenaga kemauan hati Han Han. Tenaga mukjizat
inilah yang membuat ia memiliki kekuatan pada matanya sehingga tanpa belajar ia telah mempunyai
kepandaian menundukkan kemauan dan semangat orang lain!
Kini tenaga kemauannya ini ia tujukan ke dalam dan biar pun ia belum pernah melatih untuk mengendalikan
sinkang, kini ia berusaha lagi untuk ‘mencegah’ sinkang-nya menjadi dua macam. Sekali ini dia berhasil! Akan
tetapi keadaannya seperti seorang yang mengendalikan dua ekor kuda yang berlawanan larinya, sehingga ia
harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada melawan sinkang sendiri agar jangan sampai menyeleweng ke
kanan atau ke kiri! Kembali ia mendorong dengan kedua lengan yang berlawanan hawa saktinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dinding itu tergetar hebat, terdengar keras sampai mengeluarkan suara dan disusul suara berderit aneh
kemudian.… dinding itu terpecah menjadi dua bagian dan terbuka seperti ada tenaga rahasia mendorongnya
ke kanan kiri!
"Kau berhasil, Han-ko...!!" Lulu bersorak akan tetapi kegirangannya segera berubah menjadi kaget ketika
melihat .tubuh Han Han roboh terguling. Lulu cepat melompat dan berhasil memeluk tubuh kakaknya sehingga
Han Han tidak sampai terbanting.
Beruang itu pun berseru girang, akan tetapi ia lalu menyambar tubuh Han Han, dipondongnya dan ia
menunjuk-nunjuk ke bawah di mana terdapat anak tangga dari batu, memberi isyarat kepada Lulu untuk
menuruni anak tangga sedangkan dia sendiri sambil memondong tubuh Han Han mengikuti dari belakang
dengan wajah takut-takut.
Lulu yang menjadi cemas melihat kakaknya pingsan segera menuruni anak tangga tanpa ragu-ragu, karena
ingin segera dapat menolong kakaknya yang dipondong beruangnya. Melihat kakaknya dipondong beruang itu,
teringatlah ia beberapa tahun yang lalu ketika mula-mula mereka datang, hanya bedanya, kalau dahulu dia
yang mengikuti binatang itu, sekarang dialah yang berjalan di depan.
Anak tangga itu amat dalam, dua kali lebih dalam dari pada anak tangga yang menuju ke gudang bawah tanah.
Dan ketika ia sampai di dasar anak tangga, Lulu menjadi bengong. Tentu ia sudah bersorak gembira kalau
saja tidak ingat akan keadaan kakaknya. Ruangan yang berada di dasar tangga itu benar-benar
mempesonakan sekali, jauh lebih indah dari pada semua ruangan di atas! Benda-benda yang berada di situ
berkilauan, terbuat dari pada emas dan perak.
Beruang itu sudah menurunkan tubuh Han Han ke atas lantai yang terbuat dari pada batu putih bersih dan
mengkilap, kemudian beruang itu berlari ke tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga buah
patung yang terbuat dari pada batu pualam. Berlutut sambil mengeluarkan suara seperti menangis.
Biar pun merasa heran sekali, akan tetapi Lulu tidak lagi memperhatikan binatang itu, tidak pula
memperhatikan ruangan yang indah karena semua perhatiannya telah ia curahkan kepada Han Han yang
menggeletak terlentang di atas tanah. Ia berlutut di dekat kakaknya dan memeriksa. Alangkah kagetnya ketika
ia melihat betapa kulit muka kakaknya itu berwarna dua macam! Yang kanan berwarna hitam seperti terbakar
gosong, ada pun yang kiri berwarna putih kebiruan seperti muka mayat. Han Han rebah tak bergerak, dan
napasnya tinggal satu-satu.
"Koko…, Han-ko... Aahhhh, Koko...!" Lulu memeluk tubuh kakaknya dan menjadi kebingungan.
Akan tetapi ia lalu teringat bahwa kakaknya tentu menderita luka di sebelah dalam akibat dari pengerahan
sinkang yang dibagi menjadi dua hawa sakti tadi. Ia sudah banyak membaca kitab tentang latihan sinkang,
bahkan dia sendiri sudah melatih diri di bawah bimbingan kakaknya. Yang ia latih adalah sebuah kitab dari
perpustakaan di istana Pulau Es itu yang sesuai dengan latihan yang pernah dipelajari Han Han dari Lauwpangcu.
Tanpa mereka sadari, kalau Han Han menggembleng diri dengan ilmu kaum sesat, adalah Lulu malah
melatih diri dengan ilmu kaum bersih!
Melihat keadaan kakaknya sekarang ini, Lulu teringat akan ilmu memindahkan sinkang ke tubuh orang lain
untuk membantu orang itu. Maka biar pun latihannya belum matang benar, Lulu tanpa ragu-ragu lagi duduk
bersila dan menempelkan kedua telapak tangannya ke dada dan perut Han Han, kemudian ia mengheningkan
cipta, bersemedhi mengumpulkan semua tenaga dalam di tubuhnya yang ia paksa keluar melalui kedua
tangannya memasuki tubuh Han Han!
Han Han siuman dan merasa betapa ada hawa hangat yang halus lembut memasuki dadanya. Ketika ia
membuka mata dan melihat betapa Lulu bersila meramkan mata dan menempelkan kedua telapak tangan ke
badannya, ia menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap adiknya ini makin mendalam.
"Cukuplah, Lulu. Jangan menyia-nyiakan sinkang-mu yang masih belum kuat," katanya halus sambil
mendorong kedua tangan Lulu perlahan-lahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lulu membuka matanya, akan tetapi menutup mulutnya yang sudah akan bertanya ketika ia melihat betapa
kakaknya bangkit dan bersila sambil meramkan mata. Ia tahu bahwa kakaknya sedang mengerahkan tenaga
untuk mengobati diri sendiri dan perlahan-lahan muka kakaknya yang tadinya berwarna dua kini menjadi pulih
kembali. Hatinya menjadi lega dan mulailah dia menyapu keadaan sekeliling ruangan yang indah itu dengan
pandang matanya.
Ruangan itu benar-benar amat indah. Di tengah ruangan terdapat tiga buah patung. Yang tengah merupakan
seorang laki-laki yang tampan sekali, akan tetapi bagian kepalanya, di dahi, terdapat dua buah lubang seolaholah
bagian kepala patung ini ada yang menusuknya dengan senjata dua kali. Di sebelah kiri patung pria ini
adalah sebuah patung wanita, cantik jelita dengan tubuh ramping dan dengan wajah lemah lembut, akan tetapi
sebelah kakinya buntung! Ada pun yang berada paling kanan adalah patung seorang wanita yang juga cantik
jelita, lebih tinggi dari pada wanita buntung, akan tetapi kecantikan wanita di kanan ini bercampur dengan
kekerasan hati dan kekejaman yang terbayang pada wajah cantik itu. Hanya patung inilah yang tidak ada
cacatnya.
Tiba-tiba Lulu tertawa. Memang lucu melihat tingkah laku beruang es ketika itu. Binatang ini seperti kesurupan
atau telah menjadi gila. Kadang-kadang ia lari dan menjatuhkan diri di depan patung pria, memeluk kaki patung
itu, mengeluarkan suara seperti menangis, kemudian berlutut di depan patung wanita buntung, berdongak ke
atas memandang wajah patung itu dengan wajah membayangkan rasa sayang, akan tetapi selalu ia kembali
ke patung sebelah kanan dan ia berlutut di depan wanita cantik tanpa cacat itu sambil mengangguk-angguk
dan membentur-benturkan kepala ke lantai dan mengeluarkan suara seperti sedang ketakutan. Melihat
beruang itu berlutut di depan tiga patung dengan tiga macam tingkah laku, kelihatan lucu bukan main sehingga
Lulu tertawa.
Han Han membuka matanya. Ia pun terpesona akan keindahan ruangan itu dan kini tahulah ia mengapa
beruang itu mengajak mereka ke situ. Dari tempat ini tidak terdengar lagi suara badai mengamuk dan mereka
memang aman dari pada gangguan suara dan ancaman hujan butiran es keras yang beterbangan seperti
peluru. Akan tetapi, melihat beruang itu seperti gila berlutut di depan tiga buah patung itu, ia memandang
terbelalak dan hatinya berdebar keras. Tidak salah lagi, tentu patung-patung itu adalah patung dari para
penghuni istana Pulau Es yang telah meninggalkan kesemuanya untuk dia dan Lulu! Sudah meninggal
duniakah mereka bertiga itu? Ia bangkit lalu menggandeng tangan Lulu, dan berbisik.
