Cersil Modern : Pendekar Super Sakti 4 Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Cersil Modern : Pendekar Super Sakti 4
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Jeritan melengking yang keluar dari mulut Lulu ini langsung keluar dari hatinya, maka mengandung getaran
hebat. Ceng San Hwesio bersama sute-nya dan tiga orang muridnya yang telah siap menerjang maju
membinasakan Han Han tergetar oleh jeritan ini. Mereka adalah hwesio-hwesio yang berilmu, hwesio-hwesio
yang mengutamakan kebajikan yang penuh dengan welas asih dan cinta kasih terhadap sesama hidup.
Mereka sama sekali bukanlah orang-orang kejam, bahkan mereka telah berhasil mengusir jauh-jauh nafsu
kebencian. Kalau mereka hendak turun tangan membunuh Han Han, hal ini dilakukan dengan perasaan demi
menjaga keutuhan dan kelangsungan Siauw-lim-pai yang terancam kedudukannya. Kini mendengar lengking
itu, hati mereka tertusuk dan sejenak mereka berdiri melongo memandang Han Han yang berdiri dengan muka
beringas dan darah mengalir dari pundak, hidung dan ujung bibirnya.
Pada detik-detik yang sunyi itu terdengarlah suara halus yang seolah-olah terbawa asap dupa yang mengepul
keluar dari balik daun pintu tertutup sebelah kiri, suara yang penuh getaran pula.
"Siancai..., hidupnya belum terisi, mengapa ingin mati? Aduhai, sebentar lagi tubuh itu terbujur di dalam tanah,
busuk menjijikkan, tanpa kesadaran, tidak ada gunanya seperti kayu habis dimakan api...! Omitohud... Ceng
San..., apa yang hendak kau lakukan di luar? Ke sinilah segera!"
Begitu mendengar suara ini, lima orang hwesio yang mengurung Han Han itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut
dengan muka menghadap daun pintu tertutup, dari mana mengepul ke luar asap dupa harum itu. Kemudian
Ceng San Hwesio lalu melompat sambil berlutut dan tubuhnya yang masih berlutut itu melayang ke arah daun
pintu. Tangan kanannya mendorong daun pintu hingga terbuka, dan tubuhnya terus meluncur masuk ketika
daun pintu itu mulai menutup kembali.
Han Han memandang penuh kagum. Mengertilah ia bahwa kepandaiannya masih amat jauh ketinggalan kalau
dibandingkan dengan hwesio-hwesio tokoh Siauw-lim-pai ini. la maklum bahwa biar pun Ceng San Hwesio
sudah pergi, namun tetap saja ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari maut kalau ia melawan Ceng To
Hwesio, apa lagi jika hwesio sakti ini dibantu oleh tiga orang muridnya. Maka ia lalu menggandeng tangan Lulu
dan berlarilah Han Han menuju ke pintu yang tadi dimasuki Ceng San Hwesio.
"Hei, berhenti kau...!” Ceng To Hwesio membentak.
Ketika Han Han tidak mempedulikannya, Ceng To Hwesio mengirim pukulan jarak jauh dari belakang. Kembali
Han Han mendengar suara bercuit dari belakang dan ia maklum bahwa ia dipukul dengan hawa sakti yang
amat kuat. Maka ia cepat menarik tubuh Lulu agar berlindung di belakang, kemudian ia membalik sambil
menggerakkan tangan menangkis. Namun tetap saja tubuhnya terlempar bersama tubuh Lulu, menabrak
dinding akan tetapi malah dekat dengan pintu itu yang cepat ia buka sambiI melompat masuk dan menarik
tangan adiknya. Kepalanya pening sekali, napasnya sesak dan kemarahannya makin memuncak.
"Koko, kita ke mana ?" tanya Lulu terengah-engah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Biarlah... akan kucari Ceng San Hwesio... kalau perlu aku mati bersama dia! Aku akan mengadu nyawa
dengan ketua Siauw-lim-pai..., mati di tangannya tidak penasaran.”
"Koko...!" Lulu menjadi pucat, akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa Ceng To Hwesio dan tiga
orang muridnya tidak berani mengejar, bahkan sudah berlutut lagi menghadapi pintu, hatinya menjadi lega.
Memang tidak seorang pun hwesio Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya, berani memasuki kamar-kamar yang
daun pintunya berjajar di ruangan luas sebelah belakang kuil ini. Itulah kamar-kamar yang disebut ‘ruangan
penyiksaan diri’ dan merupakan tempat terlarang bagi para hwesio lainnya. Kalau tadi tidak medengar suara
supek-nya memanggil, Ceng San Hwesio sendiri tidak akan berani memasuki kamar melalui daun pintu itu.
lnilah sebabnya mengapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar Han Han dan Lulu
yang memasuki kamar terlarang ini.
Dengan alis berkerut dan wajah masih beringas, darah masih menetes-netes dari hidung dan mulut sebagai
akibat gempuran pukulan terakhir Ceng To Hwesio tadi, mata masih berkunang dan kepala berdenyut-denyut,
Han Han memasuki lorong yang menembus pintu tadi, dipegang lengannya oleh Lulu yang memandangnya
penuh kekhawatiran. Han Han seperti terbetot asap dupa harum karena kakinya bergerak melangkah maju
menempuh asap dupa dan menghampiri kamar dari mana dupa itu mengepul ke luar.
Ia melangkah ke ambang pintu kamar itu dan berdiri tertegun sambil memegangi pundaknya yang terasa perih
karena darahnya keluar lagi ketika terbanting tadi. Seperti terpesona, Han Han memandang ke dalam kamar
sedangkan Lulu yang juga memandang ke dalam kamar dan melihat tiga orang hwesio di kamar itu, kemudian
memandang kakaknya dengan hati gelisah. Dengan sinar matanya ia seolah-olah hendak melarang kakaknya
turun tangan, karena betapa mungkin kakaknya melawan tiga orang hwesio tua itu?
Ternyata Han Han tidak turun tangan, bahkan berdiri seperti arca, terpesona oleh pemandangan dan
pendengaran di dalam itu. Di atas sebuah dipan bambu sederhana duduk seorang hwesio yang amat tua,
begitu tua dan kurusnya seperti rangka terbungkus kulit. Kepalanya gundul halus mengeluarkan sinar. Alis,
kumis dan jenggotnya seperti menjadi satu berjuntai ke bawah berwarna putih. Mukanya tunduk dan matanya
terpejam, tubuhnya terbungkus kain kuning yang kasar dan tangan kanannya memegang sebuah kipas daun.
Hwesio ini duduk bersila dan di sebelah kirinya, di dekat kaki dipan, duduk bersila sambil menundukkan muka
pula seorang hwesio lain yang keningnya selalu berkerut, mulutnya cemberut dan matanya terpejam. Hwesio
ini pun sudah tua sekali, dan agaknya dialah yang melayani segala keperluan hwesio tua di atas dipan.
Sebuah pedupaan berada di dekat hwesio pelayan ini dan agaknya dia pula yang membakar dupa bubuk di
pedupaan itu. Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai tampak duduk berlutut di depan hwesio tua renta itu
dengan sikap penuh hormat. Kamar itu sendiri kosong dan buruk tua, tidak ada hiasan apa-apa kecuali dipan
itu dan sebuah meja kayu di mana terdapat sebuah guci air.
Terdengar oleh Han Han suara yang halus seperti suara yang tadi keluar dari daun pintu bersama asap dupa.
Sungguh pun bibir kakek tua itu tidak bergerak, namun ia dapat menduga bahwa itulah suara hwesio tua yang
bersila diatas dipan.
"Jangan menilai perbuatan orang lain yang tidak patut mau pun dosa-dosa dan kejahatan orang lain,
melainkan perbuatan dan penyelewengan diri sendirilah yang harus selalu diperhatikan. Harum semerbaknya
bunga-bunga tagara, malika dan kayu cendana tak dapat tersebar melawan arahnya angin, akan tetapi harum
semerbaknya nama baik seseorang bahkan sampai tersebar melawan arahnya angin. Sama seperti
dionggokan sampah kotor tumbuh bunga teratai yang bersih dan indah, demikian pula seorang murid Buddha
tetap bijaksana seperti teratai di antara orang-orang sesat. Wahai, Ceng San, apakah engkau sudah
melupakan semua pelajaran itu?"
Han Han terpesona, tak berani bergerak dan tak berani berkedip, memandang kakek tua itu dan
mendengarkan kata-katanya. Ia pernah membaca kata-kata yang keluar dari dalam mulut kakek itu, mengenal
kata-kata itu dari kitab-kitab Agama Buddha yang pernah dibacanya. Akan tetapi entah bagaimana dia sendiri
tidak mengerti, mendengar kata-kata bersajak itu keluar dengan suara getaran aneh dari tubuh hwesio ini,
terasa dingin sejuk dan sekaligus membuka mata batinnya, membuatnya terpesona dan ingin mendengarkan
terus.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Teecu selalu ingat akan semua pelajaran dan tidak pernah melupakannya. Akan tetapi, Supek, urusan yang
melanda Siauw-lim-pai ini adalah urusan besar sekali. Teecu bukan bertindak berdasarkan dendam kebencian
melainkan karena ingin menjaga nama besar Siauw-lim-pai. Siauw-lim-pai yang didirikan ratusan tahun yang
lalu oleh Couwsu kita, kalau tidak dijaga dan dipertahankan, bukankah hal itu merupakan dosa besar terhadap
Couwsu? Siauw-lim-pai diadu domba dengan Hoa-san-pai, murid-murid pilihan Siauw-lim-pai telah dibunuh
orang. Kini pembunuhnya muncul pula di kuil kita dan membunuh lagi murid-murid Siauw-lim-pai, bahkan
mengajak datang seorang gadis Mancu mengotori kuil kita. Mohon petunjuk, Supek. Apakah teecu bersikap
dungu kalau teecu hendak membasmi manusia sesat dan keji itu dari permukaan bumi agar perbuatanperbuatannya
tidak menimbulkan mala petaka yang lebih hebat lagi? Tidak benarkah perbuatan teecu seperti
itu?"
Terdengar suara halus itu keluar dari balik jenggot tanpa pergerakan bibir dan kini suara itu mengeluarkan
nyanyian halus yang ternyata adalah ayat-ayat kitab suci dari Agama Buddha yang pernah pula dibaca Han
Han:
Si dungu dengan perbuatannya
mencipta diri sendiri
menjadi musuh banyak manusia
di mana pun dia melakukan kejahatan
yang menimbulkan banyak penderitaan.
Tidak benarlah perbuatan
yang menimbulkan duka nestapa
penyesalan, ratap tangis dan air mata.
Benarlah perbuatan
yang mendatangkan manfaat
kegembiraan dan kebahagiaan.
Biar pun ucapan itu ditujukan kepada Ceng San Hwesio, namun secara aneh sekali meresap ke dalam
sanubari Han Han dan pemuda ini merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada dirinya sehingga
menimbulkan pertanyaan di hatinya, apakah selama ini perbuatannya itu benar? Ia mengangapnya benar,
akan tetapi melihat akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya, setelah mendengar ucapan kakek itu, ia
menjadi ragu-ragu.
Betapa banyaknya kekacauan dan keributan timbul sebagai akibat perbuatan-perbuatannya itu! Siapakah yang
untung, gembira dan bahagia oleh perbuatannya? Tidak ada! Siapa yang rugi? Yang jelas saja, Hoa-san-pai
memusuhinya karena dia telah membunuh beberapa orang anak muridnya, kini Siauw-lim-pai juga
memusuhinya, belum lagi diingat Sin Lian yang begitu baik kepadanya kini menjadi sakit hati dan
membencinya!
Dengan hati perih seperti ditusuk pedang dan perasaan penuh keharuan, Han Han lalu menjatuhkan diri
berlutut dan menghadap ke arah kakek di atas dipan itu sambil berkata.
"Aduh, Locianpwe yang mulia..., boanpwe Sie Han merasa menyesal sekali atas segala kejahatan yang
boanpwe lakukan..., mohon Locianpwe segera turun tangan menghukum..."
Lulu juga ikut berlutut, bukan untuk menghormat kakek itu, melainkan untuk merangkul pundak kakaknya
dengan penuh kekhawatiran. "Koko, mengapa begini? Kita tidak bersalah apa-apa, engkau tidak melakukan
kejahatan. Mari kita pergi saja, Koko..., kalau mereka tidak sudi mendengarkan penjelasanmu, mari kita pergi
saja!" Suara Lulu terdengar begitu menyedihkan dan sepasang mata yang lebar itu mengucurkan air mata.
"Diamlah, Lulu, diamlah.... Biarkan Kakakmu mendengarkan wejangan Locianpwe yang mulia ini, dan kau juga
perlu mendengarkan, Lulu...," kata Han Han tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah kakek tua renta
yang masih menunduk.
Sementara itu, tanpa mempedulikan kehadiran Han Han dan Lulu, Ceng San Hwesio berkata pula dengan
suara penasaran, "Mohon maaf, Supek. Kalau Supek menganggap bahwa keputusan teecu untuk membunuh
pemuda jahat itu tidak benar, habis bagaimanakah teecu harus berbuat menurut pendapat Supek? Teecu
mengambil keputuan berdasarkan pertimbangan yang masak dan adil. Pertama, bocah ini adalah murid Gak
dunia-kangouw.blogspot.com
Liat dan mengingat betapa Gak Liat telah merusak hidup cucu murid teecu sendiri, Bi-kiam Bhok Khim, maka
berarti bahwa muridnya ini pun bukan manusia baik-baik...”
Tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding tebal di sebelah kanan jebol dan berlubang besar, kemudian
muncullah seorang wanita dari dalam lubang itu, seorang wanita yang memondong seorang anak laki-laki
berusia kurang lebih enam tahun. Keadaan wanita itu sungguh mengerikan. Pakaiannya hitam compangcamping,
rambutnya panjang riap-riapan sampai ke pinggul, wajahnya yang masih jelas membayangkan
kecantikan itu kotor dan menyeramkan sekali karena pandang matanya berkilat dan mulutnya tersenyum
mengejek. Anak laki-laki itu tampan dan mukanya putih, juga memakai pakaian hitam yang tidak karuan
bentuknya, kakinya telanjang dan rambutnya pun panjang.
"Hi-hi-hik! Biar gurunya jahat, muridnya mungkin baik. Biar gurunya baik, banyak sekali muridnya yang jahat.
Kang-thouw-kwi adalah setan neraka jahanam, akan tetapi bocah ini tidak jahat. Sama sekali tidak.... Dahulu
dia inilah yang berani menentang setan itu untuk menolongku."
Sementara itu, Ceng San Hwesio memandang wanita itu dengan mata terbelalak, dan setelah wanita itu
mengeluarkan kata-kata tadi, barulah ketua Siauw-lim-pai ini agaknya dapat menekan kekagetannya dan
berkata, "Bhok Khim...! Kau... kau... dan anak itu..."
Wanita itu membalikkan tubuhnya menghadapi ketua Siauw-lim-pai yang masih berlutut, wajahnya berseri
aneh ketika ia berkata, "Hi-hi-hik, Sukong, engkau heran melihat anak ini? Dia ini anakku! Hi-hik, engkau ketua
Siauw-lim-pai pun tidak tahu bahwa di dalam kamar penyiksa diri aku melahirkan anakku ini. Hi-hik! Selama ini
Siauw-lim-pai tidak mampu membasmi Kang-thouw-kwi, biarlah aku sendiri yang akan membunuhnya." Sambil
berkata demikian, tubuhnya membalik dan berkelebat cepat sekali pergi dari ruangan itu.
"Supek, apakah artinya itu? Mengapa Bhok Khim menjadi seperti itu...?” Ceng San Hwesio bertanya kepada
supek-nya.
Hwesio tua itu menarik napas panjang lalu terdengar suaranya, "Kehendak Thian tak dapat diubah oleh siapa
pun juga. Dia telah mencuri belajar ilmu yang pinceng berikan kepada Siauw Lam, dan keadaan jiwanya yang
tertekan membuat ia keliru mempelajari ilmu-ilmu itu. Dunia akan bertambah seorang tokoh yang akan
membikin geger. Ceng San muridku, orang muda ini seorang yang menderita, sama halnya dengan Bhok Khim
tadi. Betapa pun juga, pinceng tidak melihat dasar-dasar jahat. Menurut pinceng, sebaiknya membebaskan
orang muda ini, akan tetapi karena engkau yang menjadi ketua Siauw-lim-pai, keputusannya terserah
kepadamu. Nah, cukuplah pinceng bicara."
Ceng San Hwesio memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Mukanya agak keruh ketika ia berkata, "Mendengar
perintah Supek, bagaimana teecu berani membantahnya? Biarlah sesuai dengan perintah supek, teecu akan
membebaskan dia dan gadis Mancu itu untuk sekali ini. Akan tetapi, mengingat akan kematian para muridmurid,
teecu tidak mungkin dapat membebaskan dia untuk seterusnya dan lain kali dalam lain kesempatan,
tentu teecu akan memerintahkan untuk menangkap dan kalau perlu membunuh dia." Setelah berkata demikian,
kembali Ceng San Hwesio memberi hormat kepada supek-nya, lalu membalikkan tubuh keluar dari kamar itu
dengan wajah muram.
"Siancai..., siancai..., lahir dan batin memang selalu bertentangan, betapa mungkin disatukan? Siauw Lam,
tahukah engkau, apa yang harus dilakukan manusia yang hidup di tengah antara dua kekuatan raksasa lahir
dan batin?" Kakek itu bertanya tanpa menoleh kepada Siauw Lam Hwesio, yaitu hwesio pelayan yang masih
duduk bersila. Kini terdengar suaranya yang pertama kali, suara yang kasar dan serak seperti kaleng diseret.
"Karena sifatnya bertentangan, menyatukannya berarti menghentikan hidup karena justru keadaan hidup yang
membuat keduanya bertentangan. Yang seyogianya dilakukan manusia adalah menyesuaikan dan
menyelaraskan keduanya sehingga berimbang."
"Baik sekali pendapatmu, Siauw Lam. Eh, orang orang muda, engkau masih di sini? Apakah yang kau
kehendaki?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han yang sejak tadi masih berlutut, lalu menjawab, "Boanpwe yang banyak melakukan hal-hal yang
menimbulkan mala petaka bagi orang lain, boanpwe merasa bingung sekali dan mohon petunjuk Locianpwe
apa yang harus boanpwe lakukan selanjutnya dalam hidup yang penuh pertentangan ini."
Kini tubuh hwesio tua itu bergerak sedikit, mukanya diangkat menghadapi Han Han. Mata yang terpejam itu
bergerak-gerak, terbuka sedikit, menyipit, akan tetapi kagetlah Han Han ketika dari balik garis mata itu
menyambar keluar sinar mata yang lembut dan tenang sekali, setenang lautan yang luas. Sejenak mereka
saling pandang. Kalau sinar mata Han Han yang pada saat itu masih dikuasai kemarahan itu dapat di
umpamakan api bernyala-nyala, maka sinar mata kakek itu seperti air yang tenang dan dingin. Di dalam sinar
mata Han Han terdapat pengaruh mukjizat yang membawa isi pikirannya dengan tenaga batin yang luar biasa
kuatnya sehingga kakek itu merasa betapa dia dipaksa oleh tenaga gaib untuk memberi petunjuk kepada
orang muda itu. Kakek yang puluhan tahun lamanya mengasingkan diri dan bertapa ini, mengeluarkan suara
halus penuh kekaguman.
"Siancai... patut dikasihai orang muda yang malang. Pinceng hanya dapat memberi dua nasehat kepadamu.
Pertama ambillah pedang dan potonglah kaki kirimu. Dan kedua, belajarlah mengalah terhadap siapa pun juga.
Nah, pergilah orang muda."
Han Han masih berlutut, mukanya pucat dan matanya terbelalak, hampir ia tidak percaya akan ucapan kakek
itu.Tadinya ia amat terpesona dan terpengaruh oleh semua ucapan kakek itu, akan tetapi bagaimana kini
kakek itu memberi nasehat seperti ini kepadanya? Disuruh membuntungi kakinya sendiri! Kalau disuruh belajar
mengalah ia masih dapat menerimanya, akan tetapi disuruh membuntungi kaki sendiri?
"Eh, hwesio tua, kiranya engkau pun sama saja, sama jahatnya dengan yang lain-lain! Apakah semua orang di
sini sudah begitu palsu sehingga perlu menyembunyikan sifat jahat dan dengkinya di balik kepala gundul dan
pakaian pendeta? Hanya orang gila yang menasehati orang disuruh membuntungi kakinya, dan hanya orang
gila pula yang akan menuruti nasehat gila itu!" Lulu membentak dan kini bangkit berdiri, menarik tangan
kakaknya sehingga Han Han pun bangkit berdiri pula.
Akan tetapi kakek yang dimakinya itu telah bersemedhi pula dan sama sekali tidak terpengaruh, wajah yang
seperti tengkorak terbungkus kulit itu seperti telah mati. Hanya hwesio pelayan itu yang kini mengangkat muka
dan tiba-tiba matanya terbuka sambil berkata.
"Nona, memang dunia ini seperti panggung orang-orang gila bermain komidi, gila oleh nafsu mereka sendiri.
Harap kalian pergi dan jangan mengganggu kami.”
Lulu menjadi makin marah. Ia kaget melihat sinar mata hwesio pelayan itu seperti dua bola api menyerangnya,
akan tetapi gadis itu memiliki keberanian luar biasa kalau dia merasa benar. " Memang penuh orang-orang gila
dan kalian lebih gila dari pada orang-orang gila!” teriaknya. "Apa artinya hidup kalian ini? Apakah manfaatnya
bertapa mengasingkan diri di sini? Apa untungnya bagi dunia? Apa gunanya bagi manusia lain? Paling-paling
berguna dan bermanfaat bagi diri kalian sendiri. Phuhhh, berlagak suci dan....”
“Lulu, diam...!" Han Han terkejut sekali mendengar keberanian adiknya yang memaki-maki seorang hwesio tua
yang dijadikan junjungan oleh para murid Siauw-lim-pai. Ia sudah menarik tangan adiknya diajak berlari ke luar
dari kamar itu. Mereka berdua terus berlari ke luar melalui ruangan belakang, ke ruangan tengah kemudian
terus ke ruangan luar. Mereka melihat para hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi mereka semua seolah-olah tidak
melihat dua orang muda yang berlari ke luar itu. Yang membersihkan kuil tetap bekerja, yang membaca doa
tidak menghentikan tugas mereka, dan yang menjaga di luar pun seolah-olah tidak melihat mereka.
Han Han menggandeng tangan Lulu, berlari terus sampai jauh meninggalkan kuil. Setelah mereka memasuki
sebuah hutan, barulah Han Han melepaskan tangan Lulu, kemudian ia duduk bersila dan mengatur
pernapasan untuk memulihkan tenaganya dan menenangkan batinnya yang terguncang. Biar pun ia tidak
menderita luka parah, akan tetapi tubuhnya terasa sakit-sakit, sungguh pun rasa nyeri di tubuhnya tidak seperti
rasa perih dihatinya kalau ia terkenang akan ucapan-ucapan hwesio tua di dalam kamar penyiksa diri yang
seolah-olah membuka mata batinnya, betapa sepak terjangnya selama ini mendekati perbuatan sesat, betapa
mudahnya ia membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, membunuhi orang-orang gagah murid-murid Hoasan-
pai dan Siauw-lim-pai. Hatinya merasa menyesal sekali dan pikirannya menjadi bingung.....
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Sebuah negara betapa kecil pun, takkan mungkin dapat ditundukkan dan dijajah negara lain yang lebih besar
apa bila rakyatnya bersatu-padu dan berjiwa patriotik, memiliki rasa cinta kasih dan setia bakti kepada tanah
airnya. Sebaliknya, betapa pun besarnya negara itu, kalau rakyatnya tidak bersatu, dan banyak pula yang
berjiwa pengkhianat, negara besar ini mudah saja dijajah oleh negara yang jauh lebih kecil.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Tiongkok merupakan negara amat besar yang rakyatnya selalu
bertentangan sendiri satu kepada yang lain. Perang saudara tak pernah berhenti karena oknum-oknum yang
memperebutkan kedudukan. Apa bila ada negara asing yang datang menyerbu dan menjajah barulah bersatu,
melupakan permusuhan antara saudara sendiri dan bersama-sama menghadapi musuh asing.
Sayang sekali, begitu musuh asing dapat diusir keluar dari tanah air, pertentangan satu sama lain timbul
kembali, memecah-mecah kekuatan mereka sehingga memungkinkan masuknya kekuatan asing lain lagi ke
dalam negeri.
Ketika bangsa Mongol menyerbu Tiongkok, negara ini pun sedang dalam keadaan kacau dan rusak oleh
perang saudara sehingga menjadi lemah dan mudah saja ditaklukkan dan dijajah bangsa Mongol. Setelah
seluruh negeri dijajah bangsa Mongol, barulah rakyat bersatu-padu dan tentu saja rakyat yang luar biasa besar
jumlahnya itu tidak sukar merobohkan kekuasaan Mongol dan mengusir penjajah ini. Akan tetapi, begitu
penjajah Mongol terusir, timbul kembali perang saudara yang tak kunjung henti, susul-menyusul yang
melemahkan negara itu sendiri.
Karena perang saudara inilah maka kekuasaan Mancu mulai menyelundup memasuki Tiongkok. Dengan
dukungan para oknum penjilat yang tidak segan-segan menjual negara dan bangsa demi sekelumit
kesenangan duniawi bagi diri pribadi, cepat sekali bangsa Mancu menguasai Tiongkok. Cerita ini dimulai pada
tahun 1645 di mana tentara Mancu menyerbu ke selatan dan sekarang, delapan tahun kemudian, hampir
seluruh Tiongkok dikuasai bala tentara Mancu yang mempunyai kaisar baru, yaitu Kaisar Kang Hsi, kaisar ke
empat dari Kerajaaan Ceng-tiauw atau kerajaan bangsa itu.
Di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi inilah diadakan pembersihan secara besar-besaran terhadap para
pejuang yang mempertahankan tanah air menentang penjajah Mancu. Para pejuang melakukan perlawanan
mati-matian dan sebagai pusat perjuangan, atau sebagai pucuk pimpinan gerakan para pejuang ini bersumber
di Se-cwan di mana Bu Sam Ki menjadi raja muda yang tak pernah mau tunduk terhadap penjajah Mancu.
Seperti lajim dalan jaman perang seperti itu, golongan-golongan terpecah dua, juga golongan kaum kang-ouw.
Banyak di antara mereka yang terjun ke dalam perjuangan menentang kekuasaan Mancu, akan tetapi tidak
sedikit pula yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan, kemuliaan dan kemewahan
secara mudah, yaitu menjadi pembantu pemerintah Mancu dan menentang bangsa sendiri yang oleh pihak
mereka disebut pengacau dan pemberontak.
Tanpa disadari oleh manusia sendiri, kehidupan manusia semenjak masih kanak-kanak dan mulai memiliki
pengertian tentang perbedaan, tentang baik buruk, senang susah, rugi untung, enak tidak enak, sepenuhnya
dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi, nafsu mencari kesenangan duniawi
bagi diri pribadi. Namun, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat kebajikan, maka terjadilah perang di
dalam hati nurani manusia sendiri. Satu pihak merupakan dorongan nafsu yang mendorong manusia
memperebutkan kesenangan bagi diri pribadi, di lain pihak merupakan kesadaran manusiawi yang mencegah
manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak benar.
Maka lahirlah perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya merupakan hamba nafsu namun yang berkedok
kebenaran! Perbuatan yang dilakukan demi dorongan nafsu mementingan diri pribadi terhibur oleh anggapan
bahwa perbuatan itu demi kebenaran. Otak dan akal manusia tidak kekurangan bahan untuk mencari
‘kebenaran’ yang menopengi perbuatan menghamba nafsu ini. Ada saja alasan, yang diperaya pula oleh diri
sendiri, bahwa perbuatan ini adalah benar dan demi kebenaran! Dengan demikian, setiap perbuatan di dunia
ini selalu dianggap benar oleh si pembuat sendiri, dan terciptalah pertempuran-pertempuran dalam
memperebutkan kebenaran! Benarnya sendiri-sendiri! Benarnya masing-masing! Benar bagi diri sendiri yang
belum tentu benar bagi pihak lain. Dan terciptalah KEBENARAN NAFSU, yaitu bahwa apa saja yang
mendatangkan enak, senang dan untung bagi AKU, maka itu adalah BENAR!
dunia-kangouw.blogspot.com
Negara adalah wadah sekumpulan manusia yang dipimpin deh manusia pula, oleh karena itu, kebenaran nafsu
itu pun dianutnya. Bangsa Mancu yang menjajah itu pun menganggap mereka benar! Mudah saja! Negara
Tiongkok kacau-balau, perang saudara tiada hentinya, rakyat hidup sengsara, ditindas oleh raja-raja muda dan
oleh mereka yang berkuasa, terjadi hukum rimba! Kami, bangsa Mancu datang untuk membebaskan rakyat
dari pada jurang kesengsaraan, kami datang untuk berusaha mendatangkan kebahagiaan bagi rakyat. Karena
itu, serbuan bangsa Mancu ke selatan adalah benar pula!
Sungguh pun harus diakui bahwa akal budi membuat mereka mencari alasan yang cukup kuat dan memang
kenyataannya demikian, namun pada hakekatnya yang bersembunyi di balik semua itu adalah keuntungan!
Keuntungan yang didapat dalam penjajahan ini, yang sekaligus membuat bangsa Mancu memiliki negara yang
amat besar dengan penghasilan yang melimpah-limpah serta harta benda yang amat banyak.
Perasaan benar ini bukan dibuat-buat dan memang setulusnya mereka itu merasa dirinya benar. Nafsu-nafsu
telah menyelubungi kesadaran batin manusia, seperti mendung-mendung hitam tebal menyelubungi sinar
matahari. Kegelapan menyelimuti kesadaran sehingga mereka itu tidak sadar lagi bahwa mereka menjadi
permainan dan hamba-hamba nafsu. Banyak sekali orang yang menjadi korban seperti ini, menganggap
bahwa apa yang diperjuangkan itu benar dan suci sehingga rela dibela mati-matian.
Demikian pula di dalam Kerajaan Ceng. Banyak orang-orang gagah yang membela gerakan Mancu ini matimatian
karena merasa bahwa apa yang diperjuangkannya itu adalah demi kebenaran. Terutama sekali bagi
mereka yang menjadi anggota bangsa Mancu, tentu saja menganggap bahwa berjuang membasmi para
‘pemberontak’ adalah pekerjaan yang semulia-mulianya, pekerjaan orang-orang gagah yang patut dipuji.
Banyak sekali tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama membantu Kerajaan Ceng-tiauw ini karena mereka itu
menganggap bahwa bangsa Mancu yang gagah perkasa telah berhasil mendatangkan kemakmuran di
Tiongkok, meredakan perang saudara dan mereka ini mempunyai harapan besar bahwa pemerintah baru ini
benar-benar akan dapat mengangkat nasib rakyat jelata. Tentu saja ini hanya alasan mereka, karena banyak
sekali di antara mereka melihat ‘nasib baik’ mereka sendiri yang terutama sebagai landasan bantuan mereka.
Banyak pula datuk-datuk golongan hitam yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi membantu dan hal ini
adalah hasil kecerdikan Pangeran Dorgan yang memegang tampuk pimpinan sebagai pengganti Kaisar Abahai
karena putera kaisar itu masih sangat muda. Pangeran Dorgan memang cerdik sekali. Pandai mengambil hati
para orang pandai dan tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan biaya besar dalam usaha ini. Di antara tokoh
pandai yang terus merupakan pengawal-pengawal pilihan dan yang masih terus membantu setelah Kaisar
Kang Hsi naik tahta adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat yang merupakan jago yang diajukan oleh Pangeran
Ouwyang Cin Kok, seorang di antara para pangeran bangsa Han yang telah menghambakan diri kepada
Kerajaan Mancu.
Pada suatu hari, para tokoh yang menjadi pengawal-pengawal istana dan penasehat-penasehat mengenai
usaha Kerajaan Mancu membasmi para pemberontak mengadakan pertemuan atas undangan Pangeran
Ouwyang Cin Kok. Pangeran ini telah banyak jasanya terhadap Kerajaan Mancu, telah terbukti kesetiaannya
ketika berkali-kali pangeran ini dengan pengaruhnya yang besar dan para pembantunya yang pandai
menghancurkan golongan pemberontak.
Karena kepercayaan yang amat besar ini, Pangeran Dorgan pada beberapa tahun yang lalu menghadiahkan
seorang puteri Mancu kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok, bahkan setelah Kaisar Kang Hsi menduduki tahta
kerajaan, Pangeran Ouwyang Cin Kok yang kini telah dianggap ‘keluarga kaisar’ telah diangkat menjadi
panglima bagian keamanan yang bertugas melakukan operasi pembasmian terhadap para pemberontak. Dan
untuk merundingkan tugas inilah maka pada pagi hari ini Ouwyang Cin Kok mengundang semua pembantunya
dan pembantu para pembesar lain, termasuk pengawal-pengawal kaisar sendiri ke dalam istananya.
Dengan pakaian kebesaran sebagai seorang pangeran Kerajaan Ceng-tiauw, Pangeran Ouwyang Cin Kok
duduk di atas sebuah kursi yang terukir indah sekali. Pangeran ini usianya sudah enam puluh tahun, akan
tetapi masih tampak tampan dan ganteng. Tubuhnya tinggi besar mukanya merah, pakaiannya indah rapi dan
rambut serta jenggot kumisnya juga terpelihara baik-baik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di sebelah kirinya duduk seorang wanita Mancu yang cantik, bermata tajam lincah, usianya tiga puluh tahun
lebih, tubuhnya montok dan menggairahkan. Itulah puteri Kerajaan Mancu, puteri selir Pangeran Dorgan yang
diberikan sebagai hadiah kepada Ouwyang Cin Kok dan kini menjadi selir terkasih pangeran ini. Selir ini paling
dikasihi, bukan hanya karena cantik montok dan mudanya, melainkan juga terutama sekali karena selir ini
menjadi ‘lambang’ kekuasaannya, sebagai pangeran mantu Kerajaan Mancu! Dan untuk memperlihatkan
kedudukannya yang tinggi ini pulalah maka ketika menyambut datangnya tokoh-tokoh berilmu yang membantu
kerajaan baru, Ouwyang Cin Kok ditemani oleh sang selir.
Dengan dikipasi kebutan terbuat dari bulu-bulu indah burung dewata, dilayani oleh para pelayan wanita mudamuda
dan cantik-cantik, Ouwyang Cin Kok dan selirnya itu duduk menanti kunjungan para tokoh berilmu.
Berturut-turut mereka datang menghadap dan dipersilakan duduk di ruangan itu yang telah diatur untuk
menerima kunjungan mereka.
Yang pertama kali muncul adalah putera Sang Pangeran sendiri, Ouwyang Seng murid terkasih dari Kangthouw-
kwi Gak Liat, seorang pemuda tinggi tegap yang berwajah tampan berpakaian indah, pesolek dan amat
tinggi ilmu kepandaiannya karena dia telah mewarisi Hwi-yang Sin-ciang gurunya. Bersama pemuda ini datang
pula Nirahai yang segera disambut oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok dengan ramah, karena Nirahai adalah
puteri kaisar sendiri dari selir. Sebagai puteri kaisar, tentu saja Nirahai amat dihormati.
Puteri Nirahai segera berangkulan dengan selir Ouwyang Cin Kok karena selir Mancu itu masih terhitung
bibinya, sungguh pun bibi yang sudah jauh. Kemudian mereka berdua ini bercakap-cakap dengan asyiknya
yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas membasmi kaum pemberontak, melainkan
percakapan antara wanita yang sudah lama tidak bertemu.
Pangeran Ouwyang Cin Kok dan puteranya lalu sibuk menyambut para tokoh berilmu yang berdatangan.
Kang-thouw-kwi Gak Liat datang bersama tiga orang muridnya yang lain, yaitu Hiat-ciang Ma Su Nio yang
cantik dan genit, dan kedua kakak beradik Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Ketiga orang murid Setan Botak
ini merupakan tenaga-tenaga yang penting dan berjasa pula karena ilmu kepandaian mereka sudah amat
tinggi.
Selain empat orang ini, muncul pula beberapa panglima-panglima yang berpangkat tinggi, di antaranya adalah
dua orang perwira Mancu yang terkenal berjasa dan berpengaruh. Mereka ini adalah orang-orang Mancu asli.
Akan tetapi seperti juga kaisar, para panglima dan menteri yang berpangkat tinggi, mereka ini pun
menggunakan nama Han, dan berpakaian seperti pembesar-pembesar Han.
Seorang di antara mereka adalah seorang panglima tinggi besar gagah menyeramkan. Jenggotnya yang rapi
memenuhi mukanya dari rambut terus melalui pipi bersambung ke dagu. Panglima ini bernama Giam Cu,
nama baru. Ada pun panglima ke dua juga memakai she Giam, namanya Kok Ma. Giam Cu adalah panglima
golok besar, sedangkan Giam Kok Ma adalah panglima berkuda bertombak panjang. Keduanya memiliki
kepandaian tinggi dalam mengatur barisan, juga memiliki ilmu silat yang lihai.
Kemudian muncul pula dua orang tokoh kang-ouw yang namanya menggemparkan, yaitu kakak beradik she
Bhong. Mereka ini terkenal dengan julukan Tikus Kuburan, karena dahulu pekerjaan mereka adalah
membongkar-bongkar kuburan baru untuk mencuri perhiasan-perhiasan yang dipakai mayat-mayat yang
dikubur dan dalam hal membongkar kuburan, juga membongkar rumah, mereka adalah ahli-ahli yang sukar
dicari keduanya. Yang tua bernama Bhong Lek, mukanya kaya tikus, rambutnya panjang riap-riapan, kumisnya
jarang seperti kumis tikus, ada pun Bhong Poa Sik, adiknya, mempunyai ciri yang aneh pada kepalanya, yaitu
bagian ubun-ubun kepalanya ada tonjolan seperti telur besar.
Semua tamu dipersilakan duduk, kecuali seorang yang datang paling akhir. Orang itu biar pun dipersilakan
duduk, namun tetap berdiri, bahkan berdirinya aneh sekali, yaitu hanya dengan kaki kiri, sedangkan kaki
kanannya diangkat menempel pada lutut kiri, persis seperti seekor burung bangau berdiri di tengah sawah!
Hebatnya, orang ini pun mempunyai kepala yang bentuknya seperti kepala burung, bukan kepala burung yang
indah, melainkan kepala burung yang diberondoli bulunya sehingga kelihatan buruk, lucu dan juga mengerikan.
Lehernya panjang kecil, kepalanya kecil lonjong, kedua telinganya memakai anting-anting emas. Matanya agak
juling, mulutnya selalu menyeringai, tampak giginya yang panjang-panjang karena bibirnya cupet. Kumisnya
meruncing ke depan menyerupai paruh burung, kepalanya botak dan hanya ada beberapa helai rambut saja
dunia-kangouw.blogspot.com
menambah keburukannya. Tubuhnya kecil kurus, akan tetapi perutnya gendut seperti perut anak menderita
cacingan. Akan tetapi tangan kirinya memegang sebuah senjata yang menakutkan orang, bergagang panjang
yang melengkung seperti gendewa dan ujungnya dipasangi sabit yang amat tajam. Ia berdiri di sudut seperti
seekor burung mengintai katak, matanya yang juling tak berkedip-kedip, mulutnya yang menyeringai tidak
bergerak-gerak, seolah-olah dia telah berubah menjadi arca yang mati!
Hanya seorang yang aneh inilah yang agaknya tidak dikenal oleh sebagian besar mereka yang hadir. Yang
mengenalnya hanyalah Puteri Nirahai, Pangeran Ouwyang Cin Kok, dan selir pangeran itu. Bahkan Ouwyangkongcu
sendiri tidak mengenalnya dan pemuda ini memandang tokoh itu dengan penuh keheranan.
Melihat betapa para tamunya, termasuk puteranya, memandang ke arah manusia aneh itu dengan pandang
mata penuh keheranan dan pertanyaan, Pangeran Ouwyang Cin Kok tertawa dan memberi isyarat dengan
tangan agar para pelayan yang cantik-cantik dan sedang mengeluarkan hidangan dan arak itu mundur. Mereka
ini menyelesaikan tugas menghidangkan makanan dan minuman, kemudian mengundurkan diri dari ruangan
yang lebar itu.
“Cu-wi sekalian agaknya belum mengenal tokoh ini,” kata pangeran itu sambil memandang kepada manusia
berkepala seperti burung itu, “Padahal semenjak bangsa Mancu yang jaya bergerak ke selatan, hasil yang baik
dari gerakan itu sebagian mengandalkan kelihaian tokoh ini.”
Kang-thouw-kwi Gak Liat mengerutkan alisnya sambil memandang tokoh itu dengan pandang mata
merendahkan. Hatinya tidak senang mendengar betapa majikannya menyanjung-nyanjung nama orang lain.
Siapakah adanya tokoh yang jasanya lebih besar dari pada dia? Maka ia segera berkata sambil tertawa.
“Bangsa Mancu yang jaya adalah bangsa yang besar dan yang sudah ditakdirkan untuk menguasai seluruh
dunia, semua itu berkat jasanya rakyat seluruhnya, bukan jasa perorangan. Harap Paduka sudi
memperkenalkan hamba kepada orang gagah ini.”
“Ha-ha-ha, Gak-lo-sicu, apa yang Lo-sicu ucapkan sungguh tepat. Bukan maksud kami untuk menonjolkan
jasa seseorang dan mengurangi jasa lain orang, karena masing-masing memiliki jasanya sendiri-sendiri.
Losuhu ini adalah tokoh berasal dari Khitan yang amat terkenal, tetapi karena selalu menyembunyikan diri,
tidak mengherankan apa bila orangnya tidak dikenal, hanya namanya saja. Nirahai, keponakanku yang manis,
tolonglah engkau yang memperkenalkan Ciam-losuhu kepada para Lo-sicu yang hadir.”
Ucapan terakhir ini ia tujukan kepada Nirahai dengan suara yang halus dan ramah, sehingga dalam
kesempatan itu, Pangeran Ouwyang Cin Kok sekalian memperlihatkan kepada yang hadir bahwa dia adalah
sanak dekat kaisar dan berhak menyuruh seorang puteri kaisar begitu saja karena, bukankah puteri kaisar itu
terhitung keponakan selirnya.
Nirahai adalah seorang gadis yang selain memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah, juga memiliki
kecerdikan melebihi kebanyakan orang. Melihat sikap tuan rumah, ia tersenyum manis dengan hati penuh
maklum. Ia lalu bangkit berdiri, senyum menghias menambah gemilang wajahnya. Gerakan tubuhnya ketika
bangkit begitu lemah gemulai seperti seorang penari, sama sekali tidak membayangkan kesaktian seorang ahli
silat.
“Tidaklah terlalu mengherankan apa bila Gak-cianpwe dan saudara-saudara lainnya belum mengenal Si
Burung Hantu karena memang dia jarang sekali keluar di dunia ramai.”
“Apa? Sin-tiauw-kwi Ciam Tek?” Setan Botak Gak Liat berseru kaget, juga para panglima dan tokoh-tokoh
pengawal yang berada di situ terkejut sambil memandang kakek yang memegang senjata mengerikan itu.
Nama ini, terutama sekali julukan Sin-tiauw-kwi (Burung Rajawali Hantu) atau lebih terkenal lagi Si Burung
Hantu, terkenal sebagai tokoh dalam dongeng di Khitan! Maka begitu kini mereka diperkenalkan dengan
tokohnya, biar Gak Liat sendiri memandang dengan sinar mata tidak percaya.
Nirahai mengerti akan pandang mata mereka itu, maka ia tersenyum dan berkata, “Tentu cu-wi
menghubungkan nama julukan itu dengan burung hantu yang kabarnya dipelihara Kaisar Khitan di jaman
dahulu, bukan? Hendaknya diketahui bahwa memang Ciam-locianpwe ini adalah seorang tokoh Khitan. Cu-wi
dunia-kangouw.blogspot.com
tentu maklum bahwa Khitan menjadi sumbernya orang-orang pandai. Pendekar besar tanpa tanding Suling
Emas sendiri adalah suami seorang Ratu Khitan, dan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam adalah puteri
mereka! Di samping keluarga kaisar yang memiliki kesaktian luar biasa itu, banyak pula ponggawa dan
Panglima Khitan yang memiliki ilmu kepandaian hebat-hebat. Sin-tiauw-kwi Ciam Tek ini adalah satu-satunya
orang yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian peninggalan Hek-giam-lo (Raja Maut Hitam) yang amat
terkenal di jamannya Pendekar Suling Emas enam tujuh abad yang lalu. Karena Khitan dan Mancu bersekutu
dan berkeluarga, tentu saja semua tokoh Khitan membantu gerakan Mancu sekarang ini.”
Kang-thouw-kwi Gak Liat dan yang lain-lain mengangguk-angguk. Tentu saja mereka pernah mendengar
nama-nama besar yang disebutkan gadis itu. Gak Liat lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah Sin-tiauw-kwi
Ciam Tek sambil berkata dalam bahasa Khitan dengan lancar karena Si Botak ini paham hampir semua
bahasa daerah.
