Tampilkan postingan dengan label Tjan ID. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tjan ID. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Januari 2018

Cersil Lawas Si Pedang Kilat

-baca juga:

si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 1
Subuh baru tiba, suasana masih remang2 diliputi kabut pegunungan jang memutih tipis
bagaikan gumpalan2 kapas terapung di udara.
Tempat itu adalah disekitar lereng pegunungan Tjongsan jang terletak dibaratlaut Oupak.
Diatas puntjak karang terdjal terdapat tiga buah rumah atap. Rumah2 itu berdiri menghadap
lembah pegunungan didepannja jang menghidjau permai, dibelakang adalah lereng gunung
jang tjuram. Suatu tempat kediaman jang luar biasa dan menimbulkan sangkaan besar
kemungkinan adalah tempat bersemajam kaum dewata surgaloka.
Tatkala itu adalah permulaan bulan lima, dilembah pegunungan itu terbentang sawah2 luas
dengan padi menguning emas dihembus angin sepoi2 basa memudji alam semesta.
Sajup2 dari djauh terdengar suara seruling anak gembala jang njaring merdu memetjah
angkasa raja nan sunji.
Itulah lukisan suasana dilereng pegunungan itu. Ternjata dibalik rumah2 atap jang terpentjil
itu sebenarnja adalah tempat semajam kaum kesatria.
Tuan rumah gubuk2 itu bernama Su Djun-lui, usianja sudah melampaui 60 tahun.
Asalnja Su Djun-lui adalah murid Bu-tong-pay, dengan kepandaiannja jang tinggi dimasa
mudanja pernah djuga ia malang melintang didunia Kangouw. Pada kira2 30 tahun jang
lampau, nama Siam-tian-kiam Su Djun-lui, sipedang kilat, boleh dikata membikin rontok njali
setiap musuh jang berhadapan dengan dia. Si Pedang Kilat disegani lawan dan disukai
kawan.
Namun seperti kata pribahasa: “Manusia takut ternama dan babi
takut gemuk.” Maklum, djika babi sudah gemuk, maka nasibnja sudah dapat dipastikan,
jaitu menudju kerumah pemotongan.
Sebaliknja kalau manusia terlalu ternama, maka naga2nja sudah tentu djuga akan banjak
mendatangkan kesulitan, entah disiriki, entah ditjemburui dan sebagainja.
Dan begitu pula dengan Su Djun-lui, si Pedang Kilat. Karena perdjuangan dimasa mudanja itu
sehingga tidak sedikit djuga mengikat permusuhan dengan orang2 Kangouw. Ketika usianja
sudah menandjak, isteriaja wafat dan puteranja meninggal, tinggal seorang puterinja jag masih
ketjil sekadar sebagai pelipur lara dihari tua, maka semangat djantannja mulai pudar, tjita2nja
jang semula muluk2 dan tergantung tinggi2 sebagai bintang2 dilangit mendjadi bujar djuga.
Guna menghindari pentjarian musuh, achirnja Su Djun-lui mengasingkan diri dan
membangun rumah2 atap dipuntjak karang dibarat laut kota Lileng, propinsi Oupak, ia
membeli beberapa hektar sawah dan hidup bertjotjok-tanam, dikala senggang hiburannja jalah
membatja. Penghidupan jang aman tenteram itu sudah berlangsung belasan tahun lamanja.
Dasar Su Djun-lui orangnja memang ramah-tamah dan suka membantu sesamanja, ia mahir
pula ilmu pertabiban dan pengobatan, dari itu didusun sekitar kediamannja itu dia dikenal
sebagai seorang tua jang terpeladjar dan sopan-santun sama sekali tidak pernah bertjektjok
dengan orang. Tapi tiada seorangpun jang tahu bahwa dia sebenarnja seorang kesatria
terkemuka didunia Kangouw pada beberapa puluh tahun jang lalu.
Orang jang tahu bahwa Su Djun-lui memiliki ilmu silat jang tinggi selain Su Mei-lan, puteri
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 2
kesajangan Su Djun-lui sendiri, ada pula Kim Hiau-hong, jaitu satu2nja murid Su Djun-lui
jang dipungutnja sedjak ketjil.
Usia Su Mei-lan tahun ini sudah mentjapai 17 tahun, mukanja tjantik, sikapnja agung, dan
sangat berbakti kepada orang tua.
Adapun Kim Hiau-hong lebih tua tiga tahun daripada Mei-lan. Orangnja djuga ganteng dan
tampan, sangat menghormat kepada sang guru dan ramah kepada sang Sumoay.
Terhadap muridnja jang setia itu Su Djun-lui menganggapnja seperti puteranja sendiri dan
diam2 sudah lama terkandung maksudnja hendak mengambilnja sebagai menantu, soalnja
tinggal menunggu waktu sadja.
Tapi sebaliknja Mei-lan mempunjai pandangan tersendiri terha-dap sang Suheng. Meski Kim
Hiau-hong sehari2nja sangat baik padanja, tapi entah mengapa, dalam hati ketjil Mei-lan
merasa ada sesuatu tjiri atas diri pemuda itu, ia merasa muak dan bentji padanja, tjuma sebab
apa dia merasa begitu, itulah jang susah ditjeritakan.
Namun begitu mereka sekeluarga tiga djiwa tetap hidup rukun dan tenteram, mereka siang
bertjotjok tanam seperti orang dusun umumnja, malam hari Su Djun-lui mengadjar ilmu silat
kepada pu teri dan muridnja. Karena itu, hampir seluruh kepandaian si Pedang Kilat telah
diturunkan kepada kedua mudamudi itu.
Pagi hari itu, seperti biasa Mei-lan bangun pagi2 dan siap untuk berlatih. Mei-lan sangat
menjukai bunga, sesuai dengan namanja, Mei-lan jang berarti anggrek tjantik, maka ia sangat
suka kepada bunga anggrek, tapi iapun sangat suka pada bunga teratai. Oleh karena itu
dibelakang rumah telah dibuat sebuah kolam de-ngan mengambil sumber air jang mengalir
dari atas gunung, didalam kolam banjak diitanami bunga teratai jang indah. Pagi2 daun teratai
jang lebar2 itu penuh butiran embun mirip mutiara didalam talam djamrud, bunga teratai
menghembuskan bau harum jang sajup2 semerbak.
Setiba ditepi kolam, sedikit Mei-lan djindjing gaunnja, sekali melajang, dengan enteng sekali
ia sudah berdiri diatas sebuah daun teratai jang lebar sebagai tampah itu. Menjusul ia telah
keluarkan Ginkangnja jang tinggi, ia melajang dan menari2 dari satu daun teratai keatas daun
teratai jang lain sehingga mirip tjapung bermain diatas air. (lihat gambar omslag).
Kiranja Ginkang jang dia latih adalah “Leng-po-keng-ho” atau sidewi main diatas daun
teratai. Dan gajanja jang indah gemulai itu memang mirip benar dengan dewi kajangan jang
mempesonakan.
Pada saat Mei-lan lagi asjik menari2 itulah, tiba2 tertampak Kim Hiau-hong berlari2
mendatangi dengan muka putjat dan segera berseru: “Adik Lan, wah, tjelaka adik Lan,
Suhu............., Suhu.............”
Mei-lan sendiri sedang riang gembira melompat kesini dan mela-jang kesana. ketika
mendadak mendengar teriakan sang Suheng jang mengedjutkan mengenai ajahnja itu, meski
utjapan Kim Hiau-hong itu terputus2 dan berhenti tengah djalan, tapi dia dapat menduga pasti
terdjadi sesuatu jang menjangkut keselamatan sang ajah. Dalam kedjutnja, tenaganja seketika
mendjadi lemas dan badannja lantas andjlok kebawah. Dengan sendirinja daun teratai tidak
kuat menahan tubuhnja, sebab itulah betisnja lantas sadja terbenam didalam air.
Sjukur Kim Hiau-hong dapat bertindak dengan tjepat, setjara tjekatan sekali ia sempat
melajang ketengah kolam, sekali djambret, sebelah. tangannja sambar pundak Mei-lan dan
segera ditjangking sambil melajang ketepi kolam sebelah sana dengan gaja sebagai “elang
lapar menjambar kelintji”.
Rupanja saking kuatirnja mengenai sang ajah, maka Mei-lan sama sekali tidak urus tentang
sebagian gaunnja sudah basah kujup terkena air kolam, tapi begitu sudah dilepaskan ditepi
kolam sana, segera ia tanja Hiau-hong: “Suko, apakah jang terdjadi atas diri ajah?”
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 3
Melihat Mei-lan sangat terguntjang perasaannja, Kim Hiau-hong mendjadi ragu2 apakah
mesti memberitahukan duduknja per kara jang sebenarnja atau tidak, tapi ia merasa kuatir
pula menimbulkan hal2 jang tidak diinginkan. Maka ketika pandangannja kebentrok dengan
sinar mata Mei-lan. jang tadjam itu, tanpa me rasa ia tambah tergagap2 dan susah
mendjawab.
Melihat sikap sang Suheng itu, Mei-lan tambah kuatir dan tjuriga, tjepat ia mendesak pula:
“Suko, bagaimana dengan ajah? Lekas katakan!”
Sesudah didesak berulang2, Kim Hiau-hong merasa susah untuk tutup mulut lebih djauh,
maka dengan gelagapan achirnja ia men-djawab: “Suhu...... Suhu telah........“
“Kenapa?” sela Mei-lan dengan tak sabar. “Apa beliau mengalami ketjelakaan?”
Kim Hiau-hong tidak sanggup mendjawab, ia hanja mengangguk dengan sedih. Ia menduga
urusan ini pasti akan membikin sang Sumoay berduka nestapa. Dengan demikian ia telah siap
untuk menghibur nona itu.
Diluar dugaan sikap Mei-lan ternjata sangat tenang malah, ia tidak mendjadi kelengar atau
menangis oleh berita jang menjedihkan itu, sebaliknja ia bersitegang dan berkata dengan
kereng kepada Kim Hiau-hong. “Tjara bagaimana ajah mendjadi tewas?”
Sungguh sikap Mei-lan itu sama sekaii diluar dugaan Kim Hiau-hong. Sesudah tertegun
sedjenak, lalu Hiau-hong mendjawab de-ngan sedih dan suara lemah: “Suhu......... Suhu
telah dibunuh orang!”
Mei-lan terkesiap, diam2 ia merasa heran darimana mendadak datangnja musuh. Selama ini
ajahnja toh tidak pernah bertjektjok dengan siapapun. Walaupun dimasa dahulu ajahnja
banjak bermusuhan dengan orang2 Kangouw, tapi kedjadian2 itu sudah berlalu lebih 20 tahun
jang lalu, selama ini ajahnja hidup mengasing kan diri dengan aman tenteram, diantara orang2
jang tahu tempat kediamannja boleh dikata sangat terbatas.
Maka segera ia tanja pula: “Apakah Suko mengetahui sipembunuh itu?”
.,Ti...... tidak,” sahut Kim Hiau-hong.
“Habis, apakah tiada sesuatu tanda luka diatas tubuh ajah?” tanja Mei-lan pula.
“Ada,” kata Hiau-hong. “Marilah kita pulang sadja, Sumoay boleh memeriksanja sendiri.”
Segera Kim Hiau-hong membawa Mei-lan pulang kerumah.
Ketiga rumah atap itu dibangun setjara berdjadjar, jang sebelah kiri adalah tempat tinggal
Kim Hiau-hong, sebelah kanan adalah kamarnja Mei-lan. Rumah jang tengah lebih besar dan
mendjadi tempat kediaman Su Djun-lui.
Meski rumah2 itu sangat sederhana tampaknja, tapi segala perabotan didalam rumah tjukup
indah, pepadjangan jang teratur menundjukkan penghuninja adalah seorang terpeladjar dan
berbakat seni. Diruangan tengah itu tergantung beberapa helai lukisan kuno dengan warna
jang serasi.
Dan djenazah Su Djun-lui djusteru berada diruangan tamu itu. Tertampak orang tua itu
berduduk tenang diatas kursi bambu, kedua matanja setengah tertutup, djenggotnja jang
pandjang memutih perak itu masih sama seperti waktu hidupnja. Kalau sebelumnja Mei-lan
tidak diberitahu bahwa ajahnja telah mennggal, sung-guh nona itu pasti tidak pertjaja bahwa
ajahnja jang masih duduk diatas kursi itu ternjata sudah tidak bernjawa lagi.
Meski saat itu rasa duka Mei-lan sudah mentjapai puntjaknja, tapi sekuat mungkin dia
masih dapat menguasai dirinja. Dia berharap dapat menemukan tanda2 kematian diatas
djenazah ajahnja untuk menentukan siapakah gerangan sipembunuhnja.
Dengan menahan perasaannja Mei-lan mendekati djenazah ajahnja, dengan teliti ia periksa
tubuh orang tua jang sudah tak bernjawa itu. Achirnja dapat diketemukan suatu tanda hangus
pada punggung telapak tangannja.
Setelah ditjari2 pula, kemudian diketemukan lagi, sebatang djarum dibelakang telinga kanan
ajahnja.
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 4
Melihat itu, Kim Hiau-hong berteriak kaget “Ai, kenapa aku tadi tidak melihat luka serangan
djarum ini?”
Namun Mei-lan tidak menggubris pada teriakan sang Suheng, dengan termangu2 ia pandang
djarum itu dengan mata melotot, achirnja dia berkata dengan penuh dendam: “Hm, bagus,
kiranja adalah perbuatan kau manusia berhati binatang ini? Aku harus menuntut balas sakit
hati ini!”
Kiranja demi melihat djarum itu, segera Mei-lan teringat kepada seorang tokoh persilatan jang
terkemuka, jaitu Pek-djiu-sin-tjiam Tan Ting-hay, sidjarum sakti seratus tangan.
Tan Ting-hay adalah ketua Heng-san-pay dan sangat terkenal didunia Kangouw, bahkan
adalah teman karib dengan Su Djun-lui.
Dahulu, sebabnja Su Djun-lui mengambil keputusan mengundurkan diri dari dunia Kangouw
dan hidup mengasingkan diri, asal-mulanja adalah djuga karena andjuran Tan Ting-hay.
Ilmu silat andalan Heng-san-pay selain Ngo-lui-sin-tjiang (pukulan sakti geledek) djuga
terkenal pula dengan Hui-hoa-sin-tjiam (djarum sakti penjebar bunga) jang merupakan
sendjata rahasia jang lihay.
Letak istimewa djarum jang dipakai itu adalah bentuknja jang aneh, jaitu kedua udjung tadjam
semua, besar-ketjil dan pandjangnja tidak ubahnja seperti djarum djahit biasa. Dalam hal
sendjata rahasia ini Tan Ting-hay telah mejakinkannja selama berpuluh tahun lamanja
sehinggga sekaligus ia sanggup menghamburkan segenggam djarum jang berdjumlah
puluhan, bahkan ratusan batang sehingga musuh se-akan2 dihambur oleh pasir atau dirubung
tawon jang susah dielakkan. Dari kepandaiannja inilah Tan Ting-hay memperoleh gelarannja
sebagai, Pek-djiu-sin-tjiam jang termashur itu.
Tan Ting-hay djarang berkundjung ke Leling, jakni tempat kediaman Su Djun-lui, paling2
tjuma setahun sekali sadja. Tapi diwaktu menjambangi sobat lama itu, biasanja Tan Ting-hay
tentu membawa serta puteranja jang tunggal.
Watak Tan Ting-hay itu sangat sederhana, hidupnja bebas, dandanannja tak teratur. Sifat ini
rupanja diturunkan kepada putera satu2nja itu. Tabiat Tan Ting-hay sendiri djuga djenaka dan
suka menang, kegemarannja jalah minum arak. Diwaktu mereka mengundjungi Su Djun-lui
djuga tidak tertentu saatnja, terkadang pagi2 sebelum subuh tiba, sering djuga tengah malam
buta menggedor pintu sang sobat.
Tentang ilmu silat diantara Tan Ting-hay dan Su Djun-lui boleh dikata sebaja alias sama kuat.
Kesukaan mereka dikala bertemu adalah main tjatur. Tahun jang lalu ketika Tan Ting-hay
berkundjung pula ketempat Su Djun-lui, kembali mereka telah main tjatur. Kekuatan
permainan mereka sebenarnja seimbang, tapi biasanja selalu diachiri dengan kemenangan
dipihak Tan Ting-hay. Namun sekali ini telah terdjadi “surprise”, karena sesuatu kelalaian
jang tak disengadja sehingga Tan Ting-hay berachir dengan kekalahan. Kedjadian ini rupanja
membuat Ting-hay sangat penasaran sehingga esok paginja dia terus tinggal pergi tanpa
pamit. Sudah tentu Su Djun-lui, kenal watak sang kawan jang suka menang itu dan tidak
menaruh perhatian atas kelakuan sobat baik itu.
Sekarang dari djenazah ajahnja dapat diketemukan djarum jang merupakan
sendjata rahasia tunggal milik Tan Ting-hay, maka Mei-lan mendjadi ragu2
apakah mungkin lantaran peristiwa tjatur itu sehingga menimbulkan dendam paman
Tan itu?
Selain mengenali djarum itu sebagai sendjata rahasia Tan Ting-hay, dapat diketahui
pula oleh Mei-lan bahwa tanda hangus dipunggung tangan ajahnja itu seperti bekas
kena Hwe-yam-djiu (ilmu pukulan tangan api) jang terkenal dari Hok-liong Siansu.
Hok-liong Siansu asalnja adalah paderi Leng-hun-si di Hangtjiu. Tapi Hok-liong Siansu
adalah seorang Hwesio sontolojo, dia tidak pantang minum arak maupun makan daging,
karena tidak dapat taat kepada adjaran agama ini, maka dia telah diusir dari perguruannja itu.
Sifat Hok-liong Siansu djuga suka gila2an dan angin2an, tapi wataknja badjik, suka membela
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 5
kaum lemah. Seperti djuga Tan Ting-hay, dia djuga sobat baiknja Su Djun-lui.
Djadi diantara tokoh2 persjlatan jang ada hubungan dengan Su Djun-lui dan tahu tempat
tinggalnja sedjak. dia mengasingkan diri, boleh dikata tjuma Ting-hay dan Hok-liong Siansu
sadja.
Sekarang kalau dilihat dari bekas2 luka dan bukti djarum jang diketemukan Mei-lan,
tampaknja pembunuh Su Djun-lui itu ternjata adalah kedua kawan karibnja sendiri, jaitu Tan
Ting-hay dan Hok-liong Siansu. Sudah tentu Mei-lan masih ragu2, namun begitu kematian
ajahnja benar2 membuatnja sangat berduka.
Dengan menggertak gigi Mei-lan bertekad harus membalas sakit hati kematian ajahnja. Tapi
iapun insaf dengan kepandaiannja sendiri untuk menghadapi dua lawan tangguh terang tidak
mampu. la tjoba memikirkan pula dengan lebih mendalam, achirnja ia merasa kedua
Lotjianpwe itu sebenarnja tiada alasan un-tuk membunuh ajahnja, dan djika demikian halnja,
lantas siapakah gerangan sipembunuhnja?
. Ketika berpaling, tiba2 Mei-lan melihat diatas medja tamu situ terdapat dua tjangkir teh, hal
ini membuatnja tergetar. Bukankah ini suatu adegan penipuan jang telah sengadja
diatur?
Dalam pada itu demi melihat Mei-lan menemukan djarum jang bentuknja istimewa
dibelakang kepala Su Djun-lui, segera Kim Hiau-hong memperlihatkan sikapnja jang penuh
kemurkaan, teriaknja dengan mengepal: “Kiranja adalah perbuatan kedji bangsat tua ini!
Sungguh tidak njana. Biasanja Suhu menganggapnja sebagai sobat jang paling baik, siapa
tahu dia adalah manusia jang berhati binatang dan tega turun tangan kedjam kepada kawannja
sendiri, benar2 keparat!” - ia berhenti sedjenak, kemudian ia berkata pula sambil menarik
tangan Mei-lan: “Su moay, marilah sekarang djuga kita berangkat ke Tiangsah un-tuk
mentjari bangsat tua itu, kalau aku belum mentjintjang dia, tidak lampias dendamku ini!”
Namun dengan tjepat Mei-lan lantas mengipatkan tangan sang Suko, ia diam sadja tanpa
menanggapi adjakan kakak guru itu. Tapi batinnja sebenarnja tak terkatakan duka dan
pedihnja. Sekonjong2 ia menguak sekali, darah segar terus menjembur keluar dari mulutnja,
matanja tampak mendelik, lalu orangnja tak sadarkan diri lagi.