"Lulu, jangan sembrono. Kurasa mereka itu adalah patung dari pada Locianpwe yang dahulu menjadi penghuni
Istana Pulau Es. Mari kita memberi hormat...”
Lulu menurut dan sambil bergandengan tangan mereka menghampiri tengah ruangan itu. Melihat betapa tiga
buah patung itu menggambarkan seorang laki-laki muda dan tampan serta dua orang wanita yang cantik jelita
seperti puteri-puteri istana, Han Han terbelalak dan meragu. Inikah manusia-manusia sakti yang menjadi
penghuni Istana Pulau Es? Akan tetapi, menyaksikan sikap beruang itu, ia tidak ragu-ragu lagi dan ia
membimbing tangan Lulu dan diajaknya adiknya itu berlutut di depan ketiga patung itu sambil berkata.
"Teecu Sie Han dan Sie Lulu mohon ampun kepada Sam-wi Locianpwe bahwa teecu berdua berani mendiami
Istana Pulau Es tanpa ijin Sam-wi, dan teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan
yang ditinggalkan Sam-wi Locianpwe untuk keperluan teecu berdua."
Beruang itu kelihatan girang sekali melihat Han Han dan Lulu berlutut. Ia pun berlutut di depan patung pria itu
dan mengeluarkan suara menguik-nguik seolah-olah ia pun menceritakan bahwa dua orang anak-anak itu
adalah orang baik-baik dan selama ini menjadi sahabat-sahabatnya!
"Koko, mengapa aku bernama Sie Lulu?" Lulu berbisik setelah mereka bangkit dan melihat-lihat keadaan
ruangan yang indah itu.
"Habis, engkau Adikku. Kalau tidak ber-she Sie seperti aku, mau pakai she apa lagi?"
"Koko, para Locianpwe yang katanya orang-orang sakti, kenapa masih begitu muda-muda dan kelihatan
seperti orang-orang lemah?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hussshhh, jangan berkata demikian, Lulu. Kau lihat beruang itu mengenal majikan-majikannya, kiranya tidak
salah lagi. Dahulu mereka adalah penghuni istana ini, entah berapa puluh tahun yang lalu. Menurut
percakapan tokoh-tokoh yang kudengar, Pulau Es ini dicari sejak puluhan tahun yang lalu dan Kim Cu Suci
pernah mendongeng bahwa di sini dahulu dikabarkan tinggal seorang manusia yang maha sakti seperti
dewa..."
“Ah... Cici Kim Cu yang baik itu sekarang tentu sudah menjadi seorang gadis jelita. Dia mencintamu, Koko...!"
"Husssh, yang bukan-bukan saja kau ini! Kau tahu apa tentang cinta! Di tempat sesuci ini jangan bicara
begitu…"
Kembali mereka berdua memperhatikan tiga buah patung batu pualam itu dan melihat betapa kini beruang itu
duduk mendeprok di dekat kaki patung pria dengan sikap anteng dan tenang, juga sikap binatang itu jelas
menunjukkan ketaatan dan penghormatan yang mendalam.
Patung-patung itu amat indah buatannya, halus dan seolah-olah hidup. Dan Han Han yang mempelajari wajah
patung-patung itu melihat betapa mata patung pria itu mengandung kebijaksanaan yang luar biasa,
mendatangkan rasa kagum dan tunduk. Patung wanita kaki buntung cantik sekali, membayangkan kehalusan
budi dan sepasang matanya seolah-olah memancarkan kasih sayang yang amat besar. Akan tetapi yang
paling menarik hatinya adalah patung wanita cantik di sebelah kanan.
Harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita secantik ini, cantik dan
menggairahkan sehingga Han Han yang mulai dewasa itu berdebar jantungnya, seakan-akan ia terangsang
oleh wajah cantik dan bentuk tubuh yang elok itu. Ia kagum dan sekiranya patung wanita itu benar-benar hidup,
tentu ia akan suka mengabdi kepada wanita ini asal dapat selalu berdekatan. Sifat keras hati dan ganas yang
terbayang pada bibir yang penuh dan mata yang lebar indah itu baginya malah menambah daya tarik.
Menjelang senja, badai di luar Istana Pulau Es itu mereda dan mereka pun keluar dari tempat rahasia itu. Han
Han mengajak Lulu memberi hormat lagi kepada tiga patung itu sambil berlutut. Kemudian, didahului oleh
beruang yang agaknya telah tahu bahwa badai telah berhenti, mereka keluar, mendaki anak tangga rahasia.
Setibanya di luar, seperti digerakkan tenaga gaib, dinding yang tadinya terbuka itu dapat menutup sendiri!
Tentu saja Han Han dan Lulu menjadi terkejut dan merasa seram. Adakah makhluk tersembunyi di tempat itu
yang menutupkan dinding baja ini? Mereka diam-diam mengambil keputusan untuk tidak memasuki tempat
rahasia itu lagi kalau tidak amat perlu, karena kehadiran mereka seolah-olah mengganggu ketenteraman dan
kesunyian tiga patung yang indah itu.
********************
Ke manakah perginya perahu Mancu yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat pada tiga tahun yang lalu
ketika perahu itu bertemu dengan perahu Ma-bin Lo-mo? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan
licik sekali Kang-thouw-kwi dapat mengalahkan Ma-bin Lo-mo dengan anak panah-anak panah berapi
sehingga perahu Ma-bin Lo-mo terbakar dan memaksa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya meloncat
ke laut meninggalkan perahu yang terbakar.
Si Setan Botak tertawa bergelak, suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu
terbawa angin laut dan terdengar sampai jauh, seperti suara ketawa iblis laut sendiri. Ada pun Ma-bin Lo-mo
dan tiga orang kawannya, dapat menghindari maut dengan jalan mengapungkan diri berpegangan kepada
bambu-bambu yang mereka renggut putus dari perahu, yaitu bambu-bambu pengapung yang dipasang di
kanan kiri perahu yang terbakar itu.
Pada saat itu, badai mulai mengamuk dan Gak Liat bersama anak buahnya terlalu repot dan sibuk
menyelamatkan perahu mereka melawan ombak membadai sehingga mereka tidak melihat betapa Ma-bin Lomo
dan tiga orang pembantunya mempergunakan kekuatan tangan mereka untuk mendayung bambu-bambu
pengapung itu mendekati perahu Mancu itu. Tidak melihat betapa empat orang sakti itu akhirnya berhasil
menempel di tubuh perahu dan berpegang kuat-kuat sehingga betapa pun badai mengamuk dan perahu itu
diayun dan diguncangkan, mereka tetap menempel pada tubuh perahu seperti empat ekor lintah menempel di
perut kerbau.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah badai mereda, perahu itu dibawa jauh dari sekumpulan pulau-pulau itu dan terdampar di sebuah pulau
kecil yang kosong. Gak Liat dan anak buahnya lalu mendarat dan para perwira Mancu itu lalu mempergunakan
sebuah alat teropong untuk menyelidiki keadaan sekitar pulau itu. Tiba-tiba seorang di antara para perwira itu
berseru keras dalam bahasa Mancu dan menunjukkan teropongnya ke arah utara.
Sekali meloncat, Gak Liat sudah tiba di dekat perwira ini dan menyambar teropongnya. Biar pun dia memiliki
ilmu tinggi dan pandang matanya jauh lebih awas dari pada mata orang biasa, namun dibandingkan dengan
kekuatan teropong itu ia masih kalah jauh. Ia lalu memakai teropong itu dan menujukan pandangannya ke
utara, kemudian ia berkata girang.
“Tidak salah lagi! Itulah Pulau Es! Kita berhasil...!” teriaknya.
Tentu saja hatinya girang ketika ia melihat sebuah pulau yang putih diliputi salju dan melihat samar-samar
sebuah bangunan indah di tengah pulau, di bagian yang agak tingi. Akan tetapi pada saat itu terdengar
teriakan ngeri dan empat orang perwira Mancu roboh terjungkal dan tewas seketika.
Seperti iblis-iblis penghuni pulau, muncullah empat orang kakek yang pakaiannya basah kuyup. Biar pun
keadaan empat orang kakek ini cukup payah karena terlalu lama terendam di air laut, namun mereka itu dapat
dikenal sebagai Ma-bin Lo-mo, Si Muka Tengkorak Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Si Muka Bopeng Ouw Kian!
Mereka herhasil mendarat pula dan begitu muncul, mereka berempat menyerang empat orang perwira yang
roboh dan tewas seketika!
“Iblis Muka Kuda! Engkau masih belum mampus?" teriak Setan Botak dengan nyaring dan terheran-heran.