“Selamat berjumpa, Saudara Ciam Tek. Mudah-mudahan di antara kita akan terdapat kerja sama yang erat.”
Si Burung Hantu itu memandang Gak Liat dengan mata julingnya, lalu mengeluarkan suara seperti burung
mencicit akan tetapi hanya dapat dimengerti oleh Gak Liat karena hanya suaranya saja yang mencicit, namun
sesungguhnya merupakan kata-kata dalam bahasa selatan yang pelo dan menggelikan hati para
pendengarnya.
“Sudah lama aku mendengar nama Setan Botak, kiranya begini saja orangnya!” Setelah berkata demikian, Si
Burung Hantu berdiri diam lagi dengan satu kaki, acuh tak acuh! Gak Liat tidak menjadi marah, sudah biasa ia
menghadapi sikap dan watak aneh-aneh dari tokoh-tokoh besar, maka ia malah tertawa bergelak dan berkata.
“Ha-ha-ha, lain kali aku ingin sekali merasakan lihainya patukanmu dan cakaranmu, Burung Hantu!”
Pangeran Ouwyang Cin Kok tertawa pula. Biar pun dia sendiri bukan termasuk golongan kang-ouw, akan
tetapi sudah terlalu banyak pembesar ini mengenal tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw sehingga ucapan Gak
Liat yang seolah-olah menantang itu dianggapnya biasa saja dan tidak mengkhawatirkan.
“Cu-wi sekalian kami kumpulkan saat ini karena kami hendak membicarakan hal-hal yang amat penting. Berkat
bantuan-bantuan cu-wi sekalian, pemerintah kita dapat memperoleh kemajuan-kemajuan di selatan dan kini,
sungguh pun tak dapat dikatakan bahwa pihak pemberontak telah terbasmi semua, namun mereka itu sudah
kehilangan kekuatan dan hanya bergerak secara sembunyi-sembunyi dan dalam kelompok kecil atau malah
secara perorangan. Yang penting kita harus mencurahkan perhatian ke Se-cuan, karena Bu Sam Kwi
merupakan kekuatan terakhir yang merongrong kita. Bala tentara kita sudah menghimpit dan mengurung,
lambat-laun tentu pertahanannya dapat dijebolkan pula. Tugas kita yang terpenting sekarang adalah
mencegah agar sisa pemberontak di sini tidak mengadakan hubungan dengan Se-cuan agar kekuatan mereka
tetap terpecah-pecah. Usaha yang dilakukan Puteri Nirahai dan puteraku Ouwyang Seng untuk memecah
belah persatuan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, menemui kegagalan. Akan tetapi ada pula untungnya,
yaitu timbulnya ganjalan hati antara mereka sehingga tidak memungkinkan mereka itu akan bekerja sama.
Pula, kedua partai besar itu pun tidak melakuan perlawanan dan pemberontakan secara terang-terangan.”
“Akan tetapi, mengapa tidak kita gempur saja Se-cuan sampai hancur? Setelah kita dapat menguasai seluruh
daratan, mengapa wilayah sebesar Se-cuan saja tidak dapat segera dikalahkan? Berilah hamba lima laksa
prajurit berkuda, akan hamba hancur lumatkan Bu Sam Kwi dan seluruh anak buahnya!” Panglima brewok
tinggi besar berkata dengan sikap gagah.
“Betul apa yang dikatakan oleh Giam-ciangkun,” kata Bhok Lek orang pertama dari kakak beradik Tikus
Kuburan. “Kabarnya benteng Se-cuan amat kuat, akan tetapi kalau benteng itu dikurung dan hamba berdua
dibantu tenaga-tenaga ahli melakukan penyusupan ke dalam dengan menggali terowongan, akan mudah
menghancurkan pertahanan mereka!”
“Tidak begitu mudah,” bantah Puteri Nirahai. “Saya mendengar bahwa di sana banyak terdapat orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi.”
“Hemmm, kalau ada jago di pihak musuh, serahkan saja kepada hamba. Hamba sanggup menghadapi lawan
yang bagaimana lihai pun!” Setan Botak Gak Liat menyombong sambil tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ouwyang Cin Kok mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat agar semua orang yang sedang ributribut
mengemukakan pendapat bulat untuk menyerang Se-cuan itu tenang, kemudian sambil tersenyum ia
berkata.
“Tidak dapat kita membawa kehendak sendiri dan bertindak sesuka hati. Setiap gerakan kita harus disesuaikan
dengan taktik dari Hongsiang (Kaisar). Dengarlah baik-baik, cu-wi sekalian, agar tahu apa yang menjadi siasat
negara untuk menghadapi Bu Sam Kwi pada saat ini di Secuan.”
Semua orang mendengarkan penuh perhatian, termasuk Nirahai. Biar pun dia ini puteri selir kaisar sendiri,
namun tentang urusan politik ia tidak sepaham dengan pangeran yang menjadi penasehat kaisar ini.
“Kalau kita ingin berhasil menangkap semua ikan di kolam, kita harus mengacaukan air dan mengejar ikanikan
itu dengan membiarkan sebagian tempat itu tetap tenang sehingga semua ikan akan melarikan diri
sembunyi di bagian air yang tak terganggu itu. Baru setelah semua ikan berkumpul di tempat kecil itu, kita
tutup jalan ke luar dan kita sergap di tempat kecil itu sehingga tak ada ikan yang dapat lolos. Demikian pula
dengan para pemberontak yang tersebar di empat penjuru. Kita harus kejar-kejar mereka, melakukan operasioperasi
pembersihan dengan teliti sehingga para pemberontak itu kehilangan tempat bersembunyi dan
terpaksa mereka akan bersembunyi semua ke Se-cuan. Hal ini lebih mudah bagi kita dari pada kalau kita
hancurkan Se-cuan sehingga para pemberontak itu melarikan diri tersebar di mana-mana sehingga sukar
untuk ditumpas karena daerah Tiongkok luas sekali. Inilah sebab pertama mengapa kita tidak boleh memukul
Se-cuan pada sekarang ini.”
Semua orang yang mendengarkan mengangguk-angguk, kagum akan siasat ini, siasat menggiring ikan-ikan
supaya berkumpul di suatu tempat.
“Ada pun sebab kedua adalah karena Kaisar dengan secara bijaksana memutuskan bahwa rakyat sudah
terlalu lama menderita akibat perang, karena itu sementara ini tidak perlu lagi mengadakan perang karena Secuan
tidak begitu penting artinya bagi kita. Sekarang rakyat perlu ditenangkan hatinya dengan pembangunanpembangunan,
bukan dengan perang baru yang akan membikin rakyat mendapat kesan buruk terhadap
pemerintah baru. Tidak perlu dengan kekerasan, cukup dengan dikepung dan dimatikan jalan hubungan
mereka ke timur, mereka di Se-cuan akan hidup serba kekurangan dan sengsara, akhirnya akan menjadi
lemah dan kalah tanpa diserang.”
Kembali Gak Liat menjadi kagum. Dalam soal taktik perang dan siasat pemerintahan tentu saja dia tidak
mengerti apa-apa.
“Sekarang sebab ketiga yang timbul dari kebijaksanaan Kaisar,” terdengar pula suara Ouwyang Cin Kok.
“Pemerintah baru menghadapi tugas membangun negara dan menciptakan suasana adil makmur bagi rakyat
jelata, mendatangkan kehidupan damai dan tenteram sehingga dengan demikian tidak sia-sialah bangsa
Mancu yang jaya telah mengorbankan banyak nyawa untuk mengusir raja-raja lalim dari bumi Tiongkok. Untuk
pekerjaan pembangunan yang amat besar itu, kita amat membutuhkan bantuan tenaga-tenaga orang pandai.
Harus diakui bahwa di antara para pemberontak banyak terdapat orang-orang pandai. Sungguh amat sayang
kalau mereka itu dibunuh demikian saja. Karena ini pula, bentrokan perang dengan Se-cuan harus diundurkan
agar kita mendapat banyak waktu untuk menarik orang-orang pandai itu agar membantu kita. Untuk keperluan
itulah Kaisar menyediakan biaya yang amat besar, kemungkinan-kemungkinan pangkat bagi mereka, dan di
samping itu tentu saja mengandalkan kepandaian cu-wi untuk menundukkan mereka. Makin banyak orang
pandai membantu Kerajaan Ceng, makin baik. Mengertikah cu-wi sekarang mengapa kita tidak diperbolehkan
menyerbu Se-cuan secara kasar?”
Semua orang mengangguk, bahkan dari mulut Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terdengar suaranya yang pelo memuji,
“Hebat siasat ini! Hidup Kaisar!”
Biar pun pelo, namun ucapannya itu membangkitkan semangat semua orang dan terdengarlah seruan mereka,
“Hidup Kaisar!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang datuk hitam yang tidak bercita-cita untuk negara mau pun untuk
kaisar, melainkan untuk diri sendiri. Karena itu, di dalam hatinya mana ada kesetiaan terhadap pemerintah
Mancu? Namun dia seorang cerdik dan tidak mau ketinggalan pula ia ikut mengucapkan kata-kata itu.
“Biar pun kita tidak menyerbu Se-cuan, akan tetapi untuk keperluan menarik orang-orang pandai ke pihak kita
dan mencegah mereka berhubungan dengan Se-cuan, maka pekerjaan kita bukanlah ringan. Kita harus dapat
menguasai seluruh dunia kang-ouw, dapat mengetahui keadaannya dan hal ini kami serahkan ke dalam
pimpinan keponakanku Puteri Nirahai yang sudah cu-wi ketahui akan kecerdikannya dan juga akan
kepandaiannya yang tinggi.”
Kembali Si Burung Hantu mengangguk, lalu berkata polos, “Puteri Nirahai mewarisi kepandaian Puteri Mutiara
Hitam, dia hebat...”
Juga Gak Liat mengangguk berkata, “Aku sudah mengetahui kelihaian Puteri Nirahai.”
Gadis cantik itu mengelilingkan pandang matanya dan girang bahwa tidak ada yang menentang
pengangkatannya sebagai pimpinan. Siapakah yang berani menentang? Selain dia memiliki ilmu kepandaian
tinggi, juga amat pandai bersiasat, cerdik dan banyak akal, juga dia adalah puteri kaisar sendiri!
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi kepadaku yang muda. Tentu saja aku tidak dapat bekerja sendiri dan
mengandalkan bantuan dari cu-wi sekalian, baru tugas kita akan dapat berhasil baik. Di dunia kang-ouw ini
banyak terdapat tokoh-tokoh besar yang belum membantu kita. Di antara mereka itu adalah Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee.”
“Hemmm, Si Muka Kuda itu sejak dahulu menentang Kerajaan Ceng-tiauw!” kata Gak Liat sambil
mengeluarkan suara menghina.
“Itulah sebabnya mengapa kita harus berdaya upaya agar dia tertarik kepada kita dan suka membantu, Gaklocianpwe.
Karena kalau dia sudah mau membantu, tentu para muridnya yang kudengar ada banyak sekali
yang pandai, akan suka menjadi sekutu kita pula. Kita harus menyelidiki ke In-kok-san di Pegunungan Taihang-
san yang dijadikan pusat perguruannya. Bahkan aku mendengar bahwa Si Nenek sakti Toat-beng Ciusian-
li juga berada di sana.”
“Iblis betina itu berbahaya sekali, akan tetapi agaknya akan lebih mudah dibujuk untuk bekerja sama. Dia tidak
sesukar dan sekokoh Ma-bin Lo-mo pendiriannya. Biarlah persoalan mereka itu serahkan saja kepadaku, aku
akan berusaha mendekati mereka.”
Puteri Nirahai berseri wajahnya dan ia menjura ke arah Gak Liat. “Terima kasih banyak. Bantuan Gaklocianpwe
dalam hal ini benar-benar amat kami harapkan.”
Gadis itu lalu mengerutkan keningnya dan berkata, “Ada sebuah hal lagi yang amat memusingkan dan
membutuhkan perhatian. Menurut hasil penyelidikan para mata-mataku yang kusebar di mana-mana, sekarang
aku telah mendapatkan keterangan jelas tentang sebab-sebab kegagalan siasatku mengadu domba antara
Siauw-lim-pai dan keterangan itu amat mengejutkan dengan munculnya seorang tokoh muda yang luar biasa
sekali.”
“Hemmm, siapakah dia dan apa yang telah dia lakukan?” Ouwyang Seng bertanya dengan hati tak senang
mendengar betapa gadis yang dicinta dan dipujanya ini agaknya merasa kagum terhadap seorang ‘tokoh
muda’.
“Siasatku gagal karena pemuda aneh itu,” kata Nirahai. “Ketika dua peti berisi jenazah dua orang tokoh Siauwlim-
pai yang dikawal Pek-eng-piauwkiok itu dihadang oleh murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah kuberi kabar
secara diam-diam dan bentrokan hebat antara murid-murid kedua partai sudah hampir terjadi, tiba-tiba muncul
orang muda itu bersama adik perempuannya, kemudian menggagalkan bentrokan itu dengan mengalihkan
permusuhan kepada dirinya sendiri!”
“Eh, apakah maksudmu, Adik Nirahai?” Ouwyang-kongcu bertanya heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pemuda itu yang mengira bahwa murid Siauw-lim-pai hendak merampok, sekali turun tangan membunuh
tujuh murid Siauw-lim-pai. Kemudian, ketika mengetahui kekeliruannya, ia turun tangan pula membunuh muridmurid
Hoa-san-pai!”
“Ihhh, hebat sekali!” Gak Liat berseru. Bagi datuk hitam ini, setiap perbuatan kejam amat mengagumkan
hatinya, makin kejam makin tinggi dalam penilaiannya.
“Kemudian pemuda itu bahkan mendatangi Pek-eng-piauwkiok, dan di sana dia mengamuk, mengalahkan
tokoh-tokoh Hoa-san-pai.”
“Luar biasa...!” Bhong Poa Sik, si Tikus Kuburan Kecil berseru kaget.
“Kemudian, tahukah cu-wi apa yang ia lakukan? Ia pun mendatangi Siauw-lim-si dan di sana mengamuk,
membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai pula, merobohkan banyak yang lain dan dapat keluar lagi dari
Siauw-lim-si dengan selamat.”
“Sukar dipercaya!” kini Gak Liat berseru. Kakek ini maklum akan keadaan kuil Siauw-lim-si, maklum pula akan
lihainya tokoh-tokoh di situ. Sedangkan dia sendiri tentu akan berpikir sepuluh kali sebelum berani menyerbu
seorang diri ke Siauw-lim-si!
“Memang sukar dipercaya, akan tetapi para penyelidikku adalah orang-orang yang berpengalaman puluhan
tahun dan keterangan mereka selalu boleh dipercaya. Keadaan pemuda itu amat mengherankan. Selain
ilmunya yang tinggi luar biasa dan keadaannya yang seperti tidak normal, juga dia mempunyai adik seorang
gadis Mancu.”
“Ah, kalau begitu dia Sie Han...!” Gak Liat berseru. “Kalau dia sudah berkepandaian begitu aneh dan tinggi
sehingga berani mengacau Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, tentu dia telah berhasil menemukan Pulau Es!”
Mendengar ucapan ini, semua tokoh yang berada di situ menjadi terkejut dan tertarik sekali. Disebutnya Pulau
Es tentu saja menarik perhatian semua orang karena semenjak bala tentara Mancu menguasai daratan
Tiongkok, pemerintah baru ini pun selalu berusaha untuk menemukan pulau itu dan mendapatkan pusaka yang
berada di sana. Bahkan usaha pencarian ini dipimpin Gak Liat sendiri.
“Aiiih, kalau benar-benar dia menjadi pewaris pusaka di Pulau Es, tentu dia memiliki ilmu yang hebat dan orang
seperti itu patut kita tarik untuk membantu kita,” kata Puteri Nirahai. “Atau kalau tidak mungkin dia membantu
kita, dia akan merupakan lawan yang berbahaya dan perlu dibinasakan. Terutama sekali gadis Mancu itu
harus diselamatkan dan diselidiki, puteri siapakah dia dan mengapa sampai bisa menjadi adik pemuda yang
bernama Sie Han itu.”
“Jangan khawatir, hamba akan dapat membujuknya. Setidaknya dia pernah ikut dengan hamba dan dengan
bantuan Ouwyang-kongcu, hamba tentu akan dapat menyelamatkan pula puteri Mancu itu,” kata Gak Liat.
Dia menawarkan diri ini sebetulnya adalah dengan mengandung niat yang lain. Begitu mendengar bahwa Han
Han telah muncul, ia ingin sekali menemui pemuda itu dan kalau perlu hendak memaksa pemuda itu
menyerahkan pusaka-pusaka Pulau Es, atau kalau mungkin mengantarkannya ke Pulau Es!
Puteri Nirahai mengangguk-angguk. “Mendengar pelaporan yang kuterima, memang pemuda itu mencurigakan
dan lihai sekali, kiranya hanya Gak-locianpwe saja yang cukup kuat untuk menghadapinya. Baiklah, urusan
membujuk tokoh-tokoh di In-kok-san dan mencari pemuda itu kuserahkan kepada Gak-locianpwe dan
Ouwyang-twako. Aku sendiri mempunyai rencana lain yang boleh cu-wi ketahui. Aku akan pergi ke utara,
mendatangi tanah kuburan Keluarga Suling Emas...”
“Eh, Nirahai, bukankah itu berbahaya sekali?” Pangeran Ouwyang Cin Kok berseru kaget.
Tanah kuburan keluarga Suling Emas merupakan tempat keramat dari bangsa Khitan dan kabarnya tak
seorang asing pun boleh memasukinya. Biar pun Puteri Nirahai termasuk keturunan Khitan, namun belum
tentu dia diperbolehkan masuk oleh penjaganya yang kabarnya amat galak dan memiliki ilmu kepandaian yang
luar biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Memang berbahaya, akan tetapi kalau tidak saya sendiri yang mendatangi, siapakah orang lain akan mampu
melakukannya? Saya ingin membujuk penjaga kuburan untuk meminjam suling emas yang disimpan di situ
sebagai pusaka. Dengan suling emas peninggalan pendekar sakti Suling Emas, kiranya akan lebih mudah
mempengaruhi para tokoh-tokoh kang-ouw untuk membantu Kerajaan Mancu. Senjata suling emas itu amat
dihormati di seluruh dunia kang-ouw, dan dengan senjata itu tentu akan dapat dicapai hasil yang lebih besar
dalam membujuk tokoh-tokoh kang-ouw.”
Pangeran Ouwyang Cin Kok dan yang lain-lain mengangguk-angguk menyatakan setuju sungguh pun hati
mereka merasa ngeri mendengar bahwa puteri jelita itu hendak mengunjungi tempat keramat yang sukar
dikunjungi sembarangan orang itu. Setelah membagi-bagi tugas, pertemuan itu dibubarkan. Ouwyang Seng
lalu pergi bersama gurunya untuk melakukan tugas mereka yang tidak ringan. Demikian pun yang lain-lain
bubaran dan melakukan tugas masing-masing. Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri lalu bersiap untuk pergi
menghadap kaisar menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugas-tugasnya.....
********************
Han Han dan Lulu duduk mengaso di dalam hutan. Melihat kakaknya duduk bersemedhi, Lulu juga tidak berani
mengganggu, bahkan ia pun lalu duduk bersila dan siulian untuk memulihkan tenaga dan menekan
kekecewaan hatinya karena kehilangan pedang yang terampas di Siauw-lim-pai.
Han Han tidak dapat menyatukan panca inderanya. Dia sudah dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya dan
mengobati akibat-akibat dari guncangan pukulan-pukulan yang ia terima di Siauw-lim-pai, akan tetapi
pikirannya bekerja keras. Hatinya terkesan oleh wejangan-wejangan yang didengarnya dari mulut Kian Ti
Hosiang, supek dari ketua Siauw-lim-pai tadi. Mengenangkan semua wejangan itu, terjadi perang tanding yang
hebat dalam pikirannya sendiri.
Perasaan menyesal menggumuli perasaannya, menyesal kalau ia kenangkan betapa sepak terjangnya selama
ini hanya mendatangkan mala petaka dan keributan belaka. Ia sendiri tidak mengerti mengapa kalau datang
perasaan marah akan sesuatu yang dianggapnya jahat dan tidak adil, lalu timbul kemarahan yang tak
tertahankan dan seolah-olah ia baru akan merasa puas, terhindar dari himpitan nafsu amarah kalau sudah ia
lampiaskan dengan pukulan-pukulan sakti dari kedua tangannya, kalau ia sudah ia menghajar banyak orang
dan membunuhi lawannya! Pemuda ini tidak tahu bahwa sesungguhnya terjadi konflik atau pertentangan hebat
dalam dirinya.
Mula-mula pertentangan ini terjadi karena ia mempelajari dua macam sinkang yang berlawanan yaitu inti sari
Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang. Pertentangan ini mempengaruhi jiwanya, ditambah lagi ketika ia
membaca kitab-kitab peninggalan penghuni Pulau Es yang sifatnya bersih dan berbareng ia mempelajari kitabkitab
Ma-bin Lo-mo dan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) yang bersifat kotor.
Terjadilah pertentangan hebat sekali dari aliran bersih ditambah kesadaran watak aslinya yang baik,
berlawanan dengan pelajaran aliran kotor yang ditambah oleh nafsunya, membuat ia kadang-kabang merasa
tersiksa sekali. Kini ia mendapat nasehat yang amat aneh dari kakek sakti di Siauw-lim-pai itu. Dia disuruh
membuntungi kaki kirinya! Nasehat apakah ini? Betul-betulkah kaki kirinya yang mendatangkan perasaan
tersiksa seperti itu?
Makin dipikirkan makin bingunglah hatinya. Kebingungan ini makin memuncak kalau ia pikirkan bahwa semua
mala petaka yang timbul akibat sepak terjangnya itu sama sekali terjadi bukan karena kesalahannya! Dia
memang telah membunuh murid-murid Siauw-lim-pai dan murid-murid Hoa-san-pai di hutan dahulu itu, akan
tetapi bukankah hal itu terjadi karena salah paham? Bukankah hal itu terjadi bukan karena memang dia
bermaksud jahat dan membunuhi mereka?
Kemudian kekacauan yang timbul karena perlawanannya menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai di gedung
Pek-eng-piauwkiok. Dia telah diserang, dituduh yang bukan-bukan, dituduh mata-mata Mancu! Terjadi
pertempuran, akan tetapi salahkah dia dalam hal itu?
Dan akhirnya peristiwa keributan di Siauw-lim-si. Dia datang dengan iktikad baik, dengan maksud memberi
penjelasan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai untuk melenyapkan kesalah-pahaman. Akan tetapi dia
dunia-kangouw.blogspot.com
disambut dengan kekerasan, bahkan seolah-olah dipaksa untuk bertanding. Dia hanya membela diri, karena
bukankah itu haknya? Ataukah dia harus membiarkan saja dia ditawan, dipukul, atau dibunuh, juga Lulu
ditangkap? Karena membela diri, kembali dia melakukan pukulan-pukulan dan pembunuhan-pembunuhan.
Teringat akan ini semua, timbul kemarahannya. Tidak! Dia tidak bersalah! Akan tetapi kalau ia ingat akan
nasehat kakek di Siauw-lim-pai itu dia menyesal karena kenyataannya, apa pun alasannya, sepak terjangnya
menimbulkan keributan dan mala petaka, bahkan pembunuhan. Salah kaki kirinyakah?
Tiba-tiba Han Han meloncat bangun, tidak kuasa lagi menahan tubuhnya yang digetarkan dua hawa yang
bertentangan sebagai akibat perang dalam hatinya. Ia mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh seperti orang gagu,
tubuhnya bergoyang-goyang, kaki tangannya bergerak-gerak seolah-olah ia bertanding melawan dirinya
sendiri! Kedua tangannya seperti hendak saling pukul, atau lebih tepat, kalau tangan kiri hendak memukul
tubuhnya sendiri penuh penyesalan dan hendak menghukum, tangan kanannya bergerak menangkis dengan
keyakinan membela karena dia tidak bersalah. Demikian pula kedua kakinya bergerak menurutkan suara hati
yang berlawanan!
Entah berapa lamanya Han Han berkhayal seperti itu. Tubuhnya bergerak-gerak aneh dan kelihatan lucu sekali,
padahal ia merasa amat tersiksa baik tubuh mau pun batinnya. Tiba-tiba Lulu datang mendekatinya, dan
melihat keadaan kakaknya ini Lulu segera menyentuh lengan Han Han. Akan tetapi gadis ini menjerit karena
lengan yang disentuhnya itu mengeluarkan getaran yang membuat tangan yang menyentuhnya seperti lumpuh.
Ia meloncat ke belakang dan menjerit.
“Han-koko... sadarlah...! Celaka, ada orang merampas kantung surat-surat itu...!”
Sebelum gadis itu menjerit, Han Han sudah sadar. Sentuhan tangan yang halus dari adiknya itu sudah
menyadarkannya dan seolah-olah menariknya kembali ke dunia dari alam khayal yang menakutkan. Ada
sesuatu dalam sentuhan dan dalam suara Lulu yang amat mempengaruhi jiwa Han Han sehingga kini dia
sadar, menghentikan gerakan-gerakan tubuhnya dan memandang adiknya itu.
“Apa? Apa yang dirampas orang?”
“Karena kau bersemedhi tidak sadar-sadar, aku lalu pergi mencari air untuk mandi. Kemudian aku pergi ke
sebuah kuil tua tak jauh dari sini, duduk di depan kuil dan mengeluarkan kantung surat-surat dari Pulau Es
untuk kubersihkan. Akan tetapi tiba-tiba kantung itu terbang dari tanganku dan ketika aku meloncat dan
membalik, ternyata kantung itu telah dipegang oleh seorang kakek yang menyeramkan. Aku minta kembali,
bahkan memukulnya, akan tetapi ia tidak menjawab, dan ketika kupukul, ia tidak mengelak atau menangkis,
bahkan bergoyang pun tidak ketika menerima pukulanku. Aku takut...!”
Merah wajah Han Han mendengar bahwa kantung surat-surat itu dirampas orang. Kantung itu ia anggap
sebagai barang yang amat berharga berisi surat-surat penghuni Pulau Es yang ia bawa dan akan ia sampaikan
kepada siapa yang berhak menerimanya. Dan kini dirampas orang!
“Hemmm, kenapa aku selalu diganggu orang? Siapakah dia yang merampas kantung kita itu? Mari kita temui
dia.”
Lulu memegang tangan kakaknya dan menarik kakaknya itu, diajak lari menuju ke kuil tua yang hanya
setengah li jauhnya dari situ, di pinggir sebuah sungai kecil.
“Tuh dia masih berdiri depan kuil, Koko. Untung dia belum lari!” kata Lulu menuding ke arah tubuh seorang
laki-laki tinggi kurus berambut panjang yang berdiri membelakangi mereka.
“Hemmm, kurang ajar, biar kuminta kembali kantung itu!” Han Han meloncat ke depan kakek itu, memandang
dan alis matanya bergerak karena kaget.
“Ma-bin Lo-mo...!” teriaknya ketika mengenal kakek penghuni In-kok-san itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu memang Ma-bin Lo-mo si Iblis Muka Kuda! Dengan wajah bengis ia memandang Han Han dan tidak
mengucapkan sepatah pun kata, hanya memandang dengan penuh perhatian, manik matanya bergerak-gerak
meneliti Han Han dari kepala sampai ke kaki.
“Siangkoan-locianpwe, harap suka mengembalikan kantung itu kepadaku. Kantung itu hanya berisi surat-surat
pribadi yang tidak ada gunanya bagi orang lain,” kata Han Han penuh ketenangan setelah ia berhasil menekan
hatinya yang kaget.
“Hemmm, murid apakah engkau ini? Tidak menyebut Suhu lagi kepadaku?”
Han Han tersenyum pahit. “Lupakah Locianpwe bahwa Locianpwe hendak membunuh saya di perahu itu
dahulu? Sikap Locianpwe bukan seperti guru yang menyayang murid, bagaimana saya bisa menjadi murid
yang menghormat guru?”
Bekas guru dan murid ini saling memandang dan dalam pertemuan sinar mata itu diam-diam Ma-bin Lo-mo
menjadi kecut hatinya dan cepat ia mengalihkan pandang matanya. Ia menghendaki sesuatu dari pemuda itu,
maka ia lalu berganti siasat, bersikap lunak dan manis.
“Han Han, kau kembalikan dulu kitab-kitabku.”
Han Han teringat akan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo yang ia bawa ke Pulau Es. Tanpa ia sengaja, bahkan ia telah
mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu yang ia gabung dengan ilmu dari kitab-kitab peninggalkan Siang-mo-kiam.
Ia tidak merasa mencuri kitab-kitab itu, maka ia memperingatkan.
“Saya tidak mencuri kitab-kitab Locianpwe.”
Kini Lulu teringat akan Ma-bin Lo-mo, maka ia berkata, “Koko, bukankah dia ini orang jahat yang menangkap
kita di perahu dan meninggalkan kita dalam keadaan terikat? Koko, dia jahat, jangan percaya dia!”
Ma-bin Lo-mo tidak memperhatikan gadis Mancu yang dibencinya itu, dan berkata lagi kepada Han Han, “Han
Han, kitab-kitabku itu tertinggal di perahu, dan melihat betapa engkau berhasil menyelamatkan diri, tentu kitabkitab
itu berada padamu. Akan tetapi tidak apalah, bukankah engkau juga muridku yang berhak mempelajari
ilmu dari kitab-kitabku? Sesungguhnya sudah terlalu banyak kesalahan yang kau lakukan terhadapku, Han
Han. Pertama, engkau bersaudara dengan seorang gadis Mancu. Kedua, engkau mengambil kitab-kitabku.
Akan tetapi aku mengampunimu semua kesalahan itu, bahkan kantung ini yang hanya berisi surat-surat cinta,
kukembalikan kepadamu.” Sambil berkata demikian Ma-bin Lo-mo melemparkan kantung ke arah Han Han.
Pemuda itu menggerakkan tangan menyambut kantung itu dan menyimpannya dalam baju setelah melihat
bahwa isinya tidak lenyap. Ia melakukan hal ini seenaknya dan sewajarnya saja, dan Ma-bin Lo-mo terkejut.
Ketika melemparkan kantung tadi, ia sengaja mengerahkan tenaga untuk menguji. Kalau hanya memiliki ilmu
kepandaian tinggi biasa saja, tentu pemuda itu akan roboh menerima lontaran kantung itu, atau setidaknya
terhuyung.
Akan tetapi pemuda itu menerima seenaknya seolah-olah pelemparan kantung itu tidak disertai pengerahan
sinkang yang amat kuat. Tadinya, kalau melihat pemuda itu roboh atau terhuyung saja tentu Ma-bin Lo-mo
sudah menerjang maju untuk menangkapnya, akan tetapi melihat sikap Han Han menerima kantung
seenaknya itu amat mengejutkan hatinya, maka kakek ini berlaku cerdik sekali dan tidak menyerang.
“Han Han, mengingat akan hubungan lama antara kita, aku tidak akan mengganggumu, hanya akan bertanya
kepadamu tentang Pulau Es. Engkau tentu telah mendarat di Pulau Es, bukan?”
“Jangan katakan sesuatu kepadanya, Koko!” Lulu yang di dalam hatinya masih menaruh dendam kepada
kakek yang pernah hendak membunuh mereka itu, cepat berkata mencegah. Akan tetapi tanpa dicegah pun
Han Han tidak akan bercerita kepada siapa juga tentang pulau rahasia itu.
“Saya tidak dapat bicara apa-apa tentang pulau itu, Locianpwe.”
“Jadi engkau telah menemukan pulau itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han tidak menjawab, hanya menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak mau bicara tentang itu.
“Han Han, ingatlah. Aku hanya ingin engkau menceritakan tentang Pulau Es. Kalau aku menggunakan
kekerasan, engkau tentu takkan kuat melawanku. Ingat, dosamu sudah terlalu besar terhadap perguruan kami
dan kalau aku menyerahkan ergkau kepada Toat-beng Ciu-sian-li, nyawamu tentu tidak akan diampuni lagi.
Akan tetapi kalau kau suka bicara denganku tentang Pulau Es, aku yang menanggung agar engkau diampuni.”
“Maaf, sia-sia saja engkau membujuk atau mengancam, Locianpwe. Saya tidak bisa bicara tentang pulau itu.
Hendaknya Locianpwe membiarkan saya dan Adik saya pergi. Saya tidak hendak memusuhi Locianpwe
sungguh pun Locianpwe pernah menyiksa dan hendak membunuh kami berdua. Marilah kita mengambil jalan
kita masing-masing dan tidak saling mengganggu, Locianpwe.”
Muka Ma-bin Lo-mo menjadi merah saking marahnya. Ucapan Han Han itu cukup sopan, akan tetapi nadanya
seperti ucapan seorang yang setingkat saja! Padahal dia adalah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti
orang, sedangkan Han Han adalah seorang muda yang malah menjadi bekas muridnya!
“Han Han, sungguh engkau keras kepala! Akan tetapi betapa pun kerasnya kepalamu, apakah cukup keras
untuk menerima pukulanku?” Ia membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam sekali.
Tetapi Han Han tetap bersikap tenang. “Terserah kepada Locianpwe, tapi... tapi... harap Locianpwe ingat
bahwa kalau sampai terjadi bentrokan, hal itu bukanlah kehendak saya, melainkan Locianpwe yang
memaksaku.”
“Uwaaahhhhh, sombongnya bocah ini. Tidak bisa dibujuk dengan omongan halus, agaknya perlu dihajar dulu!”
Setelah berkata demikian, Ma-bin Lo-mo menerjang maju mengirim pukulan. Karena dia tidak ingin membunuh
mati anak itu yang dia butuhkan untuk memberi petunjuk tentang Pulau Es, maka ia tidak mengirim pukulan
Swat-im Sin-jiu, melainkan menampar dengan tangan kanan ke arah pundak disusul cengkeraman tangan kiri
ke arah dada. Biar pun tidak menggunakan tenaga Swat-im Sin-ciang, namun daya pukulan kakek ini bukan
main.
Han Han mengelak ke kiri dan biar pun angin pukulan kakek itu mengenai pundaknya, sedikit pun ia tidak
merasakannya. Ia berkata penuh rasa menyesal, “Engkau sungguh jahat, Ma-bin Lo-mo, tidak patut menerima
penghormatan orang muda.”
“Hei, Han Han. Apakah betul kau tidak mau bicara tentang Pulau Es? Ingat, tebusannya adalah nyawamu dan
nyawa bocah Mancu ini. Aku bahkan mau mengampuni bocah ini asal engkau suka memberi penjelasan
tentang Pulau Es.”
“Tidak! Dan kalau engkau memaksa, terpaksa aku melawanmu, Ma-bin Lo-mo!”
“Bedebah! Baru memiliki sedikit kepandaian saja engkau sudah berani melawan aku?”
Ma-bin Lo-mo mencelat maju dengan gerakan cepat sekali sambil mencengkeram pundak Han Han. Namun
gerakan Han Han tidak kalah cepatnya, tahu-tahu ia sudah mengelak ke kanan dan cengkeraman itu kembali
luput. Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran sekali. Begitu tubrukannya luput dan kakinya menginjak tanah,
tubuhnya sudah melesat lagi ke kanan dan kedua lengannya menyambar dari kanan kiri, membuat gerakan
menyilang mengarah kepala Han Han. Bukan main cepat dan lihainya serangan ini sehingga Han Han terkejut
dan cepat merendahkan diri untuk menghindarkan kedua tangan yang menghimpit kepalanya dari kanan kiri itu.
Akan tetapi dengan gerakan susulan, tahu-tahu kaki Ma-bin Lo-mo menendang ke perut pemuda itu.
Selama melatih diri di Pulau Es, sesungguhnya Han Han hanya memperoleh inti sari tenaga sinkang yang
amat hebat saja, yang tidak diperoleh ahli lain dalam latihan biasa selama puluhan tahun. Akan tetapi dalam
hal ilmu silat, tentu saja ia masih kalah jauh dibandingkan dengan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Kini
menghadapi gerakan serangan tokoh hitam yang hebat ini, tentu saja ia tidak menyangka sama sekali dan
tendangan itu tahu-tahu telah mengenai perutnya! Akan tetapi gerakan hawa sinkang secara otomatis telah
dunia-kangouw.blogspot.com
melindungi perutnya, dan ia menangkap kaki itu sambil mendorong ke depan seperti membuang sesuatu yang
menjijikkan.
“Dukkk! Aihhhhh...!”
Tendangan Ma-bin Lo-mo mengenai perut, akan tetapi tubuh Ma-bin Lo-mo terlempar sampai jauh sekali.
Kalau bukan kakek sakti ini tentu tubuhnya akan terbanting ke bawah. Akan tetapi kakek ini malah melompat
ke atas sehingga tenaga dorongan itu terpatahkan dan ia turun lagi ke atas tanah dengan mata terbelalak
merah karena heran, kagum dan penasaran.
“Huh, kiranya engkau sudah mempelajari sedikit ilmu, ya?”
Hati Ma-bin Lo-mo makin tertarik untuk memaksa Han Han bicara tentang Pulau Es, karena tentu saja ia ingin
sekali mengetahui rahasia itu dan memiliki pusaka dari Pulau Es. Melihat betapa Han Han sanggup menerima
tendangannya, dan melihat tenaga hebat ketika pemuda itu mendorong kakinya, hatinya makin yakin bahwa
pemuda ini tentu telah mewarisi kepandaian dari tempat rahasia itu, maka ia makin tidak ingin membunuhnya
dan hanya ingin menangkap dan memaksanya.
Kepalanya yang penuh dengan akal dan muslihat itu bekerja dan tiba-tiba sambil tertawa tubuhnya melesat,
bukan menyerang Han Han, melainkan meloncat ke arah Lulu yang berdiri menonton. Dia mendapat akal
untuk menangkap Lulu dan menggunakan gadis itu untuk memaksa Han Han!
“Ihhh, mau apa engkau?”
Kembali Ma-bin Lo-mo kecelik karena gadis yang ditubruk dan hendak ditangkapnya itu, biar pun tergesa-gesa,
tapi masih sempat melesat pergi dengan gerakan yang amat ringan dan tak tersangka-sangka sehingga ia
menubruk angin! Ketika ia membalik dan hendak mengejar sambil mengirim pukulan jarak jauh untuk
merobohkan gadis itu, tiba-tiba dari samping terdengar bentakan Han Han.
“Jangan ganggu Adikku!” Bentakan ini disusul dengan bertiupnya angin yang hawanya dingin memukul ke arah
lambungnya!
Ma-bin Lo-mo cepat menggerakkan tangan menangkis, sekali ini karena penasaran ia menggunakan tenaga
Im-kang untuk membuat pemuda itu roboh.
“Desss!” Dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya kedua orang itu terjengkang ke belakang!
“Eh, ehh... tenaga Im-kang...?” Ma-bin Lo-mo yang sudah meloncat bangun lagi berkata penuh keheranan.
“Ma-bin Lo-mo, perlukah pertempuran ini dilanjutkan? Aku tidak ingin bermusuhan denganmu!” Han Han
berkata lagi.
“Sambutlah ini...!” Ma-bin Lo-mo membentak dan sekali ini ia tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan Swat-im
Sin-ciang, menyerang lagi dengan gerakan lambat namun malah amat berbahaya karena setiap gerakannya
mengandung hawa dingin yang dahsyat.
Han Han mengenal gerakan itu. Dia telah mempelajari kitab-kitab yang ditinggalkan di dalam perahu oleh Iblis
Muka Kuda ini, maklum bahwa lawannya telah menggunakan Swat-im Sin-ciang. Ia mulai menjadi marah,
bukan saja karena kakek itu mendesaknya terus, terutama sekali karena ia melihat kelicikan kakek ini yang
hendak memaksanya dengan berusaha menawan Lulu. Maka ia pun lalu menggerakkan kedua tangannya
dengan gerakan yang sama. Ketika Ma-bin Lo-mo mendorong, ia pun mendorong dengan pengerahan tenaga
Swat-im Sin-ciang pula!
“Wuuutttt... desssss!”
Tubuh kedua orang itu bergoyang-goyang, kemudian keduanya mundur terhuyung. Han Han dapat
mengerahkan tenaga Yang-kang sehingga seketika hawa dingin yang luar biasa itu lenyap, akan tetapi Ma-bin
dunia-kangouw.blogspot.com
Lo-mo membutuhkan loncatan ke atas dan menggoyang-goyang tubuhnya baru ia pulih kembali. Ia
memandang dengan mata terbelalak kemudian ia berseru marah.
“Bocah celaka! Engkau telah mencuri Swat-im Sin-ciang!” Akan tetapi sesungguhnya ia merasa heran dan
kaget setengah mati mendapat kenyataan bahwa tenaga Swat-im Sin-ciang dari pemuda itu tidak berselisih
jauh dengan tenaganya sendiri! Ia sama sekali tidak mimpi bahwa sesungguhnya tenaga Han Han jauh lebih
kuat dan hebat dari pada tenaga sendiri.
Sebaliknya, Han Han maklum betapa lihai dan kejamnya kakek ini dan bahwa sekali lagi, setelah terlepas dari
pada ancaman maut di Siauw-lim-si, kini ia terancam oleh kakek yang amat sakti ini. Maka timbullah
kemarahannya lagi dan ia mengambil keputusan untuk melindungi Lulu dan dirinya sendiri, kalau perlu dengan
taruhan nyawa.
Kembali Ma-bin Lo-mo sudah menyerang, kini serangannya hebat sekali karena kakek ini tidak lagi
menganggap Han Han seorang lawan ringan. Tubuhnya seperti berpusing dan kedua tangannya seperti
berubah banyak ketika ia melancarkan serangan ke arah dada dan pusar pemuda itu. Han Han tetap tenang,
namun juga bergerak cepat. Ia memutar kedua lengannya dari kanan kiri menjaga tubuh depan dan kembali ia
berhasil menangkis pukulan-pukulan maut Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi kakek itu menerjang terus dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat dengan perubahan yang tak
tersangka-sangka sehingga dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya tanpa dapat dielakkannya lagi terpaksa
Han Han menerima hantaman-hantaman yang mengenai pundak dan lambungnya. Akan tetapi tubuhnya
hanya terpental saja dan sama sekali tidak terluka sehingga diam-diam Ma-bin Lo-mo makin penasaran dan
terkejut.
Ketika melihat kakek itu mengejarnya, Han Han yang sudah bangkit kembali sehabis terbanting, cepat
mengerahkan tenaganya dan menyambut kedatangan lawan dengan pukulan dengan pengerahan tenaga
Swat-im Sin-ciang. Ia sudah marah sekali, maka kekuatan sinkang-nya dapat dibayangkan hebatnya. Angin
menderu keras dan hawa dingin melebihi saiju menyambar ke depan. Ma-bin Lo-mo tentu saja tidak takut
menghadapi pukulan yang menjadi keahliannya sendiri itu. Ia menangkis dengan tenaga Swat-im Sin-ciang
juga dan sekali ini dua tenaga sakti bertemu. Hanya bedanya dengan tadi, kini Han Han yang menyerang dan
Ma-bin Lo-mo yang menangkis.
“Wesssss...!”
Tubuh Ma-bin Lo-mo tergetar hebat, seolah-olah tubuhnya kemasukan aliran kilat dan sejenak tubuhnya kaku
membeku! Kakek ini mengeluarkan seruan aneh, kemudian melempar tubuh ke belakang dan bergulingan
sampai lama baru dapat melompat bangun kembali, wajahnya pucat dan matanya terbelalak merah.
“Luar biasa...!” Ia menggumam karena kini ia mendapatkan kenyataan pahit yang amat hebat, yaitu bahwa
tenaga Swat-im Sin-ciang pemuda itu jauh lebih kuat dari pada tenaganya sendiri!
Didorong oleh kemarahannya yang timbul dari rasa penasaran, kini tubuh Ma-bin Lo-mo menerjang maju
seperti badai mengamuk saking hebatnya. Tentu saja Han Han menjadi sibuk sekali dan sama sekali tidak
mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan dia yang kalah jauh ilmu silatnya tak mungkin dapat
menghindarkan diri dari serangan yang bertubi-tubi itu dan hanya dapat mengelak dan menangkis, melindungi
dirinya di bagian-bagian yang berbahaya dan membiarkan bagian-bagian yang dapat menahan pukulan untuk
menerima hantaman-hantaman dahsyat dari lawannya!
Ia menjadi bulan-bulanan dan biar pun tubuh yang tidak berbabaya itu mengandung sinkang kuat sehingga
tidak terluka, namun kerasnya pukulan-pukulan itu membuat tubuhnya berkali-kali terlempar dan bergulingan.
Melihat betapa pemuda itu dapat menahan pukulan-pukulannya yang cukup kuat untuk merobohkan lawan
tangguh, Ma-bin Lo-mo menjadi makin marah dan penasaran, serangannya makin diperhebat.