Kim Hiau-hong termangu2 sedjenak. Suhunja meninggal, Sumoaynja pingsan, semua ini
membuatnja kerepotan djuga. Tapi segera ia ambil keputusan untuk menjadarkan dulu sang
Sumoay, lalu mengatur lajon Suhunja. Setelah sibuk seharian, achirnja segala urusan
dapatlah diselesaikan.
Sesudah sadar kembali sikap Mei-lan ternjata mendjadi sangat pendiam, namun Hiau-hong
djuga tidak berani banjak bertanja, bahkan tampak agak kikuk2 menghadapi Sumoaynja
itu.
Besok paginja, baru sadja Kim Hiau-hong memasang dupa dihadapan lajon Suhunja, tiba2
terdengar diluar ada suara salaman orang. Ketika didengarkan lebih tjermat, terdengar orang
itu sedang berseru: “Apa Su-sioksiok berada dirumah? Tan Giok-ki dari Hengsan ingin
menjampaikan salam kepada Su-siok-siok!”
Mendengar itu, Hiau-hong kenal siapa Tan Giok-ki itu, ia bukan lain adalah puteranja Tan
Ting-hay, ini benar2 ular mentjari digebuk, pikir Hiau-hong. Tanpa ajal lagi segera ia
memburu keluar, begitu berhadapan, tanpa bitjara dan dengan mata mendelik terus sadja Kim
Hiau-hong melantjarkan serangan, dengan tipu “Hek-hou-tau-sim” (harimau kumbang
mentjolong hati), segera ia hantam dada seorang pemuda jang berdiri didepan pintu dengan
dandanan jang tjompang-tjamping tak teratur itu. Ketika kepalan sudah dekat dada sasarannja,
mendadak Hiau-hong mengganti hantaman mendjadi tjakaran.
Karena tak tersangka2 sehingga, tampaknja ulu hati pemuda berbadju rombeng itu segera
akan ditjengkeram keluar oleh serangan Kim Hiau-hong itu, keruan sipemuda badju rombeng
sangat terkedjut.
Pemuda berbadju rombeng itu memang bukan lain adalah Tan Giok-ki, putera tunggal Tan
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 6
Ting-hay.
Seperti djuga bapaknja, sifat Tan Giok-ki inipun sangat sederhana, dandanannja
tjompangtjamping tak teratur sehingga mirip pemuda miskin, namun begitu badannja kekar,
gagah dan tangkas, sinar matanja tadjam. Sudah tentu ia sangat terkedjut ketika mendadak
diserang, apalagi penjerangnja adalah Kim Hiau-hong jang merupakan teman memainnja
sedjak ketjil bila dia berkundjung kerumah Su Djun-lui ini.
Usia Giok-ki lebih tua satu tahun daripada . Mei-lan, tapi lebih muda dua tahun daripada
Hiau-hong. Sebab itulah iapun menjebut Hiau-hong sebagai Suko menurut panggilan Mei-lan.
Walaupun lahirnja sederhana dan tampaknja bodoh, tapi sebenarnja Giok-ki sangat tjerdik dan
tangkas. Dasar ilmu silatnja djuga lebih kuat daripada Kim Hiau-hong, bahkan Mei-lan djuga
masih kalah.
Rupanja mengetahui kepandaian Giok-ki itu, maka serangan Hiau-hong dalam djurus “Hekhou-
tau-sim” tadi sengadja dilontarkan dengan setjara mendadak, ganas lagi kedji dengan
tekad sekali serang harus merobohkan lawan, kalau tidak tentu dirinja sendiri jang akan
tjelaka.
Tapi Tan Giok-ki benar2 sangat lihay, walaupun tidak sempat berkelit, djusteru pada saat jang
berbahaja itu dia masih sempat menarik napas dan mendekukkan dadanja, “bret”, dadanja
luput dari tjakaran Kim Hiau-hong, hanja badjunja jang terobek sepotong.
Karena serangannja gagal, tanpa bitjara apa2 lagi, segera Hiau-hong lolos pedangnja dan
kembali menjerang pula, dengan tipu “Tok-tjoa-tho-sin” (ular berbisa mendjulurkan lidah),
setjepat kilat ia tusuk perut Tan Giok-ki.
Baru sadja Giok-ki menghindarkan tjengkeraman Hiau-hong tadi dan belum lagi sempat
menegur mengapa orang menjerangnja setjara mendadak dan kedji, sementara itu tusukan
pedang lawan telah tiba pula. Terpaksa Giok-ki mesti membuang tubuhnja kebelakang untuk
selandjutnja tjepat memutar kebelakang Kim Hiau-hong.
Dahulu Kim Hiau-hong djuga sering latihan bersama Tan Giok-ki dan tahu betapa tinggi
kepandaian lawan, maka ia tidak berani ajal, tanpa membalik tubuh segera pedangnja
menabas lagi kebela kang. Serangan ini sangat tjepat lagi lihay, apabila Ginkang jang dimiliki
Tan Giok-ki kurang sempurna, maka sepasang kakinja pasti sudah buntung.
Sampai disini, achirnja G:okki kehilangan sabar djuga, dengan gusar ia membentak: “Hai,
orang she Kim, sebenarnja adalah urus an apa sehingga kau sembarangan menjerang orang?
Djelek2 orang she Tan sudah mengalah tiga djurus padamu, djika kau tidak dapat
menerangkan duduknja perkara setjara beralasan, maka djangan kau salahkan aku tidak
kenal sahabat lagi.”
Tapi Kim Hiau-hong tampaknja sudah kalap, karena tiga kali serangannja selalu gagal tanpa
bisa mengganggu seudjung rambut lawan, keruan ia tambah nekat, ia balas mendjengek: “Hm,
anak keparat, bapakmu membunuh orang dgn djarum maut, kenapa sekarang kau tidak
keluarkan djuga sendjata rahasiamu jang terkutuk itu!”
Karena djawaban jang tak keruan djendrungannja itu, sudah ten-tu Giok-ki merasa bingung.
Selagi dia hendak tanja lebih djelas, namun serangan Hiau-hong sudah tiba pula, bahkan
semakin gentjar dan setjara bertubi2.
Diam2 Giok-ki sangat mendongkol, ia pikir kalau pemuda jang sedang mengamuk itu tidak
ditundukkan dulu tentu susah untuik diperoleh keterangan jang djelas.
Setelah ambil keputusan demikian, Giok-ki djuga tidak sungkan2 lagi, segera iapun melolos
pedangnja untuk menandingi serangan Hiau-hong.
Kalau bitjara tentang ilmu pedang memang harus diakui Siam-tian-kiam-hoatnja Su Djun-lui
jang merupakan kepandaian asli da-ri Bu-tong-pay itu ada lebih hebat, gerak pedangaja tjepat,
lintjah dan gesit, tampaknja enteng dan bertenaga, tapi 'sebenarnja membawa daja antjaman.
jang dahsjat.
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 7
Sebaliknja Tan Giok-ki mengutamakan ilmu pukulan “Ngo-lui-sin-tjiang”, pukulan geledek
adjaran dari ajahnja sendiri. Walau-pun ilmu pedangnja tidak selihay Kim Hiau-hong, tapi
ilmu pe-dang perubahan dari ilmu pukulan geledek itupun tidak boleh di pandang enteng,
maka, dengan tangkasnja ia dapat melabrak Kim Hiau-hong dengan sama hebatnja.
Begitulah sekaligus sudah hampir ratusan djurus pertarungan ke dua pemuda itu. Meski ilmu
pedang Kim Hiau-hong Iebih diatas angin, tapi tenaga dalam Giok-ki lebih kuat, menang
pengalaman pula. Sembari mainkan pedangnja, sebelah tangan Giok-ki menggunakan Ngolui-
sin-tjiang pula untuk bantu menjerang dimana perlu.
Setelah beberapa puluh djurus sebenarnja Kim Hiau-hong sudah kentara terdesak, kalau mau
sekaligus Giok-ki dapat merobohkan lawannja, tjuma dasar wataknja memang t:dak kedjam,
betapapun ia tidak ingin membikin malu kawannja sendiri, oleh sebab itulah ia hanja bertahan
sadja dan tidak melantjarkan serangan mematikan.
Ketika kedua pemuda itu mulai bergebrak, tatkala itu Mei-lan sedang tenggelam dalam
larnunannja disamping djenazah ajahnja. Dan sesudah mendengar suara gemerintjing
beradunja sendjata, barulah Mei-lan tersentak kaget, dengan tjepat iapun sambar pedangnja
jang tergantung didinding, lalu memburu keluar. Sampai dipekarangan depan, dilihatnja
kedua pemuda sedang bertempur dengan seru.
Melihat Tan Giok-ki, demi ingat ajahnja tewas oleh djarum jang merupakan sendjata rahasia
tunggal keluarga Tan, seketika Mei-lan mendjadi murka dan benar2 ingin melabrak Tan Giokki.
Tapi sekilas dilihatnja ketika Tan Giok-ki menangkis serangan2 Kim Hiau-hong, air
mukanja tampak bingung dan ragu2, sedikitpun tidak memberi serangan balasan jang
berbahaja, paling2 tjuma untuk menghalau serangan sadja.
Diam2 Mei-lan mendjadi sangsi lagi. Ia pikir, sekalipun dari bukti djarum itu telah
menimbulkan sangkaan keras bahwa ajah nja dibunuh keluarga Tan, tapi sebelum duduknja
perkara dibikin terang, susahlah untuk diketahui siapa sebenarnja sipembunuhnja, apakah Tan
Ting-hay sendiri atau Tan Giok-ki, sebab dengan kepandaian Giok-ki sadja rasanja tidak
mungkin dapat mendekati ajahnja. Ia pikir paling perlu sekarang jalah tanja dulu pemuda she
Tan itu, bila perlu nanti dapat menangkapnja lagi, masakah dia dapat lari dibawah kerojokaa
dua orang?
Setelah ambi1 keputusan itu, segera ia menerdjang madju, sekali pedangnja menusuk
kedepan, segera ia mentjungkitnja kekanan-kiri sambil membentak: “Berhenti dulu!”
Karena benturan pedang itu, seketika Giok-ki menarik kembali, pedangnja. Tapi tidak
demikian dengan Kim Hiau-hong, selagi Tan Giok-ki tertegun sedjenak tu, sekonjong2 Kim
Hiau-hong djulurkan pedangnja pula dengan tipu “Leng-kau-hian-tho” (kera tjerdik
menghaturkan buah tho), tahu2 bahu Tan Giok-ki sudah tergores luka, untung tidak sampai
mengenai tulang pundaknja. Namun begitu darahpun sudah mengutjur keluar.
Serangan menggelap itu sebenarnja dilakukan oleh Kim Hiau-hong dengan maksud
memutuskan tulang pundak Tan Giok-ki, diluar dugaannja bahwa Mei-lan keburu mengetahui
maksud djahatnja itu, sedikit nona itu geraki pedangnja sehingga sendjata Hiau-hong
terbentur miring kesamping, maka tjuma melukai bahu Tan Giok-ki sadja, luka jang
tidak membahajakan.
Karena perbuatan Kim Hiau-hong jang memalukan itu, segera Mei-lan membentaknja djuga:
“Suko, masakan kau boleh menjerang orang setjara demikian?”
Tapi Kim Hiau-hong djuga tidak mau kalah perbawa didepan orang luar, iapun balas
menegur: “Sumoy, kenapa kau malah membela musuh?”
Sebaliknja gusar Tan Giok-ki sungguh tidak kepalang, matanja rnendelik dan untuk sekian
lamanja tidak sanggup membuka suara. Sudah tentu bukan maksud Mei-lan hendak membela
Tan Giok-ki, soalnja ia merasa malu atas perbuatan Kim Hiau-hong jang menjerang lawannja
setjara menggelap itu, hal ini tentu akan mentjemarkan nama baik keluarga Su. Apalagi tadi
dilihatnja Tan Giok-ki tampak merasa bingung menghadapi serangan Hiau-hong jang bertubi2
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 8
itu, ia hanja bertahan sadja tanpa balas menjerang, sebab kalau pemuda she Tan itu mau balas
menjerang dengan sepenuh tenaga, bukan mustahil djiwa sang Suko sudah melajang sedjak
tadi. Dari itu Mei-lan merasa sangsi, andaikan tewasnja sang ajah disebabkan djarum jang
merupakan sendjata rahasia ke-luarga Tan, namun urusan djuga harus dibikin djelas dulu baru
kemudian dapat diambil tindakari jang semestinja.
Dalam pada itu rasa gusar Tan Giok-ki sebenarnja sudah akan meledak dan segera akan balas
menghadjar Kim Hiau-hong, tapi demi dilihatnja wadjah Su Mei-lan jang tjantik molek
dengan sikapnja jang kereng serta membentak djuga kepada Suhengnja tadi,
seketika rasa gusar jang bergolak itu surut sebagian besar.
Kemudian sambil memberi hormat Mei-lan telah menjapa: “Atas kelakuan Suko jang kasar
barusan ini harap Tan-suheng sudi memaafkan.”
Giok-ki mendjadi serba runjam dan kikuk untuk bitjara.
Sebaliknja Kim Hiau-hong mendjadi penasaran, serunja keras2: “Adik Lan, buat apa kau
berlaku sungkan2 kepada musuh? Marilah kita hadjar dia dan menangkapnja!”
Diluar dugaan Mei-lan malah mendelik padanja sehingga Kim Hiau-hong jang sudah siap2
hendak menerdjang madju lagi mendjadi urung dan kemalu2an.
Sedjak tadi Tan Giok-ki djuga merasa bingung karena Kim Hiau-hong selalu
menjebutnja sebagai musuh. Tapi ia tidak sudi bitjara dengan pemuda ngawur itu, sebaliknia
ia lantas tanja Mei-lan: “Adik Lan, sebenarnja apa jang telah terdjadi? Mengapa datang2 aku
lantas dimaki dan diserang setjara tidak semena2?”
“Urusan dapat kita bitjarakan nanti, sekarang aku ingin tanja sesuatu dulu kepadamu,” sahut
Mei-lan. “Apakah kau kenal benda ini?”
Sembari berkata Mei-lan terus sodorkan djarum jang diketemukan dibelakang telinga dan
menjebabkan kematian ajahnja itu dan menam'bahkan pula pertanjaannja. “Bukankah benda
ini adalah milik keluargamu?”
Hanja sekilas pandang sadja segera sesudah Giok-ki menerima djarum itu dan mendjawab:
“Ja, benar, djarum ini memang benar milik keluarga kami. Dimanakah kau memperolehnja?”
Rupanja Kim Hiau-hong mendjadi tidak sabaran lagi menjaksikan tanjadjawab itu, terus sadja
ia membentak: “Tan Giok-ki, keparat, buat apa kau mesti berlagak pilon? Djika djarum itu
adalah milik keluargamu, mengapa benda itu dapat bersarang di ‘Thian-liau-hiat’ guruku?”
“Ha, apa katamu?” seru Giok-ki kaget, hampir2 djarum jang di pegangnja itu djatuh ketanah.
Ia tahu “Thian-liau-hiat” itu adalah salah satu Hiatto jang mematikan ditubuh manusia.
Kalau Thian-liau-hiat kena sendjata rahasia djarum itu, maka sudah pasti djiwanja akan
melajang.
Maka sesudah termangu2 sedjenak, kemudian Giok-ki menanja pula dengan tergagap2:
“Dja............ djadi Susioksiok di............ diserang orang dengan djarum ini? Ah,
tidak .................. tidak!”
Mei-lan mendjadi gusar djuga, serunja: “Tidak apa? Djarum itu memang betul kuketemukan
di Thian-liau-hiat ajahku!”
“Ma.............. mana mungkin?” sahut Giok-ki. “Djarum ini hanja dimiliki oleh kami ajah
dan anak, selama tiga bulan ini ka-mi selalu berkumpul dirumah dan tidak kemana2, masakah
djarum ini bisa digunakan untuk menjerang Su-sioksiok? Tidak, tidak, urus an ini pasti tidak
beres, tentu ada sesuatu muslihat kedji dibalik kedjadian ini. Aku................ aku harus segera
pulang untuk melaporkan kedjadian ini kepada ajah dan minta beliau ikut membikin djelas
peristiwa pembunuhan ini!”
“Ja, itulah paling baik, aku djusteru ingin bitjara berhadapan dengan Tan-pepek sendiri,
hendaklah kau suka menguridang Tanpepek kemari,” kata Mei-lan dengan suara bengis.
Tan Giok-ki tampak masih ragu2, ia memeriksa djarum jang di pegangnja itu, lalu
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 9
memandang Mei-lan dan memandang pula ke-pada Kim Hiau-hong dengan penuh rasa
tjuriga. Habis itu segera ia putar tubuh dan tinggal pergi sambil memegangi bahunja jang
terluka itu.
Sesudah Tan Giok-ki pergi, Kim Hiau-hong menjesali sang Sumoay mengapa melepaskan
musuh dengan begitu sadja? Tapi Mei-lan sendiri sudah mempunjai rentjana, sahutnja:
“Kenapa mesti terburu2? Pendek kata utang darah ini harus kita balas, urusan ini pasti akan
mendjadi djelas pada suatu hari jang tak lama lagi.”
Karena sikap Mei-lan sangat dingin, tapi angker sehingga Kim Hiau-hong tidak berani
banjak tjintjong lagi.
Rupanja Mei-lan sendiri sudah mempunjai rentjana tertentu dalam persoalan terbunuhnja sang
ajah ini: Segera ia berunding dengan Kim Hiau-hong untuk mengadakan sembajangan bagi
arwah ajahanda.
Maka berita tentang tewasnja Su Djun-lui dibunuh musuh dalam waktu singkat sadja sudah
tersiar luas didunia Kangouw, sudah tentu peristiwa ini sangat menggemparkan tokoh2
persilatan.
Maka dalam waktu singkat sadja berbondong2 para tokoh silatan sama berkundjung ke
Lileng untuk melawat. Sudah tentu diantara tamu2 ini banjak terdapat bekas sobat baiknja
Su Djun-lui, tapi banjak pula adalah bekas musuhnja, kundjungan mereka ini dengan
sendirinja mempunjai tudjuannja sendiri2.
Kim Hiau-hong sendiri tidak tahu apa jang dikehendaki Mei-lan dengan mengadakan
sembajangan setjara besar2an itu, namun ia tidak berani lagi mentjela Sumoynja itu, hanja
dalam hati sadja diam2 ia merasa tidak tenteram. Sebaliknja Mei-lan anggap sepi sadja
kelakuan sang Suheng jang tampaknja kelabakan seperti semut didalam wadjan panas itu.
Hanja dalam waktu belasan hari sadja tamu2 jang sudah tiba sudah berdjumlah puluhan
orang dan meliputi berbagai golongan dan aliran.
Mei-lan tahu dimasa muda ajahnja banjak mengikat permusuhan dengan orang2 Kangouw,
tapi tidak sedikit pula sobat-handainja diantara kesatria2 dunia persilatan itu, misalnja
jang sudah kelihatan datang, jaitu seorang tua pendek ketjil dan kurus kering ia bukan lain
adalah Pui Tek-piau, ketua Leng-kau-pay jang berdjuluk Kau-tje-thian, siradja kera sakti,
Sesuai dengan perawakan dan gelarannja, maka ilmu andalan Pui Tek-piau itu adalah Kaukun,
ilmu silat kera, jang lintjah dan gesit dan djenaka pula.
Selain itu adalah Kwan-tang-beng-hou Hay Thian-hiong, siharimau dari Kwantang jang
bertubuh tinggi besar. Ada pula siwanita tjantik setengah umur “Giok-djiu-sian-koh”
Kim So-heng, sidewi bertangan kemala. Kesemuanja itu adalah tokoh gilang-gemilang
didunia persilatan dan tergolong orang2 jang baik.
Sebaliknja ada pula Go-bi Sandjin, imam bermata satu dari Go-bi-san, Kim-sian-siu-su Hehou
Tjho, sipeladjar berkipas emas jang selalu berdandan sebagai sastrawan tengik dengan tangan
memegang kipas lempit. Lalu ada pula Ai-tong-koa Tjio Lok-peng, silabuh jang potongan
badannja sebagai bola berkaki, pendek buntak tubuhnja, tapi ketjil mata dan hidungnja.