"Si Botak yang buruk! Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan mampus!" balas Ma-bin Lo-mo yang segera
maju menerjang Si Setan Botak. Ada pun tiga orang pembantunya sudah dikurung oleh dua puluh enam orang
perwira Mancu.
Terjadilah pertandingan hebat dan mati-matian di pulau kosong itu. Terjangan Ma-bin Lo-mo sudah disambut
dengan tangkisan Kang-thouw-kwi. Dua buah lengan yang amat kuat bertemu dan keduanya terpental ke
belakang. Biar pun hawa sakti yang tersalur di tangan mereka berlawanan dan amat berbeda, yang seorang
adalah ahli Yang-kang dan yang ke dua adalah ahli Im-kang, namun karena tingkat mereka sudah amat tinggi
dan seimbang, keduanya terpental keras dan masing-masing harus mengakui bahwa lawan tldak boleh
dipandang ringan. Maka mereka segera saling menggempur dengan hati-hati sekali, karena mereka maklum
bahwa satu kali saja terkena pukulan lawan, berarti bahaya maut mengancam nyawa mereka.
Pertandingan antara tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang dikeroyok dua puluh enam orang perwira Mancu
juga berjalan dengan sengit dan mati-matian. Para perwira itu bukanlah prajurit-prajurit sembarangan,
melainkan perwira-perwira pilihan yang sengaja diutus oleh kaisar untuk mencari Pulau Es di bawah pimpinan
Setan Botak. Mereka mengeroyok dengan senjata golok mereka secara teratur dan tidak serampangan karena
mereka pun tahu bahwa tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi.
Kalau saja tiga orang sakti itu berada dalam keadaan segar seperti biasa, biar pun dikeroyok dua puluh enam
orang, tipis harapan bagi para perwira itu untuk dapat menang. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo
itu telah mengalami penderitaan hebat ketika mereka menempel pada tubuh perahu yang diombangambingkan
gelombang lautan.
Gempuran-gempuran air laut membuat mereka lelah sekali, kehabisan tenaga, ditambah ketegangan yang
mengerikan, sehingga kini ketika mereka menghadapi pertempuran, tenaga mereka tinggal setengahnya. Hal
inilah yang membuat mereka terdesak hebat dan terancam. Sampai puluhan jurus, mereka bertiga belum juga
mampu merobohkan seorang di antara para perwira yang bekerja sama secara rapi dan membalas dengan
serangan-serangan berganda yang ganas.
Antara Gak Liat Si Setan Botak dan Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda terjadilah pertandingan yang seru dan
hebat. Keduanya sekali ini dapat melanjutkan pertandingan beberapa tahun yang lalu dan sungguh pun
mereka itu merupakan dua di antara para datuk yang enggan untuk saling bermusuhan, apa lagi saling
membunuh, namun pertandingan sekali ini lain lagi sifatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pulau Es sudah tampak di depan mata, dan satu sama lain merupakan penghalang terbesar untuk dapat
memiliki semua pusaka di pulau itu yang diidam-idamkan oleh golongan kang-ouw seluruhnya, baik dari kaum
bersih mau pun kaum sesat. Mereka ini para tokoh kang-ouw, sudah tahu bahwa Pulau Es itu merupakan
tempat bertapa Koai-lojin, seorang manusia setengah dewa yang memiliki kesaktian luar biasa dan yang telah
meninggalkan benda-benda pusaka termasuk kitab-kitab pelajaran segala macam ilmu di pulau itu. Karena
ingin mendapatkan benda pusaka, kini Gak Liat dan Siangkoan Lee bertanding mati-matian, maklum bahwa
sebelum berhasil menewaskan lawan berat ini, tak mungkin mereka itu akan dapat mencapai idam-idaman hati
masing-masing.
Setelah lewat kurang lebih satu jam, pertandingan antara Gak Liat dan Siangkoan Lee masih berlangsung seru
dan sukar untuk diduga siapa di antara mereka yang lebih unggul dan akan mencapai kemenangan. Memang
sudah tentu sekali seorang di antara mereka akan kalah, akan tetapi hal ini tentu akan terjadi lama sekali,
mungkin sehari penuh, atau dua bahkan tiga hari. Dan dapat diduga pula bahwa kalau sampai terjadi seorang
di antara mereka kalah dan tewas, dia yang menang tentu takkan keluar sebagai pemenang yang utuh,
sedikitnya tentu akan mengalami luka-luka parah.
Namun dalam pertempuran kurang lebih satu jam itu telah terjadi perubahan pada pertandingan antara dua
orang pembantu Ma-bin Lo-mo dengan para perwira. Tiga orang sakti itu mengamuk hebat sekali, melupakan
kelelahan tubuh nereka karena mereka maklum bahwa kalau mereka tidak dapat keluar sebagai pemenang,
mereka akan tewas di pulau kosong itu.
Swi Coan si muka tengkorak sudah menggunakan senjatanya yang ampuh, sebuah thi-pian, yaitu sebatang
pecut besi yang biasanya ia libatkan di pinggang sebagai sabuk. Pecut besi itu kini menyambar-nyambar dan
mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar yang menyambar-nyambar di atas kepala para
pengeroyoknya yang amat banyak jumlahnya itu.
Ada pun Kek Bu Hwesio, tokoh Kong-thong-pai yang meyeleweng itu menggunakan senjatanya yang kelihatan
sederhana namun sesungguhnya tidak kalah ampuhnya, yaitu jubahnya sendiri yang kini ia lolos dan
dipergunakan sebagai senjata. Jangan dipandang ringan senjata ini, karena di tangan pendeta kosen ini, jubah
itu dapat menjadi lemas dan dipakai melibat senjata lawan, juga dapat menjadi kaku seperti sebatang tongkat
baja.
Ouw Kian si muka bopeng telah mempergunakan senjata pedang, sebatang pedang yang lemas sekali, tipis
namun amat keras dan tajam sehingga ketika dimainkan, berubah menjadi segulung sinar putih yang
membentuk lingkaran-lingkaran dan melindungi tubuhnya dari atas ke bawah dari hujan golok yang dilancarkan
oleh para pengeroyoknya.
Betapa pun lihainya tiga orang tokoh ini dengan senjata-senjata mereka yang ampuh, namun jumlah
pengeroyok terlalu banyak sehingga setiap kali senjata-senjata mereka itu menyambar, tentu akan bertemu
dengan tangkisan delapan sampai sembilan batang golok di tangan para perwira Mancu yang rata-rata
memiliki tenaga besar. Setelah pertandingan ini berjalan kurang lebih satu jam, mereka itu masing-masing
telah menewaskan dua pengeroyok sehingga ada enam orang perwira yang roboh tewas, akan tetapi mereka
bertiga pun tidak luput dari pada luka-luka bacokan golok.
Biar pun luka-luka itu tidak parah, hanya merobek kulit dan melukai sedikit daging, namun darah yang keluar
membuat mereka menjadi makin lemas dan mulailah mereka merasa khawatir karena kalau dilanjutkan,
agaknya mereka itu sendiri akan roboh biar pun mungkin mereka akan dapat menewaskan lebih banyak lawan
lagi. Dengan demikian, keadaan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo ini terancam bahaya, sedangkan keadaan
Ma-bin Lo-mo sendiri pun belum pasti, kesempatannya untuk menang masih setengah-tengah atau paling
banyak dia hanya menang seusap saja.
Pertandingan yang berlangsung amat serunya ini membuat mereka semua tidak sempat memperhatikan soalsoal
lain yang terjadi di sekitar pulau kosong itu. Tidak tahu betapa dari sebelah belakang pulau mendarat pula
sebuah perahu layar yang keadaannya pun tidak lebih baik dari pada perahu Mancu, dan jelas tampak bekasbekas
amukan badai sehingga layar perahu ini sebagian kecil robek-robek, tiangnya ada sebuah yang patah.
Tidak melihat betapa dari perahu ini meloncat turun ke darat tujuh orang yang gerakannya ringan dan gesit,
tanda bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka itu terdiri dari tujuh orang kakek yang
usianya paling sedikit lima puluh tahun, dan di punggung masing-masing tampak menggemblok sebatang
dunia-kangouw.blogspot.com
pedang yang gagangnya terukir indah dan dihias ronce-ronce beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning
dan biru.
Siapakah mereka ini? Para pembaca sudah mengenal mereka, karena tujuh orang kakek gagah perkasa ini
bukan lain adalah Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pedang Siauw-lim-pai), jago-jago pedang dari Siauw-lim-pai
yang telah terkenal keampuhan ilmu pedang mereka. Seperti juga para tokoh kang-ouw yang lain, mereka ini
tertarik akan Pulau Es. Bahkan sekali ini atas perintah ketua Siauw-lim-pai mereka menggunakan perahu untuk
mencari pulau rahasia itu setelah mendengar bahwa pemerintah Mancu juga menaruh minat atas pulau yang
mengandung benda-benda pusaka yang amat penting bagi dunia persilatan itu.