Lulu berdiri dengan wajah tegang dan penuh kegelisahan. Seperti ketika ia me-nyaksikan kakaknya
menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai di gedung Pek-eng-piauwkiok, dan kemudian menyaksikan kakaknya
menghadapi tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai, kini pun ia hanya dapat menonton saja karena ia maklum
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa untuk membantu kakaknya tingkat kepandaiannya masih jauh dari pada cukup sehingga ia bukan
membantu malah membahayakan diri sendiri dan mengacaukan pertahanan kakaknya.
Kedua orang itu memang bertanding dengan amat seru dan hebat. Keduanya mempergunakan hawa sakti Imkang
sehingga dari tubuh mereka keluar hawa yang amat dingin yang seolah-olah membikin beku keadaan
sekeliling mereka, bahkan Lulu yang sudah biasa tinggal di tempat dingin seperti Pulau Es sekali pun kini
merasa betapa hawa dingin menyerangnya dan otomatis sinkang di tubuhnya bekerja sehingga hawa yang
hangat timbul melenyapkan rasa dingin.
Han Han tidak berani mencoba untuk menggunakan Yang-kang atau hawa sakti panas. Ia maklum bahwa
tingkat kakek ini sudah tinggi sekali, sehingga kalau ia mengeluarkan Yang-kang, berarti ia menghadapi lawan
dengan keras lawan keras yang tentu saja resikonya amat besar. Sedikit saja kekuatannya kalah, akibatnya
dapat merenggut nyawa. Ia pun maklum bahwa biar pun dalam ilmu silat ia kalah jauh, namun dengan
pengerahan inti sari dari Im-kang ia masih dapat bertahan karena kekuatan sinkang-nya tidak kalah oleh lawan.
Selagi Han Han terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak disambung kata-kata nyaring penuh
ejekan, “Ma-bin Lo-mo si Setan Kuda benar-benar sekarang tak tahu malu, mendesak orang muda dan tidak
malu-malu mengeluarkan Swat-im Sin-ciang!”
Han Han melirik sebentar dan hatinya kecut ketika mengenal orang yang muncul dan mengeluarkan kata-kata
itu karena orang itu bukan lain adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat si Setan Botak bersama seorang pemuda
tampan pesolek yang ia kenal sebagai Ouwyang Seng! Celaka, pikirnya. Ma-bin Lo-mo jahat, akan tetapi dua
orang yang muncul ini tidak kalah jahat dan sama sekali tidak boleh diharapkan bantuannya!
Akan tetapi, selagi ia menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo yang masih mendesaknya tiba-tiba Gak Liat meloncat
maju dan memukul Iblis Muka Kuda dengan dorongan kedua lengan yang menimbulkan hawa panas. Itulah
Hwi-yang Sin-ciang!
“Eh, Setan Botak, mau apa engkau?” Ma-bin Lo-mo membentak dan cepat ia meloncat jauh ke belakang untuk
menghindarkan pukulan itu.
Karena loncatannya yang jauh itu kini Han Han berada di tengah, di antara dua orang tokoh hitam itu. Pemuda
itu menghadapi Gak Liat dan memandang dengan mata berapi. Kemarahannya sudah membakar hatinya dan
kini melihat kakek yang juga amat jahat ini, ia memandang penuh kecurigaan.
“Han Han, lupakah engkau kepadaku? Aku Owyang-kongcu, sahabat lamamu. Kami datang untuk
membantumu!” Ouwyang Seng sudah cepat berteriak untuk mengambil hati pemuda itu.
Tadi ia melihat betapa Han Han dapat menghadapi Ma-bin Lo-mo, biar pun terdesak namun juga tidak dapat
dirobohkan. Hal ini saja sudah menyatakan bahwa Han Han sekarang benar-benar telah memiliki kepandaian
tinggi. Biar pun di dalam hatinya ia sama sekali tidak suka kepada Han Han, namun demi tugasnya ia harus
mentaati perintah Puteri Nirahai untuk ‘menarik’ Han Han menjadi kawan, bukan lawan.
“Ouwyang-kongcu, saya tidak membutuhkan bantuan apa-apa darimu atau dari Gak-locianpwe.”
Ouwyang Seng menghela napas panjang dengan muka menyatakan penyesalannya, lalu menghampiri Lulu
dan menjura sambil berkata, “Nona, bukankah Kakakmu itu keliru sekali? Dia diserang dan didesak orang,
masa tidak mau dibantu?”
Lulu sejenak memandang Ouwyang Seng, kemudian berkata kepada kakaknya, “Koko, kalau mereka memang
benar-benar hendak membantu, mengapa kau menolak?”
“Lulu, jangan mencampuri. Mereka itu pun bukan orang-orang yang dapat dipercaya!”
Akan tetapi Lulu memandang wajah Ouwyang Seng yang tampan dan tersenyum-senyum itu dan ia merasa
heran akan ucapan kakaknya karena dalam pandangannya, pemuda tampan ini sama sekali tidak jahat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Han Han, betapa pun juga, engkau bukanlah lawan Iblis Muka Kuda. Biarlah aku membantumu mengusir iblis
itu, kemudian kita bicara sebagai kenalan-kenalan lama. Bagaimana?”
“Gak-locianpwe, apakah locianpwe juga seperti Ma-bin Lo-mo ini, hendak bertanya tentang Pulau Es kepadaku
setelah locianpwe membantuku mengenyahkan Ma-bin Lo-mo?”
Pertanyaan yang tiba-tiba dari Han Han ini tepat menusuk hati Gak Liat yang memang ingin sekali mendengar
tentang Pulau Es itulah, sehingga ia lupa akan tugasnya dan penuh gairah berteriak, “Ah, jadi engkau sudah
berhasil sampai ke sana? Anak baik, mari kubantu engkau membinasakan Iblis Muka Kuda, baru kita bicara
tentang Pulau Es!”
Kemarahan hati Han Han meluap. “Kang-thouw-kwi, engkau setali tiga uang (sama saja) dengan Ma-bin Lo-mo.
Aku tidak sudi akan bantuanmu!”
Mendengar jawaban ini dan karena mereka yakin bahwa Han Han tak dapat dibujuk, Ouwyang Seng sudah
cepat turun tangan untuk melakukan siasat yang ke dua. Yaitu, merampas Lulu terlebih dahulu untuk
menyelamatkan gadis Mancu itu dan juga untuk dijadikan umpan memancing Han Han ke kota raja, bahkan
kelak akan dapat digunakan untuk memaksa Han Han tunduk akan perintah Puteri Nirahai. Ia maklum bahwa
sekali ini ia tidak boleh menurutkan nafsu birahinya yang berkobar begitu ia melihat gadis Mancu yang cantik
molek tidak kalah oleh Puteri Nirahai sendiri itu, karena Lulu adalah seorang gadis Mancu dan keadaan gadis
ini sudah menjadi perhatian Puteri Nirahai dan sudah diumumkan kepada para pembantunya.
Cepat ia menubruk untuk menangkap Lulu, akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika tubuh gadis itu
seperti seekor kupu-kupu yang hendak ditangkap saja, telah melesat dan mengelak dari kedua tangannya!
Itulah gerak otomatis yang sudah ada pada diri Lulu sebagai hasil latihan-latihannya selama berada di Pulau
Es bersama Han Han.
Melihat Ouwyang-kongcu tidak berhasil dan gadis itu berkelebat dekat dengannya, Gak Liat lalu
menggerakkan tangan kanannya mendorong perlahan. Lulu mengeluh dan roboh dalam pelukan Ouwyang
Seng yang sudah cepat menyambar, menotoknya dan memondong tubuhnya.
“Koko...!”
Han Han marah bukan main. “Keparat! Lepaskan Adikku!” Ia mengejar maju akan tetapi dihadang oleh Kangthouw-
kwi Gak Liat. Melihat ini, dengan muka merah dan pandang mata beringas Han Han menerjang Gak Liat
dan memukul dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang! Gak Liat terkejut bukan main melihat ini dan cepat
menangkis.
“Bressss...!”
Seperti yang dialami oleh Ma-bin Lo-mo tadi, tubuh Kang-thouw-kwi Gak Liat tergetar oleh pukulan Hwi-yang
Sin-ciang, keahliannya sendiri. Ia tergetar dan terhuyung ke belakang sedangkan Han Han hanya tergetar saja.
“Ha-ha, Setan Botak! Bocah ini sekarang tak boleh dibuat main-main, dia telah mewarisi pusaka Pulau Es!”
Ma-bin Lo-mo mentertawakan Gak Liat.
“Kita berdua harus menundukkannya!” Gak Liat yang amat cerdik berkata.
Dari pada memperebutkan bocah itu dan kedua-duanya tidak berhasil, lebih baik menangkapnya bersama dan
kelak membagi-bagi hasilnya. Melihat betapa dalam waktu lima enam tahun saja bocah ini sudah dapat
menggunakan Hwi-yang Sin-ciang sedemikian hebatnya, dapat dibayangkan betapa luar biasa dan amat
berharga pusaka Pulau Es.
Ma-bin Lo-mo bukan seorang bodoh. Ia maklum akan isi hati Gak Liat, maka ia berkata, “Baiklah. Dia harus
dapat ditangkap hidup-hidup!”
Gak Liat berteriak ke belakangnya, “Kongcu, lekas bawa pergi Nona itu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ouwyang-kongcu sudah mengempit tubuh Lulu dan menotoknya sehingga kini Lulu menjadi lemas tak dapat
bergerak atau berteriak lagi, kemudian ia melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat itu sambil
mengempit tubuh Lulu dengan lengan kirinya.
“Heiiiii, Ouwyang Seng keparat kurang ajar! Lepaskan adikku...! Dasar anjing keparat, kulumatkan tubuhmu,
kuhancurkan kepalamu!”
Han Han menerjang ke depan hendak mengejar Ouwyang Seng, tetapi ia disambut oleh pukulan Kang-thouwkwi
Gak Liat, bahkan dari belakang ia diserang pula oleh Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Han Han
mengeluarkan suara menggereng seperti beruang es, wajahnya merah dan matanya mengeluarkan sinar
beringas. Kemarahan hebat membuat ia menjadi mata gelap dan kebuasannya timbul kembali. Dua pukulan
dari depan dan belakang hampir berbareng mengenai tubuhnya, akan tetapi seolah-olah tidak dirasakannya
dan ia mengamuk, menggunakan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang berganti-ganti tanpa aturan lagi
sehingga dua orang kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan heran dan kaget.
Andai kata lawan-lawannya hanyalah orang-orang yang memiliki kepandaian tidak terlalu tinggi, tentu amukan
Han Han ini akan melumatkan tubuh mereka dan tentu kebuasannya sudah mengorbankan banyak nyawanyawa
lagi. Akan tetapi sekali ini yang mengeroyoknya adalah dua orang di antara datuk-datuk hitam yang ilmu
kepandaiannya luar biasa sekali dan pada jaman itu sukar dicari tandingnya, maka betapa pun ia mengamuk,
tetap saja ia tidak dapat memukul lawannya, bahkan tubuhnya berkali-kali harus menerima hantamanhantaman
yang amat berat.
Hantaman-hantaman itu amat kuat dan membuat dada Han Han terasa sesak, kepalanya pening. Hal ini
menambah kemarahannya melihat adiknya diculik Ouwyang Seng. Ia menjadi nekat dan ketika dua orang
kakek itu kembali menyerangnya dari kanan kiri, ia mengeluarkan pekik melengking dan mengerahkan seluruh
sinkang-nya, menyalurkan Hwi-yang Sin-ciang di tangan kiri menghantam Ma-bin Lo-mo, sedangkan tangan
kanannya dengan hawa Swat-im Sin-ciang menghantam Gak Liat.
Ia balas memukul tanpa mempedulikan datangnya pukulan kedua lawan itu. Karena ia menyalurkan sinkang
secara terbalik dan dengan demikian sekaligus menghadapi kedua lawan itu dengan dua macam tenaga yang
berlawanan sehingga keras bertemu keras, terjadilah tabrakan tenaga sakti yang luar biasa sekali.
“Desssss...!” Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo seketika muntahkan darah segar dari mulut mereka akan tetapi Han
Han sendiri yang terhimpit oleh dua tenaga raksasa itu roboh pingsan!
Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee cepat duduk bersila untuk mencegah terluka di
dalam dada mereka. Sepuluh menit kemudian mereka sudah bergerak kembali dan keduanya memandang
Han Han sambil menggeleng-geleng kepala.
“Dia luar biasa sekali, Setan Botak,” Ma-bin Lo-mo berkata perlahan.
“Hemmm, kalau tidak mengalami sendiri mana aku bisa percaya?” jawab Gak Liat dan keduanya cepat
menghampiri Han Han yang masih rebah pingsan.
Mereka berdua lalu turun tangan menotok jalan darah Han Han. Ditotok oleh dua orang ahli dengan dua cara
menotok yang berlainan dan amat lihai, seketika tubuh Han Han menjadi lemas dan tak lama kemudian ia
siuman kembali. Betapa kaget dua orang kakek itu ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak
mengalami luka sama sekali, padahal mereka berdua nyaris terluka parah di sebelah dalam dada!
Biar pun tidak terluka parah, akan tetapi setelah siuman kembali Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya
lemas sekali saking lelahnya. Dia tahu bahwa dia telah tertotok dan dia tidak ingin mencoba untuk
membebaskan diri, maklum bahwa di tangan kedua orang kakek itu percuma saja baginya untuk melawan.
Namun, menyerahkan pun tidak ada sedikit juga di dalam hatinya. Ia memandang kakek-kakek yang duduk di
dekatnya lalu berkata.
“Kalian telah mengalahkan aku, tidak lekas bunuh mau apa lagi?” Suaranya terdengar dingin sekali dan sedikit
pun tidak kelihatan gentar sehingga kedua orang kakek datuk golongan hitam itu menjadi kagum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Han Han, mengapa engkau amat keras kepala? Kami tidak ingin membunuhmu.”
“Benar, Han Han. Engkau masih amat muda, tidak sayangkah kalau membuang nyawa secara sia-sia?”
Mendengarkan ucapan kedua orang kakek yang halus dan seolah-olah menyayangnya ini, rasa dada Han Han
menjadi makin sesak karena marah. Ia mengerti betul bahwa dua orang kakek itu adalah datuk-datuk golongan
hitam yang amat kejam, yang kini bersikap halus kepadanya karena ada pamrihnya, sikap yang palsu seperti
desis dua ekor ular.
“Sudahlah, bosan aku mendengarnya. Kalian sama-sama menghendaki aku bicara tentang Pulau Es, bukan?
Sudahlah, percuma saja bicara. Aku tidak mau bicara dan kalau kalian mau bunuh, kerjakan saja. Aku tidak
takut mati!”
Gak Liat dan Siangkoan Lee saling memandang. Dalam bertemu pandang itu keduanya bersepakat cara apa
yang harus mereka pergunakan. Membujuk bocah yang berhati baja ini akan sia-sia, jalan satu-satunya adalah
paksaan dengan jalan penyiksaan.
“Baiklah, hendak kulihat apakah engkau akan kuat mempertahankan kekerasan hatimu!” bentak Ma-bin Lo-mo
dan jari telunjuknya menotok punggung Han Han di tiga tempat.
Han Han tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan Iblis Muka Kuda ini ketika menotoknya, akan tetapi seketika ia
merasa betapa seluruh tulang-tulang di tubuhnya nyeri, seperti ditusuk-tusuk jarum! Ia mempertahankan diri
agar tidak mengeluh. Walau rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat sampai berdenyut-denyut di ubunubunnya,
akan tetapi ia tetap mengeraskan hatinya sehingga mukanya pucat penuh keringat.
“Engkau tidak mau bicara tentang pulau itu?” Ma-bin Lo-mo membentak marah, akan tetapi Han Han diam saja,
hanya memandang dengan mata mendelik, sedikit pun tidak mau menjawab.
“Ha-ha, agaknya dia tetap berkeras. Biar kutambah sedikit!” Gak Liat lalu menggunakan tangannya mengurut
tengkuk Han Han dan seketika Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya gatal-gatal.
Bukan main hebatnya penderitaan ini. Rasa tulang tertusuk-tusuk menimbulkan nyeri yang sampai terasa di
ubun-ubun, akan tetapi rasa gatal yang tidak nyeri malah ternyata lebih hebat lagi karena merangsang syarafsyaraf,
terasa di bawah kulitnya. Ingin sekali kedua tangannya menggaruk, namun kedua kaki tangannya
masih tertotok lumpuh! Hampir ia tak dapat menahan lagi dan ingin menjerit-jerit sekerasnya, namun
kekerasan hatinya yang tidak ingin mengeluarkan keluhan membuat ia tidak suara sedikit pun, bahkan ia
memejamkan kedua matanya.
Begitu kedua matanya dipejamkan, terbayanglah wajah Lulu dan teringatlah ia betapa adiknya itu terancam
bahaya yang lebih mengerikan dari pada yang dihadapinya sendiri. Kekhawatiran dan kemarahan yang
bergelombang hebat dalam dirinya mendatangkan daya kemauan yang tidak lumrah. Seketika ia
mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergerak dan seketika itu juga ia telah melompat bangun!
Hebat sekali memang keadaan tubuh Han Han, kehebatan yang tidak wajar lagi. Sejak kepalanya dibenturkan
oleh perwira yang memperkosa ibunya, terjadi ketidak-wajaran dalam tubuhnya, menimbulkan kekuatan
kemauan yang dapat mengalahkan kekuatan jasmani dan dengan sendirinya juga dapat memaksa jasmaninya
melakukan hal-hal yang tidak semestinya dapat dilakukan manusia biasa.
Dalam keadaan tertotok tadi, dia sama sekali tak mampu bergerak, bahkan tak mampu mengerahkan sinkang.
Akan tetapi kekuatan kemauannya yang luar biasa, terdorong oleh kemarahannya dan kekhawatirannya
memikirkan Lulu, membuat ia mampu mengerahkan sinkang-nya sehingga ia dapat membebaskan totokan
pada tubuhnya dan sekaligus juga membebaskan totokan dan pencetan yang menimbulkan rasa nyeri-nyeri
dan gatal-gatal tadi.
Begitu dapat bergerak lagi, Han Han lalu meloncat hendak pergi dari situ mengejar Ouwyang Seng yang
membawa lari adiknya. Melihat ini, Setan Botak dan Iblis Muka Kuda yang tadinya bengong dan kesima saking
kagetnya melihat pemuda itu tiba-tiba dapat bebas, cepat meloncat dan melakukan pengejaran. Han Han tidak
terluka parah di dalam tubuhnya, namun seluruh tubuhnya sakit-sakit akibat pertandingan tadi, maka larinya
dunia-kangouw.blogspot.com
tidaklah secepat biasanya. Andai kata tidak demikian sekali pun, tentu sukar baginya untuk dapat melarikan diri
dari dua orang datuk hitam itu.
“Kau hendak lari ke mana?” Gak Liat mengejek.
“Hemmm, jangan harap dapat melarikan diri!” Ma-bin Lo-mo juga mengejek.
Mendengar suara mereka amat dekat di belakangnya, Han Han maklum bahwa lari pun memang tiada
gunanya. Ia teringat akan sesuatu, teringat akan pengalaman-pengalamannya ketika kecil, betapa suaranya
kadang-kadang dapat mempengaruhi orang. Hal itu dahulu ia anggap tak masuk akal dan hanya kebetulan
saja, akan tetapi dalam keadaan tersudut seperti ini, tiada salahnya mencoba-coba. Ia mengumpulkan seluruh
kekuatan kemauannya, kemudian tiba-tiba membalik dan membentak.
“Berhenti kalian!”
Dua orang kakek yang sama sekali tidak menyangka akan dibentak seperti itu. Mereka terkejut sekali dan
berhenti seperti arca, memandang sepasang mata Han Han yang mengeluarkan sinar kilat ketika pemuda itu
membalikkan tubuh. Melihat keadaan kedua datuk ini, Han Han ‘mendapat hati’ dan ia berkata lagi dengan
suara penuh wibawa karena didasari kemauan yang amat kuat.
“Gak Liat dan Siangkoan Lee, bukankah kalian saling bermusuhan? Siapa tidak menyerang dulu akan celaka!”
Gak Liat dan Siangkoan Lee seperti kemasukan kilat, mereka membalik, saling pandang dengan mata penuh
kemarahan.
“Setan Botak. Engkau musuhku!”
“Iblis Muka Kuda, aku harus membunuhmu!”
Kedua orang tokoh besar dalam golongan kaum sesat itu segera saling hantam sendiri! Karena Gak Liat
mempergunakan Hwi-yang Sin-ciang sedangkan Siangkoan Lee mempergunakan Swat-im Sin-ciang tentu saja
baku hantam antara dua orang datuk hitam itu amatlah hebatnya dan hanya dalam dua kali gebrakan saja
mereka berdua terjengkang ke belakang.
Karena mereka berdua memang telah memiliki kekuatan sinkang dan kekuatan batin yang tinggi, maka
pengaruh luar biasa dari pandang mata dan bentakan Han Han itu pun hanya sebentar saja menguasai
mereka. Setelah terjengkang barulah mereka terheran-heran mengapa mereka saling serang sendiri, dan
ketika mereka memandang ternyata pemuda itu telah lari agak jauh! Tentu saja tergopoh-gopoh dua orang
kakek itu mengejar sambil menyumpah-nyumpah. Mereka menjadi penasaran dan marah, dan tanpa bicara
keduanya mengambil keputusan untuk menangkap dan menyiksia bocah itu sampai mati kalau tidak mau
bicara tentang Pulau Es.
Han Han maklum bahwa kembali dua orang kakek itu sudah mengejar dekat. Ia tidak berani lagi mencoba
kekuatan mukjizat bentakannya, karena terbukti bahwa mereka itu kini sudah tidak terpengaruh lagi. Ia berlari
terus dan tiba di sebuah lereng gunung yang banyak jurang-jurang dalam di kanan-kirinya. Celaka, pikirnya, ke
mana lagi harus melarikan diri? Ah, melarikan diri pun tidak ada gunanya dan ia tidak tahu ke mana Lulu
dibawa pergi Ouwyang Seng. Dari pada berlari yang akhirnya tentu tersusul pula, lebih baik melawan matimatian.
Pikiran ini membuat ia nekat lalu membalikkan tubuhnya dan begitu dua orang lawannya datang mendekat,
dialah yang mendahului menerjang maju dan mengirim pukulan dengan kedua tangannya. Pukulannya ampuh
sekali dan terpaksa dua orang kakek itu meloncat ke samping sambil mengibaskan lengan menangkis.
Kembali Han Han dikeroyok dua dan betapa pun ia melawan mati-matian, sebentar saja ia sudah terdesak lagi.
Kedua orang kakek itu selain berkepandaian tinggi juga merupakan orang-orang cerdik dan banyak
pengalaman. Mereka segera mengerti bahwa dalam hal ilmu silat, Han Han masih belum mahir. Pemuda ini
hanya memiliki sinkang yang benar-benar amat hebat, di samping kekuatan mukjizat yang menimbulkan
wibawa dan dapat mempengaruhi orang lain. Karena itu mereka segera mempergunakan ilmu silat untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
mendesak dan kini tubuh Han Han pontang-panting karena harus menerima hantaman-hantaman yang tak
dapat ia elakkan atau tangkis lagi. Ia terhuyung ke sana ke mari, dijadikan seperti sebuah bola dipermainkan
dua orang anak-anak atau seekor tikus dipermainkan dua ekor kucing yang tidak segera membunuhnya,
melainkan hendak menyiksanya.
Memang orang-orang seperti Setan Botak dan Iblis Muka Kuda ini memiliki watak sadis yang luar biasa.
Mereka itu tak pernah memiliki hati jujur, tidak pernah memiliki rasa kasihan, bahkan melihat orang lain
menderita dan tersiksa, timbul semacam rasa puas dan gembira, sebaliknya menyaksikan orang lain senang
dan bahagia, hati mereka tidak senang, iri hati dan dengki. Karena inilah maka mereka itu menjadi datuk-datuk
golongan hitam, orang-orang yang sudah tidak mengenal lagi baik atau buruk, atau tidak mempedulikannya,
yang berbuat semata-mata demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri saja.
Han Han yang merasa betapa tubuhnya seperti akan pecah dan rasa nyeri membuat kepalanya pening
berdenyut-denyut, tetap membungkam dan tidak mau bicara sama sekali, apa lagi bicara tentang Pulau Es.
Dia malah menggigit bibir sampai berdarah menahan rasa nyeri, dan masih terus melakukan perlawanan
sejadinya yang tentu saja tidak ada artinya bagi kedua orang kakek itu.
Sebuah pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat mengenai leher Han Han, membuat pemuda ini terpelanting. Sesaat
ia tak dapat bangun sebab pandang matanya berkunang-kunang dan segala sesuatu seperti berpusingan.
Terpaksa Han Han memejamkan mata dan menanti pukulan maut.
“Masihkah engkau berkeras tidak mau memberi tahu tentang Pulau Es?” Ma-bin Lo-mo membentak dan
tubuhnya sudah mendoyong ke depan untuk memberi pukulan maut yang akan menghancurkan kepala Han
Han yang kini sudah tak mampu melindungi dirinya lagi itu.
Han Han tidak mau menjawab, bahkan kini ia membuka kedua matanya, terbelalak memandang kepada dua
orang kakek itu karena ia hendak menghadapi kematiannya dengan mata terbuka agar dapat melihat
bagaimana caranya dia mati! Dua orang kakek yang sudah hilang harapan dan kesabaran untuk membujuk
Han Han itu menggerakkan tangan, seolah-olah hendak berlomba pula menikmati kesenangan membunuh
pemuda keras kepala itu. Kedua tangan mereka bergerak memukul ke arah kepala Han Han dan... tubuh
mereka terpental ke belakang dan terbanting cukup keras ke atas tanah.
Han Han terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika ia melihat searang kakek tua renta yang
berambut panjang terurai tidak diurus, pakaian sederhana bukan seperti pakaian lagi, berkaki telanjang, berdiri
tak jauh dari tempat itu. Kakek tua renta itu patutnya seorang yang hidupnya terlantar, seorang jembel tua, dan
yang membuat Han Han kagum adalah wajah kakek itu yang masih kelihatan tampan dan mencerminkan
ketenangan dan kedamalan hati yang mukjizat. Kakek itu berdiri dan tersenyum memandang dua orang datuk
golongan hitam itu.
Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo yang juga terkejut sekali meloncat bangun. Ketika melihat kakek tua renta
yang bertubuh tinggi besar itu, mereka mengeluarkan seruan tertahan. Sejenak tubuh mereka menegang
seolah-olah hendak menerjang kakek tua renta itu, akan tetapi ternyata tidak demikian karena mereka
membalikkan tubuh dan... lari cepat meninggalkan tempat itu. Han Han menjadi heran sekali, akan tetapi tidak
sempat bertanya karena kakek tua renta itu pun sudah melangkah pergi perlahan-lahan dari tempat itu tanpa
mengeluarkan sepatah pun kata-kata.
Han Han baru mengeluarkan rintihan perlahan setelah dua orang iblis itu pergi dan tidak ada orang lain di
tempat itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tulang-tulangnya seperti remuk rasanya. Akan tetapi lebih sakit
lagi karena memikirkan Lulu. Ia bangun dan bersila, mengerahkan sinkang-nya sehingga hawa yang hangat
menjalar di seluruh tubuhnya, mengurangi rasa sakit. Akan tetapi karena teringat akan adiknya, tidak lama
kemudian ia bangkit berdiri, agak terhuyung dan pening. Mulutnya berbisik.
“Ouwyang Seng, awas engkau kalau mengganggu Lulu...”
Ia tahu bahwa Ouwyang Seng tinggal di kota raja. Tentu adiknya itu dibawa ke kota raja. Ia harus mengejar
secepatnya ke kota raja. Pikiran ini membuat ia melompat ke depan, agaknya ingin dengan sekali lompatan ia
dapat menyusul Ouwyang Seng. Akan tetapi ia mengeluh dan terguling, menggeletak pingsan di pinggir jurang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tubuhnya nyaris terguling ke jurang kalau saja tidak ada sebuah batu menghalangi tubuhnya yang
menelungkup.
********************
Setelah Kaisar Kang Hsi naik tahta Kerajaan Mancu pada tahun 1663, memang terjadi perubahan besarbesaran
menuju ke arah perbaikan. Kaisar ini menggunakan tangan besi untuk menyapu para pemberontak,
juga melakukan usaha keras untuk membasmi korupsi dan penyuapan.
Dengan cara radikal mengganti para pembesar tua yang korup dengan tenaga-tenaga muda, bukan hanya
diambil dari bangsa-bangsa di utara, yaitu bangsa Mancu, Mongol atau Khitan, akan tetapi juga tidak pantang
mempergunakan tenaga bangsa Han sendiri yang sudah jelas mendukung pemerintah baru itu. Bahkan
dengan sikap yang manis dan jujur, kaisar ini membuka kesempatan bagi kaum muda terpelajar untuk
menduduki jabatan-jabatan penting di kota raja melalui ujian yang jujur, bebas dari pada pengaruh suapan. Hal
ini disambut dengan gembira oleh kaum terpelajar yang semenjak dahulu bernasib sengsara karena dahulu,
betapa pun pandainya seseorang, kalau tidak dapat memberi suapan kepada pembesar yang bertugas, tak
pernah dapat lulus ujian. Sikap kaisar ini memang tepat sekali sehingga pemerintahnya mendapatkan simpati
dari pada kaum terpelajar.
Namun di samping sikap lunak dan baik untuk menarik sebanyak mungkin kaum cerdik pandai membantu roda
pemerintahannya, Kaisar Kang Hsi juga bersikap bengis dan keras terhadap rakyat yang tidak tunduk kepada
pemerintah Mancu. Pembersihan dilakukan di mana-mana, dan terutama sekali kaum kang-ouw mendapat
pengamatan keras. Tepat seperti yang diceritakan oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok kepada para
pembantunya, bagaikan ikan-ikan para tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah ini dikejar-kejar
sehingga terpaksa mereka yang dapat menyelamatkan diri lari ke Se-cuan untuk menggabung pada Bu Sam
Kwi, raja muda yang merupakan kekuatan terakhir yang menentang pemerintah Mancu.
Sudahlah lazim di dunia ini bahwa perubahan-perubahan selalu mendatangkan korban dan selalu
menimbulkan ekses-ekses yang kadang-kadang merupakan mala petaka besar. Sudah biasa pula bahwa
perintah yang dikeluarkan dengan kebijaksanaan dan mempunyai dasar yang baik sering kali berbeda dengan
pelaksanaannya, atau disalah gunakan oleh si pelaksana demi kesenangan dirinya sendiri. Demikian pula
dengan perintah kaisar. Kaisar memberi perintah untuk membersihkan kaum pemberontak dengan maksud
agar pertentangan segera berakhir dan dapat segera menujukan seluruh kekuatan dan perhatian kepada
pembangunan agar kehidupan rakyat menjadi tenteram dan jauh dari pada perbuatan yang mengandung
kekerasan.
Akan tetapi bagaimanakah pelaksanaan dari pada perintah ini? Ketika perintah turun sampai ke tangan
Ouwyang Cin Kok dan menyerahkannya kepada Puteri Nirahai dan para pembantunya, perintah itu masih
murni dan dilaksanakan dengan baik pula. Akan tetapi setelah perintah itu tersebar kepada pasukan-pasukan
yang ditugaskan melakukan pengejaran dan pembersihan terhadap orang-orang kang-ouw yang masih
menentang, terjadilah penyelewengan-penyelewengan dan penyalah-gunaan.
Pasukan-pasukan Mancu yang beroperasi jauh dari kota raja, jauh dari pengawasan para pembesar, hanya
dipimpin oleh perwira-perwira rendahan yang dalam keadaan demikian seolah-olah menjadi raja-raja kecil
yang berkuasa penuh, segera melakukan hal-hal yang sama sekali tidak menenteramkan rakyat, bahkan
sebaliknya! Apa lagi kalau ada di antara mereka yang tewas oleh sergapan kaum pemberontak kang-ouw yang
berkepandaian. Kemarahan dan dendam mereka yang tak dapat mereka lampiaskan kepada para
pemberontak lalu mereka timpakan kepada rakyat dusun-dusun yang sama sekali tidak tahu apa-apa.
Terjadilah perampokan, perkosaan, pembunuhan dan perampasan tanah untuk diberikan kepada mereka yang
dapat mengeluarkan perak dan emas sebagai sogokan!
Bermacam-macamlah peristiwa yang terjadi di jaman sengsara bagi rakyat jelata itu. Kedatangan pasukanpasukan
Mancu yang berdalih melakukan pembersihan terhadap kaum pemberontak itu jauh-jauh sudah
didengar oleh penduduk dusun-dusun sebagai kedatangan segerombolan serigala-serigala kelaparan yang
haus darah. Ada yang bergegas lari mengungsi, akan tetapi sebagian besar hanya menerima nasib dan
menyandarkan nasib keluarga mereka kepada Tuhan. Mau lari mengungsi ke mana? Di rumah pun setiap
harinya sudah sukar mendapatkan makan, kalau mengungsi tanpa tujuan, tanpa bekal, sama dengan mencari
mati kelaparan di perjalanan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan setelah pasukan Mancu memasuki sebuah dusun, benar-benar nasib mereka yang menjadi penghuni
dusun itu berada di tangan Tuhan. Tidak ada seorang pun dapat membela mereka. Tuhan yang menentukan
siapa di antara penghuni dusun itu yang akan ditimpa mala petaka, siapa yang dibakar rumahnya, dibunuh,
dirampok, atau diperkosa anak isterinya, siapa pula yang secara aneh terhindar dari mala petaka seolah-olah
para pasukan yang berubah ganas melebihi perampok-perampok itu melewati atau tidak melihat rumah itu.
Manusia adalah makhluk yang berakal budi, yang katanya merupakan makhluk-makhluk yang tertinggi tingkat
dan derajatnya di antara segala makhluk hidup yang bergerak. Akan tetapi justru karena akal budi itulah maka
tidak ada makhluk yang lebih kejam dan buas dari pada seorang manusia yang menyombongkan akal budinya.
Sebagian besar manusia menyalah-gunakan akal yang dianugerahkan khusus kepada manusia oleh Tuhan.
Akal bukan dipergunakan untuk kebaikan, untuk kemanfaatan bagi manusia umumnya dan dunia, melainkan
semata-mata akal dipergunakan sebagai alat untuk mencapai kepuasan nafsu-nafsunya yang tak kunjung
habis. Akal dipergunakan untuk mengakali (menipu) orang lain, budi dipergunakan sebagai bahan utangpiutang!
Kalau manusia sudah diperhamba nafsunya sendiri, benar-benar mengerikan sekali akibat dari pada
perbuatan-perbuatannya. Mata sudah menjadi gelap oleh nafsu, yang ada hanyalah mengejar kenikmatan dan
kepuasan nafsu, tanpa mempedulikan lagi apa yang disebut baik dan buruk, tidak lagi sadar bahwa
perbuatannya menyengsarakan orang lain bahwa perbuatannya adalah amat jahat.
Dengan dalih pembersihan dan menumpas kaum pemberontak, rakyat yang tidak berdosa disembelih, hanya
untuk dapat menyita barang-barangnya atau memperkosa isteri dan gadisnya.
Di dalam sebuah dusun, seorang ibu muda melihat suaminya disembelih di depan matanya, kemudian karena
diancam anaknya akan disembelih, ibu muda ini terpaksa menyerahkan kehormatannya dinodai secara
bergantian oleh tiga orang tentara Mancu yang menyebut diri mereka pahlawan-pahlawan Kerajaan Mancu
yang jaya! Setelah ibu muda itu tergolek pingsan, tiga orang manusia itu membunuhnya, juga membunuh
bayinya!
Ada pula gerombolan pasukan yang memperkosa isteri dan gadisnya di depan tuan rumah yang diikat pada
tiang rumah dan dipaksa menyaksikan betapa isteri dan anaknya menjerit-jerit diperkosa seperti dua ekor
domba diterkam harimau-harimau buas! Banyak lagi kekejian-kekejian yang kalau diceritakan seakan-akan
tidak masuk akal, akan tetapi hal-hal semacam itu banyak terjadi di masa itu, dan terjadi pula di mana-mana di
bagian dunia ini, terutama sekali di waktu perang mengamuk.
Perang mengubah manusia-manusia beradab menjadi buas melebihi binatang yang paling buas, menjadi jahat
melebihi iblis yang paling jahat. Dan semua perbuatan ini mereka lakukan dengan memaksakan pendirian di
dalam hati sendiri bahwa yang mereka lakukan itu adalah benar, karena mereka menjatuhkan hukuman bagi
musuh-musuh mereka. Mungkin ada di antara mereka yang setelah tenang kembali menyadari betapa kejinya
perbuatan mereka, namun mereka akan menghibur hati sendiri bahwa banyak orang menemani mereka dalam
perbuatan itu, bukan mereka sendiri, maka berkuranglah penyesalan hati mereka, sungguh pun kadangkadang
hati nurani mereka membuat mereka itu tersiksa batin mereka selama hidup mereka.
Di sebuah dusun, di sebelah selatan kota raja, hanya sejauh tiga ratus mil saja dari kota raja, terjadilah geger
ketika pasukan-pasukan Mancu melanda dusun-dusun di sekitarnya dalam ‘operasi’ mereka. Memang ada
juga hasilnya operasi yang dilakukan pasukan itu demi tugas mereka yang semestinya, yaitu membasmi
perampok-perampok dan mereka yang masih menentang kekuasaan pemerintah Mancu.
Di dalam hutan di luar dusun itu sebuah pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang telah berhasil membasmi
segerombolan perampok yang selain sering mengganggu penduduk dan orang lewat, juga terkenal memusuhi
pemerintah Mancu dan sering kali menghadang dan merampok kereta-kereta pembesar Mancu yang lewat dan
yang tidak begitu kuat pengawalannya. Sarang perampok dibasmi, banyak yang dibunuh dan ada pula yang
melarikan diri. Kepala perampok dibunuh, akan tetapi seorang di antara isteri-isteri perampok itu, yang muda
cantik dan genit, tidak dibunuh oleh perwira yang mengepalai pasukan, karena perempuan ini amat pandai
mengambil hati dan pandai pula merayu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perempuan ini menceritakan bahwa dia bukanlah perampok, bahwa dia adalah puteri seorang guru silat yang
diculik perampok dan diperkosa. Akhirnya ia dapat jatuh ke tangan kepala rampok itu dan dijadikan selirnya.
Karena perwira itu dan pembantu-pembantunya puas dengan rayuan wanita ini, maka dia dibawa sebagai
teman penghibur dalam tugas pembersihan yang mereka lakukan. Apa lagi ketika wanita itu membuktikan
bahwa dia pun pandai silat dan ikut pula melakukan gerakan pembersihan, membantu para pasukan, dia
makin disayang.
Hebatnya, perempuan ini mempunyal kesenangan yang amat aneh, yaitu ia paling suka menyaksikan wanitawanita
diperkosa oleh para anak buah pasukan! Bahkan dialah yang sering kali menangkapi gadis-gadis dan
wanita-wanita muda yang cantik untuk diberikan kepada para anak buah pasukan kemudian dengan
tersenyum puas ia menyaksikan betapa mereka itu diperkosa seperti domba disembelih! Hal ini timbul dalam
hatinya, merupakan semacam penyakit sebagai akibat dari pada pengalamannya sendiri.
Ketika masih gadis remaja, sebagai gadis terhormat anak seorang guru silat, dia diculik perampok dan
diperkosa oleh banyak orang. Semenjak itu nasibnya selalu seperti itu, diperkosa ganti-berganti tangan sampai
akhirnya ia jatuh ke tangan kepala rampok dan dijadikan selirnya. Karena penderitaan batin yang amat hebat
itulah maka dia akhirnya ingin melihat setiap orang wanita diperkosa seperti yang pernah ia alami sendiri!
Ketika pasukan memasuki dusun di selatan kota raja itu dan si wanita cabul dan genit ini mendengar bahwa di
situ tinggal seorang guru silat dengan seorang isteri dan seorang gadisnya, timbul kegairahan hatinya untuk
menimpakan mala petaka kepada guru silat dan keluarganya ini seperti yang pernah dialami keluarga ayahnya
sendiri. Maka ia lalu berbisik-bisik kepada komandan pasukan yang tertawa terbahak, kemudian menjelang
senja wanita itu bersama perwira dan tiga orang pembantunya keluar dari gedung yang dijadikan markas
sementara pasukan.
Empat orang perwira itu mengenakan pakaian biasa, tidak seperti pakaian yang mereka pakai jika
menjalankan dinas sehingga mereka kelihatan seperti tokoh-tokoh persilatan atau pembesar-pembesar sipil
karena pakaian yang dipakai secara tiru-tiru oleh orang-orang Mancu ini memang lucu. Tetapi gerakan mereka
saat berjalan jelas menunjukkan bahwa mereka adalah tentara-tentara Mancu.
Guru silat pemilik rumah yang agak terpencil itu menyambut kedatangan empat orang laki-laki tinggi besar dan
seorang wanita cantik itu dengan hati gelisah. Dari sikap mereka itu ia sudah mengenal bahwa empat orang itu
tentulah orang-orang Mancu, maka cepat ia menyambut mereka dengan hormat dan bertanya.
“Cu-wi mencari siapakah?”
Empat orang perwira Mancu itu belum pandai benar berbahasa Han, maka Si Wanita yang menjawabnya.
“Mereka ini adalah perwira-perwira Mancu yang memimpin pasukan mengadakan pembersihan.”
Wajah guru silat itu menjadi berubah dan ia bertanya hati-hati, “Ada keperluan apakah cu-wi datang
mengunjungi saya?”
Wanita cabul itu tertawa dan berkata, “Hanya ada sedikit keperluan, yaitu mereka ini hendak meminjam
sebentar isterimu yang kabarnya cantik dan anak gadismu!” Empat orang perwira itu tertawa bergelak dan
mengangguk-anggukkan kepala.
“Keparat!” Guru silat itu marah sekali dan cepat menyambar goloknya dari atas meja sambil berteriak ke dalam,
“A-bwee, ajaklah anakmu lari!”
Empat orang perwira itu tertawa bergelak, dan pemimpinnya lalu berkata. “Bunuh anjing pemberontak ini!”
Kemudian ia bersama wanita cabul itu melompat ke dalam dan mengejar ibu dan anak yang melarikan diri
melalui pintu belakang.
Kauwsu (Guru Silat) itu mengamuk, dikeroyok tiga oleh tiga orang pembantu perwira. Akan tetapi dia adalah
guru silat yang kepandaiannya biasa saja, sedangkan tiga orang lawannya adalah perwira-perwira muda yang
kasar dan bertenaga besar, juga hampir setiap hari bertempur, maka begitu dikeroyok dengan seranganserangan
dahsyat, ia hanya dapat bertahan belasan jurus saja. Tiga batang golok di tangan lawannya
menyambar-nyambar dan guru silat itu roboh mandi darah dan tewas seketika. Sambil tertawa-tawa tiga orang
dunia-kangouw.blogspot.com
perwira itu menancapkan golok mereka di atas meja, lalu berlari menyusul pemimpin mereka ke belakang.
Mereka sudah mendengar jeritan-jeritan wanita dan hal ini menambah gairah hati mereka.
Kasihan sekali nasib isteri dan anak guru silat itu. Belum jauh mereka melarikan diri sudah disusul oleh perwira
dan si perempuan cabul dan cepat mereka itu ditawan. Melihat bahwa isteri guru silat yang berusia kurang
lebih tiga puluh itu benar-benar amat cantik, jauh lebih menarik dan lebih matang dari pada gadisnya yang
berusia lima enam belas tahun, perwira itu langsung menubruk isteri guru silat itu, memeluknya dan
menciuminya sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi isteri guru silat itu meronta, melawan dan mencakar. Ada pun gadis itu dengan mudahnya
dirobohkan si wanita cabul yang menyambar sabuknya. Gadis itu bangkit berdiri dan lari, akan tetapi sabuknya
terlepas dan sabuk yang panjang itu membuat tubuhnya berputaran dan ia roboh kembali, sabuknya yang
panjang berada di tangan wanita cabul yang tertawa-tawa. Wanita itu membuat laso di ujung sabuk dan
mengalungkannya di leher gadis itu sehingga setiap kali gadis itu meronta, sabuk itu mengikat dan menjerat
lehernya dan dia roboh kembali.
Pada saat itu tiga orang pembantu perwira yang berhasil membunuh si guru silat muncul dan melihat gadis
yang meronta-ronta itu, mereka tertawa bergelak. Si wanita cabul memotong sabuk menjadi empat dan berkata,
“Nih, ikat kaki tangannya, kita permainkan dia, hi-hik!”
Laki-laki yang buas sebanyak tiga orang itu tertawa-tawa dan dua orang mengikatkan sabuk potongan itu pada
kedua tangan Si Gadis, dan seorang lagi mengikatkan sabuknya pada kaki kanan gadis itu. Ketika mereka
menarik sabuk, dan si wanita cabul menarik pula sabuknya yang menjerat leher, gadis itu terpentang kaki
tangannya dan berdiri dengan kaki kiri, berloncatan dan berteriak-teriak, “Jangan bunuh aku..., jangan bunuh
aku...!”