Tokoh2 jang tersebut belakangan ini namanja sudah terkenal busuk didunia Kangouw,
semuanja dahulu sudah pernah telan pil pahit dari Su Djun-lui, maka maksud kedatangan
mereka ini ten tu tidak punja itikat baik, besar kemungkinan hanja untuk mentjari tahu benar
atau tidak berita kematiannja Su Djun-lui itu. Anehnja meski sudah banjak bekas kawan dan
lawan Su Djun-lui sama hadir, adalah dua sobat paling baik dari mendiang itu ternjata tidak
kelihatan bajangnja. Mereka adalah Tan Ting-hay dan Hok-liong Siansu.
Tentang terbunuhnja Siam-tian-kiam Su Djun-lui didunia Kangouw memang sudah tersiar
luas, kabar tentang siapa pembunuhnja, dalam hal ini Tan Ting-hay dan Hok-liong Siansu
telah dituduh karena bukti2 dan tanda bekas luka jang diketemukan ditubuh korban. Dan
sekarang kedua peran utama itu ternjata tidak muntjul, sudah tentu hal ini membikin semua
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 10
orang mendjadi geger pula dan ramai membitjarakannja.
Biar Tan Ting-hay sendiri belum tampak datang, namun putera nja, jaitu Tan Giok-ki, sudah
nampak hadir.
Menurut apa jang dikatakan Tan Giok-ki kepada Mei-lan, katanja Tan Ting-hay kebetulan
sedang pergi mengembara, maka terpaksa Giok-ki tidak dapat bertemu dengan ajahnja, namun
pemuda itu sudah menjebarkan orang2nja untuk mentjari orang tua itu, dan diberitahukan
tentang kematian Su Djun-lui, maka diduga dalam waktu tidak lama ajahandanja tentu akan
dapat menjusul datang.
Mei-lan djuga tidak banjak rewel tentang ketidak datangnja dua tokoh itu. Pada hari itu,
dengan pakaian berkabung ia keluar untuk menghaturkan terima kasih kepada para pelawat
itu sesudah dia mendjalankan penghormatan didepan lajon ajahnja. Habis itu setjara ringkas
iapun mentjeritakan apa jang menjebabkan tewasnja Su Djun-lui, ia keluarkan djarum jang
diketemukan didjenazah ajahnja itu dan katanja: “Siapa jang mendjadi pembunuh ajahku
sampai saat ini aku masih tidak tahu dengan pasti. Tapi dari djenazah ajah telah dapat
diketemukan djarum ini serta luka hangus pada telapak tangannja. Mengingat kelihayan
sipembunuh itu, aku sendiri merasa sulit untuk menghadapinja, maka besar harapanku jalah
mohon kepada para Lotjianpwe jang hadir disini suka memberi peradilan jang bidjaksana.”
Utjapan Mei-lan itu dilakukan dengan menangis sedih sehingga sangat mengharukan para
hadirin.
Maka Pui Tek-piau lantas mendahului membuka suara: “Hiantitli (keponakan perempuan jang
balk) hendaklah djangan berduka, sebagai kawan karib ajahmu, biarpun aku tidak punja
kepandaian apa2, namun terhadap peristiwa pembunuhan ini tidak mungkin aku berpeluk
tangan dan tinggal diam, untuk sementara hendaklah kau sabar dulu.”
Segera Hay Thian-hiong jang gagah itupun berseru: “Dari bukti dan tanda jang diketemukan,
teranglah sudah siapa pembunuh Su-lothau itu. Sungguh tidak njana bahwa Pek-djiu-sin-tjiam
dan Hwe-yam-djiu jang termashur itu djusteru digunakan atas diri kawannja sendiri, mereka
pertjuma mengaku sebagai kesatria dan pahlawan, tapi jang diperbuat ternjata sedemikiari
rendahnja, benar2 harus dikutuk!”
Dengan teriakan Hay Thian-hiong ini, maka soal siapa pembunuhnja seakan2 sudah pasti
ditimpakan atas diri Tan Ting-hay dan Hok-liong Siansu. Karena itu, maka ramailah semua
orang mentjatji-maki.
Kemudian Hehou Tjho djuga ikut bitjara dengan suaranja jang sengadja dibikin2: “Ini
namanja ketulah, kualat! Habis, dimasa hidupnja Su-lothau sendiri suka tjari
perkara pada orang lain, maka sekarang dia harus terima hasil perbuatannja sendiri.
Boleh djadi Tan Ting-hay dan sikeledai gundul Hok-liong telah berbuat sesuatu jang kotor
dan diketahui oleh Su-lotjat, mungkin kuatir perbuatan mereka terbongkar dan disiarkan,
maka Tan Ting-hay dan sigundul Hok-liong lantas membunuhnja untuk menutupi perbuatan
mereka.”
Dengan makian Hehou Tjho ini, tidak hanja nama baik Su Djun-lui telah diolok2, bahkan
nama baik Tan Ting-hay djuga tertjemar. Keruan Su Mei-lan dan Tan Giok-ki merasa
tersinggung dan gusar tidak kepalang. Lebih2 Giok-ki, ajahnja sekarang telah dituduh seakan2
pasti adalah pembunuh Su Djun-lui, sudah tentu ia naik pitam, tanpa pikir lagi segera ia lolos
pedang dan melompat kedepan, serunja dengan mata melotot kepada Hehou Tjho: “Hehoutjianpwe,
kalau bitjara hendaklah djangan seperti kentut? Apakah mulutmu perlu disikat
dulu oleh tuan muda?”
Segera Mei-lan djuga membuka suara dengan marah: “Selama hidupnja, setiap tindaktanduk
ajahku tjukup terang dan dapat di pertanggungdjawabkan kepada siapapun djuga. Apa jang
kau maksudkan ketulah? Kenapa mesti kualat?”
“Hahahaha!” Hehou Tjho terbahak2 sambil mengebaskan kipasnja. “Apa kalian hendak
menantang berkelahi kepadaku, ja? Haha, kukira lebih tepat bila kalian sepasang muda-mudi
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 11
ini jang berkelahi sendiri, satu tanding satu, tanggung hebat, deh!”
Giok-ki tambah kalap karena dirinja diolok2, selagi ia hendak menerdjang madju, sekonjong2
terdengar suara seorang jang meng gelegar: “Djangan ribut, ini pembunuhnja telah datang!”
Suara itu sebenarnja masih sangat djauh, tapi begitu keras seakan2 berada didepan situ
dan memekak telinga.
Mengenali suara itu, dengan menahan gusarnja Giok-ki berkata: “Kebetulan, sekarang Hokliong
Lotjianpwe sudah datang sendiri, biarlah beliau sendiri jang menuntut keadilan dan
membongkar pitenah ini!”
Diantara hadirin2 itu banjak jang kenal Hok-liong Siansu, tapi banjak pula jang tjuma dengar
namanja, tapi tidak kenal orangnja. Tapi semua orang tahu watak paderi itu sangat aneh,
namun bidjaksana dengan ilmu silat jang lain daripada jang lain. Djika paderi itu sudah
muntjul sendiri, maka mereka menduga tentu akan dapat menjaksikan keramaian lagi.
Begitulah, sedjenak sesudah suara seruan tadi lenjap, menjusul lantas terendus bau harum
arak jang menusuk hidung, lalu muntjul segera seorang Hwesio tinggi besar dengan perutnja
jang gendut sebagai gentong itu. Inilah dia Hok-liong Siansu jang dinanti2kan itu.
Dasar Hwesio sontolojo, maka tertampaklah sebelah tangan Hok-liong Siansu membawa
sebuah buli2 arak sambil tiada hentinja ditjegukkan kedalam mulut, sedang tangan lain
memegang sepotong paha andjing panggang jang belum habis dimakan, djubah paderinja jang
terbuka itu memperlihatkan perutnja jang gendut sebagai perempuan jang bunting sembilan
bulan. Air mukanja tampak merah bertjahaja, sinar matanja tadjam, djalannja sempojongan
seperti mabuk, tingkah-lakunja benar2 rada sinting.
Muntjulnja Hok-liong Siansu membuat suasana ruang sembahjang an itu mendjadi sunji
senjap, perhatian semua orang tertjurah ke-pada Hwesio sontolojo itu.
Tapi Hok-liong Siansu tampaknja seperti tidak pedulikan siapa2 jang hadir disitu, dengan
seenaknja ia masih terus menggeragoti paha andjing sambil meneguk arak dan dengan djalan
sempojongan ia mengelilingi ruang itu dan terkadang djuga paha andjing itu digigit dehgan
mulut, lalu tangannja merogoh saku dan mengeluarkan beberapa butir penganan sebangsa
katjang goreng dan didjedjalkan kedalam mulut dan dikunjah dengan lezatnja. Ketika tiba2
satu bidji penganan itu djatuh ketanah, maka djelas semua orang dapat milihatnja bahwa
penganan jang disangka “katjang goreng” itu kiranja adalah djangkrik bakar.
Memang makanan paderi sinting itu sangat aneh, mulai dari ular, kodok, bekitjot sampai
kepada kelabang goreng, baginja djusteru adalah makanan jang paling lezat didunia ini.
Banjak diantara para hadirin jang mengundjukkan perasaan muak melihat kelakuan paderi
jang tidak taat kepada adjaran agamanja itu, terutama Hehou Tjho telah memperlihatkan
sikapnja jang menantang dan menghina.
Rupanja hal ini diketahui Hok-liong Siansu, setiba didepan Hehou Tjho, mendadak ia berhenti
dan sodorkan paha andjingnja sambil berkata dengan tertawa: “Anak manis, apa kau kepingin
makan dagingku ini?”
Tentu sadja merah padam wadjah Hehou Tjho, dengan menahan rasa gusarnja ia balas
mengolok2: “Huh, masakah ada seorang Hwesio jang bertingkah sematjam kau? Kalau
mati kelak kau pasti akan masuk neraka!”
“Hahaha!” Hok-liong terbahak2, “Apa kau anggap makananku ini kotor? Ha, memang
Hwesio suka makan segala djenis daging, ja, hanja daging manusia sadja aku tidak makan.”
— Habis berkata, kembali ia meneguk araknja dan geragoti paha andjing lagi dengan
lahapnja.
Melihat kelakuan Hok-liong jang gila2an itu, badan Mei-lan tampak tergetar dan segera
hendak mendamperatnja, namun Kim Hiau-hong tiba2 telah mendjawilnja agar sabar dulu.
Sesudah menenggak araknja lalu kemudian Hok-liong Siansu mengakak dan tiba2 berseru:
“Su-lothau, wahai, Su-lothau! Sungguh tidak njana, dengan ilmu silatmu jang maha tinggi itu
achirnja ternjata kau djuga mampus tak karuan djentrungannja! Dan baru sekaranglah kau
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 12
kenal betapa kelihayanku, ja?”
Anehnja, setefah suara ketawanja itu, tiba2 suaranja berubah mendjadi parau dan achirnja
mendjadi terguguk2 seperti orang menangis sedih.
Melihat kelakuan paderi jang angin2an itu, Kim So-heng, sidewi bertangan tjantik, mendjadi
aseran, serunja mengedjek: “Keledai gundul Hok-liong, kau sudah membunuh orang,
sekarang kau masih pura2 tikus menangisi kematian kutjing?”
Tiba2 Hok-liong melotot, ia pandang para hadirin dengan sikap jang menghina, lalu
mendjawab olok2 Kim So-heng tadi: “Huh, kau perempuan busuk ini tahu apa? Apakah kau
tahu mengapa aku tertawa lalu menangis?”
Karena dimaki setjara kotor, segera Kim So-heng bermaksud melabrak sontolojo itu. Namun
Pui Tek-piau sudah mendahului mentjegahnja, katanja kepada Hok-liong Siansu: “Hok-liong
gundul, para hadirin jang berada disini siapa jang tidak kenal kau adalah orang gila? Djika
menangis lalu tertawa atau sebaliknja, rnemangnja siapa jang heran?”
“Huh, kalian sebangsa kerotjo2 tukang gegares ini tahu apa? Aku djusteru tertawa karena
kegoblokan kalian jang tak betjus ini! Dan aku menangis sudah tentu bukan menangisi kalian,
sebab biarkan kalian mampus semua djuga tiada harganja untuk ditangisi, sebaliknja aku
menangis adalah karena wafatnja sobat lama.” kata Hok-liong dengan sikap jang mengedjek.
Karena diolok2 dan ditjatji-maki, tentu sadja semua orang sangat gusar. Tapi pertama Hokliong
memang terkenal suka gila2an, kedua, ilmu silatnja djuga sangat tinggi, maka tiada
seorangpun berani mendahului melabraknja.
Sedjenak kemudian, dengan sungguh2 dan kereng Pui Tek-piau bertanja pula: “Hok-liong
gundul, hendaklah kau mengaku terus terang sadja supaja kau tidak mati penasaran. Nah,
katakan, buat apa kau mesti membinasakan Su Djun-lui?”
Tiba2 Hok-liong garuk2 kepalanja jang gundul tapi tidak gatal itu, sesudah termangu2
sedjenak barulah mendjawab: “Ija, buat apa ja aku mesti membinasakan Su-lothau?”
Semua orang saling pandang dengan bingung mendengar djawaban itu.
“Habis, apakah Su Djun-lui bukan kau jang membunuhnja?” Pui Tek-piau menegas.
“Bukan, kau sendiri jang bilang aku jang membunuhnja?” sahut Hok-liong dengan atjuh tak
atjuh.
Hay Thian-hiong merasa sebal bitjara dengan orang sinting itu, mendadak ia
membentak: “Sudahlah, tidak perlu banjak omong dengan dia, bitjara dengaa orang gila biar
tiga hari djuga takkan habis. Pendek kata, utanq djiwa bajar djiwa, sekarang djuga kita harus
minta pertanggungan djawabnja!”
Habis berkata, terus sadja ia mengirimkan pukulan dahsjat kearah Hok-liong Siansu.
“Nanti dulu! Nanti dulu! Biar kuperiksa lagi!” seru Hok-liong sambil djulurkan sisa paha
andjing jang belum habis digeragoti itu untuk memapak pukulan Hay Thian-hiong.
Sudan tentu Hay Thian-hiong serba runjam menghadapi tangkisan jang tidak pernah terdapat
didalam kitab ilmu silat itu, djika dia teruskan hantamannja, tentu lebih dulu harus
memegang paha andjing jang disodorkan Hok-liong itu. Karena itu, terpaksa ia tarik
kembali tangannja dan urung memukul.
Kemudian Hok-liong lantas mendekati peti djenazah Su Djun-lui, ia mengamat-amati lalu
mengetok peti mati itu. Ia ketok2 sini dan ketok2 sana seperti sedang mendengarkan apa2.
Melihat kelakuan paderi sinting itu, semua orang mendjadi gusar. Sekonjong2 dari belakang
tirai sana menjambar sinar pedang jang mengarah punggung Hok-liong Siansu. Ketika
semua orang berpaling, kiranja penjerang itu adalah Kim Hiau-hong.
Saat itu Hok-liong berdiri membelakangi Kim Hiau-hong, serangan pedang kilat itu adalah
adjaran tulen dari Su Djun-lui, apa lagi paderi sinting itu tampaknja sedang mentjurahkan
perhatiannja atas peti mati, maka semua orang menduga djiwa paderi itu pas ti akan melajang
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 13
dibawah tusukan pedang.
Tak terduga, punggung Hok-liong Siansu seperti bermata sadja, dengan atjuh tak atjuh ia
sodorkan paha andjing jang dipegangnja itu kebelakang sehingga tusukan Kim Hiau-hong itu
mengenai daging andjing jang empuk, lebih tjelaka lagi ialah pedangnja seperti terkena batu
sembrani, tersedot kentjang2 dan susah untuk ditarik kembali. Bahkan tangan Kim Hiau-hong
lantas merasa pa nas seperti dibakar, daging andjing itu rasanja seperti besi bakar. Keruan
Hiau-hong me!ondjak2 kelabakan. Terpaksa ia lepaskan
pedangnja.
Kemudian Hok-liong Siansu memutar tubuhnja dan mendengus kepada Kim Hiau-hong:
“Hm, pantas gurumu bilang kau ini sangat kedji dan tjulas, njatanja memang benar!”
Ia bitjara dengan menggunakan kepandaian “Thoan-im-djip-bit” atau mengirimkan
gelombang suara sehingga jang mendengar hanja Kim Hiau-hong dan Mei-lan sadja. Seketika
Mei-lan tergetar, ia merasa perbuatan Suhengnja itu memang terlalu rendah dan pengetjut.
Sebaliknja orang lain lagi ribut membitjarakan kelakuan Hok-liong Siansu jaag mengetok peti
mati tadi, sebab mereka kenal Hwe-yam-djiu, ilmu pukulan tangan berapi, suatu kepandaian
tunggal Hok-liong, dengan ketok2 peti mati seperti tadi bukan mustahil djenazah didalam
peti sudah hantjur lebur.
“Hok-liong keledai gundul,” demikian Pui Tek-piau lantas berteriak pula, “kau sudah
membunuh Su-lothau, sekarang kau menghantjurkan majatnja pula, sungguh kedjam kau!”
Namun Mei-lan jang seharusnja djuga mesti marah kepada Hok-liong Siansu ternjata
termangu2 entah apa jang sedang dipikirkan.
Dalam pada itu Hok-liong sudah lantas berkata: “Apa kalian hendak berkelahi? Haha, marilah
biar kuhadjar adat dulu kepada kalian kaum kerotjo ini. Hajolah keluar sana!”
Habis berkata, segera ia lemparkan pedang jang dirampasnja dari Kim Hiau-hong tadi.
Tampaknja pelahan sadja ia lemparkan pedang itu, tapi tahu2 sendjata itu ambles hampir
menghilang kedalam tanah.
Kagum sekali Pui Tek-piau atas Lwekang paderi sinting itu. Tapi iapun takmau kalah gertak,
segera iapun undjukan kemampuannja, sekonjong2 ia melompat kedepan. ketika sampai
diatas pedang jang menantjap didalam tanah itu, udjung kakinja sedikit menutul diatas gagang
pedang, menjusul mana orangnja terus berdjumpalitan keluar pintu segesit kera.
Ketika belum lagi semua orang mengetahui apa jang telah terdjadi, tahu2 terdengar Hok-liong
Siansu telah bertepuk tangan memudji: “Memang kera jang hebat, perkelahian ini tentu akan
ramai sekali!”
Waktu semua orang memandang ketempat pedang jang menantjap didalam tanah tadi, ternjata
gagang pedang dengan sebagian ketjil batang pedang itu sudah patah dan terpegang ditangan
Hok-liong Siansu. Rupanja dengan sekali indjak dan sekali pantjal tadi, maka gagang pedang
itu telah kena dipatahkan dan dipentalkan untuk menjerang Hok-liong Siansu, namun keburu
ditangkap pa-deri itu. .
Begitulah, maka segera Hok-liong Siansu menjusul keluar kepekarangan didepan rumah.
Dalam pada itu Pui Tek-piau sudah menantinja dengan bersiap2.
Ketika semua orang ikut menjusul keluar untuk menonton pertarungan itu, sementara itu Hokliong
dan Pui Tek-piau pun sudah mulai bergebrak dengan ramai. Tertampak angin pukulan
menderu2 disertai hawa jang panas, dalam lingkaran duatiga meter semua orang merasa
seperti digarang.
Tapi Pui Tek-piau dapat melajani lawannja dengan tidak kurang tangkasnja, ia melompat
kesini dan meledjit kesana dengan gesit, sesuai dengan djulukannja sebagai Tjethiantaysung,
ia dapat menggunakan kelintjahannja untuk menghindarkan setiap hantaman Hok-liong
Siansu, bahkan djuga balas menjerang dengan mentjakar dan sebagainja.
Suatu ketika, mendadak Pui Tek-piau melompat madju dengan tjepat, sekaii tjengkeram,
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 14
dengan tipu “Kim-kau-thiau-tho” atau si kera mentjuri buah Tho, segera perut Hok-liong
Siansu hendak ditjakar.
Hok-liong kaget djuga oleh serangan lawan jang berani mendekat itu, tjepat ia menggeser
kesamping dan kontan balas menghantam dengan telapak tangannja kelambung Tek-piau.
Untuk menangkis terang tak sempat lagi, sedangkan serangan Hok-liong itu menutup djalan
belakangnja, terpaksa Pui Tek-piau mendekkan tubuh dan tjepat menggunakan tutukan
djarinja untuk memapak telapak tangan Hok-liong dengan gerak tipu “Hwe-tiong-dji-lat”
atau mentjari beras didalam api.