Dan seperti juga halnya perahu-perahu Mancu dan Ma-bin Lo-mo, Siauw-lim Chit-kiam ini pun diserang badai
sehingga perahu mereka dipermainkan gelombang tanpa mereka dapat berbuat sesuatu yang berarti. Tenaga
manusia, betapa pun kuat dan pandainya mereka, akan tampak kecil tak berarti setelah berhadapan dengan
kekuasaan alam yang maha hebat. Akhirnya, tanpa mereka kehendaki, perahu mereka juga terdampar pada
pulau kosong itu seperti juga perahu Mancu, hanya bedanya, mereka terdampar di pantai yang berlawanan
dengan pantai di mana perahu Mancu mendarat.
Siauw-lim Chit-kiam tidak membawa teropong seperti yang dimiliki para perwira Mancu, maka pandangan mata
mereka tidak dapat mencapai Pulau Es yang tampak samar-samar dari jauh. Karena ini mereka tidak tahu
bahwa Pulau Es yang diidam-idamkan berada tak jauh lagi dari pulau kosong ini. Mereka lalu mendarat dan
tiba-tiba mereka melihat pertandingan hebat yang sedang berlangsung di pantai yang berlawanan itu. Sebagai
orang-orang gagah tentu saja mereka tertarik sekali menyaksikan pertandingan mati-matian itu, maka tanpa
dikomando mereka lalu berloncatan mendekati tempat pertandingan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang sedang bertanding itu
adalah Setan Botak Gak Liat melawan Iblis Muka Kuda Siangkoan Lee, dan banyak sekali perwira Mancu
mengeroyok tiga orang kakek yang keadaannya telah payah dan terancam hebat. Siauw-lim Chit-kiam
mengenal siapa adanya dua orang kakek sakti yang bertanding mati-matian itu, tahu bahwa mereka itu
keduanya adalah datuk-datuk sesat yang berwatak aneh dan kejam luar biasa. Bahkan mereka pun hampir
saja tewas di tangan Setan Botak Gak Liat ketika Setan Botak itu membasmi anak buah Lauw-pangcu. Mereka
pun tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat, yang tidak patut
dijadikan sahabat mau pun sekutu sungguh pun mereka tahu pula betapa kakek sakti ini membenci penjajah
Mancu.
Akan tetapi kini menyaksikan pertandingan itu, tidaklah sukar bagi mereka untuk memihak. Bukan sekali-kali
karena mereka menaruh simpati kepada Ma-bin Lo-mo, sama sekali tidak. Mereka sebagai tokoh-tokoh Siauwlim-
pai yang bernama bersih dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pedang yang gagah tentu saja tidak
sudi bersekutu dengan manusia iblis seperti Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi mereka memiliki permusuhan pribadi dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Permusuhan itu timbul
ketika keponakan wanita mereka, yaitu Bi-kiam Bhok Khim, anak murid Siauw-lim-pai yang cantik, telah
menjadi korban kekejian Gak Liat, telah diperkosa oleh Setan Botak ini. Di samping permusuhan pribadi ini,
juga mereka teringat akan pembasmian anak buah Lauw-pangcu oleh Setan Botak. Semua ini ditambah lagi
dengan kenyataan sekarang betapa Gak Liat bersekutu dengan para perwira Mancu, yaitu perwira-perwira
penjajah. Tentu saja kenyataan-kenyataan ini memudahkan Siauw-lim Chit-kiam untuk memihak dan sertamerta
mereka mencabut pedang sambil menghampiri Gak Liat yang masih bertanding seru melawan Ma-bin
Lo-mo Siangkoan Lee.
"Kang-thouw-kwi, bersiaplah untuk menerima hukuman atas dosa-dosamu!" bentak Song Kai Sin yang menjadi
wakil dari para sute-nya.
Bentakan ini pun merupakan isyarat komando karena serentak mereka bertujuh sudah menggerakkan pedang
mereka sehingga tampak sinar pedang mereka bergulung-gulung dan terdengar suara bercuitan nyaring sekali.
Gak Liat terkejut bukan main melihat munculnya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi musuhnya ini.
Kalau saja dia tidak sedang menghadapi Ma-bin Lo-mo yang lihai, tentu dia tidak gentar menghadapi Siauw-lim
Chit-kiam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi di situ ada Ma-bin Lo-mo. Dia sudah pernah bertanding melawan Siauw-lim Chit-kiam yang kalau
bergabung merupakan lawan yang amat tangguh pula. Kini melihat gulungan sinar pedang itu, ia
mengeluarkan seruan keras dan cepat melempar tubuhnya ke belakang, menggunakan tenaga dorongan Mabin
Lo-mo sehingga tubuhnya terjengkang lalu bergulingan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah meloncat ke depan
Song Kai Sin yang berada paling dekat lalu mengirim pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Maklum akan lihainya pukulan ini Song Kai Sin meloncat jauh namun hawa pukulan itu masih menyerempet
pundaknya sehingga ia terhuyung. Pada saat itu, enam orang sute-nya sudah menyerang secara berbareng
kepada Gak Liat, sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri yang tidak menyia-nyiakan kesempatan sudah mengirim
pukulan Swat-im Sin-ciang kepada Setan Botak itu.
Gak Liat terkejut setengah mati. Ia tahu bahwa pukulan Ma-bin Lo-mo yang paling berbahaya maka ia cepat
menangkis dengan lengan kirinya.
“Dukkk!”
Sekali lagi tubuh kedua orang ini terpental dan Gak Liat cepat mengelak sambil mendorong dengan tangannya
ke arah enam sinar pedang. Biar pun ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut, akan tetapi
pundaknya masih tergurat pedang sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah! Pada saat itu sebuah
dorongan datang lagi dari Ma-bin Lo-mo. Gak Liat mencoba menangkis, namun gerakannya kurang cepat
sehingga ia terdorong ke belakang dan kembali sebuah tusukan pedang mengenai pangkal lengan kirinya.
Kakek ini mengeluarkan gerengan keras dan menggulingkan tubuhnya menjauhi para pengeroyoknya.
"Ha-ha-ha." Ma-bin Lo-mo tertawa dan mendadak kakek ini membalik dan mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang
kepada tujuh orang Siauw-lim-pai itu.
Serangan ini benar-benar amat tidak terduga sehingga kedua kakak beradik Oei Swan dan Oei Kiong roboh
terguling dengan muka menjadi pucat sekali. Untung bahwa pukulan itu ditangkis oleh saudara-saudara
mereka sehingga tenaganya banyak berkurang. Mereka hanya terluka di sebelah dalam yang tidak terlalu
parah, hanya membuat tubuh mereka menggigil kedinginan, namun setelah bersila sebentar mengerahkan
sinkang, rasa dingin itu lenyap!
Siauw-lim Chit-kiam kini bersatu dan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, tidak bergerak-gerak dan
saling memandang, menanti pihak lawan bergerak lebih dulu. Mereka menjadi bingung sendiri karena maklum
bahwa mereka tidak boleh saling bantu. Bagi Siauw-lim Chit-kiam, keadaan mereka paling sulit.
Kalau dibuat ukuran, di antara mereka tiga kelompok, kedudukan Siauw-lim Chit-kiam yang paling lemah.
Kalau mereka mengeroyok Gak Liat dengan bantuan Ma-bin Lo-mo, tentu mereka akan berhasil membalas
dendam dan membunuh Setan Botak, akan tetapi mereka tahu bahwa watak Ma-bin Lo-mo amat aneh
sehingga mereka itu akhirnya pasti akan berhadapan dengan Iblis Muka Kuda yang berhati palsu ini! Kalau
mereka kini menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Setan Botak membantu mereka, tentu Ma-bin Lo-mo akan
dirobohkan, akan tetapi mereka pun akan diserang oleh Gak Liat yang mempunyai banyak kawan perwiraperwira
Mancu.
Si Setan Botak Gak Liat yang tadinya merasa khawatir sekali melihat munculnya Siauw-lim Chit-kiam, kini
tertawa bergelak melihat Ma-bin Lo-mo menyerang mereka. Ia maklum bahwa bukan sekali-kali hal itu
dijakukan oleh Si Muka Kuda karena memiliki rasa setia kawan terhadap dirinya. Sama sekali bukan. Ia tahu
bahwa Ma-bin Lo-mo menganggap bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu sebagai pesaing juga dalam
memperebutkan pusaka-pusaka Pulau Es! Maka ia tertawa bergelak dan berkata.