Sementara itu, perwira yang sudah bangkit nafsunya setelah menggumuli isteri guru silat dan mendapat
perlawanan, bahkan pipinya kena dicakar, menjadi marah. Ia menampar muka wanita itu sehingga terpelanting,
kemudian berkata marah, “Hemmm, apakah engkau masih menolak? Lihat, anakmu akan kusuruh robek
menjadi empat kalau kau menolak. Manis, mengapa kau menolak? Bukankah aku lebih gagah dari pada
suamimu yang kurus kering itu?”
“Ibu... Ibu... tolonggggg...!” Gadis itu menjerit-jerit.
“Akhiuuu... anakku...!” Si ibu menjerit, kemudian sambil terisak-isak ia berkata, “Baiklah... baiklah... lakukanlah
sesuka hatimu terhadap aku... akan tetapi bebaskan anakku... lepaskan anakku...!”
Sambil menangis terisak-isak isteri guru silat itu tidak meronta lagi, membiarkan saja apa yang dilakukan oleh
perwira yang menjadi buas itu dengan pakaian dan tubuhnya. Sementara itu, Si Gadis yang melihat keadaan
ibunya, cepat berkata kepada tiga orang dan wanita cabul yang mengikatnya dengan sabuk. “Lepaskan aku...,
ah, lepaskan aku. Lihat, Ibuku sudah mau... lepaskan aku...!”
Anak gadis itu yang hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri, agaknya lupa akan keadaan ibunya, lupa
betapa ibunya diperkosa orang secara buas, dan lupa betapa ibunya terpaksa mau menerima penghinaan ini
hanya demi keselamatannya.
“Lepaskan aku! Ibu sudah tidak menolak lagi...!” Kembali ia menjerit.
Wanita cabul itu tertawa terkekeh-kekeh. “Aduh... puas hatiku, persis seperti aku dahulu. Hi-hi-hik, alangkah
lucunya, hi-hik!” Ia menuding-nuding ke arah isteri guru silat yang menggeliat-geliat dan merintih dalam
tangisnya, kemudian mengedipkan matanya kepada tiga orang perwira. “Kita main kucing dan tikus. Lepaskan
dia!”
Tiga orang perwira itu maklum dan sambil tertawa-tawa mereka melepaskan sabuk. Gadis itu jatuh, kemudian
bangkit berdiri dan tanpa mempedulikan ibunya ia lalu melarikan diri. Akan tetapi ia menjerit lagi karena tibatiba
tubuhnya terpelanting dan kiranya sabuk yang mengikat kakinya telah ditarik dari belakang! Ia bangkit lagi,
akan tetapi ketika lari ke depan, di situ telah menghadang seorang perwira dan sekali renggut bajunya robek
sebagian! Si gadis menjerit dan lari ke kiri, hanya untuk bertubrukan dengan seorang perwira lain yang juga
dunia-kangouw.blogspot.com
merobek bajunya sambil tertawa-tawa. Gadis itu menjadi panik, lari ke sana ke mari, akan tetapi selalu
bertemu perwira yang sengaja menghadangnya dan merobeki bajunya sedikit demi sedikit sehingga hampir
telanjang. Wanita cabul yang menonton pertunjukan ini tertawa-tawa penuh kepuasan.
Setelah pakaian gadis itu habis koyak-koyak, seorang perwira menubruk maju dan memeluknya. Gadis itu
menjerit, dan pada saat itu, jeritnya diikuti jerit Si Perwira yang menciumnya. Mereka, perwira dan gadis itu,
roboh terguling dan masih berpelukan karena sebatang ranting telah menembus tubuh mereka berdua,
membuat tubuh mereka seperti dua ekor ikan disate!
Dari atas pohon melayanglah turun seorang pemuda berpakaian putih sederhana yang bukan lain adalah Han
Han! Ketika pemuda ini yang kebetulan tiba di dusun itu dalam pengejarannya kepada Ouwyang Seng melihat
peristiwa yang terjadi di belakang rumah guru silat, kemarahannya tak dapat ia tahan lagi. Dia tidak tahu
bahwa empat orang laki-laki itu adalah perwira-perwira Mancu, akan tetapi melihat perbuatan mereka, dalam
pandang matanya wajah mereka berubah seperti wajah perwira-perwira yang telah memperkosa ibunya dan
cici-nya. Maka ia menjadi mata gelap. Lebih-lebih ketika menyaksikan sikap gadis itu sama sekali tidak patut,
seorang anak yang puthauw (tak berbakti), yang membiarkan ibunya menjadi korban asal dia sendiri selamat.
Dalam kemarahannya dan kemuakannya, ia melontarkan ranting pohon dari atas pohon, sekaligus membunuh
perwira dan gadis itu! Kemudian ia melayang turun dan sekali tangannya menampar, perwira yang sedang
memperkosa isteri guru silat itu terguling dengan kepala remuk! Dua orang pembantu perwira dan wanita cabul
menjadi kaget sekali. Cepat mereka menerjang maju, akan tetapi sekali saja menggerakkan kedua tangannya,
Han Han membuat mereka bertiga roboh puia dengan kepala remuk dan dada pecah!
Isteri guru silat sudah bangkit dan lari menghampiri mayat puterinya sambil menangis, kemudian lari memasuki
rumah dan terdengar jeritnya. Han Han menyusul masuk dan melihat isteri guru silat itu menggeletak mandi
darah di samping mayat suaminya. Kiranya wanita yang kehilangan suami dan anak ini mengambil keputusan
nekat, membunuh diri! Cepat-cepat Han Han meninggalkan tempat itu dan menghela napas.
Ia memikirkan perbuatan wanita tadi. Salahkah kalau dia membunuh diri? Salah pulakah kalau dia
menyerahkan kehormatannya kepada perwira untuk menyelamatkan puterinya? Ah, betapa malang nasibnya.
Suaminya dibunuh. Puterinya juga tewas, dan dia sendiri sudah diperkosa. Harapan apa lagi dalam hidup?
Memang, agaknya kematianlah jalan terbaik.
Ketika mendengar bahwa yang dibunuhnya itu adalah perwira-perwira yang memimpin pasukan Mancu yang
berada di dusun itu, Han Han terkejut dan juga marah. Kiranya di mana-mana pasukan Mancu mendatangkan
mala petaka! Bukan hanya Han Han saja yang terkejut mendengar akan kematian empat orang perwira Mancu
di belakang rumah guru silat itu.
Juga semua penduduk dusun itu terkejut sekali, bukan terkejut bercampur marah seperti Han Han, melainkan
terkejut dan ketakutan. Mereka semua maklum apa artinya peristiwa itu, apa yang akan menjadi akibatnya.
Tentu pasukan Mancu akan mengamuk, menganggap dusun itu sebagai sarang pemberontak! Maka
berbondonglah malam hari itu juga semua penduduk lari mengungsi.
Mendengar bahwa penduduk lari mengungsi, pasukan yang kehilangan pimpinannya itu menjadi makin marah
dan menganggap bahwa tentu dusun itu menjadi sarang gerombolan pemberontak. Maka mereka lalu keluar
dari gedung yang dijadikan markas, mulai mengamuk dan membakari rumah-rumah yang sudah kosong, lalu
melakukan pengejaran terhadap para penduduk yang mengungsi.
Akan tetapi, sebelum keluar dari pintu dusun mereka dihadang oleh Han Han yang berdiri tegak sambil
bertolak pinggang menghadapi tiga puluh orang pasukan Mancu itu. Malam itu bulan telah keluar sore-sore,
dan langit tanpa mendung sehingga keadaan cukup terang. Pasukan itu heran menyaksikan ada seorang
pemuda yang rambutnya riap-riapan menghadang di tengah jalan.
Mereka maklum bahwa tentu pemuda itu seorang pemberontak, karena hanya para pemberontak atau para
tokoh petualang kang-ouw saja yang tidak menguncir rambutnya. Menguncir rambut ke belakang me-rupakan
peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah Mancu, yaitu peraturan yang berlaku bagi rakyat bangsa Han. Di
samping peraturan menguncir rambut, juga ada peraturan bahwa bangsa Han atau rakyat pedalaman tidak
diperbolehkan membawa senjata tajam!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Berhenti semua!” Han Han membentak. “Mengapa kalian hendak mengejar rakyat tak berdosa yang ketakutan
dan melarikan diri mengungsi dari dusun mereka?”
“Heh, pemberontak cilik, masih berpura-pura lagi! Pemberontak-pemberontak telah membunuh perwira-perwira
Mancu, dan semua penduduk ini tentu pemberontak, termasuk engkau dan mereka semua harus dibasmi
habis!” bentak seorang prajurit yang brewok.
“Kalian ingin tahu yang membunuh mereka di belakang rumah guru silat itu? Akulah orangnya! Pimpinan kalian
telah melakukan perbuatan keji membunuh tuan rumah dan memperkosa ibu dan anak. Aku yang melihat hal
itu tentu saja tidak tinggal diam dan turun tangan membunuh mereka. Sekarang, kalau kalian hendak
membunuh rakyat yang tidak berdosa, aku pun tidak akan tinggal diam dan akan membunuh kalian semua.”
“Wah, keparat, sombongnya! Pimpinan kami memeriksa orang-orang yang dicurigai, menghukum atau
membunuh sudah menjadi haknya. Kau... pemberontak cilik sungguh berani mati. Kawan-kawan, tangkap dan
seret ke kota raja!”
Han Han diserbu oleh puluhan orang anak buah pasukan itu. Namun Han Han sudah siap sedia dan dia sama
sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kedua kakinya tetap terpentang lebar, tubuhnya berdiri tegak, dan hanya
kedua lengannya yang bergerak ke sekeliling tubuhnya. Setiap sambaran tombak dan golok yang bertemu
dengan tangannya tentu membuat senjata-senjata itu patah atau terlempar, dan setiap kali tangannya
menyambar dan mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu orang itu roboh dengan napas putus!
Bagaikan sekumpulan nyamuk menerjang api lilin, pasukan itu menyerang untuk roboh sendiri. Bertumpuktumpuk
mayat para pengeroyok bergelimpangan di sekeliling Han Han dan kedua lengan baju pemuda ini
sudah mandi darah para pengeroyoknya. Setelah ada dua puluh orang prajurit roboh binasa, barulah sisanya
menjadi gentar dan tanpa dikomando lagi, karena pemimpin mereka memang tidak ada, mereka itu
membalikkan tubuh dan melarikan diri melalui pintu dusun sebelah utara, berlawanan dengan arah yang
ditempuh penduduk dusun yang lari mengungsi.
Han Han menghela napas menyaksikan tumpukan mayat-mayat itu. Kembali hatinya dipenuhi rasa penyesalan
karena kembali begitu ia turun tangan melakukan sesuatu, tentu akibatnya banyak nyawa melayang. Apakah
hidupnya sudah dikutuk sehingga tindakannya selalu hanya akan menimbulkan mala petaka dan pembunuhan
belaka? Ia menarik napas dan mukanya murung. Ia sampai tidak tahu bahwa ada beberapa orang mendatangi
tempat itu dan menghampiri dari jarak jauh.
Ketika akhirnya ia mendengar langkah mereka dan menoleh, kiranya yang datang adalah lima orang laki-laki
setengah tua, penduduk dusun itu. Mereka berlima itu segera menjatuhkan diri berlutut dan berkatalah seorang
di antara mereka.
“Taihiap telah menolong kami, menyelamatkan orang sedusun. Akan tetapi taihiap telah membunuh banyak
orang prajurit, bahkan membunuh empat orang perwira. Hal ini hebat sekali, harap taihiap cepat-cepat
meninggalkan tempat ini sebelum barisan besar datang dan melakukan pembersihan di sini.”
“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?”
“Kami adalah penduduk dusun ini pula, taihiap.”
“Jangan sebut aku taihiap, aku hanya seorang muda yang sudah banyak membunuh orang. Mengapa kalian
tidak ikut pergi mengungsi?”
“Kami merupakan pengungsi-pengungsi yang paling akhir, yaitu laki-laki yang siap mengorbankan diri
menghambat pengejaran agar anak isteri kami dapat lari selamat. Akan tetapi melihat taihiap menghadang,
kami bersembunyi dan menonton. Taihiap telah menyelamatkan kami, harap taihiap suka mendengar nasehat
kami untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga.”
“Tidak, kalian bantu aku menguburkan semua jenazah ini dan yang berada di belakang rumah guru silat, baru
kita pergi. Bagaimana? Ada yang suka membantuku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lima orang laki-laki itu saling pandang dengan mata heran. Pemuda ini sudah bersusah payah menolong
penduduk dan melawan para tentara Mancu, berhasil membunuh, akan tetapi kini tidak lekas-lekas pergi
menyelamatkan diri malah mengajak mereka untuk mengubur jenazah-jenazah itu! Namun tentu saja mereka
tidak berani menolak dan tanpa banyak cakap mereka itu lalu membantu Han Han menggali lubang-lubang
kuburan untuk mengubur sekian banyaknya mayat-mayat itu.
Menjelang pagi barulah pekerjaan itu selesai dan Han Han segera berkata, “Sekarang harap kalian suka pergi
cepat-cepat dari tempat ini. Aku akan bersembunyi dan melihat apa yang akan terjadi sebagai akibat dari
kejadian ini.”
Setelah kelima orang itu cepat-cepat pergi dengan ketakutan kalau-kalau ada pasukan besar Mancu yang
akan datang menyerbu ke situ, Han Han lalu mengambil sebuah daun pintu rumah yang terbakar, daun pintu
yang lebar. Ia menggunakan telunjuknya dengan kekuatan sinkang-nya mencoret-coret beberapa huruf besar
yang berbunyi:
Sie Han membasmi pasukan yang merampok, memperkosa dan membunuh rakyat yang tidak berdosa.
Pemerintah yang baik melindungi rakyat, bukan menindas mereka.
Ia memasang papan pintu itu di tengah dusun yang kini sudah kosong, kemudian ia bersembunyi di pohonpohon,
menanti datangnya pasukan Mancu yang diduga pasti akan datang ke dusun itu. Sambil duduk di atas
dahan pohon dan makan kue kering yang ia ambil dari sebuah rumah kosong, Han Han melamun dan
mengenangkan semua peristiwa yang dialaminya akhir-akhir ini dengan hati merana.
Hanya ada dua hal yang berkesan sekali di hatinya. Pertama, tentu saja terculiknya Lulu oleh Ouwyang Seng
yang kini dicarinya dan merupakan tugas pokok dan terpenting baginya di saat itu. Kedua adalah kakek tua
renta berambut panjang yang aneh, yang muncul ketika ia diancam maut di tangan Setan Botak dan Iblis Muka
Kuda. Mengapa dia tidak jadi dibunuh? Mengapa dua orang itu roboh dan mengapa pula mereka lalu lari
ketakutan? Apa yang telah dilakukan kakek aneh itu? Ia tidak melihat kakek itu melakukan sesuatu! Dan
anehnya, ia merasa seperti pernah bertemu dengan kakek itu, hanya ia lupa lagi, entah kapan dan di mana.
Tak lama kemudian tampaklah olehnya berbondong-bondong rakyat dusun melarikan diri dengan wajah
ketakutan dan dari sebelah belakang para pelarian ini terdengar derap kaki kuda dan suara-suara makian.
“Pemberontak keparat! Pembunuh-pembunuh keji!”
Makian-makian ini disusul dengan munculnya dua orang penunggang kuda dan melihat pakaian mereka,
tahulah Han Han bahwa mereka itu adalah dua orang pengawal. Dua orang pengawal itu memegang gendewa
dan beberapa kali mereka melepas anak-anak panah ke depan. Kiranya yang menjerit tadi adalah para
pengungsi yang menjadi korban anak panah mereka itu.
Han Han memandang dengan mata terbelalak dan muka merah saking marahnya. Ia melihat sendiri betapa
seorang laki-laki muda dan seorang gadis yang melarikan diri roboh oleh anak panah, bahkan seorang ibu
setengah tua yang menggendong bayi dan lewat di bawahnya menjerit ketika sebatang anak panah menancap
di punggungnya. Ibu ini roboh terguling, mendekap anaknya yang menangis. Seorang laki-laki setengah tua
berteriak kaget dan ternyata dia adalah suami ibu itu. Sambil menangis bapak ini lalu menyambar tubuh
anaknya yang masih kecil, kemudian melarikan diri dan terpaksa meninggalkan mayat isterinya untuk
menyelamatkan dirinya dan anaknya karena kalau tidak lari tentu mereka berdua menjadi korban keganasan
dua orang perwira pengawal itu pula.
Han Han tak dapat mengekang kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya sudah
melayang turun, langsung menerjang dua orang perwira pengawal yang lewat di bawahnya. Dua orang
pengawal itu kaget, namun ternyata bahwa mereka pun bukan orang lemah, karena mereka dalam kegugupan
diserang secara tiba-tiba itu menghantamkan busur mereka kepada Han Han yang sudah menggerakkan
ranting di tangannya.
“Krak-krakkk...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua buah busur dua orang pengawal itu hancur berkeping-keping sehingga mereka terkejut sekali. Akan
tetapi Han Han sudah menggunakan kedua tangannya memukul. Dua orang lawannya cepat melempar tubuh
sendiri ke belakang, meloncat dari atas punggung kuda.
“Bluk! Krokkk!”
Dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik keras dan roboh terguling, berkelojotan tak mampu bangun
kembali karena tulang punggung mereka patah terkena pukulan kedua tangan Han Han! Dua orang pengawal
yang sudah meloncat bangun itu memandang dengan mata terbelalak.
“Keparat! Siapakah engkau yang membantu para pemberontak keji?” Seorang di antara perwira pengawal itu
sudah mencabut goloknya diikuti oleh kawannya. Dua perwira ini memandang pemuda berambut panjang itu
dengan hati gentar.
“Hemmm, di dunia ini penuh dengan orang gila yang memaki orang lain gila, penuh dengan maling yang
berteriak maling. Rakyat lari mengungsi pasti ada sebabnya dan apa lagi sebabnya kalau bukan karena
kekejian orang-orang macam kalian? Rakyat mengungsi mencari tempat aman, kalian mengejar dan
membunuhi mereka. Sekarang kalian masih memaki mereka sebagai pemberontak keji! Sungguh
menjemukan!”
“Eh, orang muda. Apakah engkau termasuk seorang pemberontak?”
“Aku bukan pemberontak, akan tetapi aku menentang setiap kekejaman seperti yang kalian lakukan terhadap
para pengungsi tadi! Mereka adalah orang-orang lemah yang tertindas, yang membutuhkan bantuan orangorang
yang mengaku dirinya gagah.”
“Ha-ha! Mereka orang-orang lemah katamu? Hemmm, dengarlah orang muda. Kami adalah dua di antara para
pengawal yang mengawal Giam-tai-ciangkun bersama isterinya. Tahukah engkau bahwa hampir saja kereta
Tai-ciangkun hancur dan ada beberapa orang teman pengawal tewas oleh pengungsi-pengungsi yang kau
katakan lemah itu? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang menyelinap di antara rakyat jelata!”
“Tidak percaya! Apakah ibu yang menggendong anak ini pun seorang pemberontak?”
Dua orang perwira pengawal itu kelihatan agak malu dan seorang di antara mereka menjawab, “Memang,
kurasa bukan. Akan tetapi dalam pembersihan terhadap para pemberontak, bukanlah hal aneh kalau ada
rakyat yang terkena akibatnya, karena para pemberontak bersembunyi di antara rakyat jelata.”
“Huh, alasan kosong! Para pemberontak berada bersama rakyat, hal itu hanya berarti bahwa rakyatlah yang
memberontak! Mengapa rakyat memberontak? Karena rakyat tidak suka akan pemerintah yang
menguasainya! Kenapa tidak suka? Karena pemerintahnya tidak benar. Dari pada membunuhi rakyat, lebih
baik membersihkan diri sendiri agar dapat disuka oleh rakyat!”
“Wah-wah, bicaramu seperti pemberontak pula. Sombong!” Dua orang perwira itu mendengar suara roda
kereta dan derap kaki kuda mendatangi, maklum bahwa rombongan panglima yang dikawalnya sudah tiba. Hal
ini berarti bahwa kawan-kawan mereka sudah tiba pula, maka timbullah keberanian mereka dan serentak
mereka berdua menerjang Han Han dengan golok.
Kini Han Han sudah membuang tongkat ranting pohon tadi dan menghadapi kedua orang pengeroyok dengan
tangan kosong. Ia melihat betapa gerakan mereka itu baginya lambat sekali, maka dengan tenang ia meloncat
ke kiri, kemudian dari samping ia menggunakan tangan kanan menampar ke arah mereka. Tamparan yang
kelihatan perlahan saja, dipandang sebelah mata oleh kedua orang perwira pengawal yang cepat memutar
tubuh menggerakkan golok lagi, bukan saja menangkis tamparan lengan itu akan tetapi juga akan dilanjutkan
dengan bacokan-bacokan mematikan.
Tentu saja kedua orang perwira bangsa Mancu ini sama sekali tidak tahu bahwa tamparan itu mengandung
hawa pukulan maut Hwi-yang Sin-ciang! Mereka hanya melihat golok mereka terbang dari tangan mereka,
kemudian terasa hawa panas luar biasa menembus dada dan selanjutnya mereka tidak tahu apa-apa lagi
karena mereka telah roboh dengan dada gosong dan tubuh tak bernyawa lagi!
dunia-kangouw.blogspot.com
Robohnya kedua orang perwira ini tampak oleh rombongan pengawal yang mendahului sebuah kereta yang
ditarik oleh empat ekor kuda. Rombongan pengawal di depan kereta berjumlah dua puluh orang, mereka ini
adalah anak buah dari dua orang perwira tadi, maka melihat betapa dua orang pimpinan mereka roboh di
tangan seorang laki-laki muda berambut panjang yang tidak memegang senjata, mereka menjadi marah dan
membalapkan kuda ke depan sambil berteriak-teriak dan tombak serta golok mereka diacung-acungkan ke
atas.
Kereta itu cukup indah, ditarik empat ekor kuda dan dikawal ketat. Rombongan pengawal di depan tadinya
berjumlah dua losin orang dikepalai dua orang perwira. Empat orang pengawal telah tewas di perjalanan
sehingga tinggal dua puluh orang. Di belakang kereta juga dijaga pengawal dua losin orang dikepalai dua
orang perwira.
Melihat adanya gangguan di depan, kereta dihentikan dan dua losin pengawal di belakang telah mengurung
kereta dan melindunginya, tidak membantu dua puluh orang pengawal depan yang menerjang Han Han. Juga
dua orang pengendara kereta tidak turun dari tempatnya dan karena tempat duduk mereka itu tinggi, mereka
dapat menyaksikan pertandingan di sebelah depan.
Mata kedua pengendara itu melotot dan wajah mereka pucat penuh keheranan dan kengerian. Mereka melihat
bahwa yang menghadang jalan hanyalah seorang pemuda rambut panjang yang tidak memegang senjata, dan
yang kini dikeroyok oleh dua puluh orang pengawal itu. Dua orang pengendara ini tadinya sudah merasa yakin
bahwa kembali mereka akan melihat seorang pemberontak dicincang hancur tubuhnya oleh para pengawal
yang kuat itu. Akan tetapi ternyata apa yang terjadi di depan itu jauh berlawanan dengan apa yang mereka
duga.
Pemuda itu dengan sikap tenang sekali hanya menggerakkan kedua tangan mendorong ke kanan kiri, dan
para pengawal yang mengeroyoknya seperti semut mengeroyok jangkerik itu roboh bergulingan tak dapat
bangkit kembali! Dua orang pengendara itu melihat jelas dari tempat duduk mereka yang tinggi betapa ada
tombak yang menusuk punggung pemuda rambut panjang itu, ada pula golok yang membacok pundak dan
leher. Akan tetapi, tombak itu patah-patah dan golok itu rompal, terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian
sekali tangan pemuda itu berkelebat ke belakang, agaknya tidak menyentuh kulit para pengawal, namun
mereka yang gagal menyerang ini roboh pula tak dapat bangun.
Juga para pengawal yang menjaga kereta di sebelah belakang memandang peristiwa yang terjadi di depan
dengan mata terbelalak. Jendela kereta terbuka, sebuah kepala yang besar dan muka yang penuh brewok,
muka yang gagah perkasa, muka si panglima yang berada di dalam kereta, muncul dan bertanya kepada dua
orang perwira pimpinan pengawal belakang mengapa kereta lama berhenti di situ.
“Ada gangguan pemberontak, Tai-ciangkun,” perwira-perwira itu melaporkan.
“Banyak?” Sang panglima brewok bertanya tak acuh, memandang rendah karena dia sudah biasa mengalami
gangguan para pemberontak.
“Hanya seorang saja, Tai-ciangkun.”
“Kalau hanya seorang saja mengapa begitu lama?” Panglima itu membentak tak sabar.
Suara si perwira yang melapor kini agak gemetar, “Dia lihai bukan main, Tai-ciangkun... wah, seluruh pasukan
pengawal depan hampir semua roboh di tangannya...”
Kagetlah panglima itu. “Rombonganmu jangan meninggalkan kereta!” katanya sambil menutupkan jendela dari
dalam.
“Apa terjadi apakah?” bertanya seorang wanita cantik yang duduk di dalam kereta di depan panglima itu.
Wanita berusia kurang lebih dua puluh enam tahun ini adalah isteri panglima itu, dan ia sedang memangku
seorang anak perempuan yang mungil.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, hanya gangguan seorang pemberontak,” kata Panglima Giam Cu dengan suara tenang. “Jangan khawatir,
isteriku. Kau tenang-tenanglah di sini, para pengawal sudah menjaga kita. Pula, jika perlu, aku sendiri akan
turun tangan membunuhnya,” Panglima Giam Cu meraba gagang pedangnya.
Isterinya menggerakkan tangan menyentuh lengannya. “Jangan...! Sudah berkali-kali kuminta kepadamu agar
engkau jangan membunuh orang. Kalau hal itu perlu sekali dilakukan, biarlah para pengawal yang
melakukannya.”
Panglima itu tertawa, lalu membungkuk dan mencium pipi isterinya, kemudian berkata, “Tentu... tentu... apa
kau kira aku suka menjadi algojo setelah memiliki isteri seorang dewi seperti engkau ini?”
Akan tetapi biar pun mulutnya berkata demikian, hati panglima ini mulai merasa tidak enak dan dia lalu
menyingkapkan tirai di jendela depan kereta dan mengintai ke depan. Dapat dibayangkan betapa terkejut
hatinya ketika melihat bahwa dua puluh orang pengawal dan dua orang perwira yang memimpin pengawal
pasukan depan telah roboh semua. Kuda-kuda tunggangan mereka lari cerai-berai dan kini ia melihat seorang
laki-laki muda yang rambutnya riap-riapan berpakaian putih sederhana, berwajah beringas dan bermata
menyeramkan, melangkah perlahan menghampiri kereta yang terjaga oleh dua losin pengawal, dua orang
perwira dan dua orang pengendara kereta!
Han Han memang sudah marah sekali. Kemarahannya memuncak ketika ia dikeroyok dua puluh orang
pengawal tadi. Hujan senjata ke arah tubuhnya tidak ia pedulikan karena ia telah mengerahkan sinkang
melindungi tubuh dan pada saat para pengeroyok menerjangnya, ia menggunakan kedua tangannya memukul
ke kanan kiri ke depan belakang menggunakan Swat-im Sin-ciang. Setiap orang pengawal yang terkena hawa
pukulan ini tentu roboh dengan darah membeku dan jantung mereka berhenti bekerja seketika. Tentu saja
yang jatuh terus mati tak dapat hidup kembali!
Setelah semua pengeroyoknya roboh, Han Han memandang ke arah kereta yang terjaga oleh sepasukan
pengawal lain. Pakaiannya robek di sana-sini terkena senjata tajam, dan dia melangkah maju menghampiri
kereta. Para pengawal hanyalah anak buah, hanya alat, pikirnya. Yang duduk di kereta itu adalah
pembesarnya dan dialah biang keladinya yang harus ditumpas, pikirnya.
Sejenak sunyi sekali ketika pemuda itu dengan langkah satu-satu dan lambat-lambat menghampiri kereta.
Setelah dekat, meledaklah suara teriakan-teriakan para pengawal mengeroyok Han Han, didahului oleh dua
orang perwira. Kini rombongan pengawal ini mengeroyok Han Han setelah meloncat turun dari atas kuda dan
segera terdengar suara hiruk-pikuk, suara teriakan marah bercampur aduk dengan suara senjata patah dan
jatuh ke atas tanah, disusul pula jerit-jerit mengerikan ketika Han Han mulai dengan amukannya.
Giam-hujin (Nyonya Giam) mendekap puterinya. Mukanya menjadi pucat mendengar suara hiruk-pikuk di luar
kereta. Giam-ciangkun kembali mengintai dan panglima tinggi besar brewokan ini mengeluarkan suara
menggeram marah ketika menyaksikan betapa dua orang perwira pengawal itu sudah tewas pula, dan kini
orang muda yang aneh itu sudah merobohkan para pengawal dengan setiap gerakan tangan seperti orang
membabat rumput saja!
“Si keparat...!” Giam-ciangkun mencabut pedangnya dan hendak keluar dari kereta. Akan tetapi isterinya
memegang lengannya dan menariknya kembali.
“Jangan... jangan tinggalkan aku...”
“Hemmm, isteriku. Pemberontak itu lihai, para pengawal bukan lawannya. Aku sendiri yang harus melawannya.”
“Tidak... jangan tinggalkan aku. Aku takut...” Giam-hujin menahan dan anaknya mulai menangis.
Giam-ciangkun duduk kembali, menghela napas dan memangku pedangnya. “Baiklah, aku menjaga di sini dan
kalau dia berani masuk, kupenggal lehernya!”
Suara hiruk-pikuk di luar makin gaduh dan tubuh Giam-hujin menggigil. Giam-ciangkun diam-diam juga merasa
gelisah sekali, apa lagi ketika ia mendengar jerit-jerit kematian para anak buahnya. Ia mengintai dan alangkah
kagetnya ketika pemuda itu telah mengamuk dekat kereta dan para pengawal yang mengeroyoknya hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
tinggal enam orang lagi. Mereka itu pun mengeroyok dari jarak jauh, menggunakan senjata tombak yang
panjang, seperti enam orang pemburu yang menyerang seekor harimau dengan takut-takut terpaksa dan
hanya menakut-nakuti dengan ujung tombak saja!
Han Han yang melihat tidak ada lagi pengeroyok yang mendesaknya, segera meloncat ke dekat kereta. Ia
menggerakkan tangan mencengkeram daun pintu dan merenggut.
“Braaaakkkkk!” daun pintu itu terlepas dan pecah-pecah.
Pada saat itulah Giam-ciangkun menerjang ke luar dengan loncatan dan tusukan pedangnya ke arah dada
Han Han. Han Han yang mendengar bersuitnya angin tusukan pedang maklum bahwa orang yang
menyerangnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia cepat menggeser kaki ke kiri, tangannya
menyampok pedang itu dan kakinya menendang.
“Bukkkkk!” Tubuh Giam-ciangkun yang tinggi besar itu terlempar sampai empat meter jauhnya!
Pada saat Han Han hendak mengejar, dari atas melompat dua orang pengendara dengan golok di tangan. Han
Han menyambut mereka dengan kedua tangannya, tidak mempedulikan dua batang golok yang membacok
leher dan pundak. Tangannya berhasil mencengkeram baju mereka dan sekali kedua tangannya bergerak,
terdengar suara keras dan pecahlah dua buah kepala yang diadukannya itu, darah muncrat bersama otak!
Han Han menghampiri panglima yang ditendangnya tadi. Giam-ciangkun bertubuh kuat dan ia sudah bangun
kembali dengan pedang di tangan. Ketika Han Han melihat wajah Giam-ciangkun, terlepaslah pekik
melengking dari mulutnya seperti teriakan seekor beruang marah.
Ia melangkah lagi sambil berkata, “Engkau...? Engkaukah ini...? Si keparat jahanam.... kebetulan sekali,
kubeset kulitmu... kuminum darahmu...!”
Suara Han Han perlahan dan mendesis, wajahnya beringas seperti bukan wajah manusia. Dia mengenal
perwira brewok yang dahulu memperkosa enci-nya!
Giam-ciangkun merasa ngeri melihat wajah Han Han yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia berteriak,
“Serang...!”
Dan enam orang sisa pengawal itu dengan nekat menerjang maju, menggunakan tombak mereka yang datang
seperti hujan ditusukkan ke arah tubuh Han Han.
Han Han yang menemukan musuh besarnya, sekarang sudah menjadi marah sekali. Ia menggereng,
membiarkan tombak-tombak itu menusuknya. Kedua tangannya bergerak, yang kanan memukul dengan ilmu
sakti Hwi-yang Sin-ciang, yang kiri menggunakan Swat-im Sin-ciang dan... enam orang pengawal itu roboh,
yang tiga orang hangus seluruh tubuh mereka, yang tiga orang lagi kaku membeku, keenamnya tewas di saat
itu juga.
“Kau... iblis brewok... tibalah saatnya aku membalas dendam. Ha-ha-ha-ha!” Baru sekali ini selama hidupnya
Han Han tertawa seperti itu, suara ketawa yang tidak sewajarnya, seperti bukan suaranya sendiri, seperti
ketawa di luar kehendaknya dan memang suara ketawa ini terdorong oleh nafsu dendam yang menyesak di
hati.
Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi dia sudah menerjang maju lagi dengan pedangnya,
membacok ke arah kepala pemuda yang menyeramkan itu.
“Siuuuuuttttt...! Plak-kreekkk...!” pedang yang kena ditampar tangan Han Han itu patah menjadi dua!
Giam-ciangkun kini melempar gagang pedangnya, memandang pemuda itu dengan mata terbelalak, dan
otomatis kakinya mundur-mundur ke arah kereta. Han Han masih tertawa-tawa dan melangkah maju.
“Rebahlah!” bentaknya dan tangannya melakukan gerakan mendorong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun Giam-ciangkun sudah mengerahkan tenaganya bertahan, namun tetap saja tubuhnya terjengkang
oleh hawa dorongan yang luar biasa kuatnya. Ia jatuh terlentang dan pemuda itu melangkah maju perlahanlahan!
Tiba-tiba terdengar jerit dari dalam kereta dan Giam-hujin sudah turun dari kereta memondong puterinya yang
menangis keras sejak tadi. “Jangan bunuh dia... ah, jangan bunuh suamiku... mohon taihiap sudi mengampuni
nyawa suamiku...”
Han Han tertegun memandang wanita memondong anak yang berlutut di depan kakinya. Kemarahannya tak
mungkin dapat dihapus oleh ratap tangis seorang wanita yang tidak dikenalnya.
“Dia jahat, aku harus membunuhnya...!” Ia menjawab, suaranya dingin.
“Ahhh... ampunkan dia... ampunkan kami... taihiap, ampunkan suamiku...,” wanita itu meratap-ratap sambil
berlutut, kemudian menangis dan seolah-olah menciumi ujung kaki Han Han.
Tergeraklah hati Han Han. Ia menjadi marah kepada wanita ini yang telah menimbulkan keraguan di hatinya.
Dia harus membunuh perwira brewok ini! Apa pun yang terjadi, dia harus membunuhnya! Si Brewok ini telah
memperkosa enci-nya, memperkosanya di depan matanya! Dialah orang ke dua di antara tujuh orang perwira
Mancu yang harus dibunuhnya. Harus! Yang pertama adalah perwira muka kuning yang telah memperkosa
dan membunuh ibunya, yang ke dua perwira ini yang memperkosa enci-nya, kemudian yang lima orang
lainnya, mereka yang telah menghina keluarganya, harus dia balas dan tumpas semua!
“Dia orang busuk, kau tahu itu?” Han Han tiba-tiba membungkuk, memegang kedua pundak Nyonya Giam dan
menariknya berdiri agar mereka dapat bertemu pandang. “Dia manusia berhati iblis! Dia telah memperkosa...”
Tiba-tiba Han Han berhenti bicara, matanya terbelalak dan lehernya seperti dicekik rasanya.
Mereka berpandangan, seorang wanita cantik dan pemuda perkasa itu, yang hampir sama bentuk mukanya,
keduanya terbelalak dan Nyonya Giam seolah-olah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri, berkedipkedip,
mukanya pucat, matanya terbelalak, tangisnya terhenti seketika.
“Han Han...!”
“Leng-cici...!”
Nyonya Giam itu memang enci-nya, Sie Leng, gadis yang dahulu diperkosa kemudian dilarikan oleh perwira
brewok yang bukan lain adalah Giam Cu yang kini telah menjadi panglima. Sie Leng terkulai lemas, roboh
pingsan di dalam pelukan adiknya!
Han Han juga lemas seketika. Getaran-getaran yang menguasai dirinya, yang membuat ia buas dan haus
darah, seketika lenyap meninggalkan tubuhnya yang terasa lemas dan lelah sekali. Ia duduk di atas sebuah
akar menonjol, memangku enci-nya yang masih pingsan, memandang jauh ke depan dengan pandangan
kosong. Ia tidak mendengar dan tidak melihat betapa anak perempuan kecil itu memeluki ibunya dan
memanggil-manggil sambil menangis, “Ibu... Ibu... Ibu....!”
Dia tidak sadar pula bahwa kini Giam Cu merangkak dan berlutut di depannya, sambil berusaha mendiamkan
puterinya.
Sampai lama Han Han termangu dan melamun. Memangku tubuh enci-nya yang pingsan membuat ia teringat
akan segala hal ketika ia masih kecil. Bagaikan tampak di depan matanya segala peristiwa di waktu ia masih
kecil dan hampir ia tidak percaya bahwa enci-nya yang tadinya disangka mati itu kini berpakaian mewah dan
indah, disebut ibu oleh seorang anak perempuan, dan agaknya menjadi isteri dari Si Brewok yang akan
dibunuhnya tadi!
Sie Leng sadar dari pingsannya dan ia merasa seperti dalam mimpi ketika mendapatkan dirinya dipangku
seorang pemuda tampan berambut riap-riapan. Han Han! Pemuda ini adalah Han Han, adiknya! Ia melihat Kwi
Hong, puterinya masih menangis dan suaminya berlutut di depan Han Han!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Han Han...!” Ia berseru dan merangkul adiknya. “Han Han, engkau tidak boleh membunuh suamiku. Dia
iparmu...! Han Han, engkau ampunkanlah dia...!” katanya sambil berlutut pula di samping suaminya.
“Taihiap, saya mengaku berdosa, akan tetapi demi enci-mu dan keponakanmu ini, saya mohon ampun...,”
terdengar pula suara Giam Cu yang besar.
Han Han menjadi bingung, akhirnya menarik napas panjang dan berkata, suaranya dingin dan sakit hatinya
masih belum dapat ia hilangkan sama sekali, “Enci Leng, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau malah
mintakan ampun kepadaku untuk orang ini?”
“Han Han adikku, dengarlah penuturanku.....”
Sie Leng lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia dibawa pergi oleh Giam Cu. Mula-mula memang ia
merasa sakit hati dan benci kepada Giam Cu yang memperkosanya. Berkali-kali ia hendak membunuh diri,
akan tetapi selalu digagalkan oleh Giam Cu yang menjaganya dan ternyata bahwa perwira itu jatuh cinta
kepada gadis ini.
Dengan penuh kasih sayang Giam Cu membujuk, bahkan tidak lagi ia memperkosa gadis itu, diperlakukan
dengan sikap halus dan dihujani kemewahan. Mula-mula Sie Leng tidak mempedulikan sikap baik perwira itu,
ia terlalu benci kepadanya dan lebih baik mati dari pada menjadi isterinya. Akan tetapi Giam Cu terus
membujuk, bahkan mengenyahkan semua selirnya. Kemudian, setelah Sie Leng mendapatkan dirinya dalam
keadaan mengandung akibat perkosaan itu, ia menyerah!
“Dan ternyata bahwa dia amat mencintaku, Han Han. Mencinta sungguh-sungguh dan sampai sekarang pun
terbukti cinta kasihnya kepadaku. Setelah dia naik pangkat terus sampai menjadi panglima, dia tetap
mencintaku, tidak mempunyai isteri lain dan akhirnya aku pun mencintanya sebagai suamiku yang baik.”
Sie Leng terisak, kemudian melanjutkan ceritanya, “Kandunganku yang pertama gugur dan hal itu malah
menggirangkan hati kami karena kalau anak itu terlahir, tentu hanya akan menimbulkan kenangan pahit dari
peristiwa jahanam yang terjadi di rumah kita dahulu. Kemudian aku mengandung lagi dan terlahirlah
keponakanmu ini, Kwi Hong. Dia anak kami yang syah, yang lahir dari cinta kasih antara kami. Han Han,
setelah engkau mendengar penuturanku, maukah engkau mengampuni suamiku?”
Han Han meragu. “Akan tetapi dia dan kawan-kawannya terlampau jahat, Enci. Lupakah engkau akan keadaan
keluarga kita yang terbasmi habis?”
“Han Han, terserah kalau engkau tidak bisa mengampuninya dan memaksa hendak membunuhnya. Akan
tetapi engkau harus membunuh aku dan keponakanmu ini lebih dulu!” Sie Leng memondong anaknya dan
menghadapi Han Han dengan sinar mata menantang.
Han Han terbelalak memandang enci-nya dan melihat bahwa ucapan dan tantangannya itu berhasil, Sie Leng
lalu memegang tangan Han Han dan berkata, “Jangan menilai orang lain secara sepintas lalu, Adikku. Apakah
engkau tidak tahu bahwa kita pun bukan keturunan orang baik-baik? Kakek kita seribu kali lebih ganas dan
jahat dari pada suamiku. Dia ini hanya menjadi buas karena tugasnya yang diharuskan membasmi musuh.
Sebaliknya Kakek kita... hemmm, orang sedunia mengutuknya!”
“Apa... apa maksudmu, Enci?”
“Ohhh, engkau tidak tahu, Han Han? Apakah dahulu Ayah atau Ibu tidak pernah bercerita tentang Kakek kita
yang bernama Sie Hoat?”
Han Han menelan ludah ketika mengangguk. Teringat ia betapa Setan Botak pernah mentertawakan kakeknya.
Kalau Setan Botak mengenal kakeknya, tentulah kakeknya bukan sembarang orang!
“Kakek kita itu adalah seorang Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw
karena jahatnya! Pekerjaannya hanyalah mengganggu anak isteri orang, entah telah mencemarkan berapa
ribu orang wanita di dunia ini! Dan lebih banyak pula yang telah dibunuhnya! Nah, kau dengar sekarang? Apa
yang dialami Ibu dan aku sendiri, boleh dikatakan hukum karma sebagai pembalasan atas dosa-dosa Kongdunia-
kangouw.blogspot.com
kong kita itu. Nasibku masih baik. Biar pun aku diperkosa, akan tetapi ternyata kemudian bahwa yang
memperkosaku menjadi suamiku yang mencinta dan kucinta, menjadi Ayah puteriku. Nasibku masih jauh lebih
baik dari pada nasib ribuan orang wanita yang menjadi korban Kakek kita.”
Han Han mendengarkan dengan mata terbelatak. “Ah, benarkah itu, Leng-cici? Kalau begitu, Kakek kita itu
memiliki kepandaian yang luar biasa?”
“Tentu saja! Dia ditakuti oleh seluruh tokoh di dunia pada jamannya.”
“Kalau begitu, mengapa Ayah kita begitu lemah...?”
“Ayah kita bukanlah anaknya yang sah, melainkan anak yang terlahir dari seorang di antara wanita-wanita
yang diperkosanya...”
“Aihhh...!” Han Han menutupi mukanya. Hukum karma? Dosa kakeknya mengakibatkan hancurnya keluarga
ayahnya?
“Sudahlah, Adikku. Keturunan Ayah tinggal kita berdua, marilah engkau ikut bersamaku, Adikku. Kakak iparmu
ini amat mencintaku, dia seorang yang baik. Kalau dia melakukan hal yang mengerikan terhadap keluarga
Ayah, hal itu adalah tidak mengherankan karena hal-hal semacam itu selalu terjadi dalam perang. Engkau
telah membunuhi semua pengawal kami, ah, mengapa, Adikku?”
Han Han mengangkat muka, memandang kepada cihu-nya (kakak iparnya) yang masih menundukkan muka.
“Mengapa? Tanya saja kepada suamimu ini, Leng-cici! Para pengawal itu membunuh-bunuhi rakyat yang tidak
berdosa. Tentu saja aku tidak mau mendiamkannya saja melihat penyembelihan orang-orang tak berdosa,
melihat para pengawal itu seperti serigala-serigala buas berburu manusia!”
“Hemmm, kau anggap begitukah, Han Han? Lihatlah ini!” Sie Leng menyingkap bajunya dan memperlihatkan
pundaknya yang terluka, luka baru.
“Mengapa pundakmu, Cici?”
“Akibat serangan mendadak dari orang-orang tak berdosa itu! Mereka pura-pura menjadi rakyat jelata,
menonton kereta pembesar lewat. Tiba-tiba menyerang dengan senjata rahasia, mengenai pundakku dan
hampir membunuh keponakanmu kalau saja tidak cepat ditangkis Cihu-mu. Masih banyak hal terjadi, Han Han.