Rupanja Hok-liong kenal betapa lihaynja tutukan djari itu, ma-ka tjepat ia melontjat mundur
sambil melantjarkan hantaman pula kemuka Pui Tek-piau.
“Bagus!” seru Tek-piau, iapun memapak dengan suara hanta-man sehingga kedua telapak
tangan terbentur, “plak”, telapak tangan mereka seperti lengket mendjadi satu, masing2 lantas
menge rahkan tenaga sepenuhnja.
Sekali ini kedua orang saling mengudji Lwekang masing2, kedua orang sama2 berdiri tegak
dengan mata melotot seperti ajam djago aduan. Semula Pui Tek-piau terdesak mundur dua
tindak, lalu Hok-liong tergetar mundur tiga tindak, achirnja dari ubun2 kedua orang sama2
menguapkan hawa putih.
Melihat keadaan, kedua orang itu, para tokoh jang menjaksikan itu menduga bila tenaga
dalam mereka sudah terlalu banjak dikerahkan, achirnja kedua orang pasti akan sama2
ruginja.
Begitulah kedua orang itu bertempur dengan sengit dan tampaknja pasti akan sama2
menggeletak bila tidak dilerai, namun dalam keadaan mengadu Lwekang setjara mati2an itu,
tentu sadja tiada seorangpun jang berani memisah mereka apabila tidak mempunjai Lwekang
jang djauh lebih tinggi dari mereka.
Dalam keadaan jang genting itu, tiba2 tertampak sesosok bajangan putih berlari keluar dari
dalam rumah, orang itu mengatjung kan sehelai kertas sambil menerdjang ketengah2
pertarungan Hok-liong Siansu dan Pui Tek-piau itu sambil berteriak: “Harap kedua Tjianpwe
berhenti dulu!”
Kiranja orang itu adalah Mei-lan. Karena datangnja terlalu tje-pat sehingga untuk
mentjegahnja sudah terang tak keburu dan tam paknja dia akan segera tergentjet ditengah2
tenaga pukulan kedua djago itu.
Pada saat itu pula mendadak tertampak Tan Giok-ki mengajuntangannja, seketika Mei-lan
merasa “Kiok-ti-hiat” didengkulnja terasa kesemutan, tubuhnja terus djatuh tengkurep
kedepan.
Keruan semua orang terkedjut dan kuatir, semua orang menjangka maksud baik Giok-ki itu
sebagai serangan kedji. Dengan gusar Kwantangbenghou Hay Thian-hiang dan Go-bi Sandjin
melompat madju berbareng untuk mengadang didepan Tan Giok-ki. Se-dang Kim Hiau-hong
jang djuga ikut menerdjang madju terus ajun pedangnja dan membatjok kepala Giok-ki.
Tampaknja djiwa Tan Giok-ki tentu akan melajang dibawah kerojokan tiga orang itu, pada
saat itulah tiba2 dari sana melompat tiba seorang tua dengan berdjenggot putih, sekali orang
tua itu mengebas lengan badjunja, kontan pedang Kim Hiau-hong itu tersampuk mentjeng
kesamping, bahkan Hay Thian-hiong dan Go-bi Sandjin djuga tergetar mundur oleh angin
kebasan jang hebat itu.
Menjusul orang tua itu kebaskan lengan badjunja lagi kesamping lain, seketika serangkum
angin keras menjambar ketengah2 telapak tangan Hok-liong Siansu dan Pui Tek-piau
sehingga kedua orang jang sedang mengadu Lwekang itu terpisah, mereka terhujung2 mundur
dengan napas lega dan terhindar dari marabahaja
Pendatang itu kiranja taklaintakbukan adalah Pek-djiu-sin-tjiam Tan Ting-hay.
Dengan kereng Tan Tin-hay terdiri ditengah kalangan sambil mengerling sekeliling
kepada para hadirin. Hanja dengan kebasan lengan badjunja sadja ia telah menjelamatkan
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 15
djiwa Mei-lan dan memisah pertarungan Hok-liong Siansu dan Pui Tek-piau jang he-bat ini,
maka betapa hebat Lwekang sidjarum sakti seratus tangan orang she Tan ini dapatlah
dibajangkan.
Sudah tentu semua orang merasa kebat-kebit, seorang Hok-liong Siansu sadja sudah susah
dilawan, apalagi sekarang kedatangan se-orang Tan Ting-hay jang lebih lihay pula, tampaknja
sakit hati Su Mei-lan harini tentu susah dibalas.
Diantara para hadirin itu Hay Thian-hong adalah seorang jang pemberani, segera ia berseru:
“Tan Ting-hay, mentang2 kau lebih kuat, lalu kau berani berbuat setjara tidak se-mena2.
Kau sudah membunuh ajah orang, sekarang puteramu hendak mentjelakai anak perempuan
orang pula, biar bagaimana angkara-murkamu, harini kami sudah pasti akan menuntut
keadilan padamu. Utang djiwa bajar djiwa, djangan kau harap lolos dari peradilan orang
banjak.”
Tan Ting-hay tertampak tertjengang djuga mendengar. teguran Hay Thian-hiong jang gagah
berani itu. Tapi ia tidak mendjawab, mendadak lengan badjunja mengebas pula sehingga Su
Mei-lan terangkat bangun oleh suatu tenaga jang kuat, kakinja jang kaku kesemutan tadi
lemas dan dapat bergerak leluasa kembali.
“Hiantitli (keponakan jang baik), kedatanganku ini adalah untuk membikin terang perkara
tewasnja ajahmu, apakah kau pertjaja bahwa pembunuh ajahmu adalah diriku?” tanja Tan
Ting-hay.
Dengan termangu2 Mei-lan memandangi orang tua itu, tiba2 sinar matanja berubah tadjam, ia
mengerling kesekeliling para hadirin, lalu menatap Tan Ting-hay lagi dan menggeleng kepala
sebagai djawaban pertanjaan orang tua itu.
“Baiklah djika demikian, “ kata Tan Ting-hay sambil memandang kearah para hadirin. Lalu
sambungnja: “Dan sekarang urusan terbunuhnja ajahmu kuambil oper, tindakan selandjutnja
segera akan kuatur.”
Seketika semua orang mendjadi geger dengan adanja perubahan mendadak itu, dari tertuduh
sekarang Tan Ting-hay akan men-djadi penuntut malah, habis siapakah pembunuh jang
sesungguhnja?
“Diam, tenanglah!” tiba2 Ting-hay berseru. “Urusan ini tentu akan segera diibikin terang,
perisfiwa pembunuhan ini harus kubikin beres. Djika para hadlirin ada jang meragukan aku
sebagai pembunuhnja, bila ada jang dapat menundjukkan bukti jang njata dan masuk diakal,
maka aku siap untuk segera menerima setiap akibat hukumannja. Aku orang she Tan ini
bukanlah manusia jang takut mati.”
Sikap TanTing-hay biasanja ramahtamah, tapi ketika berbitjara sekarang sikapnja kereng dan
utjapannja tegas. Sudah tentu semua orang terpengaruh dan suasana lantas tenang kembali
seketika.
“Tanpepek, bukankah djarum ini adalah sendjatamu,” tiba2 Mei-lan bertanja samibil
mengundjukkan sebatang djarum halus.
“Benar!” sahut Tan Ting-hay tanpa ragu2.
Karena pengakuan jang terus terang itu, seketika para hadirin gempar pula dan menuduh Tan
Ting-hay hanja putar lidah sadja, sudah terang djarum jang menewaskan djiwa Su Djun-lui itu
adalah miliknja, tapi masih berani berlagak orang jang tak berdosa.
Namun Mei-lan lantas tanja lagi: “Dan surat ini apakah berasal dari Tan-pepek?” — lalu ia
menjodorkan seputjuk surat kehadapan Ting-hay.
Dan belum lagi surat itu diterima Tan Ting-hay, sekonjong2 Kim Hiau-hong memburu madju
hendak merampas surat itu sambil berseru: “Adik Lan, buat apa kau banjak bitjara dengan
manusia berhati binatang seperti dia!”
Tapi dengan tjepat Mei-lan sempat menarik kembali tangannja dan balas membentak:
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 16
“Suheng, urusan kematian ajah akan kuselesaikan sendiri, tidak perlu kau ikut tjampur!”
Kim Hiau-hong mendjadi mengkeret oleh damperatan itu. Na-mun ia tidak kurang akal,
tiba2 ia, berseru kepada orang banjak: “Hehou-lotjianpwe dan para hadirin jang mulia, atas
terbunuhnja Suhu, rupanja pikiran sehat Sumoay mendjadi terganggu. Padahal kematian
Suhu sudah djelas sebab-musababnja, bukti2 djuga sudah tjukup kuat, pembunuh2nja djuga
sudah berada disini, hendaklah kita djangan mau tertipu lagi, marilah kita beramai2
menangkap mereka dahulu, kalau perlu kita tjintjang hantju-luluh mereka!”
Karena hasutan itu, semua orang agak terpengaruh dan sama ber-siap2 hendak menjerbu
madju.
Sebaliknja Tan Ting-hay djuga tidak gentar, dengan muka membesi ia berkata dengan
mendengus: “Hm, bukti? Sekali lagi bukti? Sekali lagi bukti? Aku djusteru ingin memberi
bukti djuga!”
“Ja, memang buktinja sudah njata, aku sudah tahu djelas siapa pembunuhnja!” seru Mei-lan
tiba2.
“Benar, anggaplah aku pembunuhnja!” timbrung Hok-liong Siansu dengan angin2an.
“Tidak,” kata Mei-lan. “Pembunuh ajah bukankah Hok-liong Lotjianpwe dan djuga bukan
Tan-pepek, tetapi adalah adalah manusia berhati binatang itu!” — sampai disini tiba2 djari
Mei-lan menuding kearah Kim Hiau-hong.
Seketika muka Kim Hiau-hong tampak sebentar merah sebentar putjat, tjepat ia mendjawab:
“Sumoay................”
“Tutup batjotmu!” bentak Mei-lan. “Siapa sudi mendjadi Sumoaymu? Kau manusia berhati
srigala, murid durhaka! Sedjak hari pertama waktu memeriksa kematian ajah aku sudah
merasa tjuriga, sebab diatas medja tertaruh dua tjangkir teh, ini terang salah
satu kesalahan permainan sandiwaramu, sebab kedua Lotjianpwe jang hendak kau fitnah
sebagai pembunuh ini biasanja tidak suka minum teh, tapi selalu minum arak. Hal ini tjukup
diketahui ajah, makanja beliau tidak pernah menjuguh kedua Lotjianpwe itu de-ngan teh.
Besoknja ketika Tan-suheng berkundjung kemari, begitu menerdjang keluar segera kau
menjerangnja setjara kedji, maksudmu hendak membunuh Tan-suheng agar peristiwa
meninggalnja ajah ini meluas urusannja dan dengan demikian kau dapat melaksanakan
maksud djahatmu. Apalagi tadi dengan pakaian berkabung diam2 kau membawa sendjata dan
setjara tiba2 hendak menjerang Hok-liong Lotjianpwe, pantas Hok-liong Tjianpwe
mengatakan ajah pernah bilang watakmu tjulas dan kedji. Kesemuanja itu sudah semakin
mejakinkan rasa tjurigaku padamu, dan sekarang diperkuat lagi dengan surat jang
kuketemukan ini.”
“Surat apakah itu?” tiba2 Pui Tek-piau rnenjela.
Air muka Mei-lan mendjadi merah djengah. Maka Tan Ting-hay jang telah mendjawab: “Itu
adalah suratku kepada Suheng, surat lamaran!”
Mendengar ini, baru sekarang semua orang paham duduknja perkara. Rupanja diam2 Kim
Hiau-hong sangat mentjintai Mei-lan, tapi lama kelamaan Su Djun-lui mengetahui sifat
muridnja itu bukan manusia jang djudjur, tapi berhati tjulas. Maka diam2 orang tua itu ada
maksud hendak terima lamaran keluarga Tan, jaitu lamaran Tan Giok-ki kepada Mei-lan. Hal
inilah jang membangkitkan rasa sirik dan dendamnja Hiau-hong sehingga tidak segan2
mengatur siasat kedji untuk membunuh gurunja sendiri agar dapat mempersunting sang
Sumoay.
Begitulah karena rahasianja terbongkar, maka Kim Hiau-hong mendjadi gugup, tapi ia masih
tjoba membela diri: “Tuduhan Sumoay benar2 tidak beralasan! Habis, darimanakah datangnja
dja-rum jang menewaskan Suhu itu?”
Namun Tan Giok-ki segera menerangkan bahwa pada kundjungannja jang dahulu ia pernah
kehilangan sebatang djarum ketika diadjak latihan bersama Hiau-hong. Begitu pula tentang
si Pedang Kilat > karya Gan K.L. > published by buyankaba.com 17
bekas hangus pukulan Hwe-yam-djiu ditapak tangan Su Djun-lui itupun adalah palsu. Karena
kuatir bukti palsu itu diketahui, maka ia telah menghantjurkan djenazah sang guru diluar tahu
Mei-lan. Dari itu Hok-liong Siansu telah ketok2 peti mati, rupanja dia memang sudah
menaruh tjuriga. Dan ketika peti mati segera dibongkar, maka semua arang dapat menjaksikan
isinja memang betul bukan djenazah, tapi adalah batu2 belaka.
Karena sudah terbongkar tipu muslihatnja, terus sadja Kim Hiau-hong hendak melarikan diri.
Namun Su Mei-lan sudah bersiap sebelumnja, sambil membentak gusar, segera ia melompat
madju dengan Ginkangnja jang tinggi, sekali pedangnja bergerak, tanpa ampun lagi punggung
Kim Hiau-hong tertembus, ia hanja sempat mendjerit ngeri sekali, lalu roboh tak berkutik
lagi, djiwanja melajang untuk menebus dosanja
TAMAT

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:

Selasa, 23 Januari 2018

Cersil Lepas Jin Yong : Pedang Gadis Yueh

-baca juga:

C E R I T A S I L A T T I O N G K O K
Pedang Gadis Yueh
Karya: Jin Yong (Louis Cha) Diceritakan oleh: Vanda
LATAR BELAKANG:
Cerita ini berdasar peristiwa sejarah nyata yang terjadi di sepanjang abad ke 5 Sebelum Masehi.
Suatu periode yang dikenal sebagai periode di antara Periode Musim Semi dan Musim Gugur,
dengan Periode Peperangan antar Kerajaan-Kerajaan1. Negeri Cina belum disatukan oleh Chin
Shi Huangdi2. Yang disebut suku Han3 juga belum ada. Negeri Cina masih terbagi-bagi menjadi
kerajaan kecil dan besar, daerah atau propinsi dengan para penguasanya yang satu dengan lainnya
selalu berperang terus menerus.
Cerita ini dimulai ketika raja Chuh4 berselingkuh dengan tunangan putranya. Suatu perbuatan jelek, di jaman
apapun juga. Sekarang raja Chuh takut kalau putranya akan berbalik melawan dia. Ketakutannya
diwujudkan dalam tindakan berupa tuduhan palsu, melalui salah satu menterinya yang paling ambisius untuk
menghancurkan komplotan pangeran mahkota. Hasilnya pembersihan yang membinasakan banyak keluargakeluarga
besar dan rumah tangga. Salah satu keluarga, yang memiliki banyak harta kekayaan, adalah
keluarga Wu. Putra Wu termuda, Wu Tzu-Shi, berhasil lolos dan bersumpah akan membalas dendam.
Setelah perjalanan yang panjang dan berbahaya melalui beberapa kerajaan yang menolak untuk
membantu, ia tiba di kerajaan Wu yang baru saja berdiri. (Huruf Cina untuk Wu pada Wu Tzu-
Shi berbeda dari huruf Wu pada kerajaan Wu). Ia membantu Pangeran Ho Lu untuk membunuh
kemenakannya yang menjadi raja dalam suatu perebutan tahta. Kemudian ia membangun
kerajaan Wu dari suatu kerajaan yang baru saja berdiri menjadi kerajaan modern dengan angkatan
perang yang paling terlatih baik di dunia yang dikenal saat itu. Sun Tzu5, penulis buku ‘Seni
Perang’ yang terkenal, hidup dan mengabdi di kerajaan Wu pada saat itu.
Saat Wu Tzu-Shi sudah siap, ia mengatur rencana untuk meyakinkan Raja Ho Lu agar menyerbu
kerajaan Chuh. Saat itu kerajaan Chuh adalah satu negara adikuasa sedangkan Wu hanya kerajaan
kecil, tetapi kerajaan kecil sudah berani merencanakan menyerang kerajaan Chuh yang besar.
Sayangnya, balas dendam Wu Tzu-Shi mengalami kegagalan. Obyek tujuan balas dendamnya
telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dengan murkanya Wu Tzu-Shi menggali mayat sang
raja dan mencincangnya sampai hancur berkeping-keping.
Kerajaan Wu terbukti tidak mampu menahan serbuan kerajaan Chuh yang jauh lebih besar,
maka Wu Tzu-Shi harus terlebih dulu menarik angkatan perangnya kembali ke negeri Wu.
Kemudian, Ho Lu memulai serangkaian peperangan lagi untuk kembali mengukuhkan
kekuasaannya atas sisa-sisa Negeri Cina lainnya. Pada salah satu dari sekian banyak peperangan, ia
berhadapan dengan kerajaan Yueh6. Orang-orang Yueh pada saat itu masih tertinggal jauh
1 Periode Musim Semi dan Musim Gugur (722 SM – 481 SM) terdiri dari kurang lebih 170 kerajaan kecil-kecil, antara lain Qi, Lu,
Jin, Qin, Chu, Wu, Yue dan lain-lain. Diberi nama demikian sesuai judul buku “The Spring and Autums Annals” yang ditulis oleh
Kong Hu Cu (Confucius) yang hidup pada masa-masa itu. Periode Peperangan Antar Kerajaan (The Warring Kingdoms atau
Warring States 481 SM - 212 SM). Negara-negara yang terlibat Zhao, Yan, Chu, Han, Wei, Qi dan Qin sehingga disebut “Seven
Overlords”. Pemenangnya adalah negara Qin dan rajanya, Zheng, memberi nama dirinya Shi Huangdi (Kaisar Pertama). Ahli
sejarah menyebutnya Qin Shi Huang.
2 Qin Shi Huangdi adalah pemersatu negara China pada saat itu. China berasal dari kata Chin (Qin). Sayangnya kerajaan Qin hanya
bertahan 5 tahun (221 SM – 206 SM) saja. Ialah yang mengawali pembangunan Tembok Besar China pertama kali (terakhir kali
oleh Dinasti Ming, seluruhnya kuranglebih 6000 kilometer) dengan maksud menahan serbuan suku-suku nomaden dari utara,
terutama suku Xiongnu yang disebut suku barbar.
3 Suku Han disebut-sebut sesudah Kerajaan Han berdiri dan berjaya (206 SM – 220 M). Kerajaan Han didirikan oleh Liu Bang (Liu
Pang) salah satu panglima Kerajaan Qin, sesudah Qin runtuh dengan wafatnya Qin Shi Huangdi
4 Chuh (Chu) salah satu kerajaan yang terkuat di zaman itu.
5 Periode di saat Sun Tzu hidup masih banyak perdebatan, terutama jika peralatan perang yang digambarkan dalam bukunya
ternyata jauh lebih maju dibandingkan zaman kerajaan Wu saat itu, bahkan ada yang menganggapnya hanya tokoh rekaan saja
6 Kerajaan Yueh (Yue) terkenal dengan kerajinan logamnya, terutama pedang.
Koleksi Kang Zusi
dibandingkan Wu, tetapi mereka pejuang-pejuang yang hebat. Kerajaan Yueh diperintah oleh
Raja Kou Chiang. Pada salah satu pertempuran, Raja Ho Lu terkena panah beracun dan
meninggal.
Fu Chai putra Ho Lu menjadi raja. Ia bertekad membalas dendam untuk bapaknya. Satu
pengawal pribadinya dipesan untuk selalu mengingatkannya akan kejadian ini di saat-saat tertentu
dengan mengatakan, "Fu Chai, apakah Anda melupakan balas dendam kematian ayahandamu?".