"Ha-ha-ha, Iblis Muka Kuda! Kiranya engkau cerdik juga. Pulau Es sudah tampak di depan mata, kalau kita
mati-matian saling gempur, akhirnya kita berdua roboh dan enak sekali bagi tikus-tikus Siauw-lim ini. Kita
menjadi seperti dua ekor anjing tua memperebutkan tulang dan akhirnya tikus-tikus ini yang akan mendapat
tulangnya. Ha-ha-ha!"
Mendengar ini, Siauw-lim Chit-kiam tercengang dan jantung mereka berdebar. Pulau Es sudah di depan mata?
Benarkah Pulau Es sudah dekat dengan pulau kosong ini? Ada pun Ma-bin Lo-mo juga bersiap-siap. Kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
tadi ia menyerang Siauw-lim Chit-kiam, bukan sekali-kali ia hendak menolong Gak Liat. Ia melihat Gak Liat
sudah terluka sehingga kini pasti ia akan dapat mengalahkan Setan Botak itu.
Ia tahu bahwa setelah ia mengalahkan Setan Botak, tentu tenaganya tinggal sedikit karena lelah dan Siauw-lim
Chit-kiam ini bukanlah lawan yang empuk. Dan ia pun tahu bahwa mereka bertujuh ini tentu akan
mendahuluinya mengambil pusaka-pusaka Pulau Es kalau tidak dapat ia binasakan bersama dengan Setan
Botak. Kini ia meragu dan bersikap hati-hati karena kalau sampai Setan Botak dapat membujuk mereka ini
menghadapinya, ia akan celaka!
Pada saat itu, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang setelah mendengar disebutnya Pulau Es lalu mencari-cari
dengan pandang mata mereka. Tiba-tiba mereka itu melihat ke kiri dan menjadi bengong. Melihat keadaan
mereka ini, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi ikut pula menengok dan mereka pun terkejut dan melongo.
Apakah yang mereka lihat?
Kiranya para perwira yang jumlahnya tinggal dua puluh orang mengeroyok tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo
yang sudah terluka dan mulai kehabisan tenaga itu pun sekarang telah menghentikan pertempuran mereka.
Akan tetapi mereka itu bukan berhenti bertempur dalam keadaan sewajarnya. Mereka itu masih dalam sikap
bertanding, bahkan berhenti di tengah-tengah gerakan silat akan tetapi sudah menjadi kaku seperti berubah
menjadi arca-arca batu!
Tahulah orang-orang sakti yang memandang heran bahwa dua puluh orang Mancu dan tiga orang pembantu
Ma-bin Lo-mo itu dalam keadaan kaku karena tertotok jalan darah mereka! Kalau dua puluh orang perwira
Mancu itu sampai menjadi kaku tertotok, hal ini tidaklah amat mengherankan benar. Akan tetapi tiga orang
pembantu Ma-bin Lo-mo adalah orang-orang berilmu tinggi, tidak mudah tertotok begitu saja. Dan hebatnya,
mereka itu, dua puluh tiga orang banyaknya, tertotok dalam waktu yang serentak, padahal mereka itu sedang
bergerak-gerak cepat dalam pertandingan mati-matian. Manusia mana yang sanggup melakukan totokan
seperti itu?
Kenyataan inilah yang membuat mereka makin terbelalak memandang ketika tampak seorang kakek yang
bertubuh tegap tinggi muncul di pantai. Sebuah perahu nelayan kecil tampak di belakangnya dan kini kakek ini
melangkah perlahan-lahan menuju ke tempat mereka. Kakek itu tidak dapat dilihat mukanya karena tertutup
oleh sebuah caping nelayan yang amat lebar. Hanya dapat dilihat betapa pakaiannya amat sederhana,
pakaian seorang nelayan miskin. Biar pun kini dia sudah melangkah makin dekat, sembilan orang sakti itu
tetap tidak dapat melihat mukanya yang terus terlindungi caping lebar. Langkahnya perlahan dan sikapnya
amat tenang, namun kehadirannya ini membuat seorang sakti dan ganas macam Kang-thouw-kwi dan Ma-bin
Lo-mo sekali pun menjadi bergidik.
Siauw-lim Chit-kiam juga tidak mengenal kakek nelayan ini. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini yang penuh
dengan ketenangan, wibawa yang seolah-olah tergetar keluar dari sikap kakek ini mengingatkan mereka akan
guru mereka, Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Oleh karena itu mereka segera tunduk dan maklum
bahwa mereka bertemu dengan seorang sakti yang menyembunyikan diri. Dipelopori oleh Song Kai Sin, tujuh
orang gagah ini menekuk lutut kanan memberi hormat dan berkatalah Song Kai Sin.
"Teecu bertujuh Siauw-lim Chit-kiam menghaturkan hormat kepada Locianpwe dan mohon maaf apa bila teecu
sekalian mengganggu tempat kediaman Locianpwe tanpa disengaja. Mohon Locianpwe memperkenalkan diri."
Kakek nelayan itu tetap menyembunyikan mukanya di balik caping lebar dan terdengarlah suaranya yang
halus dan penuh getaran kesabaran dan welas asih, "Chit-wi-sicu datang di pulau kosong milik alam, aku
nelayan tua mana bisa mempunyai pulau ini? Jauh-jauh menempuh bahaya mencari apa? Lebih baik pulang
melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi dunia dan manusia."
Sementara itu, hati Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi menjadi khawatir menyaksikan keadaan kakek ini.
Sikap kakek ini jelas membayangkan bahwa kakek ini pasti akan berpihak kepada Siauw-lim Chit-kiam, karena
itu mereka pikir lebih baik turun tangan lebih dulu selagi kakek ini tidak memperhatikan. Seperti telah
bermufakat terlebih dahulu, kedua orang sakti ini tiba-tiba saja menyerang dari kanan kiri. Setan Botak
melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dari arah kanan kakek itu sedangkan dalam detik yang sama, Ma-bin
Lo-mo menyerang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari kiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw-lim Chit-kiam terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak sempat lagi berbuat apa-apa. Selain itu,
menghadapi dua pukulan dahsyat ini, mereka dapat berbuat apakah? Akan tetapi kakek itu dengan sikap
tenang sekali mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri.
“Dessss...! Desssss...!”
Dorongan kedua orang kakek sakti dari kanan kiri itu bertemu dengan lengan kakek nelayan yang
dikembangkan. Tenaga mukjizat yang tak tampak bertumbuk di udara dan akibatnya hebat sekali. Kakek
nelayan masih berdiri tenang dan kini sudah menurunkan kembali kedua lengannya yang dikembangkan,
bahkan lalu bersedakap, tetapi Setan Botak dan Iblis Muka Kuda jatuh terduduk. Muka Setan Botak menjadi
merah sekali dan kepalanya mengepulkan asap, sedangkan Iblis Muka Kuda menjadi pucat kebiruan mukanya
dan tubuhnya menggigil, keduanya cepat bersila mengerahkan sinkang masing-masing untuk memulihkan
getaran yang membuat mereka hampir tidak dapat bertahan itu karena tenaga sakti mereka tadi membalik dan
menyerang diri mereka sendiri.
Kakek nelayan itu bersenandung, suaranya lirih namun jelas terdengar, "Tenaga Im dan Yang adalah hebat
sekali dan Ji-wi telah dapat menguasainya. Sayang, tenaga murni sehebat itu bukan dipergunakan untuk
menyebar kebaikan, melainkan untuk memupuk keburukan, sungguh sayang karena akibatnya akan menimpa
diri sendiri...”
Setan Botak dan Iblis Muka Kuda itu terbelalak dan mulut mereka berseru kaget, “Koai-lojin...!!”
Pada saat itu, Siauw-lim Chit-kiam yang melihat betapa dua orang kakek iblis itu menyerang Si kakek nelayan
sudah siap dengan pedang mereka dan kini melihat kesempatan baik, tujuh sinar pedang menyambar ke arah
Setan Botak yang jatuhnya lebih dekat dengan mereka. Kejadian ini amat cepatnya sehingga Kang-thouw-kwi
Gak Liat sendiri hanya terbelalak, tak kuasa menghindarkan diri karena dia sendiri masih lemah oleh getaran
yang diakibatkan tangkisan kakek nelayan. Ia maklum bahwa nyawanya berada di ujung rambut, maka ia
hanya mengeluh dan memandang terbelalak.
Mendadak kakek nelayan itu mengibaskan lengan kanannya ke depan, telapak tangannya mendorong ke arah
sinar pedang dan...
“Tranngggg...!!” Tujuh batang pedang itu runtuh semua di atas tanah dan tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai
itu meloncat ke belakang dengan muka pucat.