Hal-hal mengerikan yang dilakukan oleh rakyat tak berdosa itu. Pembunuhan-pembunuhan mengerikan
terhadap orang-orang yang bekerja kepada pemerintah baru. Akan tetapi semua itu sudah wajar terjadi dalam
perang.”
Han Han termenung dan terbayanglah wajah Lulu. Adik angkatnya itu pun puteri seorang Mancu yang
keluarganya terbasmi oleh ‘rakyat’, oleh Lauw-pangcu dan teman-teman yang menyebut diri mereka kaum
pejuang. Bahkan oleh mereka yang menganggap diri sendiri orang-orang gagah itu, Lulu disuruh berpakaian
seperti jembel dan dibiarkan hidup seorang diri. Apakah dosa Lulu? Berdosakah kalau dia kebetulan oleh
Thian dilahirkan sebagai anak keluarga Mancu? Salahkah sekarang kalau cici-nya mencinta pembesar Mancu
yang memperkosanya? Ia menjadi bingung memikirkan hal ini, lebih bingung lagi mendengar keterangan cicinya
bahwa kakeknya, ayah dari ayahnya, adalah seorang pentolan kaum pemerkosa wanita sehingga berjuluk
Dewa Pemetik Bunga!
Tiba-tiba Han Han berseru, “Awas...!”
Tubuhnya bergerak mendorong cici-nya ke samping dan empat buah senjata piauw runtuh ke bawah. Giamciangkun
kaget sekali, cepat merangkul isteri dan anaknya, berlindung di dekat kereta, di belakang Han Han
yang sudah berdiri tegak memandang ke depan.
“Pembesar Mancu keparat, bersiaplah untuk mampus!” terdengar seruan nyaring sekali sehingga Han Han
diam-diam terkejut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yang datang adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Buktinya, dari jauh sudah dapat menyambit
piauw yang ketika ia sampok tadi membayangkan tenaga besar, dan sebelum tampak orangnya sudah
terdengar suaranya yang nyaring. Tak lama kemudian muncullah tiga orang muda yang gerakannya tangkas
dan gesit, berloncatan dengan gerakan ringan sekali membayangkan ginkang yang tinggi tingkatnya. Mereka
itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda. Dua orang gadis yang amat cantik dan seorang pemuda
yang tampan. Usia mereka sebaya dengan Han Han, dan dari pakaian mereka, dapat diduga bahwa mereka
adalah orang muda dunia kang-ouw.
Han Han memandang mereka dengan sinar mata penuh selidik. Jantungnya berdebar dan ia mengingat-ingat
karena merasa yakin bahwa dia mengenal tiga orang muda yang perkasa ini. Tiga orang itu melihat seorang
pemuda berpakaian putih robek-robek dan berambut panjang riap-riapan berdiri tegak melindungi pembesar
Mancu dan anak isterinya, segera meloncat ke depan Han Han, memandang dengan penuh kemarahan dan
penuh selidik pula.
“Sute...!” Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang cantik dan berpakaian kuning, yang memiliki mata
bening dan sikap jujur, berseru dan melangkah maju. “Benar, engkau Han Han! Engkau Han-sute...!”
Han Han tersenyum. Tentu saja! Mengapa ia hampir melupakan mereka ini, terutama sekali gadis berpakaian
kuning ini? Mereka ini adalah sahabat-sahabatnya dahulu, bukan hanya sahabat, malah suci-suci-nya dan
suheng-nya, karena dia bersama mereka inilah yang dipilih oleh Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid! Gadis
manis berpakaian kuning ini siapa lagi kalau bukan Kim Cu! Dan gadis ke dua yang pendiam dan bermata
tajam berwajah serius itu adalah Phoa Ciok Lin, sedangkan pemuda tampan itu adalah Gu Lai Kwan!
“Wah, kiranya kedua suci dan suheng dari In-kok-san!” Ia menatap wajah Kim Cu dan sampai agak lama
mereka saling bertemu pandang.
Betapa cantiknya Kim Cu sekarang, pikir Han Han dengan pandang mata mesra. Di antara semua murid Mabin
Lo-mo tentu saja Kim Cu merupakan murid yang paling dekat dengannya. Bahkan takkan pernah ia dapat
melupakan kebaikan Kim Cu pada pertemuan terakhir mereka ketika liburan Sincia di lereng In-kok-san. Kim
Cu yang semestinya menangkapnya, bahkan membebaskannya, dan menbiarkannya pergi bersama Lulu,
bahkan memberi pakaian dan sepatu kepada Lulu!
“Kim Cu Suci, bagaimanakah keadaanmu selama ini? Kuharap engkau baik-baik saja, dan sampai kini aku
belum pernah melupakan budi kebaikanmu.”
Tiba-tiba kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan terpaksa ia menundukkan mukanya. Untuk
melenyapkan rasa jengah bahwa kenyataannya Han Han hanya memperhatikan dia seorang, Kim Cu segera
bertanya.
“Sute, kenapa kau berada di sini? Dan siapakah yang membunuhi banyak pengawal anjing-anjing Mancu itu?”
Kim Cu menudingkan telunjuknya yang kecil runcing ke arah mayat yang berserakan.
“Akulah yang membunuh mereka,” kata Han Han perlahan penuh keraguan akan benar tidaknya semua yang
telah ia lakukan. Ia teringat akan wejangan kakek di Siauw-lim-si itu dan kini ia kembali telah menyebabkan
kematian banyak sekali manusia, sampai puluhan banyaknya. Puluhan orang manusia yang sama sekali tidak
dikenalnya dan yang ia sungguh tidak tahu untuk apa ia bunuh!
“Engkau...?!” Seruan ini terdengar dari mulut tiga orang muda perkasa itu dan mata Kim Cu yang bening
terbelalak memandang wajah Han Han. Seruan yang disertai perasaan tidak percaya.
Mereka sudah sering kali bentrok dengan para pengawal dan andai kata mereka bertiga dikeroyok oleh empat
puluh lebih orang pengawal itu, tentu saja mereka akan mampu membunuh mereka semua. Akan tetapi Han
Han? Seorang diri pula? Betapa mungkin dapat dipercaya!
“Han-sute, kalau engkau yang telah membunuh semua pengawalnya, mengapa tidak lekas membunuh
pembesar Mancu ini?” tanya Phoa Ciok Lin, mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bahkan engkau tadi telah menyampok piauw-piauw yang kulepaskan!” kata pula Gu Lai Kwan. “Apa artinya
semua ini?”
Sedangkan Kim Cu tidak bertanya sesuatu, hanya memandang penuh kekhawatiran kepada pemuda yang
sejak dahulu amat disukanya dan amat dikaguminya itu. Ia sudah mengenal watak Han Han yang aneh.
Dahulu saja sudah mengambil seorang gadis Mancu sebagai adik! Setelah kini dewasa, siapa tahu apa saja
yang akan dilakukannya!
Han Han menarik napas panjang lalu mengangguk perlahan. “Sesungguhnya, akulah yang membunuh para
pengawal itu dan aku pula yang menangkis sambaran piauw yang kau lepaskan tadi.”
“Han Han, engkau tentu melakukan tangkisan piauw karena salah paham, mengira kami menyerangmu. Dan
tadi Gu-suheng juga salah sangka, dari jauh tidak mengenalmu maka mengirim serangan langsung!”
Han Han menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak demikian, Kim Cu Suci. Aku memang menangkis piauwpiauw
itu untuk melindungi keluarga ini.”
“Apa...?!” Kembali seruan ini keluar dari tiga mulut dengan berbareng.
Kalau mereka melihat Han Han menjadi pelindung pembesar Mancu, hal ini tidak akan mengherankan hati
mereka. Akan tetapi setelah mendengar bahwa Han Han membunuh sekian banyaknya pengawal Mancu,
mayat-mayat mereka pun masih belum dingin benar, bagaimana sekarang orang aneh ini malah melindungi
pembesar Mancu yang dikawal oleh para pengawal yang dibunuhnya? Sungguh membingungkan!
“Han-sute, minggirlah dan biarkan aku membunuh anjing Mancu ini bersama anak isterinya!” Gu Lai Kwan
membentak tidak sabar lagi.
Akan tetapi Han Han tetap berdiri tegak menghadang. “Tidak boleh, Gu-suheng. Kalian tidak boleh membunuh
mereka.”
“Han Han! Mengapa begini? Engkau sudah membunuhi pengawalnya, kini mengapa melindungi mereka ini?”
Kim Cu bertanya dengan suara kecewa dan penasaran.
“Karena dia adalah Cici-ku dan anaknya adalah keponakanku!” jawab Han Han tegas.
“Kalau begitu minggirlah dan biarkan kami membunuh Si Pembesar anjing...” Phoa Ciok Lin berseru.
“Tidak boleh. Dia adalah Cihu-ku, terpaksa aku harus melindunginya demi kebahagiaan Cici dan keponakanku.”
“Han Han!” Kim Cu berkata mendahului sumoi dan suheng-nya. “Kalau engkau masih keluarga pembesar ini,
mengapa kau membunuhi para pengawalnya?”
Han Han menghela napas panjang, kemudian menjawab, “Karena kulihat mereka membunuh para pengungsi.”
“Nah, itu bagus sekali!” Kim Cu berkata girang. “Engkau menyaksikan sendiri betapa jahatnya penjajah Mancu,
Han Han! Mereka membunuhi rakyat jelata, mereka membasmi keluargamu, bukan? Juga keluargaku,
keluarga Sumoi dan Suheng ini! Mereka itu jahat, patut dibasmi dari tanah air kita! Minggirlah dan biarkan aku
membunuh pembesar ini. Biar dia Cihu-mu, akan tetapi dia ini anjing Mancu. Tentu saja kami tidak akan
mengganggu Cici dan keponakanmu.”
“Benar apa yang dikatakan Kim-sumoi, Han Han. Minggirlah. Engkau pun musuh bangsa Mancu. Mereka itu
sudah terlampau banyak membunuh rakyat yang tidak berdosa, telah menginjak-injak tanah air dan rakyat kita.
Jangan sampai seorang pemuda seperti engkau menjadi seorang pengkhianat dan penjilat anjing Mancu.”
Mata Han Han berkilat ketika ia menentang pandang mata Gu Lai Kwan. “Aku bukan sute kalian dan hanya
mengingat akan perhubungan di antara kita dahulu, terutama sekali mengingat akan budi kebaikan Nona Kim
Cu, maka aku melayani kalian bicara. Bolehkah aku bertanya, sudah banyak pulakah kalian membasmi orangorang
Mancu termasuk mereka yang mau bekerja sama dengan pemerintah Mancu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang ini mengira bahwa setelah membunuhi puluhan orang pengawal itu, Han Han lalu menjadi sombong.
“Ha-ha, sungguh pertanyaan lucu!” jawab Gu Lai Kwan. “Tentu saja sudah banyak! Sedikitnya seratus orang
telah tewas di tanganku ini!”
“Demikian pula dengan Nona Kim Cu dan Nona Phoa Ciok Lin?” Han Han melanjutkan pertanyaannya.
Dua orang gadis itu mengangguk, pandang mata Kim Cu makin bingung dan khawatir. Ia merasa tidak senang
kalau harus bermusuh dengan Han Han.
Han Han tersenyum, senyum yang mengandung penuh arti. “Mungkin Cihu-ku ini sudah banyak membunuh
orang. Akan tetapi aku pun sudah banyak membunuh orang dan kalian bertiga sudah mengaku telah
membunuh ratusan orang! Entah siapa yang lebih jahat di antara kita pembunuh-pembunuh ini dan aku sangsi
apakah ada yang baik di antara kita!”
Sejenak tiga orang muda itu bingung mendengar ucapan itu. “Akan tetapi, yang kami bunuh adalah orangorang
Mancu yang jahat sedangkan yang dibunuh orang-orang Mancu adalah rakyat yang tidak berdosa!”
bantah Gu Lai Kwan penasaran.
“Gu Lai Kwan, aku hendak melihat mana ada orang yang tidak berdosa...!” Han Han menarik napas panjang,
teringat akan cerita cici-nya tentang kakeknya, yang menjadi pemerkosa wanita nomor satu di dunia!
“Han Han! Tak usah banyak cakap, mau tidak engkau minggir dan membiarkan aku membunuh anjing Mancu
itu?”
Han Han menggeleng kepala.
“Engkau mau menjadi pengkhianat?!” bentak Phoa Ciok Lin yang seperti suheng-nya amat membenci orangorang
Mancu dan sudah bersumpah hendak membunuh semua orang Mancu untuk membalas dendam
keluarganya yang habis terbasmi orang Mancu.
“Terserah bagaimana penilaian kalian. Aku tetap tidak membiarkan kalian membunuh Cihu-ku dan keluarganya.
Sebaiknya kalian pergi saja.”
“Wah, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan menjadi sombong!” bentak Gu Lai Kwan. “Minggirlah,
atau terpaksa aku akan merobohkanmu lebih dulu!”
“Han Han, minggirlah. Mengapa engkau berkeras?” Kim Cu berkata, suaranya setengah memohon.
Akan tetapi Han Han memandang gadis itu dan berkata, “Menyesal sekali, aku tidak dapat memenuhi
permintaanmu, Nona Kim Cu.”
“Kalau begitu mampuslah!” Gu Lai Kwan menerjang maju, mengirim pukulan keras sekali ke dada Han Han.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gu Lai Kwan ini merupakan seorang di antara empat murid yang
diambil Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid, dioper dari tangan Ma-bin Lo-mo, di samping Han Han, Kim Cu
dan Phoa Ciok Lin. Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah hebat, menerima pelajaran ilmu kesaktian Swat-im Sinciang.
Akan tetapi sebagai murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja tingkat kepandaian tiga orang itu lebih hebat
dari pada murid-murid Ma-bin Lo-mo.
Mereka juga telah menguasai Swat-im Sin-ciang, akan tetapi ilmu yang mereka kuasai baru setengahnya ini
seperti yang hanya dapat dicapai oleh semua murid Ma-bin Lo-mo, telah diperhebat oleh pelajaran yang
mereka terima dari Toat-beng Ciu-sian-li. Dari nenek ini mereka menerima ilmu-ilmu silat tinggi, juga telah
menguasai ilmu pukulan yang disebut Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang telah
digabung dengan Swat-im Sin-ciang sehingga pukulan yang didasari tenaga sinkang dingin itu kini
mengandung racun yang mematikan. Ketika menyerang Han Han, Gu Lai Kwan yang belum mengenal
kelihaian Han Han, tidak mengeluarkan pukulan ini, melainkan memukul dengan sinkang yang kuat akan tetapi
tidak mengandung hawa beracun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat datangnya pukulan yang amat kuat ini, Han Han dapat mengukur dari sambaran hawanya, maka
dengan berani ia menerima pukulan itu dengan dadanya! Kim Cu menahan seruannya yang sudah terlanjur
keluar dari mulutnya ketika melihat betapa Han Han menerima pukulan suheng-nya begitu saja dengan dada.
Pukulan itu mengandung tenaga sinkang yang kuat dan isi dada dapat remuk terguncang dan dapat
menyebabkan kematian. Namun ia tidak keburu mencegah lagi, hanya memandang dengan mata terbelalak.
Ada pun Phoa Ciok Lin yang menyaksikan sikap suci-nya ini mengerutkan kening dan diam-diam ia maklum
bahwa Kim Cu menaruh hati kepada pemuda berambut panjang bersinar mata aneh itu.
“Bukkk!”
“Ayaaaaa...!” Gu Lai Kwan berseru kaget dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Tentu ia akan terbanting
roboh kalau saja tidak cepat mempergunakan ginkang-nya berjungkir balik ke belakang sehingga ia dapat
berdiri lagi dengan mata terbuka lebar. Pukulannya tadi keras sekali, akan tetapi Han Han telah menerima
dengan dada terbuka dan sama sekali tidak bergeming, malah tenaga pukulannya membalik sehingga ia
terjengkang!
“Lai Kwan, lebih baik engkau dan kedua Nona ini pergi saja dan jangan mengganggu aku,” kata Han Han. Ia
sama sekali tidak ingin bentrok dengan bekas saudara-saudara seperguruannya itu.
Akan tetapi ucapannya ini menambah kemarahan Lai Kwan yang menganggap Han Han memandang rendah
kepadanya. “Manusia sombong! Tidak tahu bahwa aku tadi telah berlaku lunak kepadamu. Kalau benar-benar
ingin berkelahi, nah, kau terimalah pukulan ini!”
Setelah berkata demikian, Lai Kwan melompat ke depan sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Saat
tubuhnya masih melambung di udara, kedua tangannya mendorong ke depan. Itulah pukulan gabungan Swatim
Sin-ciang dan Toat-beng Tok-ciang yang amat hebat!
Pukulan yang mendatangkan suara bercuitan itu amat hebatnya dan Han Han tentu saja mengenal pukulan
lihai. Dia tidak berani menerima dengan tubuhnya seperti tadi, apa lagi kini kedua tangan yang mendorong itu
menuju ke arah pusarnya. Ia masih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar. Cepat ia menggerakkan
tangan kirinya, diayun dari kanan ke kiri dengan gerakan menangkis, diam-diam mengerahkan inti tenaga Imkang
yang lebih kuat dari pada Swat-im Sin-ciang. Dua tenaga mukjizat bertemu dan tentu saja Lai Kwan
bukan lawan Han Han dalam hal tenaga sakti.
Sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri tidak sanggup menandingi Han Han, apa lagi Lai Kwan. Pemuda murid Toatbeng
Ciu-sian-li ini merasa seolah-olah tubuhnya dibawa angin puyuh, kedua lengannya yang mengirim
dorongan tadi terbanting ke kanan, dan tubuhnya tak dapat ia cegah lagi ikut terbanting sehingga ia roboh
terguling-guling sampai belasan kaki jauhnya!
“Aiiihhhhh...!” Yang berseru ini adalah Kim Cu dan Phoa Ciok Lin, berseru saking heran dan kagetnya. Mereka
tentu saja maklum dan mengenal pukulan suheng mereka, dan tahu betapa kuatnya pukulan itu. Akan tetapi
Han Han dapat menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang dan akibatnya suheng mereka terpelanting
sampai belasan kaki jauhnya!
“Singgggg...!” Ciok Lin sudah mencabut pedangnya.
“Singgggg...!” Kim Cu juga mencabut pedang.
Lai Kwan sudah meloncat bangun. Ia terengah-engah dan bergidik sambil menggoyang pundaknya. Ia merasa
betapa hawa dingin menyerang dadanya dan ia hanya mengira bahwa pukulannya yang mengandung Swat-im
Sin-ciang tadi membalik oleh tangkisan Han Han yang memiliki sinkang amat kuat. Ia masih tidak tahu bahwa
Han Han telah memiliki inti sari Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya. Melihat kedua orang sumoi-nya
sudah mencabut pedang, Lai Kwan juga mencabut pedangnya dan melangkah maju.
“Ah, kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi. Pantas menjadi begini sombong!” kata Lai Kwan. “Akan
tetapi karena engkau seorang pengkhianat dan pembela anjing Mancu, engkau akan mati di tangan kami!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ucapan itu disusul oleh gerakan pedang yang amat cepat. Pedang di tangan Lai Kwan berubah menjadi sinar
putih yang menyilaukan mata. Berturut-turut tampak sinar bergulung-gulung ketika Kim Cu dan Ciok Lin
menggerakkan pedang mereka. Memang tiga orang muda ini telah menerima ilmu pedang yang amat lihai dari
guru mereka. Tiga sinar pedang bergulung-gulung seperti tiga ekor naga sakti mengurung tubuh Han Han.
Pemuda ini terkejut juga melihat berkelebatnya gulungan sinar pedang yang amat cepat dan mengeluarkan
suara berdesing. Ia mempergunakan ginkang-nya untuk berkelebat dan mengelak ke sana ke sini. Diam-diam
Kim Cu kagum bukan main. Ternyata bahwa Han Han kini telah menjadi seorang sakti, tidak saja memiliki
sinkang yang lebih kuat dari pada Lai Kwan, bahkan memiliki ginkang yang istimewa sehingga serangan
mereka bertiga selalu mengenai tempat kosong!
“Pergilah kalian! Aku tidak ingin membunuh kalian!” Berkali-kali Han Han berseru keras.
Memang dia takut sekali kalau-kalau ia kesalahan tangan lagi membunuh tiga orang ini. Hal ini amat tidak ia
kehendaki, terutama sekali ia takut kalau-kalau ia salah tangan melukai Kim Cu! Akan tetapi seruan-seruannya
tidak dipedulikan tiga orang itu yang menjadi makin penasaran, bahkan seruan Han Han itu dianggap oleh
mereka sebagai tanda memandang rendah. Mereka mempercepat gerakan pedang mereka dan kini Han Han
menjadi sibuk.
Memang, kalau tiga orang itu hanya mengandalkan tenaga sinkang, kiranya mereka takkan dapat berbuat
banyak terhadap Han Han yang jauh lebih kuat, juga dalam hal kecepatan gerakan, Han Han menang jauh.
Akan tetapi karena mereka menggunakan pedang dan ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang tingkat
tinggi yang amat hebat gerakannya, Han Han yang belum matang ilmu silatnya itu menjadi bingung. Biar pun ia
dapat mengelak cepat, akan tetapi karena dikeroyok tiga dan tidak mengenal perubahan-perubahan gerakan
tiga batang pedang yang menyambar-nyambar ganas, tidak dapat ia menghindarkan diri dari sambaransambaran
pedang sehingga dalam belasan jurus berikutnya, pahanya tergores pedang dan pundaknya juga
terluka oleh tusukan ujung pedang.
Melihat pedang mereka berhasil, Lai Kwan dan Ciok Lin lebih bernafsu lagi, hanya Kim Cu saja yang berseru.
“Han Han, pergilah. Untuk apa melindungi anjing Mancu dan mengorbankan diri sendiri?”
Seruan ini berkesan di hati Han Han dan ia kembali mencatat sikap baik dari gadis itu terhadapnya. Akan tetapi
mana mungkin ia membiarkan cici-nya, cihu-nya, dan keponakannya dibunuh? Dia menjadi bingung sendiri.
Semenjak dahulu ia bersumpah dan mengambil keputusan di hatinya untuk membunuh perwira-perwira Mancu
yang telah membasmi keluarganya, tujuh orang jumlahnya dan terutama sekali perwira muka kuning dan
perwira brewok yang ternyata adalah Giam-ciangkun ini.
Akan tetapi sekarang bagaimana? Ia malah melindungi nyawa perwira yang setiap saat dahulu tak pernah ia
lupakan sebagai musuh nomor satu itu, melindunginya dari ancaman bekas suheng-nya dan kedua suci-nya!
Bahkan ia terpaksa harus menentang dan bertanding melawan Kim Cu, gadis yang demikian berbudi
terhadapnya! Ia menjadi bingung, akan tetapi apa yang harus ia lakukan?
“Mampuslah!” Kembali pedang Lai Kwan berkelebat menusuk perutnya.
Han Han kaget dan dengan hawa pukulan tangan menangkis sehingga pedang itu meleset, tidak jadi menusuk
perut akan tetapi masih melukai pahanya dengan goresan pedang. Mulailah ia marah sekali. Mereka ini tidak
tahu betapa sejak tadi dia mengalah, hanya mengelak dan sama sekali tidak balas menyerang. Kebingungan
hatinya, ditambah rasa nyeri dari luka-luka itu menimbulkan kemarahannya. Tiba-tiba Han Han memekik keras,
tubuhnya mundur tiga langkah, kemudian ia mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan
tenaga Swat-im Sin-ciang!
Tiga orang murid Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah memiliki ilmu Swat-im Sin-ciang, mengenal gerakan ini dan
cepat mereka pun melakukan gerakan serupa untuk menjaga diri. Akan tetapi, betapa kaget hati Ciok Lin dan
Lai Kwan ketika mereka merasa hawa dingin yang luar biasa menyerang mereka, membuat mereka terhuyung
ke belakang dengan muka pucat, kemudian roboh terguling dengan tubuh menggigil kedinginan!
“Swat-im Sin-ciang...!” Kim Cu berseru kaget dan heran, juga khawatir melihat keadaan kedua orang saudara
seperguruannya. Dia sendiri tidak dipukul oleh Han Han, maka dia tidak terluka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini dengan cepat ia menerjang maju, pedangnya menusuk dada. Han Han menangkis dengan hawa pukulan
Swat-im Sin-ciang, dan hawa dingin yang menyambar dari samping membuat Kim Cu menggigil dan terhuyung.
Han Han melangkah maju dan menyambar pedang dari tangan Kim Cu. Gadis itu berdiri terbelalak
memandang dengan mulut melongo ketika melihat Han Han yang sudah marah sekali itu melampiaskan
kemarahannya pada pedang itu yang dipatah-patahkannya dengan jari tangan seperti orang mematahkan
sebatang lidi saja!
“Kim Cu, engkau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi kalian. Harap engkau mengerti dan suka membawa
pergi kedua orang saudaramu.”
Sejenak Kim Cu memandang wajah Han Han penuh kekecewaan, mengingatkan Han Han akan pandang mata
Kim Cu beberapa tahun yang lalu ketika Kim Cu melepasnya pergi bersama Lulu. Kemudian dengan gerakan
lunglai Kim Cu membalikkan tubuh, memeriksa Ciok Lin dan Lai Kwan yang sudah bersila dan menghimpun
tenaga menyembuhkan luka mereka. Kim Cu membangunkan mereka, menggandeng mereka, sekali lagi
memandang kepada Han Han, kemudian membawa kedua orang saudaranya pergi. Terdengar oleh Han Han
isak tertahan keluar dari dada gadis itu!
Ia menghela napas. Setelah bayangan Kim Cu dan kedua saudaranya lenyap di antara pohon-pohon, ia
membalikkan tubuh menghadapi Giam-ciangkun dan isterinya.
“Sungguh berbahaya...!” Giam-ciangkun berkata lirih. “Dan ilmu kepandaianmu hebat bukan main... Sie-taihiap.”
Panglima yang baru saja terbebas dari maut untuk kedua kalinya, pertama di tangan Han Han dan yang kedua
kalinya di tangan murid-murid Toat-beng Ciu-sian-li itu, amat cerdik dan masih belum berani menyebut Han
Han sebagai adik iparnya, berkata penuh kagum.
“Ah, untung ada engkau, Adikku!” kata Sie Leng sambil memeluk adiknya dan mengucurkan air mata. “Kalau
tidak, tentu kami sekeluarga telah terbunuh oleh mereka. Han Han, kepandaianmu luar biasa. Mari kau ikut
bersama kami ke kota raja, dengan kepandaianmu seperti itu tentu engkau akan mudah mendapatkan
kedudukan tinggi.”
“Betul sekali!” Giam-ciangkun berkata. “Aku yang menanggung bahwa engkau tentu akan diangkat menjadi
panglima pengawal istana!”
Han Han termenung lalu berkata, “Memang aku hendak pergi ke kota raja, untuk mencari seorang penjahat
keji.”
“Siapakah dia, Han-te (Adik Han)? Aku akan dapat membantu mencarinya,” kata Giam-ciangkun penuh gairah.
“Tentu Cihu (Kakak Ipar) tahu siapa dia. Dia bernama Ouwyang Seng...”
“Ah...!” Giam-ciangkun teringat akan semua rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai di dalam rapat di rumah
Pangeran Ouwyang Cin Kok. Akan tetapi ia pura-pura bertanya, “Tentu saja aku mengenalnya. Dia putera
Pangeran Ouwyang Cin Kok. Apakah yang telah ia lakukan terhadapmu, Adikku?”
Han Han tidak peduli akan sikap yang amat baik dan mesra dari kakak iparnya yang betapa pun juga masih
tidak disukainya itu. “Aku mencarinya karena dia telah menculik Adikku!”
“Eh-eh, Han Han. Adikmu siapa? Engkau tidak mempunyai adik. Anak orang tua kita hanya aku dan engkau!”
kata Sie Leng heran.
“Kumaksudkan Adik angkatku, namanya Lulu.”
“Lulu? Seperti nama seorang anak perempuan bangsa Mancu...”
“Memang, Leng-cici. Dia... seorang puteri keluarga perwira Mancu yang tewas dalam perang. Dia diculik
Ouwyang Seng.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Giam-ciangkun tersenyum. “Harap kau jangan khawatir, Adikku. Aku yang menanggung bahwa Adikmu itu
tidak akan diganggu. Tidak mungkin ada orang berani mengganggu dia, apa lagi dia puteri perwira Mancu.
Kurasa Ouwyang-kongcu menculiknya justru karena mendengar bahwa Adik angkatmu itu puteri Mancu, maka
dia menculiknya untuk menyelamatkannya. Bisa jadi dianggap amat membahayakan keselamatan Lulu kalau
berada di sampingmu. Biarlah, aku yang akan menemui Ouwyang-kongcu dan pasti Adikmu selamat di kota
raja.”
Hati Han Han menjadi lega mendengar ini. Mungkin benar juga apa yang dikatakan iparnya ini. Lulu seorang
puteri Mancu, mana mungkin Ouwyang Seng berani mengganggunya? Tentu ada sebab lain mengapa
Ouwyang Seng menculik Lulu.
“Baiklah, aku akan ikut bersamamu ke kota raja, Leng-cici.”
Sie Leng girang bukan main dan berangkatlah mereka naik kereta yang dikemudikan oleh Giam-ciangkun
sendiri sedangkan Han Han duduk di dalam kereta bersama Sie Leng yang menghujankan pertanyaan yang
dijawab singkat saja oleh Han Han. Betapa pun juga, hati Han Han masih belum terbiasa oleh kenyataan
bahwa enci-nya menjadi isteri musuh besarnya. Akan tetapi karena Sie Leng benar-benar merasa bahagia
dapat bertemu dan berkumpul dengan adiknya, sikapnya jelas membayangkan kebahagiaan dan keharuan
sehingga hati Han Han tidak tega untuk menyatakan ketidak-puasan hatinya.
“Leng-cici, aku masih heran mendengar ceritamu tentang Kakek kita tadi.” Ia berkata kemudian. “Benarkah
Kakek kita yang bernama Sie Hoat itu berjuluk Jai-hwa-sian dan menjadi tokoh jahat di dunia kang-ouw?”
Sie Leng mengangguk. “Ibu pernah bercerita kepadaku dengan pesan agar hal itu jangan kuceritakan kepada
siapa pun juga, tidak pula kepadamu. Apalagi tidak boleh terdengar oleh Ayah. Justru Ayah yang melarang
keras cerita itu diketahui orang lain.”
“Akan tetapi aku masih merasa heran. Kalau Kakek merupakan seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang
dijuluki Dewa, tentu kepandaiannya hebat. Mengapa Ayah seorang begitu lemah? Kalau Ayah sepandai Kakek,
tentu tidak sampai mengalami nasib demikian menyedihkan. Cici, apakah engkau mengetahui cerita
selengkapnya?”
Sie Leng menghela napas panjang. Bicara tentang keluarganya merupakan pengalaman pahit yang
menyakitkan hati, karena hal itu mengingatkan dia bahwa suaminya yang tercinta merupakan seorang di
antara mereka yang membasmi keluarganya. Kemudian ia berkata, “Aku pun hanya mendengar cerita dari Ibu.
Akan tetapi engkau sekarang sudah dewasa, sebaiknya kalau kuceritakan kepadamu, sungguh pun cerita Ibu
itu pun tidak lengkap dan tidak jelas karena urusan itu selalu dirahasiakan oleh Ayah.”
Sie Leng lalu bercerita seperti yang ia dengar dari ibunya. Puluhan tahun yang lalu, kakek mereka, yaitu ayah
dari ayah mereka yang bernama Sie Hoat terkenal sebagai seorang tokoh dunia hitam yang amat ditakuti
orang dan berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), yaitu seorang penjahat besar yang biasanya suka
menculik wanita-wanita, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang, kemudian diperkosanya. Kalau
hatinya puas dengan wanita itu, maka wanita itu tidak akan dibunuh, bahkan diberi hadiah banyak benda
berharga mahal hasil curian di istana-istana pangeran atau hartawan. Akan tetapi kalau wanita itu
mengecewakan hatinya, apa lagi melawan, lalu dibunuhnya secara keji, ditelanjangi dan disayat-sayat
tubuhnya.
Karena banyak tokoh kang-ouw yang berusaha menentangnya tewas pula di tangan penjahat cabul yang amat
lihai ini, maka namanya makin terkenal dan dia ditakuti oleh tokoh-tokoh kang-ouw. Wanita yang memuaskan
hatinya pun hanya beberapa kali saja didatangi, kemudian ia tinggalkan begitu saja karena tokoh jahat ini tidak
pernah mau mengikatkan diri kepada seorang wanita. Ada dikabarkan di antara para tokoh kang-ouw bahwa
dia sesungguhnya mempunyai isteri dan anak, akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu betul akan hal ini.
Di antara para wanita yang memuaskan hatinya dan yang ia datangi sampai belasan kali hanya seorang gadis
puteri seorang sastrawan she Kwa. Orang tua gadis yang bernasib malang ini tahu dari puterinya bahwa
puterinya menjadi korban Jai-hwa-sian, akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan? Dengan hati perih
mereka itu hanya dapat menutup rapat rahasia itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi betapa sedih hati mereka ibu ayah dan anak itu ketika terdapat kenyataan bahwa gadis itu
mengandung, sebagai akibat gangguan Jai-hwa-sian selama belasan kali itu. Jalan satu-satunya yang dapat
mereka tempuh hanyalah pindah secara diam-diam dari dusun mereka ke tempat lain dan di tempat baru ini
puteri mereka diperkenalkan sebagai seorang janda muda yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan
mengandung.
Demikianlah, gadis she Kwa itu kemudian melahirkan seorang putera. Kakeknya, sastrawan Kwa, yang
khawatir kalau-kalau anak keturunan Jai-hwa-sian itu akan mewarisi watak ayahnya, lalu memberinya nama
Sie Bun An dan semenjak kecil anak itu dididik kesusastraan oleh kakeknya, sama sekali tidak diperbolehkan
belajar ilmu silat. Ibu anak itu meninggal dunia tidak lama kemudian karena menanggung penderitaan batin
yang hebat, karena sebenarnya gadis she Kwa ini sudah jatuh cinta kepada Jai-hwa-sian yang memang
tampan dan pandai merayu wanita.
Setelah dewasa, kakeknya menceritakan Sie Bun An tentang riwayat ibunya, maka tahulah Sie Bun An bahwa
dia adalah putera penjahat besar Sie Hoat yang berjuluk Jai-hwa-sian! Hal ini membuat pemuda yang
semenjak kecil dididik kesusastraan dan mempelajari filsafat itu membenci ayahnya dan sama sekali tidak
pernah bercerita kepada lain orang. Ia amat maju dalam pelajarannya sehingga mendapat sebutan siucai
setelah lulus ujian kota raja. Dia lalu dikawinkan dan hidup sebagai siucai di Kam-chi.
“Demikianlah riwayat yang kudengar dari Ibu kita, Han Han. Siapa kira, biar pun Ayah kita tidak mewarisi
kepandaian Kakek kita itu, sekarang engkau memiliki ilmu silat yang begitu tinggi. Kiranya engkau yang
mewarisi kepandaiannya, akan tetapi kuharap engkau tidak akan mewarisi wataknya.”
Han Han menghela napas panjang. Teringat ia akan ucapan-ucapan Gak Liat Si Setan Botak yang tertawa
bergelak ketika mendengar bahwa kakeknya bernama Sie Hoat dan menyebut kakeknya itu sebagai Jai-hwasian!
Pantas saja Gak Liat mentertawakannya karena kakek itu memperkosa Bhok Khim dan ia mencoba untuk
menentangnya. Memang mentertawakan kalau cucu Jai-hwa-sian mencela perbuatan Gak Liat, karena
perbuatan Gak Liat memperkosa Bhok Khim itu masih belum apa-apa kalau dibandingkan dengan perbuatan
Jai-hwa-sian terhadap ratusan, bahkan ribuan orang wanita!
“Hemmm, aku merasa malu untuk mengaku menjadi cucu seorang jahanam keji seperti Jai-hwa-sian, Cici.”
Suara Han Han begitu dingin sehingga Sie Leng sendiri mengkirik mendengarnya. Ia teringat akan perbuatan
Giam Cu kepadanya dan ia mulai merasa ragu-ragu apakah adiknya ini tidak amat membenci suaminya! Juga
ia merasa ngeri kalau mengingat bahwa si pemerkosa ibu mereka adalah Giam Kok Ma, seorang panglima
yang berada di kota raja pula.....
********************
Han Han kagum menyaksikan rumah enci-nya yang seperti istana, lengkap dengan perabot rumah yang serba
mewah dan rumah itu sendiri amat besar, penuh dengan pelayan. Dia diperlakukan dengan sikap hormat
sekali oleh cihu-nya dan karena pada dasarnya Han Han adalah seorang yang perasa dan mudah tunduk oleh
sikap lunak, ia menjadi makin tidak enak hatinya. Mau membalas kebaikan cihu-nya, ia selalu teringat akan
terbasminya keluarganya, mau bersikap kasar, cihu-nya amat hormat kepadanya dan ia juga merasa kasihan
kepada cici-nya yang amat mencinta suaminya. Yang merupakan hiburan hatinya adalah Kwi Hong,
keponakannya yang mungil dan pandai bicara. Ia sering kali bermain-main dengan keponakannya itu, akan
tetapi kalau teringat kepada Lulu, hatinya menjadi murung lagi.
Seperti telah dijanjikannya, setiba di kota raja cihu-nya itu lalu mengunjungi rumah Pangeran Ouwyang Cin
Kok dan dengan girang sekali ia menceritakan pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Sie Han,
pemuda perkasa yang aneh dan yang menjadi bahan percakapan dalam sidang tempo hari.
“Ah, kiranya dia adalah Adik isterimu sendiri? Ha-ha-ha, bagus sekali kalau begitu!” Pangeran Ouwyang Cin
Kok bertepuk-tepuk tangan saking gembiranya.
“Akan tetapi wataknya amat aneh dan sukar diselami, Ong-ya, bahkan isteri hamba yang menjadi kakaknya
sendiri pun menyatakan bahwa perubahan amat aneh dan amat besar terjadi pada adiknya sehingga hampir ia
tidak mengenal watak adiknya. Pula, ada sebuah hal yang amat membahayakan sehingga hamba khawatir
kalau-kalau dia akan mengamuk. Kepandaiannya benar-benar menakjubkan sekali. Hamba khawatir...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, tentang kepandaiannya, aku sudah mendengar dari puteraku. Betapa pun pandainya, jago-jago sakti
kita akan mampu menundukkannya.”
“Tentang Ouwyang-kongcu inilah yang mengkhawatirkan hati hamba. Menurut pernyataannya, Adik angkatnya
yang bernama Lulu, puteri Mancu itu, diculik oleh Ouwyang-kongcu dan dia marah sekali, mengancam hendak
membunuh Kongcu kalau Adiknya tidak dibebaskan dalam keadaan selamat.”
Pangeran Ouwyang Cin Kok mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang.
“Aahhh, sungguh kedua orang bocah itu mendatangkan banyak kerepotan saja! Adik isterimu itu aneh dan
sudah mendatangkan banyak pusing, kini Adik angkatnya itu pun tidak kalah anehnya. Memang Lulu itu itu
anak perwira yang menjadi korban penyerbuan kaum pemberontak beberapa tahun yang lalu. Anak itu
disangka mati, kiranya muncul sebagai Adik angkat iparmu! Ouwyang Seng sudah berhasil menculiknya dan
karena Kaisar merasa kasihan akan nasib anak itu, mengingat pula akan jasa orang tuanya, Lulu
diperbolehkan tinggal di dalam istana sebagai dayang istana. Akan tetapi celaka sekali, baru beberapa hari
saja bocah itu telah menghilang, minggat entah ke mana! Kini Ouwyang Seng yang bingung pergi mencarinya,
karena lenyapnya Lulu tadinya dianggap mengacaukan rencana memancing Han Han ke kota raja. Siapa tahu
dia telah ikut bersamamu. Kini Han Han mencari Lulu, benar-benar memusingkan!”
Giam-ciangkun juga menjadi bingung. “Wah, kalau begitu bagaimana baiknya? Han Han tentu tidak akan
mempercayai keterangan itu dan hal ini bisa berbahaya.”
“Jangan khawatir. Katakan saja terus terang bahwa Lulu minggat dari istana. Kalau tidak percaya boleh suruh
dia menyelidiki ke istana. Sementara itu, engkau harus dapat membujuknya dan memperkenalkannya kepada
para tokoh pengawal dan pembantu. Sementara menanti kembalinya Gak-locianpwe dan keponakanku Puteri
Nirahai, juga puteraku, kita harus dapat membujuknya. Kalau perlu, kita menggunakan akal untuk membuat dia
tidak berdaya.”
Mereka berunding, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok lalu memanggil tokoh-tokoh yang berada di kota raja,
di antaranya adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek, kakak beradik Tikus Kuburan Bhong Lek dan Bhong Poa Sik,
Hek-giam-ong, Pek-giam-ong dan Hiat-ciang-sian-li Ma Su Nio yang ketiganya adalah murid-murid Setan
Botak Gak Liat dan beberapa orang panglima pengawal, termasuk Giam Kok Ma Ciangkun, panglima bermuka
kuning yang dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han Han.
Kemudian diambil keputusan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh ini kepada Han Han di rumah Giam-ciangkun
karena di situ terdapat Sie Leng yang dianggap dapat menundukkan Han Han apa bila pemuda itu bersikap
menentang. Sebelum pertemuan itu dibubarkan, diam-diam Giam Cu berbisik kepada Giam Kok Ma yang
menjadi pucat sekali mukanya. Panglima muka kuning ini mendengar betapa Han Han mencarinya dan tentu
akan membunuhnya kalau berjumpa, mengingat bahwa Giam Kok Ma inilah yang dahulu memperkosa dan
membunuh ibu Han Han. Panglima muka kuning ini lalu pulang ke rumahnya dengan muka makin kuning dan
jantung berdebar-debar gelisah.
Setelah tiba di rumahnya, Giam Cu disambut oleh isterinya dan Han Han yang ingin segera mendengar
bagaimana kabarnya tentang diri adiknya. Giam-ciangkun menarik napas panjang dan berkata, “Wah, Han-te.
Adik angkatmu itu benar-benar membikin pusing kita semua.”
“Bagaimanakah? Di mana Lulu?”
“Tepat seperti dugaanku, karena Lulu adalah puteri perwira, Ouwyang-kongcu sama sekali tidak berani
mengganggunya dan memang tidak berniat mengganggunya. Bahkan Lulu dihadapkan kepada Kaisar sendiri
yang mengingat akan jasa-jasa Ayahnya lalu mengangkat Lulu menjadi dayang istana, yaitu para siuli yang
menjadi pelayan dalam dan sebagai puteri-puteri yang terhormat. Akan tetapi, entah mengapa, setelah
mendapat kemuliaan itu, baru beberapa hari saja tahu-tahu Lulu telah minggat dari istana. Entah ke mana
perginya tak seorang pun mengetahuinya!”
Wajah Han Han yang tadinya bergembira dan lega itu kini berubah menjadi suram. Ia memandang tajam
kepada Gam-ciangkun dan berkata, “Apakah Cihu menceritakan hal yang sebenarnya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Han Han, Cihu-mu tidak pernah berbohong!” Sie Leng berkata menegur adiknya.
“Tidak mengherankan kalau Han-te kurang percaya. Akan tetapi aku berani bersumpah dan kalau hal itu pun
masih kurang meyakinkan hatimu, boleh saja Han-te melakukan penyelidikan sendiri ke istana dan bertanyatanya.
Kurasa tidak semua petugas istana dapat melakukan kebohongan yang sama.”
Han Han duduk melamun. Ia percaya karena apa perlunya berbohong kepadanya? Pula, setelah tinggal di situ
beberapa hari lamanya, ia mendapat kenyataan bahwa cihu-nya benar-benar mencinta cici-nya dan bahwa
benar-benar cici-nya hidup bahagia di situ. Ia menghela napas panjang.
“Kalau begitu, aku pun tidak bisa lama tinggal di sini. Aku harus pergi mencari jejak Lulu. Tidak mungkin aku
dapat membiarkan adikku itu merana seorang diri. Aku merasa yakin bahwa pasti dia minggat untuk
mencariku.”
“Ah, mengapa terburu-buru, Adik Han Han! Istana sendiri telah berusaha mencarinya dan banyak penyelidik
telah disebar untuk mencari Lulu, bahkan ada perintah dari Kaisar sendiri untuk memanggil gadis itu. Kurasa,
sebagai seorang gadis Mancu dia tidak akan berani membangkang terhadap perintah Kaisar. Lebih baik
engkau menanti di sini, pasti akan dapat ditemukan. Sementara itu, engkau yang memiliki ilmu kepandaian
begitu tinggi apakah tidak ingin berkenalan dengan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berada di sini?