Kemudian Fu Chai mulai mengumpulkan angkatan perangnya dan membinasakan angkatan
perang Yueh. Raja Kou Chiang menjadi tawanan Fu Chai untuk beberapa tahun. Tetapi Fu Chai
ternyata bukan seorang manusia kejam. Sebagai ganti dikuasainya kerajaan Yueh dan menjadikan
Kou Chiang seorang budak, ia berkenan melepaskan Kou Chiang setelah Kou Chiang bersumpah
melepaskan statusnya sebagai raja Yueh. Sayangnya, kebaikan hati ini tidak diterima di hati oleh
Raja Kou Chiang. Kou Chiang, seperti Wu Tzu-Shi dan Fu Chai sebelumnya, dirasuki keinginan
yang berkobar-kobar untuk membalas dendam pada orang yang telah mengalahkannya.
Kou Chiang mengangkat dua pria pandai dari kerajaan Chuh. Satunya adalah Feng Li, lainnya
adalah Wen Chung. Keduanya mulai membangun kerajaan Yueh yang masih tertinggal agar suatu
hari bisa menghadapi pengaruh kekuasaan kerajaan Wu. Banyak dongeng dihubungkan dengan
periode sejarah ini. Salah satu dari dongeng itu adalah Dongeng Gadis Yueh.
CERITA:
"Silahkan!."
"Silahkan!."
Kedua pendekar itu menurunkan ujung pedang mereka ke bawah. Telapak tangan kanan mereka
memegang gagang pedang, telapak tangan kiri menangkup ke telapak tangan kanan, dan
kemudian mereka membungkuk dalam-dalam ke arah satu sama lainnya dalam suatu pemberian
hormat khas prajurit.
Sebelum keduanya sempat meluruskan badan, mendadak suatu kilatan cahaya putih melintas di
langit, disusul bunyi gemuruh. Kedua pendekar masing-masing mundur selangkah. Para
pengunjung bertepuk tangan. Pendekar berbaju biru menebaskan pedangnya tiga kali. Pendekar
lawannya menangkis setiap tebasan tersebut. Pendekar berbaju biru berteriak dan menebaskan
pedangnya dari sudut kiri bawah langsung lurus ke atas. Tebasan tersebut sangat kuat dan cepat.
Lawannya pendekar berseragam ternyata sulit dikenai. Dengan satu lompatan sederhana ia
berhasil menghindarinya. Tubuhnya segera melenting begitu kakinya menyentuh tanah. Dia
mengembalikan dua tebasan. Pendekar berbaju biru tetap tersenyum-simpul. Dia segera
menggerakkan kembali pedangnya dengan sangat cepat dan menangkis serangan itu.
Pendekar berseragam tiba-tiba mulai lari berputar mengelilingi pendekar berbaju biru. Ia berlari
cepat dan makin cepat. Pendekar berbaju biru mengawasi gerak pedang musuhnya. Ia siap untuk
menangkis kapanpun juga serangan akan datang. Pendekar berseragam pada mulanya berlari ke
satu arah, kemudian mulai berbalik dan berbalik lagi. Pendekar berbaju biru sedikit merasa
pusing dan berkata, "Hei, kau mau berkelahi, atau mau kabur?" Pendekar berseragam terus saja
berlari. Pendekar berbaju biru berkali-kali mencoba memotong arah larinya, tetapi pedangnya
selalu luput.
Pendekar berbaju biru menarik pedangnya kembali ke samping badannya lalu menekuk kaki
kanannya dengan cepat. Pendekar berseragam melihat suatu celah di sisi bahu kiri musuhnya.
Pendekar berbaju biru terlihat memberi umpan pada musuhnya. Pedangnya lalu berputar dan
satu tusukan menusuk lurus ke dalam kerongkongan pendekar berseragam. Tusukan itu sulit
untuk dihindari. Pendekar berseragam terkejut. Ia segera melontarkan pedangnya ke arah jantung
musuhnya. Pendekar berseragam berharap bisa memaksa pendekar berbaju biru membatalkan
tusukannya agar jiwanya bisa diselamatkan.
Tidak terduga, pendekar berbaju biru tidak mencoba untuk menangkis. Dengan menggerakkan
Koleksi Kang Zusi
lengan tangannya, ujung pedangnya menghunjam ke dalam kerongkongan pendekar berseragam.
Baru sesaat kemudian pedang yang dilemparkan pendekar berseragam menghantam dadanya, dan
dengan suara nyaring jatuh ke tanah. Pendekar berbaju biru tertawa dingin dan segera mencabut
pedangnya. Ternyata ia memakai plat besi di depan dadanya, tepat di belakang pakaiannya. Itulah
sebabnya mengapa pedang tidak mampu melukainya. Kerongkongan pendekar berpakaian
seragam menyemburkan darah dan badannya jatuh menggelosor. Para pelayan masuk ke arena
untuk memindahkan mayat dan segera membersihkan darah di tempat itu.
Pendekar berbaju biru menyarungkan pedangnya. Ia maju ke depan dan membungkukkan
badannya ke arah utara menghadap aula di mana raja bertahta. Raja mengenakan jubah berwarna
ungu. Ia tampak aneh. Lehernya terlihat panjang dan mulutnya tampak seperti paruh burung.
Raja tersenyum dan berkata dengan suara serak, "Orang hebat pasti memiliki ilmu pedang sangat
hebat. Beri dia hadiah sepuluh tael emas." Pendekar berbaju biru berlutut dengan bertumpu pada
kaki kanannya lalu membungkuk "Terimakasih untuk hadiahnya." Raja melambaikan tangan
kirinya. Seorang pejabat di sisi kanannya berteriak, "Pendekar Wu dan pendekar Yueh,
pertarungan kedua!"
Dari pojok di sisi timur aula, seorang pendekar berseragam keluar dari dari kelompoknya.
Orangnya jangkung dan memegang pedang besar. Pedangnya hampir empat kaki panjangnya.
Mata pedangnya sangat tebal dan tentu saja berat. Dari sisi barat aula, seorang pendekar berbaju
biru berjalan memasuki arena. Tingginya sedang-sedang saja. Mukanya penuh codetan sedikitnya
duabelas atau tigabelas garis pedang yang meninggalkan parut-parut. Mukanya tidak tampak lagi
seperti manusia. Mungkin ia telah beratus-ratus kali bertempur dengan para pendekar yang tak
terhitung jumlahnya.
Keduanya berlutut memberi hormat kepada raja, lalu mereka memberi hormat satu sama lainnya.
Pendekar berbaju biru meluruskan badannya dan tersenyum. Senyuman tersebut membuat
tampangnya tampak makin kejam dan buruk. Pendekar jangkung merasa gentar. Kemudian ia
terbatuk-batuk dan memegang erat-erat pedangnya dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba pendekar berbaju biru berteriak keras seperti seekor serigala dan menusukkan
pedangnya. Pendekar jangkung juga berteriak, mengangkat pedang besarnya dan membacokkan
ke arah kepala lawannya. Pendekar berbaju biru mengelak sembari membolang-balingkan
pedangnya dari kiri ke kanan. Pendekar jangkung mengangkat pedang besarnya lalu memutarnya,
menimbulkan bunyi angin gemuruh. Berat pedang besarnya tidak membuatnya lambat sewaktu
membacok.
Keduanya sudah tigapuluh kali saling berbenturan. Pendekar berbaju biru mulai tidak mampu
menahan berat pedang lawannya. Ia mundur terus-menerus. Semua pendekar berseragam
menunjukkan harapan di wajah mereka dan menduga kemenangan kali ini jatuh di pihak mereka.
Pendekar jangkung berteriak keras seperti bunyi guntur dan membuat tebasan mendatar dengan
pedang besarnya. Pendekar berbaju biru tidak mampu menghindarinya. Ia hanya bisa menahan
dengan pedangnya dan mengerahkan semua kekuatannya. Traang!!. Suara gemerincing dua pedang
beradu terdengar. Pedang besar patah dan separuhnya hilang entah kemana. Pedang pendekar
berbaju biru ternyata sangat tajam. Pendekar berbaju biru menebaskan pedangnya lurus keatas ke
arah kerongkongan pendekar berseragam yang terbuka sampai terpotong seluruhnya. Pendekar
jangkung mendengkur dan terus mendengkur sampai ia jatuh tersungkur ke tanah. Pendekar
berbaju biru melirik sebentar ke arah lawan yang baru dikalahkannya lalu mengembalikan pedang
ke dalam sarungnya. Kemudian ia berlutut ke arah raja. Mukanya tidak bisa menyembunyikan
kegembiraan atas kemenangannya.
Si Pejabat berkata, "Kepandaian bermain pedang yang sangat mengesankan. Hadiahnya sepuluh
tael emas." Pendekar berbaju biru berterima kasih dengan membungkukkan badan. Hanya ada
delapan pendekar berbaju biru dibandingkan dengan lima puluh pendekar berseragam yang
berada di sisi timur aula, tentu saja mereka tampak lebih sedikit karena kalah jauh jumlahnya.
Si Pejabat berkata lagi, "Pendekar Wu dan pendekar Yueh, pertarungan ke tiga."
Koleksi Kang Zusi
Sekali lagi, seorang pendekar dari masing-masing pihak berjalan ke tengah arena. Pedang pendekar
berbaju biru tampak berkilat-kilat dan bersinar seperti sinar sang surya. Si Pejabat berkata,
"Pedang yang bagus!" Pendekar berbaju biru berterimakasih atas pujiannya. Pejabat itu berkata
lagi, "Kita sudah melihat pertarungan satu lawan satu. Kali ini, dua lawan dua!"
Dua orang pendekar kembali memasuki arena. Sekali lagi ke empat pendekar menghormat
kepada raja, baru menghormat ke arah lawannya masing-masing.. Pedang langsung berkelebat
begitu pertempuran dimulai. Pada pertarungan ini, masing-masing kelompok pendekar harus
saling bekerja sama satu dengan lainnya. Setelah beberapa saat lewat, pedang salah satu pendekar
berseragam sudah terpotong separuh oleh pedang musuhnya. Pendekar berseragam ini ternyata
sangat pemberani. Sambil membawa potongan pedangnya ia menerjang ke arah musuhnya.
Pedang lawannya berkelebat dan memotong tangan kanannya bersama bahu kanannya, baru
kemudian pedang itu menusuk jantungnya.
Pasangan lain masih berkelahi. Sang pemenang si Pendekar berbaju biru menonton sebentar,
kemudian pedangnya berkelebat lagi. Sekali lagi, pedang pendekar berseragam terpotong separuh,
dan badannya terbuka lebar. Pedang musuh menusuk dadanya dan tembus ke punggungnya.
Raja tertawa dan bertepuk tangan, "Pedang-pedang yang hebat! Ilmu pedang yang hebat. Hadiahi
mereka emas dan anggur. Mari kita lihat pertarungan empat melawan empat!"
Empat pendekar dari masing-masing pihak mulai bertempur. Pendekar dari sisi timur telah
kehilangan tiga pertarungan. Ke empat pendekar ini dengan putus-asa mulai melancarkan semua
serangan dengan semua keahlian yang mereka miliki. Sekalipun mereka akhirnya mati, mereka
ingin memenangkan sedikitnya satu pertarungan. Dua pendekar berbaju biru mengkonsentrasikan
serangannya pada satu pendekar berseragam. Dua pendekar berbaju biru lainnya bertahan
melawan tiga pendekar berseragam. Pendekar-pendekar berbaju biru ini melulu hanya bertahan.
Tapi pertahanan mereka tak dapat ditembus. Mereka juga tidak berusaha untuk menyerang,
mereka semua hanya mencegah serangan dari ke tiga lawannya yang berusaha membantu teman
mereka. Tentu saja dua pendekar berbaju biru dengan mudah membunuh lawan satu-satunya.
Kemudian mengulangi siasat mereka sekali lagi dan berhasil membunuh satu pendekar
berseragam lainnya .
Para pendekar berseragam di sisi timur aula mulai marah melihat kematian teman-teman mereka.
Mereka segera melolos pedangnya dan bersiap-siap membantu teman-teman mereka untuk
mencincang para pendekar berbaju biru menjadi potongan-potongan kecil.
Si Pejabat berteriak dengan suara nyaring, "Mereka yang belajar jalan pedang, harus patuh hukum
pedang!"
Suaranya sangat berwibawa. Para pendekar berseragam mulai tenang kembali. Pada saat ini semua
orang bisa melihat bahwa para pendekar berbaju biru memang memiliki ilmu pedang yang sangat
berbeda. Dua orang khusus untuk bertahan. Dua lainnya khusus untuk menyerang. Para
pendekar penyerang tampak lebih unggul dibandingkan para musuhnya karena punggungnya
selalu dilindungi oleh para pendekar lainnya. Pedang-pedang para pelindung ini membentuk
jaring pertahanan pedang yang rapat dan mampu menghadapi lima serangan bahkan enam
serangan secara mudah.
Sekarang, dua pendekar yang bertahan sudah berhasil memojokkan lagi seorang pendekar
berseragam, jadi dia sudah tak berdaya. Dengan cepat dua pendekar penyerang berhasil
membunuh pendekar berseragam ke tiga. Ke dua pendekar yang bertahan mulai memisahkan diri
ke kanan dan ke kiri dan mengawasi jika ada musuh lainnya sewaktu ke dua pendekar penyerang
meneruskan serangannya ke satu-satunya pendekar berseragam yang masih tersisa. Tapi walaupun
pendekar berseragam ini tidak memiliki harapan menang, ia tetap tidak mau menjatuhkan
pedangnya untuk mengaku kalah. Tiba-tiba ke empat pendekar berbaju biru berteriak nyaring
dan dengan berbarengan pedang mereka menusuk pendekar berseragam dari empat arah.
Pendekar berseragam mati seketika. Matanya terbuka lebar seperti mangkuk. Mulutnya juga
Koleksi Kang Zusi
terbuka lebar. Ke empat pendekar berbaju biru mencabut pedang mereka berbarengan. Lalu ke
empatnya mengesutkan pedang ke telapak kaki sepatunya, dan mengembalikan pedang ke
sarungnya. Semua gerakan dilakukan berbarengan.
Raja tertawa dan sekali lagi bertepuk tangannya, "Ilmu pedang yang hebat. Para pendekar
Kerajaan Agung memang sungguh-sungguh tak terkalahkan. Hanya di hari ini kita diberi
pertunjukan besar seperti itu. Hadiahi mereka masing-masing sepuluh tael emas." Keempatnya
berterima kasih dengan membungkukkan badan. Mereka membungkuk dengan sudut yang sama.
Tak seorangpun tahu berapa lama mereka berlatih untuk mencapai ketepatan seperti itu.
Seorang pendekar berbaju biru maju, membawa suatu kotak panjang bercat keemasan dan
berkata, "Raja kami berterima kasih atas hadiah yang berharga dari Paduka. Yang Mulia
memerintahkan kami untuk menyerahkan hadiah berupa satu pedang berharga. Pedang ini baru
saja di tempa di kerajaan kami untuk kesenangan Paduka."
Raja tersenyum, "Terimakasih. Menteri Feng, bawalah barang itu ke sini."
Raja itu adalah Kou Chiang, Raja Yueh. Sang Pejabat adalah Feng Li, penasehat kerajaan.
Pendekar berseragam adalah Pengawal Raja Yueh. Ke delapan pendekar berbaju biru adalah
utusan yang dikirim oleh Fu Chai, Raja Wu. Kou Chiang pernah dikalahkan oleh Fu Chai dan ia
sedang menanti-nantikan kesempatan untuk membalas dendam. Di depan ia bersikap tunduk
kepada Kerajaan Wu, tetapi dengan diam-diam ia melatih para tentaranya untuk bersiap-siap
menyerang Wu. Dalam rangka menguji ketrampilan para pendekar Wu, ia mengirim pendekarpendekar
terbaiknya. Tapi ia tidak mengira kalau para pendekar Wu dengan mudah membunuh
ke delapan pendekar terbaiknya. Ia terkejut dan marah, tetapi ia mampu menyembunyikannya.
Sebagai gantinya, malahan ia memuji ketrampilan pedang para pendekar Wu dan
memperlihatkan kebaikan hatinya.
Feng Li mengambil kotak panjang keemasan itu. Kotak itu terasa sangat ringan, bisa saja di duga
isinya kosong. Ia membuka tutup kotak. Sebelum orang lain di aula bisa melihat apa yang ada di
dalam kotak itu, terlihat wajah Feng Li diselimuti oleh cahaya biru yang berkilauan. Semua orang
berteriak dengan terkejut.
Feng Li membawa kotak itu ke Kou Chiang dan membungkuk, "Silahkan dilihat, Yang Mulia".
Kou Chiang melihat kalau kotak itu dilapisi dengan sutera merah. Pedang di dalamnya
mempunyai mata pisau yang sangat tipis. Cahaya yang dipantulkan dipermukaannya terlihat
mengalir seperti aliran air. Ia berkata, "Pedang yang hebat!". Ia memegang gagangnya dan
mengangkat pedang itu. Mata pedang terlihat rapuh, seolah-olah bisa patah hanya dengan
mengibaskan pergelangan tangannya. Ia pikir "Mata pisau pedang terlalu tipis. Kelihatannya saja
hebat, tetapi tidak punya manfaat praktis."
Pemimpin pendekar berbaju biru mengambil satu potongan kain kasa tipis dari sakunya dan
melemparkannya ke udara. "Silahkan Paduka, hadapkan sisi tajam pedang ke atas sehingga kain
kasa tipis ini akan melewatinya. Paduka akan melihat bahwa pedang ini benar-benar berbeda."
Kain kasa tipis jatuh di atas sisi tajam pedang, tetapi kain kasa tipis tidak berhenti. Ia tetap jatuh,
tetapi sudah terpotong menjadi dua kain kasa tipis yang terpisah. Semua orang di aula bersoraksorai.
Pendekar berbaju biru berkata, "Mata pisau pedang ini boleh jadi tipis, tetapi tidak akan patah
walaupun untuk menahan senjata yang berat."
Kou Chiang berkata, "Menteri Feng, cobalah."
Feng berkata, "Baik". Ia berjalan di depan salah satu pendekar berseragam, menghunus pedangnya
dan berkata, "Hunus pedangmu, Ayo kita coba." Pendekar berseragam membungkuk, lalu
menghunus pedangnya, tetapi ia tidak berani memulai menyerang. Feng Li berteriak "Serang!" Si
pendekar membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Feng menahan dengan pedangnya. Dua
pedang saling berbenturan. Mata pisau dari pendekar berseragam patah menjadi dua potongan.
Koleksi Kang Zusi
Sebelum salah satu potongan melayang ke arahnya, Feng Li sudah menghindar dengan gesit.
Orang-orang di aula bersorak-sorai. Apakah mereka memuji ketajaman mata pisau, atau kegesitan
Feng?
Feng Li mengembalikan pedang ke kotaknya dan meletakkan kotak itu di kaki raja. Kou Chiang
berkata, "Para pendekar Kerajaan Agung, kalian diundang ke aula berikut untuk pesta dan
pemberian hadiah pertarungan." Ke delapan pendekar berbaju biru membungkukkan badan dan
meninggalkan aula itu. Kou Chiang melambaikan tangannya, lalu semua pendekar, para
pembantu dan menterinya pergi, kecuali Feng Li.
Kou Chiang memperhatikan pedang itu dan darah di tanah lalu berkata, "Apa yang kau
pikirkan?"
Feng Li berkata, "Tidak semua tentara Wu hebat seperti yang delapan ini. Tidak semua pedang
yang dipakai mereka sama tajam seperti yang ini. Tetapi dari contoh kecil ini, kita dapat melihat
sebagian kecilnya. Sisi paling mengerikan adalah teknik mereka berkelahi berkelompok. Mereka
menggunakan metode Sun Tzu. Aku percaya bahwa mereka sekarang ini tidak punya tandingan
di dunia."
Kou Chiang berkata, "Fu Chai mengirim ke delapan orang ini hanya untuk memberiku pedang
ini….apa ia bermaksud……..?"
Feng Li berkata, "Ia ingin kita tahu, betapa sukarnya membalas dendam."
Kou Chiang menjadi marah. Ia memungut pedang itu dan membuat bacokan ke belakang.
Bacokan itu memotong separuh sandaran kursinya. Ia berteriak, "Sekalipun seribu kesukaran,
bahkan sepuluh ribu kali lebih besar sekalipun, Kou Chiang tidak akan mundur dari tujuannya!