Kembali kakek itu bersenandung, suaranya tetap halus dan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang
penting. "Tujuh pedang lihai takkan ada gunanya kalau titik sasarannya terpencar, jika titik sasaran dipusatkan,
alangkah akan kuatnya..."
Tujuh orang pendekar pedang itu terkejut dan menjadi girang sekali karena mereka mendapat petunjuk yang
menjadi rahasia kekuatan ilmu pedang mereka dan yang tak pernah mereka pikirkan, maka mereka cepat
mengambil pedang masing-masing dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek nelayan ini yang mereka
ketahui adalah Koai-lojin, manusia dewa yang pernah mereka dengar disebut-sebut suhu mereka namun yang
tak pernah mereka jumpai itu.
"Hendaknya Cu-wi sekalian kembali ke tempat asal masing-masing. Tiada gunanya memperebutkan pusaka
karena pusaka yang diperebutkan melalui cucuran darah orang lain hanya akan mendatangkan kutuk. Mencari
sesuatu harus dengan cucuran keringat sendiri, bukan dengan cucuran darah orang lain. Dan kalau tidak
berjodoh, takkan mendapat. Hendaknya segera Cu-wi meninggalkan tempat berbahaya ini dan kiranya
kepandaian Cu-wi sudah lebih dari cukup untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan manusia.”
Dia berpaling ke arah Ma-bin Lo-mo dan berkata, “Siangkoan-sicu kehilangan perahu, boleh menggunakan
perahu nelayanku yang berada di sana itu. Nah, selamat berlayar."
Kakek nelayan itu sudah duduk bersila di atas tanah. Kiranya di bawah capingnya yang lebar itu terdapat tirai
sutera hitam yang menyembunyikan mukanya, akan tetapi dari balik tirai sutera hitam itu tampak sepasang
mata yang mengeluarkan cahaya lembut namun penuh wibawa sehingga mereka yang berada di situ tidak
berani membantah lagi, termasuk Gak Liat dan Siangkoan Lee yang biasanya ganas seperti iblis.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gak Liat bersungut-sungut dan mengumpulkan sisa para perwira Mancu yang kini tiba-tiba dapat bergerak
kembali, yang menandakan bahwa totokan itu memang dilakukan dengan sengaja menghentikan gerakan
mereka untuk beberapa menit saja. Akan tetapi buyarlah harapan Gak Liat yang diam-diam masih hendak
mencari Pulau Es ketika secara aneh sekali semua teropong yang berada di situ telah lenyap.
Mereka berbondong-bondong kembali ke perahu sambil membawa mayat teman-teman mereka, dan betapa
heran dan mendongkol hati Gak Liat ketika mendapat kenyataan bahwa teropong-teropong yang disimpan di
perahu juga lenyap semua. Terpaksa mereka melayarkan perahu dan mencari-cari secara ngawur saja, namun
akhirnya tidak berhasil juga, dan karena daerah itu banyak diserang badai, mereka akhirnya pergi ke selatan.
Demikian pula dengan Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Dengan perahu nelayan kecil mereka tidak
berani mengambil resiko diserang badai, maka mereka juga berlayar kembali ke selatan. Siauw-lim Chit-kiam
meninggalkan pulau itu dan mereka langsung berlayar kembali ke selatan. Di waktu semua orang
meninggalkan pulau, terdengar lapat-lapat suara nyanyian kakek nelayan:
Yang tidak ingin itu cukup dan puas
Yang ingin itu kurang dan kecewa...!
Yang tidak mencari akan mendapat
Yang mencari akan sia-sia...!
Yang ada tidak dimanfaatkan
Yang tidak ada dicari-cari...!
Tak lama kemudian, setelah tiga buah perahu itu mulai mengecil dan hanya tampak sebagai titik hitam di kaki
langit, tampak kakek nelayan ini meninggalkan pulau. Dilihat dari jauh, dia seolah-olah melayang di atas air
dengan jubah berkibar-kibar tertiup angin. Akan tetapi andai kata ada yang dapat melihat dari dekat, akan
tampaklah betapa kakek nelayan yang aneh ini sesungguhnya berdiri di atas dua batang bambu dan bambu itu
meluncur cepat ke depan karena jubah kakek itu tertiup angin dan sengaja dikembangkan sehingga menjadi
pengganti layar!
********************
"Han-ko...! Sadarlah! Engkau sudah tiga hari tiga malam di situ!" Lulu berteriak sambil berdiri bertolak pinggang
di pondok taman, memandang kepada Han Han yang duduk bersila tanpa sepatu di atas batu es. Sebagian
tubuh dan di atas kepala Han Han penuh dengan salju membeku. Di belakangnya beruang es sedang
menggaruk-garuk salju yang menutup air, agaknya dia mencium ikan di bawah situ.
Lulu kini bukanlah Lulu enam tahun yang lalu. Ketika datang ke pulau itu terbawa perahu bersama Han Han,
usianya baru sembilan tahun. Kini dia telah menjadi seorang gadis remaja berusia lima belas tahun, berwajah
cantik dengan sepasang mata lebar dan indah. Tubuhnya ramping kecil namun singset dan padat,
membayangkan tenaga sakti yang amat kuat.
Ada pun Han Han yang duduk bersila itu pun bukan kanak-kanak lagi sekarang. Dia kini telah berusia delapan
belas tahun, telah menjadi seorang jejaka remaja yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap, dadanya
bidang dan pinggangnya kecil. Tubuhnya kelihatan kuat sekali dan bibirnya selalu tersenyum, akan tetapi
matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan jarang ada orang akan dapat bertahan bertemu pandang dengan
pemuda luar biasa itu.
Dia sedang melatih diri dan kini Han Han yang tekun berlatih menghimpun Im-kang selama enam tahun itu
telah memperoleh kemajuan yang amat menakjubkan. Tenaga sinkang yang ia kerahkan menjadi Im-kang
amat dahsyat sehingga sekali dorong dengan kekuatan Im-kang, ia dapat membuat air membeku seketika
menjadi gumpalan es yang besar! Dan kalau dia sedang melatih diri, dia sengaja duduk di luar, membiarkan
dirinya diserang hujan salju dan ia bertelanjang kaki. Namun hawa dingin tidak lagi mengganggunya karena
dengan tenaga sinkang ia telah membuat tubuhnya lebih dingin dari pada yang di luar dirinya, sehingga
tubuhnya seolah-olah berubah menjadi es dan salju yang melekat pada tubuhnya sampai membeku!
"Koko! Terlalu sekali kau! Masa aku kau diamkan sampai tiga hari tiga malam? Benar-benar kakak yang tidak
menyayang adik!" Lulu membanting-banting kaki kanannya dengan jengkel!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mendengar ucapan adiknya ini karena dia masih tenggelam ke dalam
semedhi. Alisnya berkerut, wajahnya berseri dan bibirnya yang tersenyum itu membayangkan senyum yang
mengejek. Dalam keadaan terlelap itu timbul bayangan-bayangan yang menyenangkan hatinya, yaitu betapa
dengan amat mudahnya ia menangkap para perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuanya, dan
membawa mereka itu ke pulau ini, kemudian melaksanakan pembalasannya dengan memuaskan sekali.
Ia memikirkan dan mencari-cari cara yang paling mengerikan, paling kejam dan paling menyakitkan untuk
membunuh musuh-musuhnya itu sedikit demikian sedikit, untuk menyiksa mereka dengan siksaan-siksaan
yang mengalahkan siksaan di dalam neraka seperti yang pernah ia baca dalam kitab-kitab. Dan ia telah
mencurahkan segala perhatiannya kepada cara-cara penyiksaan ini ketika ia mulai siulian, tepat seperti cara
mencurahkan perhatian dalam semedhi seperti yang pernah diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li kepadanya.
Tidaklah mengherankan apa bila wajahnya kini mengandung sinar yang kejam karena pemuda ini tanpa
disadari telah melatih diri dengan ilmu yang amat sesat.
"Han-ko... Han-ko... tolong... Paman Beruang diserang ular...!”
Kalau Lulu hanya mengomel dan marah-marah, kiranya Han Han takkan dapat sadar dari keadaan
semedhinya. Akan tetapi mendengar adiknya yang dicintanya itu menjerit minta tolong, seketika ia sadar dan
membuka matanya. Setelah pikirannya yang tadi sedang membayangkan siksaan yang paling kejam terhadap
musuh-musuhnya sudah mulai terang, ia menoleh.
Dilihatnya Lulu sedang menarik seekor ular dari leher beruang yang terkapar di atas salju sambil berkelojotan.