Aku telah mengundang mereka dan mereka ingin benar berkenalan denganmu. Di antara mereka terdapat
seorang tokoh sakti dan aneh berjuluk Sin-tiauw-kwi yang kabarnya murid keturunan tokoh sakti Hek-giam-lo
dari Khitan. Ada lagi kakak beradik yang berjuluk Tikus Kuburan, juga mereka memiliki ilmu yang luar biasa
lihainya. Di samping itu, lebih baik kau tunggu tokoh yang paling hebat di antara kita semua, yaitu Puteri
Nirahai yang memiliki ilmu kepandaian mukjizat biar pun dia hanya seorang gadis muda, dia memiliki ilmu
keturunan dari pendekar wanita sakti Mutiara Hitam di Khitan!”
Hati Han Han tertarik juga mendengar ucapan itu, terutama sekali mendengar nama Puteri Nirahai. Bukankah
itu puteri Mancu yang amat lihai, yang telah mengatur siasat mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoasan-
pai? Kalau Nirahai memiliki ilmu keturunan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, berarti gadis Mancu itu
masih mempunyai hubungan perguruan dengan Siang-mo-kiam Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang sakti
Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh sendiri itu karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam.
Selain ingin bertemu dengan orang-orang sakti yang disebut cihu-nya itu, juga memang kalau dipikir, ke mana
ia harus mencari adiknya yang telah melarikan diri dari istana? Adiknya memang nakal, diberi kemuliaan di
istana tidak betah dan malah minggat tanpa pamit. Ia tertawa di dalam hatinya. Kalau Lulu tidak menghendaki,
biar kaisar sendiri tidak akan dapat menahannya! Adiknya memang nakal dan lucu, tentu sekarang sedang
bingung mencari-carinya, padahal dia sudah berada di kota raja! Kaisar mempunyai kaki tangan di mana-mana,
tentu lebih mudah mencari adiknya itu.
Melihat pemuda aneh itu agaknya sudah dapat terbujuk, Giam-ciangkun menjadi girang dan mengatur rencana
untuk mempertemukan Han Han dengan para tokoh lain, bahkan mulai membujuk-bujuk Han Han betapa
senangnya kalau pemuda itu suka menjadi pengawal atau jagoan kerajaan.
“Engkau akan cepat mendapat kemajuan, namamu akan dikenal di seluruh negeri, akan mendapat kehormatan
besar bahkan siapa tahu kelak akan mendapat kehormatan menjadi pengawal pribadi kaisar sendiri,” demikian
antara lain Giam-ciangkun membujuk adik iparnya.
Han Han menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau menjadi panglima pengawal kalau pekerjaannya hanya
membunuhi orang-orang, Cihu. Selain aku tidak mempunyai cita-cita menjadi pembesar, juga agaknya tidak
mungkin aku menjadi pembesar Mancu karena aku masih harus membunuh enam orang perwira Mancu.”
Giam-ciangkun mengerutkan alisnya yang tebal. “Apakah maksudmu, Han Han?”
Han Han memandang cihu-nya dengan tajam. Kini ia mendapatkan kesempatan untuk bicara berdua dengan
cihu-nya. “Cihu tentu mengerti bahwa aku telah bersumpah untuk membunuh tujuh orang perwira yang dahulu
membasmi keluarga orang tuaku. Cihu sendiri karena sudah menjadi suami Cici-ku dan kulihat memang Cihu
saling mencinta dengan Cici, maka aku tidak akan mengganggumu. Akan tetapi enam orang perwira lainnya,
dunia-kangouw.blogspot.com
terutama sekali perwira muka kuning yang telah memperkosa dan membunuh mendiang Ibuku, tak dapat aku
mengampuninya begitu saja. Sebelum aku dapat membunuh enam orang perwira itu, tidak mungkin aku
menjadi petugas kaisar.”
Wajah panglima tinggi besar yang penuh jenggot terpelihara baik-baik itu berubah pucat. “Aihhhhh, Adik Han
Han. Apakah engkau tidak dapat melupakan hal itu? Apakah engkau tidak dapat menerima kenyataan dan
menganggap peristiwa itu sebagai peristiwa dalam perang yang lazim terjadi?”
Han Han menggeleng kepalanya. “Perang atau tidak, perbuatan manusia dapat dibedakan bagaimana yang
jahat dan bagaimana pula yang baik. Kalau orang tuaku tewas dalam pertempuran, aku pun tidak begitu bodoh
untuk mencari pembunuh-pembunuhnya. Akan tetapi orang tuaku tidak terbasmi selagi bertempur, melainkan
dibasmi secara keji tanpa alasan. Tidak, Cihu. Tidak mungkin aku mengampuni enam orang perwira yang lain!”
Giam-ciangkuan tidak berkata apa-apa lagi, akan tetapi Han Han maklum bahwa perasaan cihu-nya
tersinggung, akan tetapi dia tidak mempedulikannya. Bahkan pada malam harinya, karena ia telah menaruh
curiga akan sikap cihu-nya yang ia tahu menaruh ganjelan hati terhadap dirinya, dengan mempergunakan
kepandaiannya Han Han dapat menyelinap mendekati jendela kamar cici-nya dan mendengar percakapan lirih
yang terjadi di dalam kamar itu. Bagi orang yang tidak memiliki sinkang tinggi sehingga daya tangkap
telinganya amat tajam, tidak mungkin mendengarkan percakapan di dalam kamar yang dilakukan sambil
berbisik-bisik itu.
“Sungguh celaka. Adikmu itu tentu akan menimbulkan mala petaka besar. Dia masih mendendam kepada
Giam Kok Ma dan lima orang perwira lainnya yang dulu menyerbu rumahmu. Dia bersumpah untuk membunuh
mereka.”
“Aih, anak itu memang keras hati sekali. Aku tidak peduli kalau mereka berenam itu dibunuh, akan tetapi kalau
dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, tentu dia akan dikejar-keiar dan ditangkap. Bagaimana baiknya,
suamiku?”
“Satu-satunya jalan untuk menghindarkan pembunuhan adalah memberi tahu mereka agar cepat-cepat
meninggalkan kota raja dan jangan menampakkan diri sebelum Han Han pergi dari kota raja. Kurasa, kalau
terlalu lama anak itu berada di sini akhirnya pasti akan timbul mala petaka. Wataknya aneh sekali.”
Cici-nya menghela napas panjang. “Betapa berat rasa hatiku harus berpisah kembali dengan saudara
kandungku yang hanya satu-satunya itu. Akan tetapi agaknya ucapanmu itu benar sekali dan terserahlah apa
yang hendak kau lakukan, asal Han Han terbebas dari pada bahaya.”
“Aku akan mengirim surat sekarang juga kepada Giam Kok Ma, agar dia bersama lima orang kawan lain itu
melarikan diri.”
Han Han cepat menyelinap pergi, jantungnya berdebar keras. Ia agak terharu mendengar ucapan cici-nya,
juga ia percaya bahwa cihu-nya tidak akan mencelakainya. Akan tetapi mendengar bahwa cihu-nya hendak
mengirim surat kepada perwira yang bernama Giam Kok Ma, ia girang sekali. Kiranya enam orang musuh
besarnya yang lain itu berada di kota raja pula! Tentu Giam Kok Ma itu pun seorang di antara enam orang
perwira itu.
Perwira rendahan yang diutus Giam-ciangkun membawa surat itu sama sekali tidak tahu bahwa di
belakangnya ada orang yang membayangi perjalanannya seperti setan. Ia tidak tahu sama sekali bahwa
bayangan yang mengikutinya itu terus ikut memasuki halaman istana Panglima Giam Kok Ma, dan bayangan
yang bukan lain adalah Han Han itu menyelinap ke dalam gelap setelah tiba di istana itu.
Bahkan ketika perwira utusan itu menyampaikan surat kepada Panglima Giam Kok Ma yang membaca surat
itu dengan muka berkerut-kerut, Han Han mengintai dari lubang di atas genteng. Sinar mata Han Han berapiapi
ketika mengenali panglima yang mukanya kuning itu. Itulah dia si keparat yang dahulu memperkosa
ibunya!
Mukanya terasa panas dan kalau menurutkan nafsunya, ingin ia pada saat itu juga melompat ke dalam kamar
dan membunuh musuh besarnya itu. Akan tetapi Han Han menahan kemarahannya. Lebih baik menanti
dunia-kangouw.blogspot.com
sampai mereka semua berkumpul, pikirnya. Kalau kubunuh dia sekarang, aku masih harus mencari yang lima
orang lainnya dan hal itu tidak akan mudah. Apa lagi cihu-nya sama sekali tidak suka membantunya dalam hal
pembalasan dendam ini dan hal ini pun ia maklumi, bahkan cihu-nya tentu saja akan memberi kabar secara
diam-diam kepada rekan-rekannya untuk melarikan diri.
Han Han memang telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi betapa pun juga dia hanya
seorang pemuda yang kurang pengalaman. Mana mungkin ia dapat menandingi kecerdikan tokoh-tokoh
istana? Dia sama sekali tidak tahu, bahkan tidak menduga sedikit pun bahwa sesungguhnya semua ini telah
diatur dan direncanakan oleh para tokoh itu, di bawah pimpinan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Tidak tahu
bahwa semua itu adalah pelaksanaan siasat mereka.
Karena Giam-ciangkun maklum bahwa di dalam hatinya Han Han tidak senang kepadanya dan bahwa pemuda
ini merupakan ancaman baginya untuk selama hidupnya, maka ia telah mengatur rencana bersama Ouwyang
Cin Kok dan para tokoh lainnya. Kalau mereka menanti kembalinya Gak Liat, Puteri Nirahai dan Ouwyang
Seng, tentu akan memakan waktu lama dan siapa tahu dalam waktu itu apa yang akan dilakukan pemuda
aneh itu. Apa pun yang dilakukannya, pasti menimbulkan kengerian dalam hati mereka, mengingat betapa
mudahnya Han Han membunuh puluhan orang pengawal.
Kebetulan sekali dua hari sebelum Han Han mendengarkan percakapan antara cihu dan cici-nya, muncul
seorang nenek yang luar biasa di waktu malam di dalam gedung istana Pangeran Ouwyang Cin Kok.
Munculnya seperti iblis saja, tahu-tahu telah berada di ruangan dalam tanpa diketahui oleh para pengawal
yang menjaga. Kehadirannya baru diketahui hanya setelah dia lewat di kamar yang dijadikan kamar tidur Sintiauw-
kwi Ciam Tek saja.
“Rebahlah!” Tiba-tiba nenek itu mendengar suara kaku di belakangnya.
Nenek itu merasa betapa ada angin pukulan yang hebat luar biasa mendorongnya dari belakang. Nenek ini
bukan lain adalah Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Maklum bahwa ada orang berkepandaian tinggi
menyerangnya dari belakang, nenek ini memutar tubuhnya. Pemutaran tubuhnya ini didahului oleh
menyambarnya anting-anting panjang berbentuk rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya. Rantai
gelang itu menyambar ke depan menangkis pukulan Sin-tiauw-kwi Ciam Tek.
“Tranggggg...!”
Pukulan yang dilakukan Sin-tiauw-kwi adalah pukulan Hek-in Sin-ciang. Dari kedua telapak tangannya
mengebul asap hitam, hebatnya bukan main. Ketika ujung rantai gelang bertemu dengan tangan Si Burung
Hantu, sebuah gelang terlepas, akan tetapi bukan terlepas runtuh, melainkan terlepas dan meluncur ke arah
tubuh Si Burung Hantu, menyambar jalan darah mematikan di tenggorokan!
Kedua orang tokoh sakti itu sama-sama terkejut, Toat-beng Ciu-sian-li terkejut ketika tangkisan senjatanya
yang aneh itu mengakibatkan sebuah gelang putus, maka ia membuat gelang itu meluncur menyerang lawan
sambil meloncat mundur. Ada pun Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terkejut bukan main bahwa serangannya yang amat
ampuh itu selain dapat dihindarkan lawan, juga lawan yang lihai itu malah berbalik menyerang dengan senjata
rahasia yang aneh itu. Cepat ia miringkan kepalanya dan mulutnya yang runcing meniup gelang itu sehingga
menyeleweng dan masuk ke dalam dinding!
Mendengar suara ribut-ribut, sebentar saja ruangan itu penuh dengan para pengawal yang mengepung nenek
itu. Kakak beradik Tikus Kuburan yang mengenal nenek itu berseru dengan kaget, “Ah, kiranya Toat-beng Ciusian-
li yang datang?”
Nenek yang tadinya menyapu para pengawal yang mengurungnya dengan pandang mata mengejek, kini
memandang kakak beradik itu dan berkata, “Eh-eh, agaknya kedua Tikus Kuburan juga kesasar sampai di sini.
Orang-orang she Bhong, aku memenuhi undangan Setan Botak yang menyatakan bahwa Pangeran Ouwyang
Cin Kok membutuhkan bantuan orang pandai, akan tetapi beginikah penerimaan Pangeran Ouwyang Cin Kok
terhadap tamunya? Siapa kira Pangeran Ouwyang memelihara anjing galak yang mukanya seperti burung
sekarat!” Ia melirik kepada Sin-tiauw-kwi yang mendengus saja mendengar ucapan menghina itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran Ouwyang Cin Kok yang telah bangun pula tadi bersembunyi di tempat rahasia. Ketika mendengar
bahwa nenek yang mengerikan itu adalah Toat-beng Ciu-sian-li, dan melihat bahwa jagoan-jagoannya telah
berada di situ, kini berani muncul dan ia segera berkata.
“Ah, harap locianpwe suka memaafkan orang-orangku. Karena kedatangan locianpwe tanpa memberi tahu dan
pada tengah malam secara begini mengejutkan, maka orang-orangku tidak mengenal locianpwe. Silakan
duduk.”
Toat-beng Ciu-sian-li sejenak memandang wajah pangeran itu, lalu tertawa dan minum araknya dari guci arak
yang selalu diselipkan di pinggang, kemudian tertawa lagi sehingga kepalanya bergoyang-goyang dan antingantingnya
yang besar dan amat panjang itu mengeluarkan bunyi berkerincingan.
“He-he-he, Pangeran Ouwyang dapat menghargai orang pandai, itu bagus! Eh, Ouwyang Ong-ya, anjingmu ini
selain galak juga lihai sekali. Siapakah dia?” Ia menudingkan telunjuknya ke arah Sin-tiauw-kwi yang sudah
berdiri dengan sebelah kaki.
“Apakah locianpwe belum mengenalnya? Dia berjuluk Sin-tiauw-kwi.”
Nenek itu membelalakkan kedua matanya. “Wah-wah, kiranya inikah Si Burung Hantu? Luar biasa sekali,
pantas dengan namanya, memang engkau buruk seperti burung hantu. Aku ingin sekali mencoba
kepandaianmu!”
“Hemmm, nenek tua bangka. Bukankah engkau ini seorang di antara selir-selir Suma Kiat? Aku pun ingin
mencoba gebukan-gebukanmu beberapa jurus! Kapan saja dan di mana saja!”
Mendengar ini, di dalam hatinya Pangeran Ouwyang Cin Kok mengomel. Celaka sekali orang-orang sakti yang
wataknya aneh ini. Kalau dibiarkan tentu akan saling gebuk dan rumahnya menjadi arena perkelahian di antara
pembantu-pembantunya sendiri. Bisa berabe! Cepat ia tertawa dan meloncat ke depan.
“Harap ji-wi suka menangguhkan pibu itu untuk lain kali saja. Sekarang ada urusan yang amat penting yang
kuharapkan akan mendapat bantuan Ciu-sian-li. Marilah kita bicara di dalam ruangan belakang. Silakan,
locianpwe.”
Demikianlah pangeran yang cerdik ini berunding dengan tokoh-tokoh itu dan hasil perundingan ini merupakan
siasat yang dijalankan Giam-ciangkun terhadap Han Han. Di luar tahu pemuda itu sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li
yang lihai membayangi pemuda ini, terus membayanginya ketika Han Han mengikuti utusan yang membawa
surat Giam-ciangkun kepada rekannya, si panglima muka kuning, Giam Kok Ma.
Ini sudah termasuk rencana mereka. Kalau Han Han langsung turun tangan terhadap Giam Kok Ma, tentu ia
akan berhadapan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Kalau tidak dan pemuda ini mengikuti Giam Kok Ma seperti
yang mereka duga, hal ini pun sudah mereka persiapkan untuk menyambut pemuda itu!
Ketika Han Han mengintai dari atas genteng di gedung Giam Kok Ma, ia mendengar musuh besarnya itu
berkata.
“Baiklah, sampaikan kepada Giam-ciangkun bahwa aku sudah mengerti akan isi suratnya dan besok pagi-pagi
aku akan menghubungi rekan-rekan yang terancam.”
Mendengar ini Han Han lalu meninggalkan gedung dan bersembunyi di atas sebatang pohon sambil menjaga.
Pada keesokan harinya, ia melihat Giam Kok Ma, musuh besarnya itu meninggalkan gedung menunggang
kuda dikawal oleh enam orang pengawal. Ia cepat meloncat turun dan mempergunakan ginkang-nya mengikuti
dari jauh. Larinya cepat sekali sehingga biar pun panglima bersama pengawal-pengawalnya itu membalapkan
kuda, ia masih dapat mengikuti mereka.
Jauh di luar kota, rombongan itu memasuki sebuah hutan dan ternyata di pinggir hutan itu terdapat sebuah
bangunan yang indah, agaknya sebuah rumah peristirahatan pembesar Mancu. Ia melihat Giam Kok Ma
memasuki rumah itu, sedangkan para pengawal lalu menuntun kuda ke kandang kuda dan masuk di bagian
belakang gedung itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han cepat melayang naik ke atas genteng. Dari atas ia mencari-cari namun tidak melihat bayangan
musuhnya. Ia mencari terus dan akhirnya karena khawatir kalau-kalau kehilangan musuhnya, ia meloncat
turun masuk ke dalam melalui jendela dan tiba di sebuah ruangan yang luas. Baru saja kakinya menginjak
lantai, sebuah pintu terbuka dan yang muncul adalah... Giam Cu cihu-nya.
“Eh, Adik Han Han! Mengapa engkau berada di sini?” Panglima brewok ini bertanya dengan wajah kaget dan
heran.
“Cihu, ini rumah siapakah?” Han Han balas bertanya, suaranya juga heran akan tetapi kereng dan dingin.
“Ini rumahku, rumah peristirahatan!” jawab cihu-nya. “Dan sungguh kebetulan sekali kedatanganmu, Adikku.
Memang aku sedang memanggil berkumpul tokoh-tokoh pengawal istana di sini untuk memperkenalkannya
kepadamu. Siapa tahu, engkau malah sudah datang ke sini! Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?”
“Cihu, aku mengejar musuh besarku, perwira muka kuning! Ke mana dia? Harap Cihu jangan mencampuri,
suruh dia keluar bersama musuh-musuhku yang lain!”
“Eh-eh, Adik Han Han. Mengapa engkau memaksa diri hendak menyebabkan kekacauan? Harap kau suka
memandang mukaku dan mengingat Encimu. Jika engkau melakukan hal-hal yang mengacaukan di sini, dan
membunuh panglima-panglima kerajaan, berarti engkau akan mendatangkan mala petaka kepadaku.”
“Mengapa mereka datang ke rumah Cihu di sini? Mau apa? Apa artinya ini semua?”
“Adikku, mereka adalah panglima-panglima kerajaan, tentu saja mereka pun sudah biasa mengadakan
pertemuan dengan aku dan para tokoh pengawal. Ah, lebih baik kuperkenalkan kau dengan para pengawal.”
Pada saat itu beberapa buah pintu terbuka dan muncullah tiga orang yang amat aneh keadaannya. Han Han
memandang tajam dan ia pun siap dan waspada, maklum bahwa tiga orang yang muncul ini bukanlah orangorang
sembarangan dan ia mulai curiga terhadap cihu-nya.
“Sam-wi locianpwe, inilah Adik iparku yang gagah perkasa dan yang telah mem-persiapkan tenaganya untuk
membantu kerajaan. Inilah pendekar muda Sie Han.” Giam-ciangkun memperkenalkan, kemudian berkata
kepada Han Han, “Adikku, locianpwe itu adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang amat lihai dari Khitan. Ada pun
kedua orang locianpwe ini adalah kedua Saudara Bhong yang berjuluk Sepasang Tikus Kuburan, juga memiliki
ilmu kepandaian yang lihai sekali.”
Han Han memandang mereka, terutama sekali Si Burung Hantu yang amat aneh keadaannya itu. Burung
Hantu memandang Han Han dengan mata disipitkan, jelas sekali memandang rendah, kemudian berkata.
“Ehemmm, Adik iparmu ini lumayan juga, Giam-ciangkun!” Mungkin karena ketika bicara mulutnya terbuka dan
mengeluarkan bau yang seperti sampah, dua ekor lalat terbang menyambar ke arah mulutnya.
“Heh, segala macam lalat mengganggu saja!” kata Si Burung Hantu dan dua kali tampak sinar berkelebatkelebat
ketika manusia aneh ini menggerakkan senjatanya yang seperti sabit dan... tubuh dua ekor lalat kecil
itu jatuh ke lantai, terbelah menjadi dua!
Han Han yang melihat ini diam-diam merasa ngeri dan kaget sekali, maklum bahwa manusia yang seperti
burung itu benar-benar amat sakti. Akan tetapi dia tidak mau peduli, lalu berkata kepada Giam-ciangkun, “Cihu,
aku tidak ingin berkenalan dengan para locianpwe ini, melainkan ingin segera berhadapan dengan musuhmusuhku.
Suruh mereka keluar, atau terpaksa aku akan mencari mereka sendiri di dalam rumah ini!”
“Heh-heh, bocah yang menjadi iparmu ini sungguh tidak memandang mata kepada kami, Ciangkun. Siapakah
yang menjadi musuh-musuh mereka yang dicarinya di sini?” tanya Bhong Poa Sik yang kepalanya botak dan
ubun-ubunnya ada ‘telur’-nya.
Giam-ciangkun menarik napas panjang. “Hemmm, inilah yang menyusahkan hatiku, Sam-wi Locianpwe. Adik
iparku ini mempunyai dendam pribadi terhadap rekan kita Giam Kok Ma dan lima orang panglima lain dan
dunia-kangouw.blogspot.com
berkeras hendak membunuh mereka. Bagaimana aku harus berbuat? Dia ini adalah Adik iparku sendiri,
sedangkan membunuh enam orang rekan panglima sama saja dengan pemberontakan. Adikku Han Han,
pikirlah baik-baik. Sebaiknya engkau menghapus semua dendam pribadi yang tidak ada gunanya itu dan
marilah menikmati kemuliaan di kerajaan bersama para locianpwe ini. Percayalah, Kaisar amat bijaksana dan
dapat menghargai seorang pandai.”
Han Han mengerutkan keningnya dan menggeleng kepala. “Tidak bisa, Cihu. Dari pada menjadi seorang anak
yang puthauw (durhaka), yang tidak mau membalas kematian keluarga orang tuaku, lebih baik aku menempuh
segala bahaya sampai mati!”
“Hem, bocah sombong. Engkau hendak membunuhi enam orang panglima kerajaan? Wah-wah, nanti dulu!
Apa kau kira hadirnya orang macam aku di sini tiada gunanya? Lawan dulu sabitku, baru boleh kau coba-coba
melanjutkan niatmu yang jahat!” Sin-tiauw-kwi mengejek dan kakinya yang hanya sebelah yang berdiri itu
meloncat-loncat seperti burung, maju mendekati Han Han.
“Orang muda, dengan adanya kami di sini, mana mungkin engkau akan membunuh panglima kerajaan?
Jangan mimpi di siang hari!” bentak Bhong Lek yang sudah maju pula bersama adiknya.
Han Han mengerutkan keningnya dan memandang kakak iparnya, lalu berkata, suaranya dingin sekali.
“Hemmm, beginikah kehendakmu, Cihu?”
Bertemu pandang dengan adik iparnya, Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri. Pandang mata Han
Han seolah-olah menembus dan dapat menjenguk isi hatinya, maka sambil menggerakkan pundaknya dan
mengalihkan pandang ia menjawab, “Engkaulah yang menyusahkan aku, Han Han. Tentu saja tidak seorang
pun di sini yang akan membiarkan engkau membunuh orang, apa lagi hendak membunuh enam orang
panglima. Bahkan aku sendiri mau tidak mau harus mencegahmu, karena kalau aku membiarkanmu, berarti
aku seorang pemberontak pula. Mengapa kau tidak mau sadar?”
Han Han memutar otaknya dan teringatlah ia akan semua kejadian semenjak malam tadi. Ia ingat akan
percakapan antara cihu-nya dan cici-nya, kemudian teringat akan perbuatan Giam Kok Ma sehingga perwira
itu pergi ke tempat ini. Ternyata cihu-nya sudah berada di sini pula bersama tokoh-tokoh ini. Bukankah semua
ini sudah diatur lebih dulu? Dugaan ini menimbulkan amarah di hatinya, maka ia mengangkat muka
membusungkan dada.
“Keputusanku sudah jelas! Aku akan mencari Si Keparat Panglima Muka Kuning yang bernama Giam Kok Ma
itu dan lima orang sekutunya yang dulu menghancurkan keluarga orang tuaku. Jika ada yang ingin
menghalangi, dia itu pun harus kuenyahkan!”
“Heh-heh, orang muda yang sombong!” Dua orang Tikus Kuburan sudah menubruk maju untuk menangkap
Han Han. Mereka memandang rendah sekali. Pemuda itu masih bocah, biar pun keadaannya aneh dan
sikapnya luar biasa dingin dan beraninya, namun mempunyai kepandaian apakah?
Han Han yang sudah marah itu membalikkan tubuh dan menggerakkan kedua tangannya mendorong. Karena
maklum akan kelihaian dua orang kakek ini, sekaligus ia telah mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang pada kedua
lengannya.
“Hayaaaaa...!” Dua orang itu terkejut setengah mati ketika ada hawa panas menyambar dan menyesakkan
dada mereka, membuyarkan semua tenaga sinkang mereka yang mereka pergunakan untuk menahan pukulan,
akhirnya mereka tidak kuat dan terpaksa melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan menjauhkan diri!
Mereka meloncat bangun dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
“Hmmm, kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian!” Si Burung Hantu membentak, akan tetapi sebelum ia
turun tangan, terdengar suara ketawa.
“Hi-hi-hi, burung yang jelek, jangan rampas korbanku! Serahkan bocah ini kepadaku!” Tubuh Toat-beng Ciusian-
li melayang turun dan tahu-tahu ia telah berhadapan dengan Han Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena merasa pernah menjadi murid wanita ini, Han Han terkejut sekali dan otomatis ia menjura dengan
hormat sambil berkata, “Subo, harap jangan mencampuri urusan pribadiku!”
“Heh-heh-hi-hik, kalian semua telah mendengarnya, kan? Dia adalah muridku dan karena dia telah melakukan
dosa melanggar peraturan-peraturan perguruan, maka dia sepenuhnya menjadi hakku.”
Sin-tiauw-kwi tertawa. “Heh-heh, aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan guru dan murid. Toatbeng
Ciu-sian-li, muridmu ini sombong dan tidak benar, memang perlu sekali akan pengajaranmu!”
Toat-beng Ciu-sian-li menghadapi Han Han sambil menyeringai. “Bocah iblis murid durhaka. Apakah engkau
tidak lekas berlutut minta ampun kepada gurumu?”
Han Han mengerutkan alisnya. Ia melihat cihu-nya sudah duduk dengan tenang di atas kursi menghadapi meja,
juga sepasang Tikus Kuburan sudah mengambil tempat duduk sedangkan Sin-tiauw-kwi sudah berdiri dengan
satu kaki, sikap mereka semua seperti orang-orang yang hendak menonton pertunjukan menarik. Han Han
menduga bahwa memang dia hendak diadu dengan bekas gurunya ini, atau memang mereka hendak
mencelakakannya dalam usaha mereka melindungi enam orang musuh-musuhnya yang hendak ia basmi. Ia
menjadi penasaran, akan tetapi sedikit pun tidak gentar. Ia menghadapi Ciu-sian-li dan berkata lantang.
“Locianpwe, aku menghormatimu sebagai bekas guru, akan tetapi sekarang aku bukanlah muridmu lagi.
Tentang kesalahanku dahulu telah melarikan diri darimu karena aku memang tidak suka menjadi muridmu.
Sekarang, karena sedang menghadapi urusan pribadi hendak membasmi musuh-musuh keluargaku, harap
kau orang tua suka mengalah dan membiarkan aku membereskan urusan pribadiku. Kalau sudah selesai aku
membasmi musuh-musuhku barulah kita bicara tentang urusan kita.”
“Eh, Si keparat bocah tak mengenal budi! Tak usah banyak bicara hayo lekas berlutut di depanku!”
Akan tetapi bentakan ini malah mendatangkan rasa penasaran di hati Han Han. Selama ia keluar dari Pulau Es,
dia selalu dimusuhi orang, baik oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang disebut golongan putih mau pun oleh tokohtokoh
golongan hitam. Rasa penasaran ini membuat ia marah dan nekat.
“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau mempunyai pendirian, aku pun punya! Aku akan membasmi musuh-musuhku
dan siapa pun yang menghalangiku, biar engkau sekali pun, akan kulawan!”
“Wah-wah, baru sekarang aku melihat murid lebih galak dari gurunya!” kata Sin-tiauw-kwi sambil tertawa.
“Tutup mulutmu, Burung Buruk!” Ciu-sian-li membentak. “Kau kira aku tidak dapat menguasai muridku? Han
Han, sekali lagi, engkau tidak mau taat?”
“Terserah kepadamu, aku tidak menganggapmu sebagai guru lagi.”
Toat-beng Ciu-sian-li mengeluarkan suara teriakan melengking dan tiba-tiba rantai gelang yang dijadikan
anting-anting telinganya itu menyambar dari kanan kiri, yang kiri menyambar kepala Han Han, yang kanan
menyambar ke arah dada. Sambaran kedua benda itu cepat dan kuat sekali, mengeluarkan bunyi berdesing
dan Han Han yang tidak keburu mengelak, mengerahkan tenaganya dan menghantam ke arah dua ujung
rantai gelang itu dengan kedua telapak tangannya.
“Plak-plak!”
“Bukkk!”
Tanpa disangka-sangka oleh Han Han, pukulan nenek itu sudah menyusul pada saat ia menggerakkan tangan
menangkis sehingga dadanya kena didorong oleh tangan kiri nenek itu. Tubuh Han Han roboh bergulingan,
dadanya ampek dan napasnya sesak. Akan tetapi ia menahan napas dan meloncat bangun. Juga nenek itu
terkejut bukan main karena tangkisan kedua tangan pemuda itu membuat rantai gelangnya kehilangan dua
buah mata gelang yang pecah terkena hantaman tangan Han Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bocah keparat, berani engkau melawan Toat-beng Ciu-sian-li?” Nenek itu memekik dan tubuhnya sudah
melayang naik dan meluncur ke arah Han Han dengan terjangan dahsyat sekali.
Kedua tangan nenek itu mengirim pukulan-pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa).
Hawa pukulan kedua tangannya bercuitan bunyinya dan tercium bau amis sebelum pukulan itu datang. Melihat
ini Han Han maklum bahwa ia menghadapi lawan yang lebih lihai dari pada Gak Liat atau Ma-bin Lo-mo, maka
ia cepat mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dan menggunakan tenaga
sakti Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss...! Plak-plak...!” dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya kembali Han Han terjengkang
dan bergulingan.
Akan tetapi nenek itu berdiri menggigil dan mulutnya berseru berkali-kali, “Luar biasa... luar biasa...!”
Memang ia merasa heran setengah mati mendapat kenyataan betapa kekuatan Im-kang bocah itu lebih hebat
dari pada Swat-im Sin-ciang Ma-bin Lo-mo sendiri!
“Heh-heh-heh, Dewi Pemabuk! Apakah engkau kewalahan menghadapi muridmu sendiri?” Si Burung Hantu
mengejek sambil tertawa.
Nenek itu melengking tinggi karena marahnya, tubuhnya berkelebat cepat ke depan dan segera Han Han
dihujani serangan dengan kedua tangan yang bergantian memukul, kedua kaki yang bergantian menendang,
dan sepasang anting-anting raksasa yang menyambar-nyambar dari kiri kanan! Hebat bukan main sepak
terjang nenek ini sehingga secara berturut-turut Han Han terdesak, beberapa kali menerima pukulan dan
hantaman senjata rantai gelang sehingga ia terguling-guling dan merasa tubuhnya sakit-sakit semua.
Sepasang Tikus Kuburan bertepuk-tepuk tangan saking gembira dan memang mereka kagum bukan main.
Sudah lama mereka mendengar nama besar Toat-beng Ciu-sian-li, akan tetapi baru sekarang mereka
menyaksikan kelihaian nenek itu. Tadi mereka sudah mengenal kehebatan tenaga bocah itu, kini melihat
betapa nenek itu mendesak dan menghimpit, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Han Han, tentu
saja mereka menjadi kagum sekali. Ada pun Giam-ciangkun yang menyaksikan betapa adik isterinya terancam
bahaya maut hanya tenang-tenang saja karena sesungguhnya ia menganggap Han Han sebagai ancaman
bagi dirinya sendiri.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat, nenek ini pun tidak ingin membunuh Han Han
karena dia sudah mendengar dari tiga orang muridnya tentang keadaan diri Han Han yang memiliki ilmu
kepandaian luar biasa. Dia pun diam-diam menduga bahwa Han Han tentu telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau
Es, maka ia ingin memaksa anak muda itu untuk membuka rahasia tentang Pulau Es, ingin menangkapnya
dan membawanya pergi.
Di samping ini, juga ia ingin memamerkan kepandaiannya kepada para jagoan kerajaan, maka ia sengaja
mempermainkan Han Han dan mengeluarkan kepandaiannya yang memang mengagumkan sekali. Kalau ia
kehendaki, tentu ia telah dapat membunuh Han Han dengan pukulan-pukulan Toat-beng-tok-ciang yang
dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya.
Untuk ke sekian kalinya, ketika dengan nekat Han Han menubruk, menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang
dengan tangan kanan dan pukulan Swat-im Sin-ciang dengan tangan kiri yang amat mengagumkan hati nenek
itu, Toat-beng Ciu-sian-li mencelat ke atas sehingga kedua pukulan itu luput, kemudian dari atas kakinya
menendang, mengenai dada Han Han sehingga tubuh pemuda ini terlempar sampai di sudut ruangan itu. Han
Han terbanting pada dinding, tangannya meraba kaki meja hiasan tinggi yang menjadi tempat pot bunga. Ia
meloncat bangun dan mematahkan kaki meja itu.
Seperti juga kursi yang diduduki Giam-ciangkun, kaki meja itu terbuat dari pada akar pohon yang bengkakbengkok
dan nyeni, begitu ia patahkan menjadi sebatang tongkat dan dengan senjata sederhana ini Han Han
maju lagi menghadapi Si Nenek sakti dengan kemarahan meluap-luap. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah
jauh, akan tetapi kemauannya yang keras membuat ia nekat dan pantang menyerah, kalau perlu ia akan
mempertaruhkan nyawanya di tangan bekas gurunya ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha-ha, biar engkau berubah menjadi tiga orang, tak mungkin engkau dapat menangkap Toat-beng Ciusian-
li, bocah sombong!” Bhong Lek yang mukanya seperti tikus mengejek.
“Heh-heh, biar dia berkepala tiga dan berlengan enam, takkan mampu menang!” Bhong Poa Sik mengejek
pula.
Mendengar ini, nenek itu terkekeh. “Jangankan hanya menjadi tiga, biar menjadi tiga puluh sekali pun aku
masih sanggup mempermainkannya!”
Han Han makin marah, merasa dianggap rendah sekali. Ia teringat akan kemampuannya yang luar biasa, yang
hampir berhasil ketika ia pergunakan dalam menghadapi Setan Botak dan Si Muka Kuda tempo hari.
Mendengar itu, ia pun lalu berkata dengan suara lantang, sinar matanya menyambar-nyambar seperti kilatan
halilintar dan suaranya yang mengandung khikang kuat itu didasari kekuatan kemauan mukjizat yang amat
berpengaruh.
“Nenek sombong! Lihat, aku sudah menjadi tiga orang! Engkau mau bisa apa?” Sambil berkata demikian ia
menyerang dengan pukulan tongkat kaki meja ke depan dan terbelalaklah semua orang ketika melihat betapa
Han Han benar-benar telah menjadi tiga orang! Tiga orang muda berambut riap-riapan, ketiganya memegang
tongkat dan menyerang Toat-beng Ciu-sian-li dari tiga jurusan!
“Hehhh...! Mimpikah aku?” Si Burung Hantu berkata gagap dengan mata makin menjuling.
“Demi segala iblis di neraka!” Si Muka Tikus Bhok Lek berseru dengan mata terbelalak.
“Ajaib... se... se... setan...!” Adiknya juga berseru.
“Ilmu hitam apakah ini...?” Giam-ciangkun juga berseru, jantungnya seperti berhenti berdetik.
“Ayaaaaa...!” Toat-beng Ciu-sian-li menjadi bingung dan menjerit, punggungnya terkena hantaman tongkat.
Akan tetapi tubuhnya kebal dan sungguh pun ia merasa punggungnya nyeri, namun ia tidak terluka dan
kembali ia melengking nyaring, tubuhnya mencelat ke atas dan ia menghindarkan pukulan tangan kanan kedua
orang ‘Han Han’ yang berada di belakangnya sambil menggerakkan rantai gelang telinga kanannya
menyerang ke arah dada Han Han yang bergerak ke depannya.
“Pranggg...!” Sambil memegang tongkat dengan tangan kiri, dengan telapak tangan kanannya Han Han
menampar ujung rantai itu sehingga dua buah gelang pecah-pecah. Dalam pandang mata empat orang yang
menjadi penonton, dua orang ‘Han Han’ yang lain juga memindahkan tongkat ke tangan kiri dan mereka
menerjang berbareng.
“Eh... hiiihhhhh...!”
Toat-beng Ciu-sian-li selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti itu. Ia kembali meloncat ke atas
untuk menghindarkan diri dan tiba-tiba ia menggerakkan tangan. Kiranya ia sudah melolos tiga buah gelang
rantainya dan melontarkannya ke arah tiga orang lawannya. Memang anting-anting luar biasa itu selain
menjadi ‘perhiasan’ dan senjata ampuh, juga dapat ia pergunakan sebagai senjata rahasia, yaitu dengan cara
melolos gelang-gelangan rantainya.
Han Han cepat mengelak sambil menangkis dengan tongkatnya.
“Trakkk...!”
Tongkatnya patah dan remuk dan ternyata bahwa tongkat kedua orang ‘bayangannya’ juga patah dan remuk.
Kini dia dan bayangan-bayangannya itu mengeroyok dengan tangan kosong.
Melihat ini Giam-ciangkun segera berseru, “Ilmu sihir! Dia hanya seorang, yang dua hanyalah bayangan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Toat-beng Ciu-sian-li bukan seorang bodoh. Dia seorang datuk golongan hitam yang sakti. Maka ia segera
sadar bahwa tidak mungkin ada manusia yang dapat mengubah diri menjadi tiga orang, maka ia mengerahkan
kekuatan batinnya dan seketika pandangannya menjadi terang. Lawannya hanya seorang saja, bekas
muridnya yang telah memperoleh kemajuan luar biasa sekali, terutama telah memiliki tenaga sinkang yang
menakjubkan.
Akan tetapi rasa gentar dan bingung tadi dipergunakan baik-baik oleh Han Han. Selagi lawannya bingung, ia
mengerahkan tenaganya di kedua tangan dan begitu tubuh nenek itu turun, ia menubruk ke depan, memukul
dengan dorongan dahsyat. Kini ia menggunakan inti tenaga Im-kang yang ia latih selama bertahun-tahun di
Pulau Es menurut petunjuk kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Sepasang Pedang Iblis dan dengan
pukulan seperti itu Han Han mampu memukul air menjadi beku dan menjadi sebongkah salju sebesar kerbau!
“Ihhhhh...!”
Toat-beng Ciu-sian-li merasa betapa hebatnya hawa pukulan yang amat dingin itu. Baru terkena hawanya saja,
ia merasa semua darah di tubuhnya seperti membeku, maka maklumlah nenek ini bahwa kalau ia terkena
pukulan itu, tentu ia tidak akan kuat menahan dan akan tewas! Maka ia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba
tubuhnya lenyap.
Pukulan Han Han mengenai lantai di belakang tempat nenek itu tadi berdiri, membuat lantai itu bergetar dan
semua perabot yang berada di belakangnya hancur semua. Kiranya nenek itu mempergunakan tenaganya
yang mukjizat dan tubuhnya telah amblas ke lantai! Dia selamat, akan tetapi ketika ia meloncat ke luar dari
lantai yang mencetak tubuhnya merupakan lubang sedalam satu kaki, ia kelihatan pucat dan dari ujung
bibirnya menetes darah. Ia hanya kena serempet saja, namun cukup membuat nenek ini terluka!
“Ha-ha-ha, nenek setan arak, biar kubantu engkau!” Tiba-tiba terdengar seruan keras dan tahu-tahu Gak Liat
Si Setan Botak telah berada di belakang Han Han, lalu secepat kilat ia memukul punggung Han Han dengan
pukulan Hwi-yang Sin-ciang.
Han Han merasa betapa hawa panas menyambarnya dari belakang. Ia mengerahkan sinkang melindungi
tubuhnya sambil membalik, namun terlambat. Pukulan ampuh mengenai punggungnya dan biar pun tubuhnya
dilindungi sinkang yang kuat, tidak urung ia terlempar juga dan roboh pingsan di depan kaki Toat-beng Ciusian-
li.
“Ha-ha-ha! Aku sudah membantumu. Engkau pun harus membantu kami, membantu kerajaan, Toat-beng Ciusian-
li!” kata pula Gak Liat.
Nenek itu memandang tubuh yang tergolek pingsan di depan kakinya, mengusap darah dari ujung bibirnya dan
menarik napas panjang. “Sebetulnya aku tidak membutuhkan bantuanmu, Setan Botak. Akan tetapi aku
memang sudah berjanji untuk membantu kalian asal Kaisar dapat menghargai tenaga orang. Sekarang aku
ada urusan pribadi dengan bocah ini. Sampai jumpa! Lain kali aku datang lagi!” Ia mengempit tubuh Han Han
yang lemas dan hendak pergi.
“Ha-ha-ha, takkan ada gunanya kau membujuk dia untuk bicara tentang Pulau Es, Ciu-sian-li. Dia keras kepala,
engkau takkan berhasil!” kata pula Gak Liat.
Toat-beng Ciu-sian-li menengok dan berkata, suaranya dingin, “Siapa hendak bicara tentang Pulau Es? Dia
bekas muridku yang durhaka, harus diberi hukuman untuk memberi contoh kepada murid-murid lain!” Setelah
berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyap.
Giam-ciangkun bernapas lega, merasa seolah-olah sebuah batu berat yang selalu menekan di dalam dadanya
telah ikut terbawa pergi oleh nenek sakti itu.
“Aaahhhhh, sungguh berbahaya...,” katanya sambil menyapu peluh yang membasahi lehernya.
Pintu terbuka dan muncullah Giam Kok Ma. Mukanya yang kuning kini berubah putih dan ia bertanya terengahengah,
“Be... betulkah apa yang kulihat tadi? Dia... iblis cilik itu... berubah menjadi tiga? Celaka... janganjangan
hanya satu yang dibawa pergi, yang dua lagi...” Panglima muka kuning ini memandang ke seluruh
dunia-kangouw.blogspot.com
ruangan dengan mata jelalatan, takut kalau-kalau ia akan menemukan dua orang Han Han lagi di tempat itu
yang pasti akan membunuhnya.
Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa, lalu duduk di atas kursi dan berkata, “Ciangkun, tidak usah khawatir. Dia
memang memiliki sedikit ilmu sihir. Bukan tubuhnya berubah menjadi tiga, hanya dia mempengaruhi
pandangan dan kemauan kita sehingga kita melihatnya seperti tiga orang. Setan cilik itu betul-betul amat
berbahaya kalau dibiarkan hidup. Dia memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh. Untung dia telah tertawan oleh
Toat-beng Ciu-sian-li dan aku mengenal betul siapa Ciu-sian-li. Iblis cilik itu pasti tidak akan hidup lagi. Ha-haha!”
“Syukurlah kalau begitu,” kata Giam Cu dan Giam Kok Ma dengan hati lega.
“Tenaga sinkang-nya tidak lumrah manusia,” kata kedua orang Saudara Bhong.
Gak Liat hanya tertawa, tidak mau bicara banyak karena dia sendiri masih ngeri kalau mengingat betapa dia
dengan Ma-bin Lo-mo sampai terluka ketika melawan bocah itu, dan lebih-lebih lagi, ketika hendak
membunuhnya tiba-tiba muncul tokoh yang paling disegani, paling dihormati, juga paling ditakuti di dunia ini.
Koai-lojin!
“Ehmmm... sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk menghajar bocah sombong itu!” tiba-tiba Sintiauw-
kwi berkata sambil menggoyang senjata sabit di tangannya.
“Ha-ha-ha, Sin-tiauw-kwi burung jelek. Percuma menyesal, dia tentu akan mampus di tangan Ciu-sian-li. Kalau
kau ingin memperlihatkan kepandaianmu, boleh kau coba-coba dengan aku.”