Suatu hari, aku akan menangkap Fu Chai, raja Wu, memotong kepalanya dengan pedangnya
sendiri." Bacokan pedang lainnya memotong kursi menjadi separuh.
Feng Li membungkuk dan berkata, "Selamat, Yang Mulia."
Kou berkata dengan terkejut, "Setelah melihat kemampuan pendekar Wu, untuk apa pemberian
selamat itu?"
Feng Li berkata, "Jika Yang Mulia mempunyai keinginan, maka apapun dapat terjadi. Mengenai
kesukaran ini, aku harus membicarakannya dengan Menteri Wen."
Kou Chiang berkata, "Baik, panggil Menteri Wen."
Feng Li meninggalkan istana dan memerintahkan pembantu istana untuk memanggil Menteri
Wen Chung. Sebentar kemudian, dengan cepat Wen Chung tiba dengan kuda, lalu keduanya
berjalan kembali ke istana.
Feng Li sebenarnya penduduk Wan, di Kerajaan Chuh. Dia bukan orang yang senang dengan basa
basi ataupun sopan-santun. Sering, ia melakukan hal-hal di luar perkiraan orang-orang. Orangorang
dari daerah asalnya memanggilnya "Feng si gila". Saat Wen Chung menjadi pejabat di Wan,
ia mendengar reputasi Feng Li. Lalu ia mengirim bawahannya untuk mengundang Feng. Para
bawahannya berkata, "Feng itu manusia gila yang sangat terkenal di daerah ini. Tidak ada yang dia
buat mampu dimengerti orang lain." Wen Chung tersenyum, "Ketika seorang manusia mencoba
melakukan sesuatu yang berbeda, orang lain selalu mengatakan bahwa ia gila. Ketika ia
mempunyai suatu pendapat berharga, umum memanggilnya bodoh. Bagaimana mungkin kamu
bisa memahami Guru Feng?"
Maka Wen Chung pergi mengunjungi Feng sendirian, tetapi Feng berusaha menghindarinya. Feng
sudah menduga kalau Wen tidak mudah menyerah, maka ia meminjam pakaian yang pantas dari
saudara laki-lakinya. Saat Wen kembali lagi, Feng menyambutnya. Keduanya berbicara dan
menemukan bahwa mereka berdua ternyata memiliki banyak kesamaan.
Koleksi Kang Zusi
Mereka berdua merasa kerajaan sangat lemah. Kerajaan Chuh besar, tetapi kacau. Satu-satunya
kerajaan yang bisa naik untuk menguasai sisanya; terletak di bagian tenggara. Wen Chung
meletakkan jabatannya dan pergi ke kerajaan Wu bersama Feng Li. Saat itu.pejabat kesayangan
raja Wu adalah Wu Tzu-Shi. Lalu keduanya tinggal di ibukota untuk beberapa bulan dan melihat
bahwa Wu Tzu-Shi orang yang bijaksana. Mereka merasa tidak lebih baik daripada dia.
Setelah beberapa diskusi, mereka memutuskan bahwa walaupun Yueh suatu kerajaan lebih kecil,
tetapi mereka bisa memakai bakat mereka di sana. Kou Chiang menerima mereka dengan hangat
dan memberi keduanya posisi tinggi.
Kou Chiang mengabaikan nasihat Wen Chung dan memulai perang dengan Wu. Angkatan
perangnya dikalahkan di pinggir sungai Chiang Tang. Kou Chiang terkepung di gunung Kuai Chi
dan hampir saja meninggal bersama dengan kerajaannya, tetapi ia mendengar nasihat Feng Li dan
Wen Chung, lalu menyuap Perdana Menteri Wu. Fu Chai ternyata lebih mendengar nasihat
Perdana Menteri daripada nasihat Wu Tzu-Shi yang bijaksana dan menyetujui perjanjian damai.
Kou Chiang hidup di Wu sebagai sandera untuk beberapa tahun, tetapi kemudian ia dilepaskan.
Untuk mengingat penghinaan yang dideritanya Kou Chiang tidur beralaskan cabang-cabang
pohon berduri dan makan empedu sapi yang pahit. Ia menggunakan Sembilan Metoda Wen
Chung untuk menumbangkan Wu dan memperkuat Yueh.
Sembilan metodenya. Satu, menghormati para dewa dan para roh. Dua, memberi Fu Chai
sejumlah besar uang agar ia merasa senang dan menjadi lemah karena kemewahan. Tiga,
meminjam makanan dari Wu dan mengembalikannya berupa benih yang tidak akan bisa
tumbuh, dan menyebabkan kelaparan di Wu. Empat, memberi Fu Chai wanita-wanita cantik
seperti Si Shi dan Cheng Dang, maka Fu Chai akan lebih memperhatikan wanita-wanita cantik
daripada persoalan-persoalan negara. Lima, memberi Fu Chai para ahli bangunan maka ia akan
membangun istana-istana mahal yang akan merusak perekonomian negara. Enam, menyuap para
menteri Wu. Tujuh, menjauhkan Fu Chai dari para menterinya yang bijaksana. Wu Tzu-Shi yang
bijaksana secepatnya dipaksa bunuh diri sebagai hukuman atas pengkhianatan palsu. Delapan,
menimbun makanan agar kerajaan Yueh mempunyai timbunan makanan yang besar. Sembilan,
membuat senjata-senjata, melatih para prajurit dan menunggu kesempatan. Delapan metode
sudah berhasil, tetapi metode kesembilan menemui kesulitan besar.
Semua orang bisa bercerita kalau delapan para prajurit Wu lebih baik dibanding siapapun juga
yang dihasilkan Yueh. Feng Li menceritakan kepada Wen Chung hasil dari pertarungan. Wen
Chung mengerutkan dahi, "Saudara Feng, ketajaman pedang mereka adalah masalah utama, juga
cara para pendekar mereka bekerja bersama-sama dalam kelompok, cocok dengan Seni
Peperangan Sun Tzu."
Feng Li berkata, "Ya, pada jaman dahulu, saat Sun Tzu membantu raja Wu. Mereka berhasil
menghancurkan Chuh, kerajaan paling kuat di dunia saat itu. Di dalam bukunya, ia berkata, "Jika
aku mengkonsentrasikan kekuatanku dan kekuatan musuhku terbagi-bagi menjadi sepuluh
bagian, maka aku dapat menggunakan kekuatanku yang terkonsentrasi untuk menyerang ke
sepuluh bagian satu demi satu. Kekuatanku akan melebihi kekuatan musuhku dan pertempuran
akan cepat selesai." Wu menggunakan prinsip ini untuk mendapatkan kemenangan melawan para
pendekar kita."
Saat mereka berbicara mereka tiba di depan Kou Chiang. Kou Chiang sedang menatap pedang
hadiah itu. Selang beberapa lama, Kou Chiang mengangkat kepalanya dan berkata, "Menteri Wen.
Bertahun-tahun lalu, Wu mempunyai penempa pedang suami-isteri, Keng Chiang dan Mo Yeh.
Yueh mempunyai O-Yeh Tzu. Sekarang, ketiganya sudah meninggal semua. Wu masih memiliki
penempa pedang yang baik, tetapi kita tidak punya satu orangpun yang ahli seperti O-Yeh Tzu."
Wen Chung berkata, "Aku sudah mendengar kalau O-Yeh Tzu mempunyai dua orang murid.
Seorang bernama Fong Hu-Tzu, yang lain Hsieh Chu. Fong Hu-Tzu di kerajaan Chuh. Sedangkan
Hsieh masih di Yueh."
Koleksi Kang Zusi
Kou menjadi gembira dan berkata, "Panggil dia. Dan juga perintahkan seseorang pergi ke Chuh.
Dengan emas maka kita dapatkan Fong Hu-Tzu juga."
Pagi berikutnya, Wen Chung melaporkan bahwa ia telah mengirim seseorang ke Chuh.
Sementara itu, Hsieh Chu telah berada di sini. Kou Chiang menerima kunjungan Hsieh dan
bertanya, "Gurumu O-Yeh Tzu, dahulu menerima perintah ayahku dan menempa lima pedang.
Bagaimana Anda menilai ke lima pedang itu?"
Hsieh berkata, "Aku sudah mendengar guruku berkata bahwa ia menempa lima pedang untuk
raja. Tiga pedang besar dan dua pedang kecil. Mereka adalah Alang-alang Berayun, Tepian Murni,
Penumpas Kejahatan, Pengail Ikan dan Menara Agung. Sekarang, Alang-alang Berayun berada di
Chuh. Penumpas Kejahatan dan Pengail Ikan di Wu. Yang Mulia masih memiliki Tepian Murni
dan Menara Agung."
Bertahun-tahun yang lalu, Pangeran Ho Lu dari Wu mendengar tentang pedang-pedang itu dan
meminta ayah Kou Chiang sebagian pedang itu. Ayah Kou Chiang takut kekuatan Wu dan
memberi Ho Lu Alang-alang Berayun, Penumpas Kejahatan dan Pengail Ikan. Dengan
menggunakan Pengail Ikan, Ho Lu membunuh raja kemenakannya dan mengambil mahkotanya.
Alang-alang Berayun jatuh ke sungai dan diambil oleh raja Chuh. Raja Chin mendengar semua ini
dan kemudian memintanya. Tetapi bahkan setelah perang berkali-kali, raja Chuh masih tetap
menolak untuk memberikannya.”
Hsieh berkata, "Guruku berkata, dari ke lima pedang, Penumpas Kejahatan memiliki nilai paling
tinggi. Tepian Murni dan Alang-alang Berayun yang berikutnya. Selanjutnya Pengail Ikan
sedangkan Menara Agung yang terakhir. Ketika Menara Agung ditempa, campuran logamnya
sudah tidak murni, maka ia hanya pedang yang tajam, bukan pedang yang berharga."
Kou Chiang berkata, "Kau berkata kalau Tepian Murni dan Menara Agung milikku bukan
tandingan Penumpas Kejahatan dan Pengail Ikan milik Fu Chai?"
Hsieh memang takut mengatakan kalau pedang Kou Chiang lebih jelek, tetapi Kou Chiang sudah
tahu jawabannya.
Feng Li berkata, "Kau mewarisi keahlian gurumu. Kau juga dapat menempa sendiri beberapa
pedang. Mereka kemungkinan tidak lebih jelek dari yang dimiliki oleh Wu."
Hsieh berkata, "Aku tidak bisa menempa pedang lagi."
Feng Li bertanya, "Mengapa?"
Hsieh mengangkat tangannya. Pada kedua tangannya, segera terlihat ke empat jarinya sudah
hilang. Ia berkata amat sedih, "Ibu jari dan telunjuk diperlukan untuk menempa pedang. Aku
sudah tak memilikinya."
Kou Chiang berkata, "Apakah musuh yang memotong jarimu?"
Hsieh berkata, "Bukan, teman seperguruanku yang melakukannya."
"Teman seperguruanmu? Maksudmu Fong Hu-Tzu? Mengapa ia melakukannya? Ah! Tentunya
kamu mempunyai keahlian yang lebih besar dibandingkan dia. Ia cemburu dan memotong
jarimu."
Hsieh diam saja.
Kou Chiang berkata, "Aku sedang berpikir mengundang Fong dari Chuh, tetapi sekarang aku
tahu ia tidak akan datang sebab ia takut pembalasan dendammu."
Hsieh berkata, “Yang Mulia sangat bijaksana, tetapi Fong tidak lagi di Chuh. Ia ada di Wu.”
Koleksi Kang Zusi
Kou Chiang berkata, "Dia…..dia ada di Wu? Apa yang dikerjakannya di sana?"
Hsieh berkata, "Tiga tahun yang lalu, Fong datang ke rumahku dan membawa satu pedang
berharga agar aku mau menilainya. Aku sangat terkejut. Pedang itu ditempa oleh guruku untuk
Chuh. Namanya Mata Air Mengalir. Mata pisaunya penuh dengan ukiran seperti aliran air. Aku
mendengar dari guruku ia menempa tiga pedang untuk Chuh. Itu salah satunya, yang lain Naga
Musim Semi dan Desiran Bambu."
Kou Chiang berkata, "Tentunya raja Chuh telah memberikannya ke Fong."
Hsieh berkata, "Secara tidak langsung, ya. Fong berkata setelah angkatan perang Wu berhasil
mendobrak masuk ke ibukota Chuh. Wu Tzu-shi mengambil pedang itu dari kuburan raja
sebelumnya. Ketika ia kembali ke Wu, ia mendengar tentang keahlian Fong, maka ia memberikan
pedang itu kepadanya sebagai hadiah. Ia berkata pedang itu buatan guru kita dan Fong adalah
pemiliknya yang syah."
Kou Chiang berkata, "Wu Tzu-Shi membiarkan pedang itu pergi? Ia sungguh-sungguh seorang
pahlawan agung untuk membiarkan harta berharga seperti itu pergi." Kemudian ia tertawa,
"Untung, Fu Chai sudah memperhatikan dia untukku." Kemudian ia bertanya, "Apa yang Wu
Tzu-Shi inginkan sebagai balasan dari Fong?"
Hsieh berkata, "Wu Tzu-Shi hanya berkata ia menghormati guru kami. Fong merasa berterima
kasih setelah menerima pedang, maka ia pergi ke Wu dan berterimakasih kepada Wu Tzu-Shi
sendiri. Wu Tzu-Shi memperlakukannya sebagai tamu terhormat."
Kou Chiang berkata, "Itu adalah cara bagaimana ia membuat orang-orang menjadi setia
kepadanya, bahkan sampai mati."
Hsieh berkata, "Yang Mulia sungguh bijaksana, tetapi Fong tidak paham maksud Wu Tzu-shi
sebenarnya, maka ia bertanya berulang-ulang bertanya bagaimana ia bisa membayar kembali budi
kebaikan yang besar yang diterimanya. Wu Tzu-shi tetap mengatakan ia tidak akan meminta
apapun dari tamu terhormatnya."
Kou Chiang berkata, "Si rubah tua!"
Hsieh berkata, "Fong akhirnya berkata kepada Wu Tzu-Shi kalau ia mempunyai sedikit
ketrampilan menempa pedang. Sebagai penukar kebaikan Wu Tzu-Shi, ia akan menempa
beberapa pedang berharga untuknya."
Kou menampar pahanya dan berkata, "Kena dia!"
Hsieh berkata, "Tetapi Wu Tzu-shi berkata kerajaan Wu sudah mempunyai banyak pedang
berharga dan tidak butuh lagi yang lain. Di samping itu, menempa pedang berharga butuh tenaga
kerja luar biasa. Bertahun-tahun yang lalu, saat Keng Chiang dan Mo Yeh sedang menempa
pedang, pedang tidak berhasil dibuat sampai Mo Yeh melemparkan dirinya sendiri ke dalam api.
Wu Tzu-shi tidak ingin tragedi semacam itu terjadi lagi."
Kou Chiang berkata, "Ia tidak ingin Fong menempa pedang untuknya? Aneh."
Hsieh berkata, "Fong juga kebingungan. Kemudian Wu Tzu-shi mengunjungi dia lagi. Dia berkata
angkatan perang Wu mampu berperang dengan negara adikuasa seperti kerajaan Chi dan Jin. Para
prajurit Wu pemberani, tetapi ketrampilan mereka berperang di atas kereta sangat buruk. Lebih
dari itu, tombak dan pedang mereka tidak cukup tajam. Fong mulai bicara dengan Wu Tzu-Shi
tentang cara-cara menempa pedang. Apa yang Wu Tzu-Shi inginkan bukan beberapa pedang
berharga dengan kekuatan-kekuatan ajaibnya, apa yang ia inginkan adalah ribuan bahkan
berpuluh-puluh ribu pedang tajam."
Kou Chiang memahaminya dan melihat ke arah Feng Li dan Wen Chung. Keraguan terlihat di
Koleksi Kang Zusi
wajah Wen Chung. Kou Chiang bertanya, "Menteri Feng, apa pendapat anda?"
Feng Li berkata, "Sungguhpun Wu Tzu-Shi licik, ia tidak cukup pandai untuk lepas dari
perangkap Yang Mulia."
Kou Chiang tertawa, "Aku hanya takut kalau aku terjebak oleh Wu Tzu-Shi."
Feng Li berkata, "Wu Tzu-Shi telah mati. Apa yang bisa ia lakukan untuk mengancam Yueh?"
Kou Chiang tertawa, "Benar! Hsieh Chu, apakah Fong mulai menempa pedang?"
Hsieh berkata, "Ya. Ia pergi ke Gunung Mo Keng. Ia menyaksikan seribu penempa pedang
bekerja di sana. Ia memperbaiki dan meningkatkan teknik mereka. Sejak saat itu, setiap pedang
Wu menjadi lebih tajam dari pedang manapun buatan kerajaan lain."
Kou Chiang mengangguk, "Jadi itulah sebabnya."
Hsieh berkata, "Selang satu tahun, Fong menjadi terlalu lelah untuk terus bekerja, maka ia
menceritakan kepada Wu Tzu-Shi namaku. Wu Tzu-Shi menyiapkan hadiah dan meminta Fong
untuk mengundang aku agar mau bekerja untuk dia juga. Aku ingat kebencian di antara Wu dan
Yueh. Jika pedang Wu yang tajam mampu membunuh orang-orang Chi dan Jin, maka mereka
juga dapat membunuh orang-orang di rumahku, maka aku menasihati Fong untuk tidak kembali
ke Wu."
Kou mengangguk setuju, "Kau punya pandangan ke masa depan."
Hsieh yang berkata, "Terima kasih untuk pujianmu, Yang Mulia, tetapi ia tidak mendengarkan
aku. Malam itu ia tidur di dalam rumahku. Pada tengah malam, tiba-tiba ia meletakkan
pedangnya dileherku, lalu ia memotong keempat jariku, maka aku tidak bisa menempa pedang
yang lain ."
Kou Chiang menjadi marah, "Jika ia jatuh ke tanganku, akan kucincang dia menjadi perkedel
daging!"
Wen Chung berkata, "Guru Hsieh, sungguhpun kau tidak bisa menempa pedang sendiri, tetapi
kau dapat memberi didikan pada para penempa pedang kita. Akhirnya, kita juga dapat membuat
banyak pedang tajam seperti pedang Wu."
Hsieh berkata, "Menteri Wen, Yueh dan Wu, keduanya menghasilkan besi yang perlu untuk
mata pisau pedang, tetapi Yueh menghasilkan tembaga dan Wu menghasilkan seng."
Feng Li berkata, "Wu Tzu-Shi menjaga pertambangan seng dan melarang pribadi manapun untuk
menambang, apakah hal itu benar?"
Hsieh menunjukkan kejutan pada mukanya, "Jadi, Anda sudah tahu."
Feng Li tersenyum, "Tidak, aku hanya berspekulasi. Sejak ia wafat, perintahnya tidak mungkin
diikuti orang lagi. Sekarang kita dapat membeli seng, jika kita membayarnya."
Kou Chiang berkata, "Tetapi sumber air yang jauh tidak bisa memadamkan kebakaran besar yang
dekat. Pada saat kita berhasil mengumpulkan semua bahan baku, melatih para penempa pedang
dan memulai produksi, sedikitnya dua atau tiga tahun akan lewat. Itupun jika tidak menghitung
kemunduran yang sudah terjadi. Jika Fu Chai meninggal sebelum semuanya siap, tidakkah itu
menjadi penyesalan yang terbesar di dalam hidup kita?"
Feng Li dan Wen Chung membungkuk dalam-dalam, "Baiklah, Yang Mulia, kita akan temukan
cara yang lain."
Koleksi Kang Zusi
Feng Li berjalan keluar dari istana, sambil berpikir "Yang Mulia tidak bisa menunggu lagi dua
atau tiga tahun lagi? Mengapa, aku juga tidak bisa menanti satu hari lagi...." Rasa nyeri
menghantam dadanya jika ia mengingat sesosok wanita cantik yang tiada bandingannya dan
dengan kecantikannya mampu mengguncangkan dunia.
Namanya Si Shi. Dia tinggal di dekat sungai Huan Sha.
Feng Li sudah menemukan wanita yang mampu menyatukan seluruh kecantikan dari negeri
Yueh di dalam diri seseorang, dan dia sendiri yang mengantarkannya ke istana Wu.