Dia merasa heran sekali mengapa beruang es yang selain bertenaga besar, juga kebal kulitnya dan dapat
bergerak sigap itu kini terkapar hanya oleh gigitan seekor ular merah darah yang entah bagaimana tadi
menggigit leher beruang dan membelit leher itu.
Pada waktu itu, Lulu telah menjadi seorang gadis remaja yang memiliki kepandaian tinggi. Dengan pengerahan
sinkang, ia dapat merenggut tubuh ular itu terlepas dari tubuh beruang. Ular merah itu tiba-tiba melejit
sehingga terlepaslah pegangan tangan Lulu karena ular itu licin dan tenaganya ketika melejit besar sekali. Ular
merah yang panjangnya ada semeter dan besarnya hanya seibu jari kaki itu kini meluncur dari bawah dan
menyerang ke arah leher Lulu!
Namun gadis ini sudah menyambar dengan tangannya dan dengan gerakan manis dan tepat sekali jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya sudah menangkap dan menjepit leher ular itu. Ia mengangkat tinggitinggi
tangannya, dua buah jarinya yang kecil itu seperti sepasang sumpit menjepit, dan ular itu tidak dapat
melepaskan dirinya lagi, hanya dapat meronta-ronta dan mulai melibat tangan Lulu yang menjadi jijik dan geli.
Ketika merasa betapa tubuh ular yang licin dan panas itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangannya, bulu
tengkuk Lulu berdiri dan ia sudah siap mencengkeram kepala ular dan diremas hancur dengan tangan kiri.
"Tunggu, Moi-moi. Jangan bunuh dulu!" tiba-tiba Han Han meloncat dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah
berada di depan Lulu. Gerakan Han Han benar-benar luar biasa cepatnya dan ginkang yang tidak lumrah
manusia biasa ini pun ia dapatkan dari hasil latihan-latihannya yang menyeleweng.
"Mau apa kau? Enak-enak saja siulian dan setelah ular jahat ini kutangkap, tidak boleh kubunuh!" Lulu
mengomel.
"Jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak bagi ular keparat itu kalau dibunuh begitu saja. Lihat apa yang telah
ia lakukan. Lihat Paman Beruang itu!" Han Han menunjuk ke bawah.
Lulu menengok ke arah beruang dan gadis ini mengeluarkan jerit. Han Han cepat menyambar ular itu dan ia
pegang pada lehernya. Dengan mudah ia melepaskan belitan tubuh ular dari tangan Lulu dan gadis ini pun
tidak mempedulikan lagi kepada ular itu, melainkan cepat menubruk tubuh beruang sambil memekik-mekik
memanggil.
"Paman Beruang... Paman...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi beruang es itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan karena mukanya yarig putih menjadi
biru sedangkan kulit pada telapak keempat kakinya ada totol-totol merah.
Sampai lama Lulu menangisi beruang yang mati itu. Kemudian baru Lulu teringat mengapa Han Han tidak ikut
menangisi beruang yang mati. Ketika ia menengok, ia melihat Han Han berdiri di bawah pohon yang tidak
berdaun, entah sedang melakukan apa, hanya tampak olehnya asap mengebul seolah-olah kakaknya itu
sedang membakar sesuatu.
"Apa yang kau lakukan itu, Koko?" Lulu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kakaknya. Ketika melihat apa
yang dilakukan Han Han, gadis ini memandang dengan mata terbelalak.
Ternyata Han Han telah mengikat leher dan ekor ular itu dengan akar halus dan menggantung binatang itu di
pohon, kemudian menggunakan sebatang ranting kering yang bernyala untuk membakar ular itu sedikit demi
sedikit! Ular itu menggeliat-geliat kepanasan akan tetapi Han Han tidak membakarnya terus melainkan
menyentuh-nyentuh tubuh ular dengan api, menyiksanya dengan kejam sekali, seolah-olah merasa puas dan
gembira menyaksikan betapa ular itu menggeliat-geliat dan berkelojotan. Andai kata ular itu dapat bersuara,
tentu sudah melolong karena kesakitan.
"Han-ko, kenapa tidak kau bunuh saja dia?”
"Ha-ha, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, Lulu. Biar dia rasakan hukumannya dan dalam penderitaan
sakit ini biar dia sadar akan dosanya telah membunuh Paman Beruang. Lihat dia menggeliat-geliat
berkelojotan! Setelah dia cukup tersiksa, akan kuambil darahnya untuk kita minum!"
"Ihhh, jijik! Aku tidak mau!"
"Mengapa, Lulu? Ingat, ular ini kulitnya berwarna merah, dan gigitannya amat berbisa. Aku pernah membaca
kitab yang menyatakan bahwa makin berbisa seekor ular, makin lezat dan makin banyak khasiat darah dan
dagingnya. Selain untuk menikmati darahnya dan dagingnya, juga kalau kita makan dia, berarti kita
membalaskan sakit hati Paman Beruang! Apakah kau tidak ingin membalas dendam kematian paman,
Beruang?"
"Tentu saja! Biar kuhancurkan kepalanya!"
"Eiiiiit, jangan! Dia harus dihukum dan kalau dibunuh sekarang, darahnya akan membeku. Darahnya akan
kuambil dan kita minum, kemudian dagingnya kita bakar dan kita makan. Biar arwah Paman Beruang
melihatnya dan menjadi puas. Kepalanya kita kubur bersama mayat Paman Beruang." Berkata demikian, sinar
mata Han Han bercahaya penuh kepuasan.
"Koko, kau tidak menengok... dia...?" Lulu menuding ke arah tubuh beruang yang sudah menjadi mayat.
"Perlu apa? Dia sudah mati. Dia bukan Paman Beruang lagi, dia adalah bangkai yang akan kita kubur nanti.
Nah, kau lihat, aku akan mengambil darah ular keparat ini."
Setelah berkata demikian, Han Han mengambil sebuah cawan dari dalam rumah, kemudian dengan kekuatan
tangannya ia merobek kulit dan daging di bagian ekor ular itu. Binatang ini berkelojotan dan darah yang merah
sekali mulai menetes-netes keluar yang segera ditadahi Han Han ke dalam cawan. Makin deras darah
menetes, makin keras tubuh ular menggeliat dan makin berseri wajah Han Han. Lebih setengah jam darah itu
bertetesan sampai setengah cawan, kemudian tubuh ular itu makin lemah menggeliat dan akhirnya hanya
bergerak-gerak lemas, darahnya tidak menetes lagi. Han Han membawa cawan darah itu ke dekat mayat
beruang di mana Lulu berlutut sambil membelai bulu beruang dengan penuh kesedihan.
"Lulu, mari kita minum darah ini di depan mayat Paman Beruang sebagai tanda pembalasan terhadap ular."
Setelah berkata demikian, Han Han minum sebagian besar darah ular itu dari cawan, kemudian menyerahkan
cawan dengan sisa darahnya kepada Lulu.
Lulu menerima cawan itu, mukanya berkerut dan menyeringai. "Ihhh, aku... jijik..., Koko!”
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lulu," kata Han Han sambil menjilat sedikit darah ular di bibirnya dengan lidahnya. "Rasanya manis dan enak
pula. Apakah kau tidak mau menyenangkan arwah Paman Beruang? Dia saat ini mungkin sedang menggereng
marah melihat ketidak-setiaanmu."
Lulu bergidik dan memandang ke kanan kiri seolah-olah mencari arwah itu, kemudian ia menengok ke arah
bangkai beruang itu. Beruang itu mati dengan mata terbuka, dan kebetulan sekali muka beruang itu
menghadapnya. Dalam pandangan Lulu, seolah-olah mata beruang yang sudah mati itu mendelik marah
kepadanya! Kembali ia bergidik, kemudian sambil meramkan matanya ia minum darah ular itu sampai habis.
Memang benar ada rasa manis, akan tetapi baunya amis dan ia harus menahan diri dengan meraba leher agar
jangan muntah.
"Koko... badanku... menjadi panas...!"
"Bagus! Itu tandanya bahwa darah ular ini benar-benar besar khasiatnya, Lulu. Nah, sekarang kau bantu aku
memanggang daging ular. Kita makan di depan mayat Paman Beruang sebagai upacara sembahyang,
kemudian kita kubur mayat Paman Beruang bersama kepala ular yang tadi menggigitnya, agar di akherat
Paman Beruang dapat mengejek dan menyiksa ular yang hanya tinggal kepalanya saja."
Ular itu sudah mati dan karenanya Lulu tidak jijik lagi. Han Han menguliti ular itu setelah memenggal kepalanya
yang ia putar dan patahkan begitu saja dengan jari-jari tangannya yang kuat. Kepala ular itu ia taruh ke dalam
telapak kaki depan beruang, kemudian Lulu memanggang daging ular yang putih kemerahan itu. ‘Upacara’
makan daging panggang ular itu lebih menyenangkan bagi Lulu, karena ternyata bahwa daging itu benar-benar
gurih dan sedap lezat sehingga sebentar saja habislah daging ular sepanjang satu meter itu!