“Boleh! Sekarang pun boleh!” kata Si Burung Hantu dan ia menggerakkan tangan kirinya ke arah seekor lalat
yang selalu banyak beterbangan di sekitar tubuhnya yang mungkin karena tertarik baunya yang apek dan
tengik.
Begitu ia memutar-mutar tangannya, ada angin berpusingan keras dan betapa pun lalat itu hendak terbang, ia
tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan hanya terbang bingung berputar-putar di depannya!
Demonstrasi sinkang yang seperti main-main ini sesungguhnya hebat, memperlihatkan betapa Si Burung
Hantu sudah menguasai sinkang sampai cukup tinggi sehingga mampu menggunakan tenaga yang dibikin
halus seperti itu!
“Ha-ha-ha! Beraninya hanya sama lalat!” Setan Botak tertawa dan menggerakkan tangannya mendorong ke
arah lalat yang beterbangan berputaran itu. Lalat itu jatuh dan... hangus!
“Huh!” Sin-tiauw-kwi mendengus. “Hwi-yang Sin-ciang boleh jadi dapat menghanguskan seekor lalat, akan
tetapi aku tidak takut!” katanya menantang.
Melihat ini Giam-ciangkun lalu bangkit berdiri dan menengahi mereka. Hatinya kesal menyaksikan ulah kedua
orang sakti yang aneh, seperti kanak-kanak yang saling tidak mau mengalah. “Sudahlah, harap ji-wi locianpwe
suka menghentikan main-main yang berbahaya ini. Gak-locianpwe, bagaimanakah dengan hasil perjalanan
locianpwe?”
“Seperti ciangkun telah melihat sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li sudah menyanggupi untuk membantu kita. Biar
pun omongan nenek tua bangka itu belum tentu dapat dipegang, akan tetapi saya yakin, bahwa dia tidak akan
sudi membantu kaum pemberontak. Tentang Ma-bin Lo-mo, memang Si Muka Kuda yang menjemukan itu
sukar sekali diurus. Akan tetapi saya mempunyai daya upaya untuk membubarkan murid-muridnya yang selalu
dia tanamkan bibit kebencian kepada pemerintah baru dalam hati mereka. Hemmm, Si Muka Kuda itu mengira
bahwa tidak ada orang mengetahui rahasianya. Dia lupa bahwa tidak mudah orang menyembunyikan rahasia
dari Kang-thouw-kwi, heh-heh!”
“Bagus! Rahasia apakah itu locianpwe? Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah banyak mendatangkan banyak
kepusingan pada para penjaga di perbatasan. Kalau kita dapat menundukkan mereka, berarti semua tenaga
anti pemberontakan dapat dikerahkan menghadapi Se-cuan saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Rahasia besar Ma-bin Lo-mo, rahasia busuk, ha-ha-ha!” Gak Liat tertawa, menyambar guci arak di atas meja,
kemudian minum arak sampai terdengar bunyi menggelogok di tenggorokannya. “Setiap orang muridnya
adalah putera-puteri keluarga yang terbasmi habis. Semua muridnya percaya dan mengira bahwa keluarga
mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Padahal tidak seorang pun keluarga mereka terbasmi oleh pasukan
Mancu. Yang membunuh keluarga mereka adalah Ma-bin Lo-mo sendiri. Ha-ha-ha!”
Sepasang Tikus Kuburan terkejut. Mereka juga mengenal siapa adanya Ma-bin Lo-mo, seorang bekas menteri
Kerajaan Beng-tiauw yang tentu saja anti Kerajaan Mancu. Mereka mendengar betapa di In-kok-san, di puncak
Pegunungan Tai-hang-san, kakek itu melatih puluhan orang murid yang kini telah menjadi orang-orang muda
berilmu yang di mana-mana memusingkan petugas kerajaan karena mereka itu selalu melakukan kekacauan.
Mereka ini mendengar bahwa para murid In-kok-san memusuhi Kerajaan Mancu karena mereka adalah
keturunan para keluarga yang terbasmi oleh pasukan Mancu dalam perang.
“Eh, Gak-locianpwe. Benarkah itu?”
Kang-thouw-kwi melototkan matanya kepada kedua orang saudara Bhong ini. “Mengapa tidak benar? Orang
lain boleh ditipu, akan tetapi aku tidak! Aku mengetahui rahasia Ma-bin Lo-mo. Dia memilih calon murid, lakilaki
atau perempuan yang memiliki tulang dan bakat baik, kemudian ia membasmi keluarga calon murid itu,
mengatakan bahwa yang membasmi adalah orang-orang Mancu. Ia membawa murid itu ke In-kok-san. Selain
memberi kepandaian, juga menanamkan kebencian terhadap pemerintah Ceng. Dalam usahanya membentuk
barisan orang-orang muda yang membenci pemerintah baru itu ia dibantu oleh Si Muka Tengkorak Swi Coan,
Si Muka Bopeng Ouw Kian dan Kek Bu Hwesio. Kalau murid-murid itu tahu akan tipu muslihat guru mereka,
ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan Si Muka Kuda. Ha-ha-ha!”
“Akan tetapi, betapa mungkin dapat menginsafkan para muridnya, locianpwe?”
“Hal itu memang sukar, akan tetapi saya rasa Puteri Nirahai akan dapat mencari akalnya. Tentang siasat,
sebaiknya kita serahkan kepada Sang Puteri yang seratus kali lebih cerdik dari pada saya si tua bangka. Dan
tentang gadis Mancu yang menjadi adik angkat Han Han, agaknya Ciangkun tentu sudah mendengar dari
murid saya Ouwyang-kongcu.”
“Ouwyang-kongcu memang sudah pulang bersama Lulu, akan tetapi gadis itu hanya menimbulkan keributan
saja. Dia telah diterima di istana, bahkan telah diangkat menjadi siuli, akan tetapi baru beberapa hari saja dia
sudah minggat entah ke mana. Kini Ouwyang-kongcu sedang berusaha mencarinya dan belum pulang.”
“Wah, sungguh merepotkan. Dan Puteri Nirahai, apakah sudah pulang?”
“Belum,” jawab Giam-ciangkun. “Marilah kita kembali ke kota raja. Kita harus memberi laporan kepada
Pangeran Ouwyang Cin Kok, dan aku sendiri masih menghadapi kesukaran. Hemmm... tak tahu aku
bagaimana harus menyampaikan kepada isteriku tentang adiknya.”
Giam Kok Ma berkata, “Sebaiknya kalau dikatakan bahwa Adik iparmu itu pergi tanpa pamit mencari Lulu.
Bukankah alasan itu yang paling baik?”
Giam Cu mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya benar begitu. Memang tidak ada alasan lain.”
Kembalilah mereka beramai ke kota raja. Giam Kok Ma menjadi girang bukan main dan baru pada malam hari
itu ia dapat tidur, setelah beberapa malam semenjak diberi tahu Giam Cu bahwa dia dan rekan-rekannya
diancam oleh Han Han, ia sama sekali tidak dapat tidur nyenyak tidak dapat makan enak.....
********************
Di dalam kempitan seorang sakti seperti Toat-beng Ciu-sian-li, apa lagi dua jalan darahnya telah ditotok, biar
pun sudah sadar Han Han tidak mampu berbuat apa-apa. Melihat dirinya dikempit dan dibawa lari cepat sekali,
Han Han berkata.
“Toat-beng Ciu-sian-li, setelah aku kalah, mengapa susah payah membawa aku pergi? Lebih baik kau bunuh
sajalah aku, habis perkara!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li melemparkan tubuh Han Han ke atas tanah lalu berkata. “Enak saja
membunuhmu! Engkau telah berdosa, telah melanggar peraturan di In-kok-san. Engkau harus dihukum!
Ataukah engkau dapat bicara sesuatu untuk meringankan hukumanmu?”
Han Han tersenyum pahit. “Aku tahu isi hatimu, Ciu-sian-li. Engkau telah menyaksikan kelihaianku dan engkau
menghendaki agar supaya aku bicara tentang Pulau Es, bukan?”
“Benar, benar...!” Ciu-sian-li berkata penuh gairah. “Bicaralah, dan aku akan memperingan hukuman, bahkan
mungkin saja aku mengampunimu, tergantung dari berharga atau tidaknya bicaramu.”
Han Han berpikir dan hatinya kecewa bukan main. Beginikah wataknya orang-orang pandai di dunia ini? Gak
Liat, Siangkoan Lee dan nenek ini adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi, sukar dicari
bandingnya namun toh mereka masih belum puas akan apa yang mereka miliki, masih amat rakus akan ilmu
orang lain!
Tidak salah ucapan orang pandai di jaman dahulu bahwa kalau menurutkan nafsu, manusia ini ingin memeluk
dunia, ingin menyamai kekuasaan Tuhan! Kalau ia bicara tentang Pulau Es, nyawanya akan diampuni, tidak
akan dibunuh! Benarkah ini? Andai kata benar dan ia menunjukkan Pulau Es kepada nenek ini, padahal dia
sendiri sangsi apakah dia akan sanggup mencari pulau itu, berarti dia mengkhianati penghuni Pulau Es!
Padahal dia dan Lulu telah menerima budi yang bukan main besarnya dari penghuni Pulau Es! Apakah artinya
hidup menjadi pengkhianat? Dia sudah menjadi anak puthauw, belum mampu membalas kematian orang
tuanya, apakah kini mau ditambah menjadi pengkhianat lagi? Biar pun kakeknya seorang jahat, dia akan
berusaha agar tidak menjadi orang yang tidak berharga! Lebih baik mati sebagai seorang yang
mempertahankan kebenaran dari pada hidup sebagai seorang manusia yang rendah budi!
“Tidak ada yang dapat kubicarakan tentang Pulau Es,” katanya tegas.
“Hemmm, bocah keras kepala. Apakah engkau ingin kusiksa?”
“Sesukamulah. Sehebat-hebatnya siksaan hanya akan berakhir dengan kematian, dan aku tidak takut mati,
Ciu-sian-li. Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menyiksaku habis-habisan, mereka pun hanya
melelahkan diri sendiri. Sia-sia. Lebih baik kau bunuh saja aku, habis perkara. Engkau tidak pusing, aku pun
tidak jemu!” Memang luar biasa sekali ketabahan yang tidak lumrah manusia ini dan memang dia tidak hanya
menggertak atau pura-pura saja. Ia akan mampu menghadapi maut dengan mata terbuka.
“Hemmm, enaknya. Engkau akan kubawa ke In-kok-san, akan kuberi hukuman agar menjadi contoh bagi
semua murid yang murtad!”
Han Han tidak mau menjawab lagi, hanya memandang nenek itu dengan sinar mata tidak acuh sama sekali.
Nenek itu mendengus marah, menyambar lagi tubuh Han Han dan mengempitnya lalu membawanya lari cepat
sekali seperti terbang.....
********************
Para murid di In-kok-san kini telah menjadi pejuang-pejuang muda yang gagah berani. Walau pun mereka itu
tidak bekerja sama, juga jumlah mereka hanya beberapa puluh orang saja, namun sudah cukup
mendatangkan kepusingan bagi pemerintah Mancu. In-kok-san kini hanya merupakan tempat di mana kadangkadang
para murid itu pulang, karena memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi.
Setelah mereka tamat belajar dan mulai membantu perjuangan menentang pemerintah penjajah, In-kok-san
menjadi sunyi. Bahkan Ma-bin Lo-mo jarang sekali berada di sana. Hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang
muridnya yang selalu berada di situ, karena berbeda dengan Ma-bin Lo-mo yang mendidik murid-muridnya
untuk memusuhi pemerintah Mancu, Toat-beng Ciu-sian-li tidak mementingkan soal politik. Dia tekun melatih
tiga orang muridnya, yaitu Kim Cu, Phoa Ciok Lin dan Gu Lai Kwan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun demikian, tiga orang muridnya yang semenjak dibawa ke In-kok-san oleh Ma-bin Lo-mo memang
sudah membenci bangsa Mancu karena keluarga mereka terbasmi oleh bangsa Mancu, apa lagi karena
semua murid Ma-bin Lo-mo yang berada di situ juga saudara-saudara seperguruan mereka, maka tiga orang
muda ini tentu saja tidak mau tinggal diam melihat perjuangan para murid Ma-bin Lo-mo.
Sering kali mereka bertiga meninggalkan In-kok-san untuk mengganggu pembesar-pembesar Mancu,
membunuhi mereka, terutama sekali kepala-kepala kampung atau pembesar-pembesar baru di dusun-dusun.
Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa tiga orang muridnya juga ikut-ikut berjuang, tidak ambil peduli dan
menganggap itu sebagai latihan yang baik bagi mereka.
Akan tetapi betapa kaget, penasaran dan marah hati nenek ini ketika hari itu ketiga orang muridnya
melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Han Han yang melindungi seorang Panglima Mancu yang hendak
pulang ke kota raja dan betapa mereka bertiga telah kalah melawan Han Han! Tiga orang muridnya yang ia
banggakan itu, yang tentu saja ketiganya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari pada semua murid Mabin
Lo-mo, kalah oleh murid durhaka yang melarikan diri itu?
Nenek itu marah, penasaran, dan juga di sudut hatinya timbul keheranan dan dugaan bahwa Han Han telah
mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang terdapat di Pulau Es. Maka ia lalu turun dari In-kok-san menuju ke kota raja.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat yang membujuk-bujuknya untuk membantu
istana dengan menjanjikan kemuliaan kepada nenek itu. Toat-beng Ciu-sian-li tertarik, maka ia dianjurkan oleh
Gak Liat untuk langsung menghadap Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti telah direncanakan.
Karena memang dia hendak mencari muridnya yang murtad di kota raja, maka nenek itu menyanggupi dan
seperti telah diceritakan, dia bertemu dengan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan betapa girang hatinya ketika ia
mendengar pula, bahwa Han Han berada di kota raja. Maka ia lalu ikut menjalankan siasat memancing Han
Han keluar kota raja, kemudian menangkap pemuda itu dan membawanya ke In-kok-san.
Mula-mula memang ia hendak membujuk Han Han untuk bicara tentang Pulau Es. Akan tetapi setelah hatinya
yakin bahwa ia takkan berhasil membujuk pemuda aneh yang memiliki kekerasan hati luar biasa itu, ia
mengambil keputusan untuk mengancam Han Han dengan hukuman-hukuman dan kalau pemuda itu tetap
menolak, ia akan menghukum mati di depan murid-muridnya agar para muridnya tunduk kepadanya.
Ketika Toat-beng Ciu-san-li tiba di In-kok-san mengempit tubuh Han Han, tiga orang muridnya menyambutnya
dengan berbagai macam perasaan. Gu Lai Kwan menjadi girang sekali bahwa orang yang pernah
mengalahkannya dan membuatnya penasaran kini telah ditawan gurunya. Phoa Ciok Lin juga tersenyum puas
karena gadis bermata tajam ini menganggap Han Han sebagai musuh, pembela seorang Panglima Mancu.
Ada pun Kim Cu memandang Han Han dengan mata terbelalak dan hatinya seperti ditusuk pedang karena ia
merasa kasihan sekali dan merasa ngeri betapa bekas sahabatnya yang paling baik ini akan mengalami
hukuman yang mengerikan! Akan tetapi karena ia tak mungkin dapat menolongnya, ia hanya memandang
dengan mata terbelalak dan muka pucat. Juga belasan orang murid Ma-bin Lo-mo yang kebetulan berada di
In-kok-san memandang dan saling berbisik membicarakan Han Han yang tentu saja mereka kenal sebagai
seorang murid yang murtad dan menyeleweng, minggat dari In-kok-san.
Nenek itu menoleh kepada para murid yang bergerombol memandang itu dan berkata, “Murid murtad sudah
tertangkap, mari kalian saksikan dia dihukum!”
Nenek itu langsung membawa Han Han ke sebuah kamar yang kosong dan buruk, yaitu kamar penyiksaan
atau kamar tempat hukuman bagi para murid murtad. Di situ hanya terdapat sebuah dipan bambu kecil di
tengah kamar. Toat-beng Ciu-sian-li melempar tubuh Han Han ke atas dipan.
“Ikat kedua tangannya!” Nenek itu memerintah dan Gu Lai Kwan cepat maju, mengambil tambang yang terbuat
dari serat yang ulet dan kuat, menelikung kedua lengan Han Han ke belakang dan membelenggunya, melibatlibat
kedua lengan dan tubuhnya dengan erat sekali.
Han Han tidak berdaya karena ia berada dalam keadaan tertotok. Ia hanya sekilas saja melayangkan pandang
matanya kepada para murid itu dan mengenal mereka. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kim Cu,
sejenak pandang mata mereka melekat, dan Han Han menjadi terharu ketika dapat melihat betapa gadis itu
dunia-kangouw.blogspot.com
memandangnya dengan muka pucat dan sinar mata penuh kekhawatiran dan iba. Ia menarik napas panjang
dan mengharap supaya hukuman segera dilaksanakan karena dalam keadaan tertotok seperti itu ia tidak akan
terlalu menderita rasa nyeri.
Akan tetapi harapannya ini buyar ketika nenek itu menotoknya dua kali untuk membebaskan jalan darahnya.
Maka mulailah ia merasa nyeri-nyeri tubuhnya. Ketika ia berusaha menggerakkan kedua tangan, ia mendapat
kenyataan bahwa tambang yang mengikatnya itu kuat sekali. Pula, apa artinya memberontak? Dia tidak akan
dapat melawan Toat-beng Ciu-sian-li, apa lagi di situ terdapat belasan orang murid nenek itu dan murid-murid
Ma-bin Lo-mo yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan yang tentu akan mengeroyoknya. Karena ia tidak
mau menjadi tontonan, ia lalu miringkan tubuhnya ke kanan, membelakangi para murid In-kok-san dan
menyerahkan nasibnya kepada Thian. Bermacam pikiran memasuki benaknya. Dia menghadapi maut yang
sekali ini tak mungkin akan dapat ia hindarkan lagi. Dia akan mati!
Apakah artinya mati? Apakah bedanya antara mati dan hidup? Dari mana ia datang sebelum hidup? Dalam
pengertian manusia yang amat terbatas, setelah lahir barulah ada hidup, dan sebelum dilahirkan sebagai
manusia, dia tidak ada. Betapa akal budi dapat menyelami keadaan sebelum lahir? Dan betapa pula dapat
menyelami keadaan sesudah mati?
Betapa pun juga, sebelum lahir dia mesti ada, karena tidak mungkin ada terlahir dari tidak ada. Kalau sebelum
terlahir itu dia ada tentu sesudah mati juga ada, yaitu keadaan yang menjadi rahasia bagi manusia, yang tak
terselami akal manusia selagi hidup. Jadi, kematian hanya akan mengantarkannya menembus pintu rahasia itu,
kembali kepada KEADAAN sebelum dia terlahir. Kalau demikian, sama halnya dengan kembali ke asalnya,
yaitu asal sebelum terlahir, mengapa takut mati?
Han Han tersenyum, hatinya besar, sedikit pun tidak ada rasa khawatir di hatinya dan ia memejamkan
matanya seperti tidur, atau lebih tepat lagi seperti dalam keadaan semedhi karena memang dia bersemedhi
untuk menyambut uluran tangan maut yang sudah berada di ambang pintu.
Keadaan di dalam ruangan itu sunyi senyap, semua murid memandang dengan jantung berdebar. Mereka
adalah orang-orang gagah yang sudah banyak menghadapi pertempuran, sudah banyak membunuh musuh
tanpa berkedip. Akan tetapi selalu, apa bila ada seorang murid In-kok-san menjalani hukuman, jantung mereka
berdebar tegang, karena nasib seperti yang dialami si murid terhukum sewaktu-waktu dapat menimpa pula diri
mereka sendiri.
“Kim Cu, kau isi guci arakku yang kosong ini!” Toat-beng Ciu-sian-li berkata sambil melontarkan guci araknya
yang kosong kepada si murid.
Lontaran ini sengaja ia lakukan dengan tenaga sinkang sehingga bagi orang yang tidak memiliki sinkang kuat
dan tidak terlatih, menerima lontaran guci ini saja cukup untuk membuatnya roboh dengan nyawa melayang
meninggalkan badan! Akan tetapi dengan tubuh miring, Kim Cu dapat menerima guci itu dengan baik, lalu lari
pergi untuk mengisi guci arak itu dengan arak simpanan gurunya. Setelah mengisi guci arak, ia berlari kembali
dan menyerahkan guci arak kepada gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li menenggak guci araknya. Beberapa tetes arak mengalir keluar dari mulutnya karena
agaknya sudah ketagihan sekali dan tergesa-gesa minum araknya. Kemudian ia menurunkan guci dari mulut
dan berkata, suaranya bengis menyeramkan.
“Murid-muridku, juga murid Ma-bin Lo-mo, semua murid-murid In-kok-san. Lihat baik-baik, Sie Han ini adalah
seorang murid yang murtad, yang telah minggat dan melakukan banyak hal yang melanggar peraturan
Perguruan In-kok-san. Oleh karena itu, hari ini kalian akan menyaksikan dia dihukum. Akan tetapi sebelum
hukuman dilakukan, aku masih memberi kesempatan kepadanya untuk membuka suatu rahasia. Apa bila dia
suka bicara, mungkin sekali aku akan mengampuninya. Heh, Han Han, sekarang tibalah saat terakhir bagimu!
Masihkah engkau berkeras kepala dan tidak mau bicara tentang rahasia itu kepadaku?”
Hening sejenak di situ. Keheningan yang mencekam perasaan. Semua murid ingin mendengarkan jawaban
Han Han. Kim Cu yang makin pucat mukanya itu terdengar berkata, seperti orang mimpi, sehingga dapat
diketahui bahwa dia bicara di luar kesadarannya, suara yang keluar dari hatinya yang terguncang, suara yang
gemetar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Han Han... kau bicaralah...!”
Gadis itu terkejut sendiri mendengar suara hatinya keluar dari mulutnya, memecah kesunyian. Ketika ia sadar
bahwa semua mata kini ditujukan kepadanya, wajahnya menjadi merah dan ia menundukkan mukanya.
Han Han yang berada dalam keadaan semedhi itu seperti mimpi. Ia melihat bayangan ibunya. Ibunya
menghampirinya, mengulurkan kedua tangan dengan pandang mata penuh kasih sayang. Tiba-tiba terdengar
suara Toat-beng Ciu-sian-li tadi yang disusul suara Kim Cu. Bayangan ibunya melangkah mundur, kemudian
membalikkan tubuh dan berdiri membelakanginya seperti orang berduka, menundukkan muka.
Karena Han Han ingin agar kematian segera menjemputnya, agar ia dapat mengikuti ibunya yang memiliki
sinar mata demikian penuh kasih sayang, yang tak pernah ia temui dalam pandang mata siapa pun di dunia ini,
melebihi kemesraan pandang mata Lulu, ia lalu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Toat-beng
Ciu-sian-li dan anjuran Kim Cu. Ia masih memejamkan matanya dan menujukan perhatiannya kepada tubuh
ibunya yang berdiri membelakanginya dan pundak ibunya bergerak-gerak seperti orang menangis.
Toat-beng Ciu-sian-li marah sekali. Pemuda itu sungguh menggemaskan. Menjawab dengan mulut pun tidak
mau, hanya menggeleng kepala.
“Gu Lai Kwan, ambil golok alat menghukum!” bentaknya.
Gu Lai Kwan meloncat ke sudut di mana terdapat sebatang golok. Golok ini memang dipersiapkan di tempat itu
bersama alat-alat lain untuk menghukum murid murtad. Semua orang murid di situ tahu belaka bahwa muridmurid
yang melarikan diri akan dihukum dengan pembuntungan kaki! Mereka memandang dan makin tegang
ketika Gu Lai Kwan berdiri di dekat gurunya, membawa golok yang diminta.
“Lai Kwan, aku menunjuk engkau sebagai pelaksana hukuman. Kau pergunakan golok itu untuk memenggal
leher Sie Han!”
Suara nenek ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah para murid menjadi pucat. Gu Lai Kwan
sendiri yang tadinya berseri wajahnya karena dia diberi kehormatan sebagai pelaksana hukuman, terbelalak
mendengar ucapan gurunya itu. Dia memang penasaran dan marah kepada Han Han. Akan tetapi tadinya dia
tidak mengira bahwa dia akan diperintahkan memenggal leher Han Han.
“Le... lehernya, subo...?” tanyanya, seolah-olah ia khawatir kalau ia salah mendengar perintah gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang muridnya ini dengan mata mendelik. “Lehernya, kau dengar? Lehernya!
Penggal lehernya! Bocah keparat ini harus mati!” Setelah berkata demikian, nenek itu mengangkat guci
araknya dan minum arak menggelogok dengan mata mengerling ke arah dipan untuk menyaksikan
pelaksanaan hukuman dan menikmatinya sambil minum araknya!
Gu Lai Kwan sungguh-sungguh mengangkat golok itu ke atas mukanya dan kini sinar matanya mengandung
kekejaman. Ia hanya pelaksana dan ia harus mentaati perintah gurunya. Semua murid yang menyaksikan itu
mengikuti setiap gerakan tangan Gu Lai Kwan yang mengangkat golok ke atas dengan hati berdebar-debar.
Kemudian Lai Kwan mengerahkan tenaga pada lengannya, berseru keras.
“Haiiittttt...!”
Golok itu berubah menjadi sinar putih menyilaukan mata yang menyambar dari atas ke bawah, menuju leher
Han Han yang rebah miring ke kanan membelakanginya.
“Ohhhhh, jangan...!” Jeritan ini keluar dari mulut Kim Cu. Gadis ini sudah menyambitkan sebuah senjata
rahasia berbentuk bola baja berduri yang menyambar cepat sekali ke arah golok yang sedang melayang
menuju ke leher Han Han.
“Tranggggg...!” Golok yang tadinya melayang turun ke arah leher Han Han itu terpukul senjata rahasia,
menyeleweng ke kiri, menyambar kaki kiri Han Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Crokkkkk!”
“Ibuuuuu...!”
Kaki kiri Han Han terbabat golok, buntung di atas lututnya dan darah mengucur deras, kaki yang buntung
terlempar ke bawah dipan.
“Ibuuuuu...! Jangan tinggalkan anakmu, Ibu...!” Han Han menjerit, dengan mata masih terpejam karena ia
melihat bayangan ibunya melangkah pergi, makin lama makin jauh dan makin kecil, sehingga akhirnya lenyap.
“Ibuuuuu...!” Sekali lagi Han Han menjerit dan ia roboh pingsan.
Ketika ia siuman kembali, ia melihat Kim Cu berlutut di dekat dipan dan gadis itu menotok punggung dan
pangkal pahanya untuk menghentikan darah yang mengucur keluar dari pahanya yang buntung. Han Han
merasa betapa kaki kirinya perih dan nyeri sekali, akan tetapi ia tidak mengeluh dan maklumlah ia bahwa dia
tidak dibunuh, melainkan dibuntungi sebelah kaki kirinya!
Ruangan itu sudah tidak terlalu penuh orang lagi. Semua murid Ma-bin Lo-mo telah disuruh pergi oleh Toatbeng
Ciu-sian-li yang marah sekali menyaksikan betapa muridnya yang paling ia sayang, Kim Cu, telah
melakukan hal yang amat memalukan dan memarahkan hatinya. Kini yang berada di situ hanya Toat-beng
Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya.
Lai Kwan berdiri di sudut ruangan dengan kening berkerut. Hatinya mendongkol terhadap Kim Cu yang telah
membuat pelaksanaan tugasnya tidak sempurna. Juga ia mendongkol karena Kim Cu yang diam-diam
dicintanya itu membela Han Han. Phoa Ciok Lin berdiri di sudut lain, memandang ke arah Kim Cu dan gurunya
berganti-ganti. Hatinya gelisah karena ia maklum bahwa suci-nya itu tentu tidak akan dapat terbebas dari
hukuman atas perbuatannya tadi. Nenek itu masih menenggak araknya, matanya mengeluarkan sinar berapi
memandang Kim Cu yang agaknya tidak mempedulikan semua itu dan berusaha menghentikan darah yang
mengucur dari paha Han Han.
Suasana yang amat sunyi itu menimbulkan kegelisahan di hati Han Han. Pertama, dia tidak jadi mati! Kedua,
kakinya buntung dan apa yang dapat ia lakukan dengan kaki yang hanya tinggal sebelah itu? Ketiga, ia amat
cemas memikirkan nasib Kim Cu, gadis yang telah menolongnya dan di depan gurunya berani menolong
menghentikan darahnya dan berusaha pula membebat luka di pahanya dengan robekan ujung baju!
“Kim Cu, mengapa engkau berani menangkis golok Lai Kwan? Mengapa engkau berani menggagalkan
hukuman penggal kepala bocah itu?” tiba-tiba Nenek itu bertanya, suaranya dingin sekali, perlahan dan lambat,
namun malah mendatangkan pengaruh yang menyeramkan, mengandung ancaman yang mengerikan.
Han Han tersentak kaget, memandang Kim Cu. Hatinya penuh haru dan tak terasa lagi dua butir air mata
menitik dari kedua matanya. Jadi gadis ini tidak hanya menolongnya setelah kakinya buntung, bahkan gadis ini
telah menolong nyawanya, menangkis golok Lai Kwan yang tadinya hendak memenggal lehernya!
“Duhai... Kim Cu, mengapa kau lakukan itu...?” Ia berbisik lirih sambil memandang gadis itu dengan mata
basah.
Kim Cu mendengar bisikan ini dan menoleh, memandang kepadanya. Mata gadis ini pun basah air mata, dan
sejenak mereka berpandangan. Han Han merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh sekali memancar keluar
dari pandang mata gadis itu, yang membuat jantungnya seperti ditusuk, yang membuatnya terharu sekali.
“Kim Cu! Jawablah!” Toat-beng Ciu-sian-li membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas lantai. Dia
marah sekali sehingga bantingan kakinya pada lantai membuat ruangan itu tergetar.
Setelah melepaskan pandang matanya dari wajah Han Han, Kim Cu bangkit berdiri dan berkata, “Subo, teecu
menangkis golok Gu-suheng karena teecu menjaga nama baik subo, dan nama kehormatan Perguruan In-koksan.
Semenjak dahulu, peraturan di In-kok-san amatlah adil, hukuman dijatuhkan sesuai dengan dosanya. Han
Han memang bersalah, kesalahannya adalah melarikan diri dari In-kok-san. Dan semenjak dahulu, hukuman
dunia-kangouw.blogspot.com
bagi murid yang melarikan diri adalah kakinya dibuntungkan! Akan tetapi subo hendak memenggal lehernya,
maka terpaksa teecu turun tangan dan sekarang Han Han sudah buntung kaki kirinya, berarti bahwa Thian
menyetujui pendapat teecu!”
Nenek itu mengerutkan kening. “Hemmm... engkau pandai bicara! Akan tetapi mengapa engkau menolongnya
dan mengobatinya pula?”
“Subo, betapa pun juga, Han Han adalah bekas Sute-ku, bagaimana teecu dapat membiarkan dia menderita
seperti ini? Teecu... merasa kasihan...”
“Heh, bocah tak bermalu! Apa kau kira mudah saja membohongi aku? Apa kau kira mataku buta tak dapat
melihat bahwa engkau mencinta pemuda ini?”
Wajah, Lai Kwan merah, matanya beringas. Juga wajah Kim Cu menjadi merah sekali, ia menundukkan
mukanya.
Han Han memandang bengong, mengeluh dan bangkit duduk. “Toat-beng Ciu-sian-li, harap jangan
menyalahkan Kim Cu. Kalau engkau masih penasaran, bunuhlah aku, masih belum terlambat!”
“Han Han!” Kim Cu menjerit, membalikkan tubuh dan memandangnya. “Tidak boleh begitu. Murid yang sudah
dihukum, tidak akan dihukum lagi!”
“Keparat! Engkau sudah bukan muridku lagi! Dengan kaki buntung, hendak kulihat apakah engkau akan bisa
hidup lagi, dan kalau pun hidup, engkau akan bisa berbuat apa? Engkau telah menjadi seorang buntung,
seorang penderita cacat yang tidak berguna lagi. Ha-ha-ha! Pergilah! Kim Cu, engkau masuk ke kamarmu dan
sebelum kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan kamarmu!”
Kim Cu memandang Han Han sejenak, lalu membalikkan tubuh lari dari ruangan itu dengan isak tertahan. Han
Han menghela napas, lalu bangkit berdiri dengan sebelah kaki. Seluruh tubuhnya menggigil oleh rasa nyeri
yang kiut-miut rasanya, membuat ia pucat sekali menahan rasa nyeri.
Seluruh bagian tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Ia pejamkan
mata untuk menghilangkan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya, ratusan bintang. Namun,
ketika ia memejamkan mata, bintang-bintang itu makin bersinar dan makin cepat bergerak-gerak di depan
matanya.
“Ha-ha-ha! Inikah pemuda yang telah mewarisi ilmu dari Pulau Es? Ha-ha-ha, Si Buntung yang tiada guna,
lihat betapa lemahnya!”
Mendengar suara ejekan dan ketawa yang amat menusuk perasaan itu, bangkitlah amarah di hati Han Han. Ia
segera mengerahkan tenaganya dan hawa yang hangat mengalir di tubuhnya. Akan tetapi aneh sekali, dahulu
kalau dia sudah marah dan mengerahkan sinkang, selalu timbul sifat beringas dan buas yang membuat ia ingin
melihat darah mengalir di tubuh lawan, ingin melihat lawan tergolek tak bernyawa di depan kakinya. Kini
perasaan itu tidak ada, perasaan yang dahulu menyiksa hatinya setelah ia melihat akibat dari pada
kebuasannya. Kini ia merasa tenang dan setelah ia mengerahkan tenaga, kepeningan kepalanya berkurang. Ia
membuka mata, lalu melangkah. Ia lupa bahwa kakinya tinggal sebuah, maka ia tersuruk ke depan dan roboh
menelungkup!
Gu Lai Kwan hanya memandang dengan muka keruh. Ia membenci Han Han setelah mendengar pernyataan
gurunya bahwa Kim Cu mencinta pemuda yang kini buntung kakinya itu, ada pun Phoa Ciok Lin memandang
dengan mata tajam, tidak ada perasaan apa-apa terbayang di wajahnya.
Han Han kembali mendengar suara ketawa Toat-beng Ciu-sian-li. Ia mengerahkan tenaga dan bangkit lagi
dengan kedua tangan menekan lantai, lalu berdiri dan dengan hati-hati ia berloncatan dengan sebelah kaki
menuju ke pintu, terus ke luar dari rumah Perguruan In-kok-san itu. Akan tetapi dalam keadaan menderita nyeri
yang hebat itu, ia tidak melihat jurusan dan kiranya ia keluar dari pintu belakang memasuki taman In-kok-san.
Ia berloncatan terus dengan sebelah kakinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hari sudah lewat senja. Taman itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han berloncatan terus. Jika hendak roboh ia
menangkap batang pohon, mengaso sebentar untuk melenyapkan rasa berdenyut-denyut di kaki yang naik ke
dada dan kepala. Dipatahkannya sebuah cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting dan daun, dan
cabang itu ia pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat sekali, terus ke depan. Akhirnya ia roboh
juga, setengah pingsan setengah tidur di bawah pohon di luar taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak
terlentang dan tongkatnya melintang di atas dadanya.
Menjelang subuh ia terbangun oleh suara kokok ayam hutan. Dilihatnya cuaca masih amat gelap, hawanya
dingin bukan main. Rasa nyeri pada kakinya sudah banyak berkurang, dapat ditahannya, akan tetapi perutnya
terasa perih sekali karena lapar. Semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li, sudah empat hari empat malam
dia tidak makan. Dan kehilangan darah membuat tubuhnya lemas.
Ia bangkit duduk, bersandar batang pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh bintang. Amat
indah pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di antara bintang-bintang itu? Alangkah akan
senangnya dapat berada di sana di samping ibunya. Jauh dari pada penderitaan hidup. Mati sudah pasti tidak
seburuk hidup kalau menderita begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi nyeri-nyeri di tubuh, lapar di perut
dan kepusingan karena segala kegagalan yang dialaminya. Kini ia menjadi seorang tapa daksa, murid buntung
yang tentu tidak akan ada gunanya, seperti yang dikatakan Toat-beng Ciu-sianli.
Apa lagi hendak membalas dendam orang tuanya, melangkah pun harus berloncatan dibantu tongkat, itu pun
tidak tegak! Tugasnya belum selesai sama sekali. Ia meraba dadanya. Kantung berisi surat-surat peninggalan
penghuni Pulau Es masih disimpannya. Surat-surat itu belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak
menerimanya. Kewajiban ini belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam keluarganya juga sama sekali
tidak dapat dilaksanakannya. Seorang di antara tujuh perwira musuhnya telah menjadi cihu-nya.
Biar pun kini ia menduga bahwa cihu-nya bersekongkol dengan tokoh-tokoh istana itu, menyerahkannya
kepada Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja ia tidak mungkin akan dapat membunuh orang yang dicinta cici-nya.
Dan enam orang perwira lain pun tak mungkin dapat dibalas setelah ia kini menjadi buntung. Di waktu ia belum
buntung pun ia tidak mampu membalas. Musuh-musuhnya itu dilindungi orang-orang sakti. Masih ada tugas
lagi yang makin sulit dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!
Ia mengingat-ingat jalan hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek di Siauw-lim-si. Perbuatan berguna
apakah yang telah ia lakukan? Tidak ada! Bahkan ia hanya menjadi sebab timbulnya hal-hal yang
menyedihkan, yang mengorbankan nyawa orang. Yang terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim
Cu. Ah, kasihan gadis itu, entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya? Tidak mungkin! Mana
ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apa lagi kini dia hanya seorang pemuda buntung! Buntung
kakinya!
Tiba-tiba ia teringat lagi akan wejangan dan nasehat kakek di kuil Siauw-lim-si. Dia dinasehatkan untuk
membuntungi kaki kirinya di samping harus belajar mengalah kepada orang lain. Membuntungi kaki kiri? Han
Han tersenyum duka dan memandang kaki kirinya yang sudah tidak ada. Kini hanya tampak sepotong kaki
celana menutupi pahanya yang buntung. Tidak usah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi
kakinya! Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung, maka menasehatinya agar
membuntungi kakinya sendiri dari pada dibuntungi orang lain. Ia tersenyum pahit. Nasehat yang tidak lucu!
Dia belum ditakdirkan mati, masih diharuskan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Baiklah, dia akan hidup, dan apa
pun jadinya, akan ia hadapi, sungguh pun dia tidak mungkin dapat mengharapkan untuk melaksanakan
tugasnya yang pertama, yaitu membalas dendam.
Timbul rasa rindunya kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada di sampingnya, tentu akan dapat
menghiburnya. Akan tetapi wahai... alangkah akan hancur hati adiknya itu kalau melihat kakinya buntung!
Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap dirinya sendiri dan tak kuasa bertahan lagi Han Han
mengucurkan air mata. Sampai lama ia menangis seperti ini.
Tiba-tiba ia tersentak kaget ketika teringat betapa ia telah menangis mengguguk. Selamanya belum pernah ia
berhal seperti ini! Mengapa ia sampai menangis seperti ini? Ke mana kekerasan hatinya? Ia meloncat bangun,
lupa akan buntungnya dan ia jatuh lagi, mengeluh. Ia merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali. Dan ia menjadi gelisah. Ia termenung, air mata masih membasahi pipinya, matanya masih merah bekas
banyak menangis.
Berjam-jam ia termenung, pikirannya kosong, hanyut terbawa pergi melayang-layang bersama embun pagi
yang mulai terusir sinar matahari pagi. Telinganya tidak mendengar kicau burung yang riang gembira
menyambut pagi. Matanya tidak menyaksikan keindahan sinar surya yang cemerlang menembus celah-celah
daun, menciptakan mutiara-mutiara dari titik-titik embun yang bergantungan pada daun pohon. Sambaran
seekor burung yang mungkin mengira pemuda ini hanya sebatang tonggak, hampir hinggap di atas rambutnya,
menyadarkan Han Han. Ia bergerak dan berdongak. Matanya tertawan oleh berkilaunya setetes air embun
yang disinari matahari pagi, menjadi sebutir mutiara yang bercahaya.
Ia terpesona. Sesaat ia lupa akan nyeri tubuhnya, lupa akan lapar perutnya. Pandang matanya lekat pada
sebutir air yang berubah menjadi mutiara itu, lekat dan seolah-olah ia pun bergantung pada ujung daun itu,
bergantung dengan butiran air embun berkilauan, jauh dari derita, jauh dari kepahitan, hanya aman damai dan
bahagia. Tiba-tiba butiran mutiara itu runtuh dan lenyap, sebutir pecah menimpa bumi, lenyap tak berbekas.
Ujung daun itu kosong, tidak ada apa-apa lagi, tidak ada mutiara-mutiara berkilau.
Han Han tersentak kaget, penuh kecewa. Hemmm, seperti itulah hidup. Hanya setetes air yang berkilauan
untuk beberapa lama saja. Kemudian apa bila saatnya tiba, akan gugur dan lenyap tanpa meninggalkan bekas!
Ia menghela napas panjang. Dia adalah ibarat mutiara air embun yang gugur sebelum waktunya. Lenyap
sudah kilauannya, lenyap kebahagiaannya sebelum mati! Seperti air embun berkilau tiba-tiba kehilangan
cahayanya karena matahari tertutup mendung. Hanya tinggal air yang bergantung di daun pohon, tidak ada
indahnya, tidak ada cahayanya, hanya menanti saat gugur ke bumi. Seperti dia! Hidup tiada guna, buntung,
sukar bergerak, hanya menanti datangnya maut menjemput!
“Han Han...!” Suara yang halus merdu penuh iba itu memanggilnya seperti berbisik.
Han Han menoleh dan melihat Kim Cu telah berdiri di situ, membawa sebuah buntalan. Gadis yang cantik
manis, rambutnya yang hitam halus itu terurai kusut, matanya masih basah bekas tangis, pakaiannya juga
kusut, wajahnya agak pucat, pandang matanya penuh iba ditujukan kepada wajah Han Han, kemudian
perlahan-lahan menurun, ke arah paha yang buntung.
“Kim Cu... engkau... datang ke sini...?” Han Han menegur penuh kekhawatiran. “Tentu Gurumu akan marah...”
Kim Cu berlutut dekat Han Han dan berkata, “Jangan banyak bicara dulu, mari kau makanlah ini. Kubawakan
makanan dan minuman, dan obat bubuk untuk menambah darah, obat untuk mengobati lukamu...”
Melihat gadis itu dengan jari-jari tangannya yang kecil-kecil meruncing membuka buntalan, mengeluarkan roti
dan sedikit daging, sebotol minuman air hangat, lalu menghidangkannya di depannya, Han Han mengikuti
segala gerakannya dengan hati penuh keharuan.
“Han Han, makanlah dulu...” Gadis itu mengangkat muka. Mereka berpandangan.
Kim Cu terisak, menggigit bibir menahan tangis. “Han Han... kau... kau menangis...?” Ia melihat dua butir air
mata turun perlahan dari kedua mata pemuda yang terbuka lebar.
“Kim Cu...,” suara Han Han menggetar. “Mengapa...?”
Kim Cu memandang, juga air matanya berderai, “Kau hendak berkata apa...?”
“Mengapa engkau sebaik ini kepadaku...?”
Dengan air mata masih berderai Kim Cu memandang, bibirnya yang dirapatkan itu bergerak-gerak menggigil,
seperti hendak menangis, akan tetapi ia lalu memaksa senyum, senyum yang malah menggurat perasaan hati
Han Han.
“Makanlah dulu, Han Han. Engkau pucat sekali, matamu merah... makanlah dulu, baru nanti kita bicara...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han mengangguk, lalu mengambil roti dan memakannya. Ia lapar sekali, dan roti itu terasa lezat, akan
tetapi ia makan perlahan sambil kadang-kadang memandang wajah Kim Cu yang berlutut di situ, berusaha
untuk menjenguk isi hati gadis itu. Kim Cu kadang-kadang memandang, akan tetapi kalau pandang mata
mereka bertaut, ia lalu menundukkan mukanya dan merangkapkan sepuluh jari tangannya. Roti yang dibawa
Kim Cu itu hampir habis.
“Engkau tidak makan? Marilah...”
Kim Cu menggeleng kepala perlahan. “Makanlah, habiskan. Aku tidak lapar, engkau tentu lama tidak makan...”
Roti itu habis dan Han Han minum air hangat, menyapu bibirnya dengan ujung lengan baju. “Kim Cu, banyak
terima kasih kuucapkan padamu. Bukan hanya untuk roti dan minuman ini...”
“Sssttttt, nanti dulu. Minumlah obat ini. Obat ini manjur sekali, penambah darah dan peringan rasa nyeri,
kemudian akan kugantikan obat ini pada lukamu.”
Han Han minum obat bubuk itu dengan air hangat, kemudian ia melihat betapa Kim Cu membuka balut
pahanya. Ia merasa nyeri ketika balut yang melekat dengan darah kering pada lukanya itu diambil. Akan tetapi
ia tidak mengeluh. Hatinya penuh rasa haru dan terima kasih melihat betapa gadis itu membersihkan luka di
pahanya tanpa rasa jijik sedikit pun, kemudian menaruhkan obat bubuk dan membalutnya kembali dengan kain
bersih yang sengaja dibawanya untuk keperluan itu.