Perjalanan dari ibukota Yueh ke ibukota Wu tidaklah lama, hanya beberapa hari melalui sungai,
tetapi itu tidak cukup lama untuk cinta yang mulai tumbuh tak terkendali. Wajah putih Si Shi
dipenuhi air mata seperti mutiara dan suaranya lembut bagai arus sungai yang beriak, "Shao Bo,
berjanjilah padaku bahwa kamu akan datang dan bawalah aku pergi secepat mungkin. Aku akan
menantikanmu siang dan malam. Katakanlah bahwa kamu tidak pernah melupakan aku untuk
selama-lamanya."
Balas dendam terhadap Wu bisa menunggu, dan sejauh ini Feng Li mampu menahannya, tetapi
Yi Kwan, nama pemberiannya untuk Si Shi, sekarang berada di pelukan Raja Fu Chai. Api
cemburu dan cinta terus menggerogoti hatinya. Ia harus menemukan cara untuk membuat
pedang sebanyak mungkin, bahkan lebih tajam dari yang digunakan oleh para pendekar Wu yang
tak terkalahkan.
Ia melangkah tanpa tujuan di atas jalan itu. Delapan belas pengawal bersenjata mengikuti dia
dengan setia.
Tiba-tiba terdengar seseorang menyanyi suatu nyanyian Wu, "Pedangku tajam! Musuhku tak
punya nyali! Pedangku tajam! Musuhku tak punya kepala!"
Delapan orang laki-laki berpakaian biru, dengan saling bergandengan tangan muncul di jalanan,
tidak peduli para pejalan kaki lain yang sedang tergesa-gesa menghindar arah jalan mereka.
Mereka delapan pendekar Wu. Mereka sungguh-sungguh sangat mabuk.
Feng Li mengerutkan dahi. Ia bisa merasakan hawa kemarahannya mulai naik.
Ke delapan pendekar berhenti di depan Feng Li. Salah satu dari mereka menyipitkan sebelah
mata mabuknya dan berkata, "Kau...kau Menteri Feng?" Kemudian ia tertawa sinis.
Dua pengawal melompat di depan Feng Li dan berkata, "Jangan tidak sopan. Berilah jalan!"
Ke delapan pendekar hanya tertawa dan mengulangi kata-kata mereka, "Jangan tidak sopan.
Berilah jalan!"
Dua pengawal mencabut pedang mereka dan berteriak, "Demi kehormatan kerajaan, mereka
yang berani mengganggu Menteri Feng harus di bunuh!"
Salah satu badan pendekar Wu bergoyang-goyang miring ke kiri dan ke kanan saat ia berkata,
"Membunuhmu, atau aku?"
Pikiran Feng bekerja, "Mereka orang-orang penting dari Wu. Sungguhpun mereka tidak sopan,
kita tidak bisa berkelahi dengan mereka." Sebelum ia bisa memerintahkan pengawalnya mundur,
sinar pedang sudah berkelebat. Para pengawal menjerit, pedang mereka berjatuhan ke atas tanah.
Salah satu dari pendekar Wu terlihat mengembalikan pedang ke dalam sarungnya. Mukanya
terlihat penuh rasa bangga. Sisa pengawal Feng Li segera mencabut pedang mereka dan
mengepung ke delapan pendekar Wu.
Sang Pemimpin mengangkat kepalanya dan tertawa, "Kita toh tidak pernah punya rencana
kembali ke Wu dengan hidup-hidup. Mari kita lihat seberapa banyak tentara yang kalian
Koleksi Kang Zusi
perlukan untuk membunuh kami semua" Dengan satu teriakan, serentak delapan pedang dilolos
ke luar dari sarungnya. Ke delapan pendekar itu berdiri saling memunggungi, membentuk satu
lingkaran.
Feng Li berpikir, "Jika orang tidak mampu sedikit bersabar, orang tidak akan pernah mencapai
hal-hal yang besar." Ia berteriak: "Ke delapan orang ini utusan-utusan Kerajaan Agung. Jangan
perlakukan mereka dengan tidak sopan. Mundur!" Ia sendiri menyingkir ke pinggir jalan. Semua
pengawalnya sangat marah sampai seperti muncul api dari mata mereka, tetapi mereka tidak
berani untuk tidak mentaatinya. Dengan rasa enggan mereka juga mundur ke pinggir jalan.
Sekonyong-konyong mereka semua mendengar suara sekelompok kambing. Seorang gadis muda
berpakaian jubah hijau berwarna pucat menggembalakan sepuluh kambing di jalan. Kambingkambing
mulai mengelilingi ke delapan pendekar Wu. Salah satu pendekar merasa ditantang
berkelahi, maka pedangnya segera berkelebat dan seekor kambing terpotong menjadi dua.
Potongannya sangat rapi, bahkan sejak dari hidung kambing sampai ke ekor terpotong menjadi
dua bagian yang persis sama. Ke tujuh temannya bersorak. Bahkan Feng Li-pun tidak bisa
menyangkal ketrampilannya memainkan pedang.
Tongkat bambu si gadis muda bergerak dan menggiring sisa kambing di belakangnya. Kemudian
dia berkata, "Mengapa engkau membunuh kambingku?" Suaranya jernih dan halus, tetapi juga
mengandung kemarahan.
Si pembunuh kambing mengobat-abitkan pedangnya beberapa kali ke udara dan tertawa, "Gadis
kecil, aku akan membelahmu menjadi dua seperti kambing itu!"
Feng Li berteriak, "Nona, cepatlah kemari. Mereka sedang mabuk."
Gadis itu berkata, "Sekalipun kau mabuk, tidak ada maaf untuk tindakan kasar."
Pedang pendekar itu diobat-abitkan di atas kepala gadis itu. "Aku sudah berpikir memenggal
kepalamu, tetapi saat kulihat kau sungguh cantik, maka kuubah pikiranku." Ke tujuh temannya
tertawa-tawa lagi.
Feng Li memperhatikan gadis itu. Dia mempunyai muka bujur telur, bulu mata yang lentik dan
panjang, kulit yang putih bersih. Mukanya cantik dan badannya langsing, bahkan terlihat lemahgemulai.
Ia berteriak lagi, "Nona, ke atas sini."
Gadis itu berkata, "Tentu saja."
Pedang pendekar Wu berkelebat ke depan dan nyaris mengenai sabuk di pinggang gadis itu.
"Mengapa........" Sebelum ia bisa menyelesaikan kata-katanya, tongkat bambu gadis sudah lebih
dulu bergerak cepat dan menusuk pergelangan tangannya. Pendekar itu hanya merasakan
kesakitan mendadak di pergelangan tangannya dan segera menjatuhkan pedangnya. Tongkat
bambu dengan cepat terangkat naik, disusul satu tikaman masuk ke dalam mata kanan pendekar
itu. Pendekar itu menjerit kesakitan sambil menutupi matanya yang telah buta.
Gerakan gadis itu boleh jadi sederhana, tetapi ternyata pendekar Wu itu tidak mampu
menghalangi atau menghindari tongkat bambunya. Ke tujuh pendekar lainnya terkejut. Salah satu
dari mereka segera melolos pedangnya dan ditusukkan ke arah mata kanan gadis itu. Ketika
pedang dengan cepat menusuk ke depan, semua orang bisa mendengar suara desingan nyaring,
menandakan besarnya kekuatan yang menyertai tusukan itu.
Gadis itu sama sekali tidak menggerakkan kakinya. Tongkat bambunya bergerak lagi. Kali ini dia
menikam di bahu pendekar itu. Tikaman tersebut sangat cepat walaupun di mulai setelah
tusukan pedang. Tusukan datang sebelum tikaman pedang mengenainya. Si Pendekar menjerit
kesakitan ketika semua kekuatan tikamannya mendadak lenyap seketika. Kemudian si gadis
menggerakkan pergelangan tangannya dan tongkat bambunya menusuk mata kanan si pendekar.
Koleksi Kang Zusi
Si Pendekar menjerit seperti babi disembelih dan ke dua kepalan tangannya bergerak-gerak tanpa
tujuan.
Sekarang, si gadis membuat empat gerakan lagi dan dua pendekar Wu kembali dilumpuhkan.
Penonton hanya melihat beberapa gerakan tongkat bambunya. Sungguhpun dia bergerak sangat
cepat tetapi masih dapat dilihat dengan jelas. Tampak jika teknik yang dia gunakan, jelas
diperoleh dari beberapa gerakan ilmu pedang tingkat tinggi.
Feng gembira dan sekaligus terkejut, tetapi sekarang ia melihat gadis itu harus berhadapan dengan
enam pendekar Wu. Dengan tergopoh-gopoh ia berkata, "Para pendekar Wu. Tidak baik bagi
kehormatan Wu jika kamu berenam mengeroyok seorang anak perempuan yang hanya
mempertahankan diri. Lebih-lebih jika kemenangan diperoleh dari banyaknya jumlah...." Ia
menepukkan tangannya. Pengawal-pengawalnya melompat ke jalan dan berusaha mengepung
pendekar-pendekar Wu.
Gadis itu tersenyum, "Walaupun kalian berenam melawan satu, jumlah kalian masih belum
cukup." Tangan kirinya terangkat. Tongkat bambu di tangan kanannya bergerak lagi menusuk ke
arah mata pendekar lainnya. Dia juga menggerakkan tongkatnya dan menikam lurus ke arah dada
pendekar yang lain. Tiga pedang maju menghadangnya. Dia bergerak dengan lincah menghindari
ke tiga pedang itu, kemudian menyerang kembali. Seorang pendekar tertusuk di pergelangan
tangannya dan kehilangan pedangnya.
Pengawal Feng Li bersiap-siap melompat ke dalam pertempuran, tetapi mereka tidak mampu
menembus lingkaran pedang yang dibentuk oleh pendekar-pendekar Wu.
Gadis itu bergerak lincah di antara ke enam pendekar. Lengan baju dan sabuk panjangnya
melambai-lambai tertiup angin dengan indahnya. Kemudian terdengar satu persatu teriakan
kesakitan dari para pendekar Wu tepat bersamaan saat pedang mereka ikut berjatuhan ke tanah.
Pertempuran selesai. Setiap pendekar Wu kehilangan satu matanya. Beberapa kehilangan mata
kanannya. Beberapa kehilangan mata kirinya.
Gadis itu menarik kembali tongkat bambunya dan berkata, "Kalian sudah membunuh
kambingku. Sekarang, ganti kerugianku."
Pendekar-pendekar Wu merasa takut sekaligus marah. Beberapa bahkan meraung-raung keras.
Beberapa lainnya menggigil ketakutan. Ke delapan pendekar ini sebenarnya veteran-veteran
berbagai perang hebat. Biasanya mereka tidak akan kehilangan kendali, sekalipun seseorang
memotong kedua tangan mereka, tetapi apa yang terjadi pada mereka sungguh di luar dugaan
dan mereka tidak pernah punya pikiran bagaimana itu dapat terjadi.
Gadis itu berkata, "Jika kalian tidak mengganti kerugian kambingku, aku akan mengambil
matamu yang lain." Otomatis pendekar-pendekar Wu melompat ke belakang.
Feng Li berkata, "Nona, aku akan memberimu seratus kambing, tetapi biarkan ke delapan lakilaki
ini pergi."
Gadis itu tersenyum, "Kau seorang laki-laki yang baik. Aku tidak ingin seratus kambing. Aku
hanya ingin satu."
Feng Li berkata kepada pengawal, "Kawal para utusan Kerajaan Agung kembali ke istana. Panggil
tabib untuk mengobati luka mereka."
Ke delapan pendekar Wu pergi dengan kuyu, persis seperti ayam jantan yang keok di suatu
perkelahian.
Feng Li berjalan ke arah gadis itu dan berkata, "Nona, siapakah namamu yang terhormat?"
Gadis itu berkata, "Apa yang kamu katakan?"
Koleksi Kang Zusi
Feng Li sekali lagi bertanya, "Siapakah namamu?."
Gadis itu berkata, "Oh, namaku Ah Ching. Siapakah namamu?"
Feng Li tersenyum dan berpikir, "Jadi dia hanya satu anak perempuan desa sederhana yang tidak
tahu sopan-santun. Sekalipun begitu dia telah mempelajari ketrampilan pedang dewa. Aku hanya
harus tahu siapa gurunya, kemudian aku dapat mengundang gurunya untuk melatih para prajurit
Yueh. Wu tidak akan mampu menghadapi kita." Hatinya terasa menghangat saat ia menyadari
bahwa ia semakin dekat untuk membawa Si Shi kembali.
Kemudian ia berkata, "Aku dipanggil Feng Li. Nona, kenapa kamu tidak menginginkan makanan
di rumahku?"
Ah Ching berkata, "Tidak, karena aku harus menggembalakan kambing-kambingku."
Feng Li berkata, "Aku mempunyai halaman berumput yang luas di rumahku. Kambingmu dapat
diberi makan di sana. Aku juga akan mengganti kerugianmu dengan sepuluh kambing gemukgemuk."
Ah Ching bertepuk tangan dan tertawa, "Kau mempunyai halaman berumput yang luas? Bagus,
tetapi aku tidak ingin kambing apapun darimu. Kau tidak membunuh kambing ini." Dia berlutut
di atas tanah dan membelai-belai kambing yang mati itu. Kemudian dia berkata dengan suara
memilukan, "Si Putih Tua, orang jahat membunuhmu. Aku tidak bisa menyelamatkanmu."
Feng Li memerintahkan pengawalnya, "Jahit dan satukan badan kambing itu dan kuburkan di
dekat rumah nona ini."
Ah Ching berdiri. Mukanya dipenuhi oleh air mata, tetapi matanya kelihatan berbahagia. "Feng
Li, kau tidak membiarkan mereka memakan si Putih Tua?."
Feng Li berkata, "Tentu saja tidak. Itu si Putih Tua-mu. Tak seorangpun diijinkan untuk
memakannya."
Ah Ching mengguman, "Kau baik sekali. Aku selalu membenci orang lain yang dibiarkan
membunuh kambingku sehingga mereka dapat memakan dagingnya, tetapi ibu berkata kecuali
kita menjual kambing, kita tidak akan punya uang untuk membeli beras."
Feng Li berkata, "Sejak hari ini, aku akan meminta orang untuk mengirimkan beras kepada
ibumu dan juga pakaian yang baik. Kau tidak perlu menjual kambingmu lagi."
Ah Ching menjadi gembira dan memeluk Feng Li, "Kau laki-laki yang baik."
Feng Li memegang erat tangannya, takut kalau dia menghilang seperti beberapa dewi dalam
dongengan. Kambing-kambing mengikuti mereka kembali ke suatu gedung yang sangat besar.
Ketika Ah Ching menggiring kambing-kambingnya memasuki halaman gedung besar itu, lalu dia
berkata, "Rumahmu sangat besar! Bagaimana mungkin kamu hidup di sini sendirian?"
Feng Li tersenyum, "Ya, aku berpikir rumah ini memang terlalu besar untuk aku. Maukah kau
datang dan tinggal di sini bersama dengan ibumu? Siapakah lagi keluarga yang kau miliki?"
Ah Ching berkata, "Hanya aku dan ibuku. Aku tidak tahu jika ibuku bersedia datang. Dia selalu
mengatakan bahwa aku seharusnya tidak bertemu dengan laki-laki tak dikenal, tetapi kau seorang
laki-laki yang baik. Kau tidak akan menyakiti kami."
Feng Li mempersilahkan Ah Ching membawa kambing-kambing ke dalam kebun dan
memerintahkan para pembantunya untuk mengambil makanan-makanan yang terenak untuk Ah
Koleksi Kang Zusi
Ching. Para pembantu merasa terkejut saat melihat kambing-kambing mulai beraksi memakan
bunga-bunga mahal yang tumbuh di kebun. Mereka bahkan lebih terkejut lagi saat mereka
melihat sang majikan menyaksikan pemusnahan itu dengan senyuman bahagia.
Ah Ching menikmati kue kering dan meminum tehnya. Feng Li berbicara dengan dia dan tahu
kalau dia masih murni dari segala pernak-pernik kehidupan dunia. Akhirnya ia bertanya, "Ah
Ching, siapakah yang mengajarimu ilmu pedang?"
Mata Ah Ching yang besar dan jernih terbuka lebar, lalu ia berkata, "Ilmu pedang? Tak
seorangpun pernah mengajari aku."
Feng Li berkata, "Cara kau menggunakan tongkat bambu itu ilmu pedang. Siapakah yang
mengajarimu?."
Ah Ching menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tak seorangpun. Aku tahu bagaimana cara
bermain-main dengan tongkat bambu."
Feng Li melihat dia masih lugu untuk berdusta dan kemudian berpikir, "Apakah surga akhirnya
menurunkan suatu keajaiban?" Ia bertanya lagi, "Apakah kamu tahu cara bermain-main dengan
bambu ini sejak kamu masih kanak-kanak?"
Ah Ching berkata, "Tidak. Ketika aku berumur tigabelas, Kakek Putih datang menunggangi
kambingku. Aku tidak membiarkannya dan memukulinya dengan tongkat bambuku. Ia
membalasnya dengan tongkat bambu juga. Aku kemudian berkelahi dengan dia. Pada mulanya, ia
memukul lebih banyak dari aku bahkan aku tidak bisa memukul satu kalipun padanya. Aku
memainkannya setiap hari. Sekarang, aku mampu memukul lebih banyak dari dia dan
pukulannya tidak pernah melebihi pukulanku. Tapi sekarang dia tidak pernah datang sesering
sebelumnya."
Feng berpikir. Akhirnya ia memikirkan sesuatu dan berkata, "Di mana Kakek Putih tinggal?
Dapatkah kau mengantarkanku kepadanya?"
Ah Ching berkatakan, "Ia hidup di pegunungan. Kau tidak akan bisa menemukan dia. Biasanya ia
sendiri yang datang dan menemuiku. Aku tidak pernah mencoba untuk menemuinya."
Feng Li berkata, "Aku ingin menemuinya. Adakah suatu cara?"
Ah Ching berkata, "Hmm. Kau dapat mengikuti aku sewaktu menggembala. Kita akan
menunggunya di sisi gunung. Tapi aku tidak tahu kapan ia akan muncul." Dia berkata lirih, "Aku
belum menjumpainya beberapa waktu terakhir ini."
Feng Li berkata pada dirinya sendiri, "Ini untuk Yi Kwan dan kerajaan Yueh. Kambing kecil yang
sedang digembalakan tak akan pernah dilukai." Maka ia berkata, "Baik, Aku akan menemanimu
dan menantikan si Kakek Putih." Ia pikir, "Si Kakek Putih yang mengajari anak perempuan ini
seharusnya seorang ahli pedang. Ia semestinya menyukai kemudaan dan keluguannya, maka ia
menggunakan permainan untuk memberi pengajaran kepadanya. Jika ia dapat membuat seorang
anak perempuan muda menjadi ahli seperti itu, maka ia pasti bisa membuat para prajurit kita
mampu menghancurkan Wu.
Setelah makan, Feng Li mengikuti dia ke gunung untuk menggembalakan kambingkambingnyanya.
Para bawahannya tidak mengerti alasannya. Mereka semua bingung. Dari hari
demi hari, Feng Li pergi bersama Ah Ching untuk menggembalakan kambing dan menyanyikan
nyanyian, menanti si Kakek Putih.
Pada hari yang ke lima, Wen Chung tiba di rumah Feng Li dan melihat beberapa pejabat kerajaan
yang sedang cemas. Ia bertanya, "Aku tidak melihat Menteri Feng untuk beberapa hari ini. Raja
merasa cemas dan aku diperintahkan untuk mengunjunginya. Apakah Menteri Feng sedang
sakit?"
Koleksi Kang Zusi
Pejabat kerajaan itu berkata, "Menteri Feng sehat-sehat saja, tetapi…...tetapi…...."
“Tetapi apa…..?"
"Menteri Wen teman baik Menteri Feng. Anda dapat mengatakan sesuatu kepadanya yang kami
tidak bisa mengatakannya. Mengapa Anda tidak mencoba untuk membujuknya?"
Wen Chung kebingungan, "Bujukan? Apa yang terjadi dengan Menteri Feng?"
“Menteri Feng telah jatuh cinta dengan perempuan penggembala miskin. Tiap pagi ia pergi
bersamanya dan tidak kembali sebelum matahari terbenam. Ia tidak mengijinkan pengawal
siapapun mengikuti dia. Ia tidak ingin diganggu bahkan ketika aku mempunyai masalah-masalah
penting."
Wen Chung tertawa dan berpikir, "Saat saudara Feng tinggal di kerajaan Chuh, semua orang
memanggilnya Feng si Gila. Ia tidak berbuat sesuatu seperti orang-orang lain."