Setelah itu mereka lalu menggali lubang sampai tampak tanah dan terus menggali sedalam satu meter lebih,
kemudian mengubur mayat beruang bersama kepala ular. Lulu menangis terisak-isak ketika mereka menguruk
lubang itu. Teringat kepada beruang yang selama enam tahun menjadi kawan bermain dan kawan berlatih silat,
Lulu menjadi berduka sekali dan terus menangis di atas gundukan salju yang menjadi kuburan beruang.
Han Han membiarkan adiknya menangis. Dia lalu pergi mencari batu untuk dijadikan batu nisan kuburan
beruang es. Ia mendapatkan sebuah batu lonjong yang terpendam setengahnya dalam salju. Dengan
tenaganya yang besar ia mencabut batu ini dan heranlah ia melihat betapa di bagian tengah dan bawah batu
itu terdapat ukir-ukiran huruf. Cepat ia membersihkan batu itu dari tanah dan salju, kemudian membaca hurufhuruf
terukir itu.
Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu
membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah,
memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di bawahnya menjadi istana
ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan
Pulau Es?
Demikianlah bunyi tulisan itu dan jantung Han Han berdebar. Penulis itu bernama Suma Hoat? Teringatlah ia
akan patung yang dipuja di In-kok-san, yang menurut cerita Ma-bin Lo-mo dan Kim Cu adalah sucouw mereka
bernama Suma Kiat! Dan menurut cerita itu selanjutnya, Ma-bin Lo-mo mempunyai seorang suheng yang
menjadi perantau, yang ilmu kepandaiannya tinggi sekali, yaitu putera tunggal sucouw itu dan bernama Suma
Hoat! Kalau begitu, suheng dari Ma-bin Lo-mo itukah penghuni Pulau Es? Patung pria yang tampan itu adakah
itu Suma Hoat? Akan tetapi coretan, huruf terukir di batu ini amat jauh bedanya dengan tulisan-tulisan di
dinding istana yang amat indah. Coretan ini huruf-hurufnya buruk dan kasar. Disebut pula tentang ular salju
merah. Apakah ular yang telah membunuh beruang?
Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan lagi. Semua yang ada hubungannya dengan In-kok-san tidak
menarik hatinya, apa lagi kalau ia teringat betapa ia terancam hukuman potong kaki oleh perguruan itu.
Membaca tulisan Suma Hoat itu mengingatkan dia bahwa sampai kini pun tetap ia terancam bahaya hukuman
itu. Cepat ia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan beruang, dengan ukiran huruf-huruf itu
ia taruh di bawah agar tidak tampak!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ditaruhnya batu nisan di depan kuburan ini membuat tangis Lulu makin keras sampai gadis ini tersedu-sedu.
Han Han memeluknya, kemudian setengah memaksanya bangkit berdiri dan menuntunnya ke dalam pondok di
taman.
"Sudahlah, Adikku. Untuk apa ditangisi lagi? Biar engkau menangis air mata darah sekali pun, Paman Beruang
tidak akan dapat hidup kembali. Ketahuilah bahwa kini mungkin dia sedang enak-enak mengganyang kepala
ular yang membunuhnya.!"
Akan tetapi hiburan ini tidak menghentikan tangis Lulu yang karena kematian beruang jadi teringat akan
kematian orang tuanya. Gadis itu terisak-isak menangis sambil bersandar di dada Han Han. Akhirnya pemuda
itu mendiamkannya saja dan tiupan angin laut membuat gadis yang berduka itu akhirnya tertidur di dalam
pelukannya. Han Han merasa tubuhnya panas dan aneh sekali, seolah-olah ada ribuan ekor semut di balik
kulit tubuhnya merayap-rayap. Angin bersilir sejuk dan akhirnya ia pun tertidur sambil duduk di lantai pondok
yang terbuat dari pada marmer, dengan Lulu masih bersandar di dadanya.
Mereka berdua tertidur seperti orang mabuk, tidur nyenyak sehingga tidak tahu betapa malam telah tiba.
Malam bulan purnama dan cahaya bulan menerobos masuk ke dalam pondok yang tidak berdinding itu. Hawa
udara pun amat dinginnya. Namun aneh sekali, kedua orang muda itu berpeluh!
"Han-ko... ah, Han-ko..."
Han Han membuka matanya, jantungnya berdenyut-denyut tidak karuan. Tubuhnya panas dan telinganya
mendengar suara terngiang-ngiang. Suara panggilan Lulu seperti mengambang di atas lautan suara mengiang
itu. Ia melihat wajah Lulu dekat sekali di atas dadanya, wajah yang cantik jelita, bersinar-sinar keemasan
tertimpa sinar bulan. Sepasang mata yang lebar dan indah itu kini seperti berlinang air, memandang
kepadanya dengan aneh. Cuping hidung yang kecil itu kembang-kempis, seolah-olah sukar bernapas dan
mulut yang kecil itu pun terbuka, membantu pernapasan hidung. Ada apakah dengan Lulu? Dan apa yang
terjadi pada dirinya? Ia merasa panas sekali!
“Lulu...!”
"Han-koko...!" Suara gadis itu seperti mengerang lirih.
Muka mereka berdekatan, pandang mata mereka melekat dan ada dorongan aneh yang membuat Han Han
menundukkan mukanya, menyentuh dahi adiknya dengan hidung. Belaian seperti ini tidaklah aneh bagi
mereka. Sudah sering kali kalau menghibur adiknya, ia mencium dahi atau pipi Lulu. Akan tetapi begitu
hidungnya menyentuh dahi adiknya, jantungnya berdebar keras sekali, napasnya sesak. Ia seperti mencium
bau harum yang selamanya tak pernah ia alami, dan ia terus mencium, bahkan kini dengan bibirnya, dengan
mulutnya! Gilakah dia?
Han Han masih sadar akan hal yang tidak semestinya ini, dan dia menjadi makin kaget ketika merasa betapa
Lulu juga membalas menciumnya, tidak seperti biasa, melainkan ciuman yang penuh nafsu panas sehingga
akhirnya mulut mereka bertemu dalam ciuman mesra. Akan tetapi keduanya seperti terkejut dan keduanya
merenggut muka masing-masing, saling pandang dengan mata terbelalak dan malu, kemudian Han Han
melepaskan pelukannya, pura-pura tidak sadar akan apa yang baru saja terjadi.
“Aku... aku... panas sekali...,” dengan suara terputus-putus Han Han berkata lirih untuk menutupi hal yang baru
saja terjadi.
"Aku pun... begitu... Koko...," Lulu juga bicara dengan bingung sambil berusaha mengelakkan pandang mata
mereka agar jangan bertemu.
Han Han yang merasa betapa tubuhnya menjadi panas dan tidak karuan rasanya, menekan ketegangan yang
ditimbulkan oleh ciuman tidak semestinya tadi dengan tertawa aneh. "Heh mungkin racun ular hemmm, tidak
tertahankan panasnya, lebih baik kubuka bajuku!"
Karena dia sudah biasa dalam latihannya membuka baju atasnya di depan Lulu, maka ia sekarang membuka
bajunya dengan maksud agar keadaan perasaannya biasa kembali. Akan tetapi kini pandang mata Lulu
dunia-kangouw.blogspot.com
menatap setiap gerakannya, dan mata yang lebar itu memandangnya penuh kemesraan, memandang tubuh
atasnya yang telanjang itu dengan pandang mata luar biasa.
"Lulu! Kau kenapa?" Han Han membentak karena pandang mata itu seperti menembus dadanya dan
mendatangkan rangsang yang lebih hebat lagi. Ia sengaja membentak marah untuk menutupi perasaannya.
Lulu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Pipi gadis itu menjadi merah seperti dibakar dan pandang
matanya seperti orang mabuk. "Entahlah... aku... pun merasa panas sekali, tak tertahankan, Koko..." Gadis itu
seperti dalam keadaan tidak sadar membuka kancing bajunya bagian atas sehingga tampaklah pakaian
dalamnya yang tipis.
Han Han meramkan matanya dan meloncat bangun. Ia mengerahkan seluruh sinkang-nya untuk melawan
perasaan panas ini, akan tetapi hasilnya malah membuat tubuhnya makin panas, lalu berubah dingin, dan
seluruh tubuh seperti dimasuki gelembung-gelembung tenaga mukjizat yang membuat ia merasa seperti
sebuah bola karena penuh angin. Ia mengeluh dan terhuyung-huyung.