Setelah selesai membalut luka itu, Han Han berkata, “Kim Cu, percayalah, aku selama hidupku takkan dapat
melupakan kebaikan hatimu, karena engkau telah menolong nyawaku, telah melepas budi kepadaku dan
terutama sekali, engkau telah mengorbankan dirimu...”
“Jangan katakan itu, Han Han. Mana mungkin aku membiarkan dirimu dibunuh hanya karena kesalahanmu
yang kecil itu? Engkau masih muda, engkau masih banyak harapan dalam hidup, mengapa harus dibunuh
secara sia-sia?”
Han Han menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri, bersandar pada batang pohon, tangan kiri menekan
tongkat cabang pohon.
“Aaahhhhh, harapan apa lagi yang ada padaku? Aku telah menjadi murid tapa daksa... tiada gunanya....”
Kembali ada dua titik air mata meloncat ke luar ke atas pipi Han Han.
Kim Cu memandang penuh iba hati, kemudian ia mendekati Han Han, menggunakan ujung ikat pinggangnya
dari sutera untuk menghapus air mata itu. “Ahhh, Han Han, kasihan sekali engkau...” Sambil berkata demikian,
Kim Cu memandang dengan mata basah.
Han Han makin terharu, air matanya deras mengucur dan ia segera memeluk dan mendekap muka Kim Cu ke
dadanya. Gadis itu terisak-isak dan Han Han menengadah ke angkasa, mengejap-ngejapkan mata untuk
menahan membanjirnya air matanya. Sampai lama keduanya berdekapan, Kim Cu membasahi dada Han Han
dengan air matanya, kedua lengannya melingkari pinggang Han Han, sedangkan pemuda itu mengusap-usap
rambut yang hitam halus dan harum itu.
“Kim Cu...” Han Han berbisik dekat telinga gadis itu. “Benarkah dugaan gurumu bahwa engkau... mencintaku?”
Gadis itu tak menjawab, hanya gerakan mukanya yang mengangguk amat meyakinkan. Hati Han Han terasa
perih dan dengan halus ia mendorong kedua pundak gadis itu sehingga menjauh. Gadis itu memandang
kepadanya dan cinta kasihnya tersinar keluar dari pandang matanya. Han Han membuang muka, tubuhnya
miring dan kini ia bersandar pada batang pohon dengan pundak kirinya, alisnya berkerut dan mukanya keruh.
“Kim Cu, ini tidak benar! Engkau tidak bisa mencintaku, tidak boleh! Aku kini telah menjadi seorang laki-laki
yang buntung kakinya, murid laki-laki yang tidak berguna sama sekali. Engkau hanya akan menyesal kelak,
dan akan malu berada di samping seorang pria yang menjijikkan...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ohhh, Han Han, mengapa kau berkata demikian?” Kim Cu mengusap air matanya dengan punggung tangan,
kemudian merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari saling cengkeram, suaranya sungguh-sungguh,
menggetar dan penuh perasaan.
“Han Han, kenapa kau menjadi putus asa? Ke mana perginya kekerasan hatimu yang dahulu? Ke mana
perginya kejantananmu yang menyinar semenjak kita masih kecil dahulu? Dulu engkau begitu keras hati,
begitu besar semangat, begitu mengagumkan! Setelah kakimu bun... eh, hanya tinggal satu apakah engkau
menjadi seorang yang tidak berguna lagi? Tidak sama sekali! Seharusnya peristiwa yang kau alami ini malah
memperkuat dan memperkeras batinmu! Perlihatkanlah kepada dunia, kepada seluruh manusia bahwa engkau
dapat berbuat lebih baik dari pada manusia yang utuh tanpa cacat! Bangkitkan semangatmu, tunjukkan bahwa
manusia cacat tidak boleh dihina! Jangan menjadi melempem, Han Han!”
Ucapan yang bersemangat dari Kim Cu ini merupakan cambuk yang mencambuki batin Han Han. Seketika
matanya memancarkan api, kegairahan hidupnya timbul kembali. Dia bukanlah seperti mutiara embun yang
tidak berdaya, yang akan mudah jatuh gugur hanya karena tiupan angin sedikit saja! Dia seorang manusia
yang berakal budi! Biar pun cacat, kalau kemauannya masih ada, mengapa tidak mungkin menjadi orang
berguna?
“Aduh, Kim Cu..., terima kasih...!” Saking gembiranya karena tiba-tiba semangatnya timbul kembali, Han Han
merangkul gadis itu dan menciumnya.
Dia belum pernah berciuman didasari cinta kasih. Biasanya dia mencium Lulu secara main-main, dengan
hidung pada pipi atau dahinya, hanya menyentuhkan ujung hidungnya sedikit saja pada kulit pipi atau kulit dahi
adiknya. Betapa senangnya Lulu menggodanya, mengatakan ujung hidungnya dingin seperti es! Akan tetapi
entah bagaimana, ciumannya sekali ini, yang dibalas oleh Kim Cu dengan sepenuh hati dan kemesraan,
menjadi kecupan cium mulut yang penuh gairah, ciuman yang seolah-olah melekat takkan terlepas lagi.
Mereka saling melepaskan ciuman dan rangkulan, saling memandang dengan mata terbelalak dan napas
terengah-engah. Wajah Kim Cu menjadi merah sekali dan agaknya untuk menutupi rasa malu yang tiba-tiba
timbul, ia berbisik tergagap, “Han Han, aku... aku mencintamu...”
Han Han memegang kedua tangan gadis itu. “Percayalah kalau kau bisa percaya kepadaku, engkau seorang
gadis yang kujunjung tinggi di dalam hatiku. Engkau murid gadis yang takkan pernah kulupakan! Engkau
seorang gadis yang semulia-mulianya bagiku dan... heiii, Kim Cu, celaka. Engkau harus lekas kembali! Ah,
bagaimana engkau berani meninggalkan kamarmu? Bukankah... bukankah gurumu mengatakan bahwa
engkau tidak boleh keluar dari kamar? Ahhh, bagaimana ini? Tentu engkau akan dibunuh guru dan suheng-mu
kalau engkau pulang nanti...!” Tiba-tiba Han Han yang teringat akan keselamatan gadis ini berkata dengan
penuh kekhawatiran.
Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya dan berkata, “Aku sudah lari dari kamarku. Aku... aku tidak mau
kembali. Aku akan ikut bersamamu, Han Han.”
Han Han terkejut sekali. “Tidak...! Jangan, Kim Cu, jangan! Kalau sampai ketahuan gurumu, dan kakimu...
kakimu dibuntungi seperti aku...”
“Biarlah, dengan begitu keadaan kita akan sama, bukan?” Kim Cu menjawab, suaranya sungguh-sungguh.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dan dua orang muda yang sudah memiliki pandangan mata awas dan
pendengaran tajam itu cepat menengok. Kagetlah mereka ketika melihat Toat-beng Ciu-sian-li sudah berdiri di
hadapan mereka!
“Hmmm... Kim Cu! Engkau berani menentang perintahku? Engkau sudah begitu tergila-gila kepada bocah ini?”
“Subo, aku mencinta Han Han!” kata Kim Cu dengan berani.
“Toat-beng Ciu-sian-li, jangan salahkan dia. Hukumlah aku kalau pertemuan ini kau anggap suatu
pelanggaran!” kata Han Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
Toat-beng Ciu-sian-li memandang marah. Ia merasa kecewa sekali bahwa Han Han tetap berkeras tidak mau
bicara tentang Pulau Es, dan ia lebih kecewa lagi melihat betapa murid yang paling disayangnya, Kim Cu,
mencinta pemuda itu dan berani menentang perintahnya.
“Kalian saling mencinta, ya? Hem, baik. Kalian tidak akan terpisah lagi satu sama lain. Hayo ikut bersamaku!”
Nenek itu berkata dengan bengis.
Kim Cu dan Han Han saling berpandangan, dan Kim Cu yang merasa tiada gunanya melawan gurunya,
berkata kepada Han Han, “Marilah, Han Han. apa pun yang akan terjadi, aku rela asal bersamamu.” Ia
memegang tangan Han Han, mengajaknya pergi mengikuti gurunya.
Han Han yang merasa terharu dan tidak berdaya melindungi gadis itu tidak berkata apa-apa dan berloncatan
dengan sebuah kakinya, dibantu dengan tongkat dan dibimbing oleh Kim Cu. Mereka berdua maklum bahwa
mereka berada di tangan nerek itu, mungkin menghadapi bahaya maut, akan tetapi wajah Kim Cu berseri,
sedikit pun tidak takut asal ia bersama orang yang dicintanya. Mati pun bukan apa-apa lagi bagi seorang yang
sedang diamuk cinta.
Han Han tidak berani mengaku dalam hatinya bahwa ia mencinta Kim Cu, sungguh pun ia amat suka dan
berterima kasih kepada gadis ini sehingga ia akan rela mengorbankan nyawa untuk melindungi gadis ini. Ia
hanya merasa cemas, bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah memikirkan keselamatan
Kim Cu. Betapa pun juga, aku akan menggunakan segala sisa tenaga dan kemampuanku untuk melindungi
Kim Cu, demikian pikir dan tekadnya ketika ia berloncatan bersama Kim Cu yang menggandengnya di
belakang tubuh nenek yang mengerikan itu.
********************
Kita tinggalkan dulu Han Han dan Kim Cu yang terancam bahaya maut di tangan Toat-beng Ciu-sian-li,
bagaikan dua ekor domba yang dituntun ke penjagalan oleh nenek itu, dan mari kita ikuti perjalanan Lulu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu diculik oleh Ouwyang Seng dan dibawa ke kota raja. Terhadap
pemuda bangsawan yang lihai ini, Lulu tidak berdaya dan setibanya di kota raja, Ouwyang Seng berkata
kepadanya.
“Dengarlah, bocah binal! Aku Ouwyang Seng atau Ouwyang-kongcu, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok dan
aku tidak mempunyai niat buruk kepadamu.” Ia masih belum membebaskan gadis itu dari totokan.
“Beginikah orang yang tidak berniat buruk? Kenapa kau culik aku dan menotokku sampai tidak mampu
bergerak?”
Ouwyang Seng tertawa. Gadis ini berani dan penuh semangat. Kalau saja bukan gadis Mancu, kalau saja tidak
diketahui keadaannya oleh Puteri Nirahai, tentu ia akan dapat menikmati wanita selincah ini.
“Kalau kau berjanji tidak akan melawan, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk
ikut denganku ke kota raja dan tidak membikin ribut. Ketahuilah, aku sudah tahu bahwa engkau seorang gadis
Mancu dan engkau akan kuhadapkan ke istana kaisar.”
Lulu mengangguk dan berkata. “Baiklah. Bebaskan aku.” Dia cerdik sekali dan dia akan mencari kesempatan
baik untuk membebaskan diri, tentu saja dia tidak akan nekat menggunakan kekerasan karena ia tahu bahwa
dia tidak akan menang melawan pemuda yang tampan akan tetapi jahat ini.
Ouwyang Seng membebaskan totokannya dan Lulu mengomel, “Engkau kejam sekali. Sampai kaku-kaku
tubuhku, dan kau apakan Koko-ku Han Han?”
“Dia bukan Kakakmu, engkau gadis Mancu dan puteri perwira, bukan?”
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Pendeknya aku tahu, dan eh, siapa namamu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Katanya sudah tahu. Kenapa tanya nama?”
Ouwyang Seng gemas. Kalau saja bukan gadis Mancu, tentu sudah ditubruknya dan digigitnya bibir manis
yang lincah itu.
“Dengarlah. Kami telah mencari-carimu dan engkau berhak untuk hidup mulia di kota raja. Sudah lama kami
mencarimu dan aku membawamu ke sini dengan niat baik. Katakan siapa namamu.”
“Namaku Lulu. Sie Lulu!”
Kembali Ouwyang Seng tertawa. “Mana bisa kau memakai nama keturunan Sie? Apakah orang tuamu she
Sie? Tak bisa kau mengambil she (nama keturunan) seperti orang memungut batu di pinggir jalan!”
“Kokoku she Sie, tentu saja aku pun she Sie,” bantah Lulu merengut.
“Sudahlah, baik kau she Sie. Lulu, engkau harus menghadap Ayahku dulu, kemudian baru kau akan kami
bawa ke istana.”
Lulu tidak membantah dan mengikuti Ouwyang Seng ke gedung Ouwyang Cin Kok. Ketika pangeran ini
melihat puteranya berhasil membawa Lulu, ia menjadi girang sekali. Pangeran ini sendiri lalu membawa Lulu
menghadap kaisar dan menceritakan keadaan gadis itu. Ketika Lulu menghadap kaisar, dia merasa takut
sekali dan menundukkan muka tidak berani memandang. Keadaan di istana yang begitu megah dan mewah
membuat ia merasa dirinya kecil.
Kaisar menegurnya dalam bahasa Mancu dan biar pun agak kaku, Lulu dapat menjawab dan dia menceritakan
tentang orang tuanya yang dibunuh para pemberontak, betapa kemudian ia terlantar dan akhirnya diambil adik
angkat oleh Han Han. Dia tidak bercerita tentang Pulau Es karena seperti juga Han Han, dia mengerti bahwa
pulau itu harus dirahasiakan kepada orang lain.
Kaisar merasa suka dan kasihan kepada Lulu, maka gadis itu lalu diangkat menjadi siuli dan untuk ini ia harus
belajar tata susila dan peraturan-peraturan dari seorang pelatih. Sejak hari itu, Lulu tinggal di istana. Akan
tetapi hati dara ini selalu berduka, sungguh pun hal itu ia sembunyikan. Karena itu, ketika ia mendapat
kesempatan, pada suatu malam ia berhasil minggat dari istana. Biar di dalam istana indah sekali pun,
bagaimana mungkin ia dapat hidup senang kalau ia jauh dari kakaknya?
Lulu memang cerdik. Ia maklum bahwa larinya tentu akan menimbulkan geger dan ia tentu akan dicari dan
dikejar oleh para pengawal istana. Maka ia berlari terus malam itu. Pada keesokan harinya, ia melepaskan
semua perhiasan emas permata yang harus ia pakai ketika dia dilatih menjadi siuli, kemudian ia menjual
sebagian perhiasan itu, membeli pakaian pria dan ia berganti pakaian pria. Biar pun telah menyamar sebagai
seorang pemuda remaja yang terlalu tampan, ia masih tidak mau menghentikan larinya dan ia pun melarikan
diri ke jurusan selatan. Ia hendak pergi mencari kakaknya dan di dalam hatinya ia khawatir sekali. Kakaknya
diserang oleh orang-orang seperti Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang lihai. Masih hidupkah kakaknya?
Pada suatu sore ia memasuki kota Tiong-bun dan melihat banyak orang berduyun-duyun menuju ke selatan
kota. Ia mendekati seorang kakek dan bertanya mengapa banyak orang pergi ke jurusan itu. Si kakek
menjawab bahwa mereka hendak menonton pertunjukan silat yang dibuka oleh rombongan ahli silat
perantauan. Lulu tertarik sekali dan ikut menuju ke tempat itu. Di ujung selatan kota, di pinggir jalan yang sunyi,
ia melihat sebuah panggung yang tingginya hanya satu setengah meter dan dari jauh sudah terdengar suara
tambur dipukul dan tampak olehnya seorang gadis kecil berusia kira-kira dua belas tahun bermain silat pedang.
Ilmu silat memang merupakan seni budaya yang amat indah. Keindahannya terletak pada gerak tari yang
terdapat dalam setiap gerakan kaki tangan, gerak tarian yang indah namun menyembunyikan unsur-unsur bela
diri yang kokoh kuat dan daya serang yang lihai dan praktis. Gadis cilik itu tentu saja belum matang gerakangerakannya,
lebih memberatkan kepada gerak tariannya sehingga tampak indah gemulai ketika ia bermain
pedang.
Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu adalah ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Hoa-san-pai,
indah gemulai dan memang gadis itu memiliki bakat menari yang baik. Lulu sampai melongo menonton
dunia-kangouw.blogspot.com
pertunjukan itu. Dia tidak pernah mimpi bahwa ilmu pedang dapat dimainkan seindah itu. Dia pun tidak tahu
bahwa kalau ia bermain ilmu silat, gerakannya lebih indah dari pada gadis itu sehingga dahulu kakaknya sering
kali menggodanya dan mengatakan bahwa dia bukan bersilat melainkan menari.
Yang menabuh tambur adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun, wajahnya membayangkan kedukaan
besar, sungguh pun kedukaan itu ditutupi dengan senyum-senyum melihat betapa banyak orang yang
menonton kelihatan tertarik sekali kepada permainan silat pedang anak perempuan itu. Selain kakek itu, ada
pula seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan laki-laki ini berdiri
bertolak pinggang memandang gerakan anak perempuan itu dengan pandang mata penuh penilaian. Ada
seorang lagi yang duduk di dekat kakek itu, dia ini adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun kurang,
memegang gembreng kecil yang ditabuhnya perlahan-lahan mengikuti irama tambur. Tambur dan gembreng
ini menambah keindahan tarian pedang gadis itu.
Gadis cilik itu mengakhiri permainan pedangnya dengan gerakah indah, pedangnya berkelebat dari kanan ke
kiri, berhenti di depan dada dan diacungkan ke atas, tangan kiri dirangkapkan kepada tangan kanan
merupakan penghormatan, kemudian tubuhnya membungkuk ke empat penjuru dan senyum manis menghias
bibirnya yang mungil.
Tepuk tangan dan sorak-sorai meledak menyambut permainan pedang gadis cilik itu yang tersenyum-senyum
dan membungkuk-bungkuk lagi sebagai tanda terima kasih. Lulu ikut pula bertepuk tangan dan bersorak
memuji, karena dia benar-benar kagum sekali.
Kini kakek itu maju dengan tersenyum-senyum, tidak mempedulikan hujan uang kepingan yang dilemparkan ke
atas panggung. Juga Lulu mengambil seraup uang kepingan dan melemparkannya ke atas panggung.
“Cu-wi sekalian, terima kasih banyak atas perhatian cu-wi terhadap permainan pedang yang masih buruk dari
cucuku. Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa kami sekeluarga mengadakan pertunjukan silat di kota ini
bukan semata-mata untuk mencari dana, sungguh pun tidak sekali-kali kami kurang menghargai kebaikan hati
cu-wi sekalian yang telah sudi menyumbang. Tujuan kami yang terutama adalah mencari sahabat dan kenalan
dari satu golongan, yaitu para penggemar ilmu silat. Oleh karena itu, kami harap sudilah kiranya di antara cu-wi
yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi suka naik ke panggung dan melebarkan pandang mata, meluaskan
pengalaman, dan menambah pengertian kami dengan ilmu silat. Kini saya hendak menyuruh anak perempuan
saya, kemudian mantu laki-laki saya, dan terakhir saya sendiri akan mainkan beberapa macam pukulan tangan
kosong dan juga dengan senjata. Kami mohon sudilah suka menemani kami sehingga kami dapat berkenalan
dengan cu-wi sekalian. Terima kasih.”
Pidato singkat kakek itu disambut dengan suara riuh dan tepuk tangan, tanda setuju. Bahkan ada yang saling
towel, saling menyuruh teman untuk naik ke panggung memenuhi permintaan kakek itu. Mereka dorongmendorong,
dan yang merasa memiliki sedikit ilmu silat tidak berani naik ke panggung, mereka hendak
melihat-lihat dulu bagaimana macamnya dan tingginya tingkat kepandaian mereka, yaitu keluarga tukang silat
itu.
Atas isyarat kakek itu, wanita yang tadi memukul gembreng menyerahkan gembrengnya kepada suaminya,
dan dia sendiri lalu mempererat ikat pinggangnya, kemudian ia maju beberapa langkah sampai di tengah
panggung, mengangkat kedua tangan ke dada sebagai penghormatan ke empat penjuru, kemudian mulailah ia
bersilat. Seperti juga puterinya, wanita ini bersilat tangan kosong, gerakannya halus gemulai namun kini
berbeda dengan gerakan puterinya, gerakannya penuh dengan sambaran tenaga yang cukup kuat. Gerakan
tangan kakinya teratur baik dan jelas bahwa dia telah menguasai ilmunya dengan mahir sekali.
Wanita itu menghabiskan gerakannya sampai lima belas jurus, kemudian berhenti dan menghadapi para
penonton, berkata dengan suara manis dan sopan. “Di antara cu-wi sekalian yang sudi memberi pelajaran
kepadaku, dipersilakan naik.”
Sampai lama tidak ada yang naik karena memang mereka yang mengerti ilmu silat menjadi gentar melihat
dasar gerakan wanita itu. Benar bahwa naik berarti hanya menguji kepandaian, akan tetapi kalau kalah, apa
lagi oleh seorang wanita, tentu akan menjatuhkan namanya. Maka kembali saling dorong dan saling membujuk
teman yang mengerti ilmu silat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah wanita itu mengulangi sampai tiga empat kali ajakannya tadi, tiba-tiba melayanglah tubuh seorang lakilaki
yang bermuka hitam dan gerakannya kasar. Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ketika kakinya turun
ke panggung, panggung itu tergetar, tanda bahwa tubuhnya berat dan tenaganya besar. Ia menyeringai dan
berkata kepada wanita yang menyambutnya dengan kedua tangan dirangkapkan ke dadanya.
“Aku bernama Louw Cang, penduduk kota Ciang-kwi-an di sebelah utara kota ini. Aku hanya mengerti sedikit
ilmu silat, akan tetapi di kotaku aku berjuluk Hek-bin-liong (Naga Muka Hitam). Sekarang mendengar
kesempatan untuk menguji kepandaian silat, dan tertarik akan ilmu silat yang lihai dari Hujin (Nyonya), saya
ingin belajar kenal!” Ketika mengucapkan kata-kata ‘belajar kenal’ matanya bermain dan sikapnya ini
memancing suara ketawa banyak orang.
“Terima kasih atas perhatian Louw-enghiong yang saya percaya tentu memiliki kepandaian yang lihai sekali.
Silakan!” Nyonya itu sudah memasang kuda-kuda dan menghadapi calon lawannya dengan sikap tenang
sekali.
“Nyonya, lihat seranganku!” Louw Cang menerjang maju dan sekali bergerak saja Lulu tahu bahwa orang
kasar ini hanya memiliki tenaga besar, akan tetapi tidak memiliki kepandaian yang berarti.
Agaknya hal ini dapat diketahui oleh kakek dan mantunya, maka mereka menonton dengan acuh tak acuh.
Nyonya muda itu pun tahu bahwa lawannya tidak begitu hebat kepandaiannya, maka cepat ia mengelak ke kiri.
Cara ia mengelak sengaja diperlambat sehingga Si Muka Hitam yang tadinya sudah mengira bahwa pukulan
pertamanya tentu akan mengenai pundak, ketika tiba-tiba dielakkan, tubuhnya terdorong ke depan sampai
terhuyung.
Kalau nyonya itu menghendaki, selagi tubuh lawan terhuyung tentu dengan mudah ia akan dapat mengirim
pukulan atau tendangan dari belakang. Akan tetapi mereka itu tidak akan mencari musuh, maka ia juga
menanti saja. Si Muka Hitam membalikkan tubuhnya lagi, dan kembali ia menerjang dengan pukulan yang
lebih keras, kini mengarah dada! Kembali nyonya itu mengelak. Penasaranlah hati laki-laki itu. Ia cepat
membalikkan tubuh lagi dan menerjang seperti kerbau gila, pukulannya bertubi-tubi dan ia mengerahkan
tenaganya sehingga ketika sampai sepuluh kali dielakkan, tubuhnya penuh keringat, napasnya megap-megap.
Nyonya itu merasa sudah cukup mengelak terus, apa lagi kini tubuh lawannya yang berkeringat itu
mengeluarkan bau yang tidak enak, maka ia mengambil keputusan untuk menyudahi saja pertempuran itu.
Apa lagi dari bunyi tambur yang dipukul ayahnya ia tahu bahwa ayahnya pun memberi tanda kepadanya untuk
mengakhiri pertandingan. Maka ketika laki-laki lawannya itu kembali memukul dengan keras, ia miringkan
tubuh, menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dari samping, memutarnya dengan gerakan
pergelangan tangannya sehingga tubuh laki-laki itu terpaksa berputar. Kaki Si Wanita menendang perlahan ke
arah belakang lutut sambil mendorong tangan yang menangkap pergelangan tangan. Tak dapat dicegah lagi
tubuh Si Naga Muka Hitam itu terdorong ke depan dan robohlah ia, robohnya miring di atas panggung!
Tepuk sorak para penonton menyambut kemenangan nyonya yang lihai itu. Akan tetapi Si Muka Hitam sudah
meloncat bangun kembali. Dia adalah seorang kasar yang tak tahu diri. Karena ia menjadi jagoan di kotanya
maka ia merasa bahwa kepandaiannya sudah amat tinggi. Kini dengan mudah dirobohkan oleh seorang wanita,
hatinya menjadi penasaran, apa lagi karena robohnya tidak mengakibatkan luka atau rasa nyeri. Ia sama sekali
tidak mau mengerti bahwa nyonya itu telah menjaga mukanya dan tidak merobohkannya secara hebat.
“Aku belum kalah!” bentaknya seolah-olah hendak membantah sorak-sorai para penonton yang menganggap
nyonya itu sudah menang. “Jagalah seranganku!”
Ia menerjang lagi dan sorakan penonton berhenti karena mereka maklum bahwa kini pertandingan tentu akan
berlangsung lebih hebat melihat betapa Si Muka Hitam itu agaknya sudah marah sekali. Dugaan mereka itu
memang benar karena kini Si Muka Hitam menerjang dengan nekat, mengeluarkan jurus-jurus mematikan dan
mengerahkan seluruh tenaganya.
Seperti tadi, nyonya itu mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak dengan meloncat ke
kanan kiri. Akan tetapi berbeda dengan tadi, dia tidak mau mengulur waktu untuk menyudahi pertandingan dan
diam-diam ia merasa gemas melihat laki-laki yang tak tahu diri ini. Ia pun maklum bahwa kalau tidak diberi
sedikit hajaran, Si Muka Hitam ini tentu akan nekat terus.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hyaaatttt...!”
Si Muka Hitam menendang dengan kaki kanan. Ketika dielakkan, ia menurunkan kaki kanan itu jauh ke depan
sehingga tubuhnya mendoyong ke depan, kepalan tangan kanannya yang besar itu menonjok dari bawah
mengarah pusar lawannya. Wanita cantik itu maklum akan datangnya pukulan maut, cepat tubuhnya mengelak
ke kiri dan melihat kaki kanan Si Muka Hitam, ia mendapat kesempatan. Sambil mengelak kakinya menyambar,
ujung sepatunya menendang dengan pengerahan lweekang ke arah lutut Si Muka Hitam.
“Krekkk!” Tak dapat dihindarkan lagi, sambungan lutut Si Muka Hitam tercium ujung sepatu nyonya yang lihai
itu.
“Ayaaa... hwaduhhh... uggghhh...!” Si Muka Hitam itu mengaduh-aduh, menyeringai dan mengangkat kaki
kanannya ke atas, memegangi kaki itu dengan kedua tangan sambil berloncatan dengan kaki kiri terputar-putar.
Rasa nyeri yang amat hebat membuat ia lupa diri dan merintih-rintih, rasa nyeri menusuk-nusuk dari lutut
sampai ke jantung.
Karena para penonton yang menyaksikan sikapnya tadi sudah merasa tidak senang kepadanya, kini
menyaksikan penderitaan Si Muka Hitam mereka tidak merasa kasihan, bahkan menjadi geli dan terdengar
suara ketawa riuh-rendah. Akhirnya Si Muka Hitam sadar bahwa dia menjadi bahan tertawaan.
“Maafkan saya, Louw-enghiong.” Nyonya itu berkata kepadanya setelah mendapat teguran pandang dari
ayahnya. Kakek itu cepat menghampiri Louw Cang dan menotok kaki yang terluka itu di betis dan paha,
kemudian menyerahkan sebungkus obat kepada Si Muka Hitam sambil berkata.
“Harap Louw-enghiong memaafkan kami dan obat ini akan menyembuhkan sambungan lututmu.”
Akan tetapi Si Muka Hitam yang kini tidak lagi menderita terlalu nyeri setelah kakinya ditotok, memandang
dengan mata melotot, kemudian membalikkan tubuh tanpa mau menerima obat itu, dan tanpa pamit ia
melangkah ke pinggir panggung. Akan tetapi mukanya menyeringai lagi ketika ia melangkahkan kaki karena
begitu digerakkan untuk berjalan, lututnya terasa sakit lagi. Ia menggigit bibir dan tidak berani meloncat turun,
kemudian menuruni panggung dengan memanjat tiangnya yang tidak tinggi, setelah tiba di atas tanah ia lalu
pergi dengan kaki pengkor, terpincang-pincang sehingga dari belakang tampak pantatnya berjungkat-jungkit
dan tubuhnya miring-miring, amat lucu bagi para penonton yang makin tidak suka akan sikapnya.
Setelah nyonya itu mundur, kakek itu menghadapi para penonton dan menjura dengan sikap tenang. “Kami
merasa amat menyesal atas kejadian tadi, akan tetapi para sahabat yang lihai dalam ilmu silat tentu mengerti
bahwa kejadian itu bukan karena kesalahan anak saya yang didesak-desak. Kami mengharap munculnya para
sahabat yang benar-benar ingin berkenalan dan mengisi kekurangan dalam pengetahuan ilmu silat. Kami
persilakan!” Ia menjura dan mundur kembali, menabuh tamburnya perlahan-lahan dan lambat-lambat.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di antara para penonton sebelah kiri, dan tampak para penonton bergerak mundur
dan minggir untuk memberi jalan kepada beberapa orang perwira Mancu dan para pengikutnya yang melihat
pakaiannya adalah prajurit-prajurit yang berpangkat, sedikitnya kepala regu. Ada tiga orang perwira dan
sepuluh orang anak buahnya mendekati panggung itu. Setelah saling bicara dalam bahasa Mancu yang
dimengerti oleh Lulu, seorang di antara para perwira itu, yaitu yang hidungnya melengkung seperti hidung
burung kakatua, meloncat ke atas panggung dengan gerakan ringan.
Lulu memandang penuh perhatian, hatinya merasa tidak senang mendengar percakapan mereka tadi sebelum
naik ke panggung, karena mereka itu membicarakan kecantikan nyonya tadi dan mengandung niat hati tidak
baik, menganggap para rombongan silat itu sebagai ‘pelanggar hukum’.
Melihat majunya seorang perwira Mancu, kakek penabuh tambur itu kelihatan tenang saja, malah memberi
isyarat mata kepada mantunya untuk menggantikannya menabuh tambur. Kemudian ia sendiri melangkah
maju menyambut perwira hidung bengkok itu sambil menjura penuh hormat dan berkata.
“Maaf, Tai-ciangkun. Apakah ciangkun juga begitu baik hati untuk berkenalan dengan kami dan memberi
petunjuk dalam ilmu silat kepada kami?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Perwira itu mengangkat dadanya yang bidang dan dengan muka angkuh ia berkata, suaranya nyaring, “Kakek,
apakah engkau tidak tahu akan peraturan dan tidak tahu bahwa kalian telah melanggar hukum?”
Para penonton mendengar suara keras ini menjadi tegang dan gelisah. Juga mantu, anak perempuan dan
cucu Si Kakek itu memandang gelisah. Akan tetapi kakek itu tetap tenang saja ketika menjawab.
“Maaf, ciangkun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada peraturan yang melarang rombongan silat seperti
kami membuka pertunjukan silat untuk berkenalan dengan para ahli silat dan untuk meluaskan pengalaman.”
“Hemmm, semua orang tahu bahwa telah dikeluarkan larangan bagi rakyat untuk membawa senjata tajam.
Apakah engkau tidak tahu atau barangkali berpura-pura tidak tahu?”
Kembali kakek itu menjura. Keadaan di situ sunyi, tidak ada suara terdengar di antara para penonton yang
menjadi gelisah, bahkan sebagian dari para penonton diam-diam telah meninggalkan tempat itu, karena
khawatir kalau terbawa-bawa. Apa lagi mereka yang merasa telah ‘melanggar hukum’.
Pada waktu itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan dan peraturan-peraturan yang menghina penduduk
pribumi. Pertama, pribumi dilarang membawa senjata, rambut diharuskan bertumbuh panjang dan dikuncir ke
belakang seperti buntut, dan pakaian para pribumi harus ‘mencontoh’ pakaian Mancu! Tentu saja peraturan ini
tidak dapat ditaati secara serentak, dan pemerintah Mancu pun cukup bijaksana dan cerdik untuk tidak terlalu
menekan, melainkan perlahan-lahan rakyat pribumi dipaksa ke arah pelaksanaan perintah-perintah itu. Yang
terpenting adalah pelarangan membawa senjata tajam yang tentu saja dimaksudkan agar pribumi tidak dapat
mengadakan pemberontakan. Maka di antara para penonton yang belum menyesuaikan pakaian dan
rambutnya, diam-diam pergi meninggalkan tempat itu ketika Si Perwira Hidung Bengkok mempersoalkan
hukum ini.
“Maaf, Tai-ciangkun,” Si Kakek menjawab dengan sikap penuh hormat sungguh pun tidak menjilat, “kami
mengerti akan peraturan itu dan tidak ada niat kami untuk melanggarnya. Kami membawa senjata hanya
sebagai perlengkapan dalam permainan silat yang kami pertunjukkan. Tanpa senjata, bagaimana kami dapat
mempertunjukkan ilmu silat? Cucu saya itu hanya bisa menari pedang, kalau tidak membawa pedang tentu
tidak akan dapat menari. Ada pun mengenai rambut dan pakaian, hal ini pun terpaksa kami sesuaikan dengan
pertunjukan kami. Bagi kami, pertunjukan silat kami selain untuk menarik sahabat-sahabat untuk berkenalan,
juga merupakan rombongan kesenian dan tentu saja dibutuhkan pakaian dan tata rambut yang sesuai dan
ringkas. Harap ciangkun sudi memaafkan. Kalau tidak sedang mengadakan pertunjukan silat, tentu kami akan
mengubah cara kami berpakaian, dan akan kami tinggalkan semua senjata di rumah.”
Perwira itu tertawa dan melirik ke arah nyonya cantik yang berdiri di sudut sambil memandang penuh perhatian.
“Ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Kakek! Aku pun hanya mengingatkan kalian saja, kalau berniat buruk, tentu
sudah tadi-tadi kusuruh tangkap kalian! Kalian mencari kenalan ahli silat? Hemmm, kebetulan sekali, aku pun
pernah belajar ilmu silat. Tadi kulihat puterimu itu amat lihai ilmu silatnya sehingga mudah saja mengalahkan
Si Muka Hitam. Biarlah aku mencoba-coba kelihaiannya. Bagaimana?”
Kakek itu mengerutkan keningnya, “Ah, anak perempuan saya hanya memiliki ilmu silat pasaran saja, mana
ada harganya menandingi Tai-ciangkun? Harap ciangkun jangan main-main.” Kakek itu tersenyum.
“Siapa main-main? Hayo suruh dia maju, hendak kulihat bagaimana kelihaiannya!”
Kakek itu menjadi serba salah. Dia tidak khawatir kalau-kalau anaknya akan kalah, akan tetapi bertanding
menghadapi seorang perwira berbeda dengan orang biasa. Kalau lawannya orang biasa, kalah atau menang
bukanlah merupakan hal aneh lagi. Akan tetapi kalau melayani perwira ini, kalau anaknya menang si perwira
tentu akan merasa tersinggung kehormatannya dan akan mengandalkan kekuasaannya mencelakakan mereka.
Akan tetapi kalau anaknya mengalah, tentu saja berbahaya bagi keselamatan anaknya.
“Biarlah saya yang akan maju melayani Tai-ciangkun beberapa jurus,” katanya. Kalau dia yang maju, tentu
saja dia akan mengalah dan tidak mengapa menerima satu dua pukulan dari ciangkun ini, asal keluarganya
tidak terganggu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi perwira hidung bengkok itu malah menjadi marah. Ia bertolak pinggang dan alisnya diangkat,
matanya melotot. “Heh, kalau orang lain boleh bertanding melawan perempuan itu, kenapa aku tidak? Apakah
kau anggap aku tidak cukup berharga untuk bertanding melawan anakmu? Kakek, hati-hatilah engkau dengan
sikapmu.”
Wanita itu melangkah maju dan berkata, “Ayah, biarkan saya melayani Tai-ciangkun ini beberapa jurus.”
Kakek itu menghela napas dan mundur, kembali kepada tamburnya, sedangkan mantunya yang memandang
dengan wajah tidak berubah akan tetapi sinar matanya mengandung kekhawatiran, lalu mainkan gembreng.
Wanita itu melangkah perlahan ke tengah panggung, dipandang oleh si perwira yang menelan ludah melihat
langkah-langkah lemah gemulai dan pinggang ramping yang meliuk-liuk ketika wanita itu mendekat. Wanita itu
benar-benar cantik, amat menarik karena wajahnya yang berkulit halus itu tanpa dihias bedak sama sekali.
Bentuk tubuhnya masih ramping padat dan matang seperti biasa tubuh wanita yang sudah tiga puluh kurang
lebih usianya dan sudah mempunyai seorang anak.
Wanita itu menjura dengan hormat dan berkata dengan suara halus, “Tai-ciangkun hendak memberi pelajaran
silat kepada saya? Silakan.”
Sejenak perwira itu memandang kagum, terpesona oleh kecantikan asli wanita itu, kemudian tertawa
menyeringai. Orang yang ketawa atau senyumnya dibuat-buat, tidak sewajarnya dengan niat agar menarik dan
wajahnya berubah tampan, akan kecelik karena senyum atau tawa yang tidak sewajarnya dan dibuat-buat itu
akan membuat mukanya makin buruk dan senyumnya seperti monyet menyeringai.
“Heh-heh, Nona terlalu merendah. Akulah yang minta diberi pelajaran silat Nona yang lihai itu.” Ia sengaja
menyebut nona bukan dengan niat tidak menghormat, sebaliknya malah ingin menyenangkan hati orang sebab
perwira ini maklum bahwa seorang wanita akan gembira kalau disebut nona, sebaliknya seorang nona akan
cemberut kalau disebut nyonya.
Akan tetapi wanita itu adalah seorang ibu yang baik, seorang isteri yang setia, maka mendengar sebutan yang
ia tahu disengaja ini, ia menjawab, “Saya bukan gadis, ciangkun, melainkan seorang ibu. Di sana itu suami
saya dan anak perempuan itu adalah anak saya.”
Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini dan perwira itu menyeringai makin lebar, wajahnya agak merah.
“Ah, baiklah, Nyonya. Marilah kita main-main sebentar!”
Ia lalu melangkah maju dan menampar dengan tangan kirinya. Gerakannya seperti orang main-main, akan
tetapi nyonya itu terkejut ketika merasa betapa tamparan ini membawa angin pukulan yang amat kuat. Ia tidak
berani memandang rendah dan cepat menggerakkan kakinya mundur mengelak, kemudian tubuhnya meliuk
ke kiri dan dari samping kakinya mencuat ke arah lambung perwira itu dengan sebuah tendangan kilat.
“Aihhhhh, cepat sekali!” Si perwira berseru, akan tetapi tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan
kanan yang dimiringkan untuk membabat kaki yang menendang.
Wanita itu cepat menarik kembali kakinya dan kini menggunakan kesempatan selagi perwira itu membabatkan
tangannya, ia telah mendoyongkan tubuh ke depan dan mengirim pukulan ke arah muka si perwira yang
terbuka.
Perwira itu sengaja berlaku lambat dan membiarkan tangan lawan meluncur ke arah mukanya. Setelah dekat
sekali sehingga kiranya tidak mungkin bagi lawan untuk menarik kembali tangannya seperti yang dilakukannya
dengan tendangan tadi, tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat dari bawah, menyambar ke atas dan tahu-tahu
pergelangan tangan kanan wanita yang memukul itu telah ditangkapnya!
Terdengar seruan kaget dari suami nyonya itu, juga para penonton menahan seruan mereka. Si wanita sendiri
menjadi terkejut karena tidak disangkanya perwira itu memiliki kecepatan seperti itu. Tangan kanannya telah
ditangkap dan ia tidak mampu melepaskannya, maka cepat ia memukul ke arah pelipis lawan dengan tangan
kiri, dengan pukulan yang melengkung dari luar. Seperti tadi, perwira itu seperti tidak mengelak, dan setelah
pukulan tangan kiri dekat, kembali tangan kanannya menyambar dan menangkap pergelangan tangan kiri
dunia-kangouw.blogspot.com
lawan yang terus ia bawa ke tangan kiri. Jari-jari tangan kirinya yang panjang kini mencengkeram kedua
pergelangan tangan nyonya itu menjadi satu!
“Ohhh... le... lepaskan tanganku...!” Nyonya itu berseru dan meronta, berusaha melepaskan tangannya yang
keduanya telah terbelenggu oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Namun usahanya sia-sia dan si perwira tertawatawa
bahkan mengulur tangan kanannya mencengkeram ke arah dada.
Kakek itu terkejut, maklum bahwa nyawa puterinya terancam maut. Akan tetapi ternyata perwira itu tidak
mencengkeram untuk membunuh, melainkan mencengkeram dengan halus dan meremas-remas dada wanita
itu secara kurang ajar sekali sambil tertawa-tawa!
“Lepaskan isteriku!” Laki-laki yang sejak tadi memandang penuh kemarahan tiba-tiba meloncat maju. Ia masih
ingat bahwa ia tidak boleh menyerang perwira itu, karena hal ini akan membahayakan keluarganya, maka ia
mengulur tangan untuk menarik tubuh isterinya yang sedang mengalami penghinaan dari perwira tak tahu
malu itu. Akan tetapi perwira itu membentak.
“Pergilah!”
Tangan kiri yang membelenggu kedua tangan nyonya itu mendorong sehingga tubuh si wanita terhuyung ke
belakang, sedangkan tangan kanan yang tadi meremas-remas buah dada kini menghantam ke arah kepala
laki-laki suami wanita itu.
“Ahhhh...!” Laki-laki yang diserang secara tiba-tiba itu cepat menangkis, akan tetapi dengan cepat sekali
tangan si perwira itu menyambar pundaknya.
“Krekkk!” Patahlah tulang pundak suami nyonya itu dan tubuhnya terpelanting roboh.
Kakek itu meninggalkan tamburnya, mengangkat bangun mantunya dan kemudian menghadapi si perwira
yang bertolak pinggang, menjura dan berkata, “Kepandaian Tai-ciangkun sungguh hebat sekali dan kami
merasa beruntung dan berterima kasih telah mendapat pelajaran dari Ciangkun. Kekalahan ini merupakan
pengalaman dan pelajaran bagi kami dan sekarang kami mohon untuk mengundurkan diri meninggalkan kota
ini.”
“Ha-ha-ha, nanti dulu, Kakek Tua. Kita telah bertanding dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa niat kalian
untuk menarik persahabatan? Aku telah bertanding dengan puterimu, berarti aku telah menjadi sahabat pula,
bukan? Nah, kulihat ilmu silat puterimu hebat. Malam nanti kami serombongan perwira hendak mengadakan
malam gembira, maka sebagai sahabat, aku minta supaya puterimu sekarang juga ikut dengan aku untuk
bantu meramaikan malam gembira itu.”
Wajah kakek itu menjadi pucat. “Maaf, Tai-ciangkun... hal itu mana bisa dilakukan...?”
“Tentu saja bisa kalau mau!” jawab Si Perwira.
“Aku tidak mau, Tai-ciangkun. Harap ingat bahwa aku adalah seorang isteri, seorang ibu...”
“Ha-ha-ha, beginikah harganya persahabatan kalian?” Perwira itu mengejek dan dua orang perwira lain yang
berada di bawah tertawa.
“Kami sudah bosan dengan gadis-gadis, sekali waktu diselingi seorang ibu muda tentu menggembirakan, haha-
ha!”
Melihat sikap mereka, kakek itu maklum bahwa bahaya tak dapat dihindarkan lagi. Maka ia lalu berkata,
nadanya tegas, “Maaf, Tai-ciangkun. Kami sekeluarga tidak dapat memenuhi permintaanmu itu.”
Perwira itu menggerakkan alisnya dan memandang kakek itu dengan mata disipitkan. “Apakah ini berarti
bahwa aku harus mengalahkan engkau dulu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu maklum bahwa perwira berhidung bengkok ini lihai sekali. Melihat caranya mengalahkan puterinya
dan merobohkan mantunya dengan sekali pukul ia tahu bahwa dia sendiri bukan tandingan si perwira. Akan
tetapi, demi menjaga kehormatan puterinya dan nama baik keluarganya, ia memandang tajam dan berkata.
“Terserah penilaian Ciangkun!”
“Hemmm, engkau orang tua tidak memilih hidup enak, malah memilih kematian. Kalau begitu, bersiaplah kau
untuk mampus!” Perwira itu melangkah maju dan pada saat itu berkelebat bayangan orang dan terdengar
bentakan halus.