Pada waktu itu, Feng Li sedang duduk-duduk di suatu padang rumput di sisi gunung dan
menceritakan pada Ah Ching cerita tentang dewi Hsiang Fei. Ah Ching yang sedang duduk dekat
sisinya dan mendengarkan dia dengan baik, matanya yang indah dan besarnya tidak pernah
meninggalkan mukanya. Tiba-tiba dia berkata "Benarkan Hsiang Fei sungguh-sungguh cantik?"
Feng Li berkata, "Matanya bening dan berkilauan laksana aliran air di pegunungan ..."
Ah Ching berkata, "Apakah dia punya ikan di matanya?"
Feng Li melanjutkan, "Kulitnya seperti awan, tetapi lebih putih."
Ah Ching berkata, "Adakah burung-burung yang terbang di antara awan-awan itu ?"
Feng Li melanjutkan secara tidak sadar, "Bibirnya lebih lembut dibandingkan untaian bunga dan
berwarna kemerah-merahan. Bibirnya basah, lebih basah dibandingkan embun yang menempel di
atas bunga ini. Saat Hsiang Fei berdiri di pinggir sungai, kecantikannya memantul di seluruh
tepian sungai membuat bunga-bunga menjadi malu. Bahkan ikan-ikanpun takut berenang di air
karena pantulan kecantikannya. Ketika tangan putihnya masuk ke sungai, tangan itu terlihat
sangat lembut bahkan hampir meleleh di dalam air..."
Ah Ching berkata, "Kau sudah melihatnya, benarkah? Jika tidak bagaimana kau dapat
menggambarkannya dengan begitu jelas?"
Feng Li berkata, "Aku sudah melihatnya. Aku sudah melihatnya dengan sangat…… sangat jelas."
Tentu saja, ia mengacu pada Si Shi, bukan dewi Hsiang Fei.
Ia melihat ke arah utara. Pandangan matanya menerawang ke luar di kejauhan, mengarungi
sungai-sungai dan bukit-bukit. “Apakah si cantik sedang berada di istana raja Wu. Apakah dia
bersama Raja Fu Chai? Apakah dia masih mengingatku?”
Ah Ching berkata, "Feng Li! Jenggotmu aneh, bolehkah aku menyentuhnya?"
Feng Li melamun, "Apakah dia sedang sedih, atau gembira?"
Ah Ching berkata, "Feng Li, kau mempunyai dua gumpal jenggot putih, seperti kambingku saja."
Feng Li masih melamun, "Saat kita berpisah, dia menangis di atas bahuku. Airmatanya
membasahi separuh jubahku. Aku tidak pernah ingin mencuci jubah itu. Airmataku bercampur
air matanya di atas jubah itu ."
Koleksi Kang Zusi
Ah Ching berkata, "Feng Li. Bolehkah aku mencabut salah satu jenggotmu? Aku akan
mencabutnya dengan lemah-lembut. Kau tidak akan merasakan apapun juga."
Feng Li tetap melamun, "Dia berkata dia suka naik perahu dan mengarungi sungai dengan
pelahan-lahan. Setelah aku membawanya kembali, aku tidak akan menjabat menteri lagi. Aku
akan naik perahu bersamanya, mengarungi danau-danau dan sungai-sungai, menghabiskan sisa
hidupku."
Tiba-tiba, ia merasakan sakit yang hebat di atas dagunya. Ah Ching mencabut segumpal
jenggotnya. Dia tertawa dengan manisnya. Tiba-tiba tertawanya terputus dan dia berkata, "Kau di
sini lagi!"
Suatu bayang-bayang hijau berkelebat saat Ah Ching melesat ke depan. Suatu bayang-bayang
hijau dan bayang-bayang putih bergerak dengan cepat berkutat satu sama lain.
Feng Li berteriak dengan gembira, "Si Kakek Putih di sini!" Cukup membutuhkan waktu
sebentar saja saat kedua petarung itu bergerak lambat agar dia dapat mempunyai pandangan yang
jelas. Ternyata ia mendapat kejutan besar.
Sesuatu yang sedang berkelahi dengan Ah Ching bukan manusia. Ia seekor kera putih.
Si Kera Putih, juga memegang tongkat bambu. Si Kera Putih mengeluarkan jurus-jurus pedang
yang canggih. Bunyi berdesing dari tongkat menunjukkan betapa besarnya kekuatan yang
menyertai setiap jurusnya. Tetapi setiap kali ia menyerang, Ah Ching selalu mampu menghadang
atau membalas setiap serangan dengan jurus-jurus yang lebih canggih lagi .
Sewaktu Ah Ching berkelahi dengan para pendekar Wu, jurus-jurus yang dia gunakan hanya
sedikit.. Tapi sekarang ini Feng Li menyaksikan ketrampilan Ah Ching sebenarnya. Feng Li
bukan ahli pedang, tetapi ia telah menyaksikan para pendekar Yueh berlatih pedang selama
bertahun-tahun. Sekarang, ia menyadari bahwa pendekar Yueh yang terbaikpun tidak lebih baik
dari kanak-kanak yang sedang bermain jika dibandingkan Ah Ching dan si Kakek.
Serangan-serangan kera putih semakin cepat dan semakin cepat. Ah Ching mulai memperlambat
gerakannya, dan akhirnya berdiri tenang, tetapi setiap kali ia menusuk dengan tongkat bambunya,
si kera putih terpaksa melompat ke belakang.
Ah Ching memaksa si Kera Putih mundur tiga langkah, kemudian ia menggerakkan tongkatnya
dan diam tidak bergerak. Si Kera Putih memegang tongkat dengan ke dua tangannya lalu
melompat untuk menyerang. Feng Li melihat kedahsyatan serangan itu dan menjerit keras,
"Awas!" Tongkat Ah Ching bergerak terlalu cepat untuk dilihat. Dua bunyi keras terdengar, dan
tongkat bambu si Kera Putih jatuh ke tanah. Si Kera Putih memekik keras dan melompat ke
pohon di dekatnya, kemudian pergi menghilang. Pekikan itu keras sekali, dan semakin lama
semakin mengecil saat si Kera Putih semakin menjauh. Bahkan pekikan itu masih bergema lama
sekali walaupun Si Kera Putih sudah tak terlihat lagi.
Ah Ching membalikkan badan dan berkata lirih, “Kakek patah kedua lengannya. Sekarang ia tidak
akan datang bermain-main denganku lagi."
Feng Li berkata, "Kau mematahkan lengannya?"
Ah Ching mengangguk, "Kakek sangat marah hari ini. Sudah tiga kali ia mencoba untuk
melompat dan membunuhmu."
Feng Li berkata dengan terkejut, "Membunuhku? Mengapa?"
Ah Ching mengeleng-gelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu."
Feng Li diam-diam menjadi takut, "Jika Ah Ching tidak menghentikannya, kera putih itu dapat
Koleksi Kang Zusi
dengan mudah membunuhku, segampang meniup segundukan abu!"
Pagi berikutnya, Ah Ching berhadapan dengan duapuluh pendekar Yueh yang terbaik sendirian.
Feng Li tahu kalau Ah Ching tidak bisa memberi pengajaran kepada orang lain bagaimana cara
menggunakan pedang seperti cara yang dia lakukan, sehingga satu-satunya cara adalah agar
pendekar Yueh menirunya. Masalah tidak ada satupun pendekar Yueh yang mampu bertahan
lebih dari tiga kali serangannya. Pada saat tongkat bambu Ah Ching bergerak, lawan manapun
akan kehilangan pedangnya, atau mendapat tikaman di berbagai tempat yang penting di badan.
Hari berikut, dia mengalahkan tigapuluh pendekar. Hari yang ketiga, lebih dari tiga puluh kalah.
Pada hari yang ke empat, Feng Li ingin meminta kepada Ah Ching pelajaran lainnya, tapi ia tidak
bisa menemukannya. Ia pergi ke rumahnya, tetapi rumah sudah kosong. Feng Li mengirim
beratus-ratus para pembantu dan pengawalnya ke atas pegunungan untuk mencarinya, tetapi tak
seorangpun bisa menemukan jejaknya.
Ke delapanpuluh pendekar Yueh memang tidak belajar ilmu pedang sesungguhnya dari Ah
Ching, tetapi mereka sudah melihat sebagian kecil dari ilmu pedang yang diperlukan. Semua
pendekar sekarang tahu bagaimana ilmu bermain pedang yang sebenarnya. Ke delapanpuluh
pendekar sekarang mencoba untuk mengajari sedikit bagian kecil yang mereka bisa pahami
kepada teman-teman mereka. Walaupun ini hanya sedikit dari yang sedikit tetapi sudah cukup.
Pendekar-pendekar Yueh menjadi tak terkalahkan.
Raja Kou Chiang segera memerintahkan Hsieh Chu untuk menempa beribu-ribu pedang tajam.
Tiga tahun kemudian, Kou Chiang menyerang Wu. Angkatan perang Yueh dan Wu bertempur
di dekat suatu danau. Lima ribu pendekar-pendekar Yueh berbaris maju. Pendekar-pendekar Wu
memapakinya. Pedang Yueh berkelebat dan angkatan perang Wu hancur berantakan.
Raja Fu Chai mundur ke Gunung Yu Hong. Tentara Yueh terus mengejarnya. Pertempuran
kedua terjadi. Sekali lagi tentara Wu berhasil dikalahkan. Fu Chai akhirnya bunuh diri untuk
menghindari pembalasan dendam yang kejam dari Kou Chiang yang sudah disiapkan untuknya.
Yueh menguasai ibukota Wu.
Feng Li memimpin sekitar seribu pendekar dan terus menyerbu istana kediaman Raja Fu Chai.
Itulah tempat di mana Si Shi bertempat tinggal. Ia lari masuk ke istana dan berteriak: "Yi Kwan!
Yi Kwan!"
Ia berlari cepat di sepanjang lorong, langkah kakinya terdengar dengan jelas. Lorong tersebut
memiliki lubang-lubang di bawahnya. Si Shi berjalan dengan ringan, irama langkah-langkahnya
jauh lebih memikat dibanding musik manapun. Fu Chai-lah yang membangun istana ini. Lorong
ini memang dibuat dengan maksud agar irama langkah-langkah kaki Si Shi terdengar.
Di ujung lorong, terdengar suara musik, seperti bunyi mandolin yang riang gembira, seperti bunyi
yang jernih suatu harpa. Satu suara lembut berkata, "Shao Bo, apakah itu benar-benar kamu?"
Feng Li merasakan aliran darahnya naik dari dada dan berteriak, "Ini aku! Ini aku! Aku datang
untukmu." Suaranya tampak seperti suara orang asing, yang muncul dari kejauhan. Ia berlari maju
dengan langkah-langkah tak teratur.
Suara musik terdengar menuruni tangga, dan tubuh yang lembut masuk ke dalam pelukannya.
Malam-malam di musim semi meleleh hangat. Keharuman bunga mengalir memasuki kamarkamar
istana. Feng Li dan Si Shi sudah lama berbicara tentang keinginan mereka berdua.
Tiba-tiba terdengar suara embikan kambing menembus kesadaran mereka.
Feng Li berkata, "Apakah kau tidak bisa melupakan tanah tumpah darahmu? Apakah kau punya
kambing di sini?"
Koleksi Kang Zusi
Si Shi menggelengkan kepalanya. Dia heran tentang kambing-kambing itu, tetapi dia tidak
berpikir yang aneh-aneh di depan laki-laki yang ia cintai. Dia memegang tangan Feng Li, dan
merasakan aliran darah mengalir cepat di jalan darah mereka.
Tiba-tiba, terdengar suara seorang perempuan berbunyi, "Feng Li! Bawalah keluar Si Shi-mu. Aku
akan membunuhnya!"
Feng Li berdiri. Si Shi merasa telapak tangan Feng Li tiba-tiba menjadi dingin. Feng Li mengenali
suara Ah Ching, suaranya datang dari luar istana.
Feng Li bingung dan takut, "Kenapa dia ingin membunuh Yi Kwan? Yi Kwan belum pernah
punya kesalahan padanya." Kemudian ia paham, "Dia bukan seorang anak perempuan desa yang
lugu. Dia menyukaiku." Pemahaman itu membuat dia menjadi lebih takut.
Ia telah mampu melalui banyak, banyak sekali keputusan yang sulit dalam berbagai situasi yang
berbahaya. Ketakutan yang pernah dia rasakan sewaktu ia terkepung bersama Kou Chiang di Wu,
tidak jauh dari apa yang ia bisa rasakan sekarang.
Si Shi merasa telapak tangan Feng Li gemetaran dan dipenuhi keringat dingin.Feng Li tidak takut
kematiannya sendiri. Ketakutannya hanya untuk Si Shi.Feng Li berhasil mengendalikan diri kembali dan
berkata, "Aku akan mencari orang ini." Ia melepaskan tangan Si Shi dan berjalan keluar istana.
Delapan belas pendekar mengikutinya. Mereka semua mendengar tangisan Ah Ching. Mereka
semua kebingungan dan penuh rasa ingin tahu. Feng Li hanya melihat sinar bulan yang terang di
luar, tetapi tak seorangpun terlihat.
Ia berteriak dengan nyaring, "Nona Ah Ching, silahkan masuk. Kita punya banyak hal untuk
dibicarakan." Tetapi ia tidak mendengar jawaban apapun. Ia menunggu dan menunggu, tetapi Ah
Ching tidak datang. Lalu ia memerintahkan seribu tentara bersenjata lengkap dan seribu pendekar
pilihan untuk menjaga istana.
Ia balik ke Si Shi dan memegang tangannya. Ia tidak berkata apapun. Dia memikirkan suatu
rencana yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya., "Apakah aku perlu membiarkan salah satu
pelayan wanita menyamar Si Shi dan membiarkan Ah Ching membunuhnya? Perlukah aku
membunuh diri di depan Ah Ching agar dia membiarkan Si Shi hidup? Perlukah aku
memerintahkan dua ribu pemanah mengepung tempat ini dan memanah Ah Ching jika dia
mencoba memaksa masuk?"
Tiap-tiap rencana pasti punya kelemahan. Ia tidak ingin membunuh Ah Ching, yang telah
memungkinkan penghancuran Wu. Ia menoleh ke arah Shi Si, dan tiba-tiba ia merasakan
kehangatan di dalam hatinya, "Baiklah jika kita harus mati dengan cara ini. Kita masih punya
sedikit waktu berduaan sebelum akhirnya kita mati bersama."
Jam demi jam telah lewat. Si Shi merasa bahwa tangan Feng menjadi lebih hangat. Ketakutan
Feng mulai hilang dan ia mulai tersenyum. Matahari terbit mulai menyinarkan cahayanya melalui jendela.
Tiba-tiba bunyi pertempuran datang dari luar pintu istana. Disusul bunyi kerontangan senjata
yang berjatuhan di tanah. Bunyi itu semakin dekat dan semakin dekat, seperti ular raksasa yang
menyelinap memasuki istana. Kemudian bunyi senjata yang berjatuhan datang dari lorong di
dekat ruangan di mana mereka berada. Dua ribu prajurit ternyata tidak cukup untuk
menghentikan Ah Ching.
Suara Ah Ching terdengar, "Feng Li, di manakah kau?"
Feng Li berkata dengan tenang, "Ah Ching, aku di sini."
Sebelum Feng Li sempat menyelesaikan kata "di sini", tirai mendadak terpotong dan suatu
Koleksi Kang Zusi
bayang-bayang hijau datang melesat ke dalam. Ah Ching, berpakaian hijau seperti biasanya,
berdiri di hadapan mereka. Dia menodongkan tongkat bambunya ke arah Si Shi. Wajahnya persis
berada di depan wajah Shi Si. Hawa pembunuhan yang mengamuk di wajahnya pelan-pelan
menghilang, di ganti rasa kecewa dan hilangnya rasa percaya diri, lalu berubah menjadi keheranan,
rasa hormat dan akhirnya pujian. Dia berbisik, "Lihat... lihat kecantikan yang sesungguhnya di
kolong langit! Feng Li, dia bahkan lebih...lebih cantik dibandingkan yang kau ceritakan."
Pinggangnya yang langsing berputar, lalu dengan menangis Ah Ching melesat melalui jendela.
Suara tangisannya terdengar menjauh dan menjauh sampai hanya gemanya yang tertinggal.
Para pengawal yang selamat berlari memasuki ruangan itu. Salah satu dari mereka membungkuk,
"Menteri, apakah Anda baik-baik saja?" Feng Li membubarkan mereka dengan melambaikan
tangannya. Kemudian ia memegang tangan Si Shi dan berkata, "Mari kita berganti pakaian biasa.
Kita akan pergi berperahu mengarungi Danau Tai dan tidak akan pernah kembali ke tempat ini."
Kebahagiaan bersinar dari mata Si Shi. Tiba-tiba ia terjatuh dan kedua tangannya menempel di
depan jantungnya. Tongkat bambu Ah Ching memang tidak menyentuhnya, tetapi tenaga dalam
dari tongkat telah masuk ke tubuhnya dan membuat luka dalam yang serius.
Dua ribu tahun berikutnya, semua orang tahu kalau gambar paling indah di dunia adalah saat Si
Shi meletakkan tangan di depan dadanya.
PENUTUP:
Di manakah mereka sekarang?
Raja Kou Chiang akhirnya berhasil membalas dendam, tetapi sesuatu telah terjadi kepadanya.
Selama bertahun-tahun satu-satunya emosi yang bisa ia rasakan adalah kebencian. Feng Li telah
merasakan hal itu. Ia mundur dari jabatannya dan menasihati sahabatnya Wen Chung untuk
mundur bersama-sama dengan dia. Ia berkata, "Kou Chiang adalah seseorang di mana kamu dapat
tergantung pada masa-masa kesusahan, tetapi mustahil untuk berbagi masa-masa yang
menyenangkan dengan dia." Wen Chung tidak percaya dengan sahabatnya, ia percaya bahwa ia
bisa menikmati hadiah yang layak diterimanya.
Feng Li menghilang dari sejarah. Beberapa cerita mengatakan ia menjadi pertapa. Beberapa cerita
mengatakan ia menjadi seorang pedagang yang memiliki kekayaan berlimpah. Si Shi menjadi
Helena7 versi Cina. Kecantikan yang membinasakan suatu kerajaan besar. Beberapa cerita
mengatakan Si Shi pergi dengan Feng Li dan mereka berdua hidup bahagia. Cerita lainnya
mengatakan Si Shi meninggal ketika isteri Kou Chiang takut kehilangan suaminya, lalu ia
mengikatkan batu karang ke punggung Si Shi dan menenggelamkannya ke dalam danau, sambil
berteriak, "Sekarang, kau tidak akan pernah menjadi tua." Anda dapat saja mengakhiri cerita
sesuka hati Anda.
Kou Chiang akhirnya tepat seperti ramalan Feng Li, tidak kenal ampun dan kejam. Wen Chung
terpaksa bunuh diri ketika ia didakwa bersalah karena berkhianat. Nasib yang ia rencanakan pada
Wu Tzu-shi akhirnya seperti nasibnya sendiri. Kou Chiang menjadi sombong. Ia memulai perang
dengan negara besar di utara Negeri China. Peperangan tidak membawa kemenangan yang
menentukan. Kemudian ia meninggal. Setelah kematiannya, kerajaannya ikut runtuh. Dengan
cepat Chuh mengambil wilayah Wu dan Yueh. Orang-orang Yueh melarikan diri ke selatan.
Berabad-abad kemudian, mereka dipaksa lebih jauh ke selatan oleh kekaisaran-kekaisaran Cina
berikutnya sampai akhirnya mereka memasuki daerah yang masa kini disebut Vietnam8. Mereka
masih ada di sana.
Baru-baru ini, suatu penggalian arkeologis di Hunan menemukan dua pedang perunggu. Salah
satunya diduga pedang Fu Chai. Yang lain dihubungkan dengan pedang yang pernah dimiliki
oleh Kou Chiang. Legenda-legenda tentang kesaktian pedang memang mempunyai beberapa fakta
kebenaran. Jadi jika seseorang mengetahui lebih banyak tentang penemuan arkeologis, silahkan
kirim e-mail kepadaku. Pedang Pengail Ikan dan Penumpas Kejahatan memang dikuburkan
Koleksi Kang Zusi
bersama Raja Ho Lu, Ayah Fu Chai. Penduduk setempat bersumpah bahwa mereka pada waktuwaktu
tertentu melihat harimau putih berdiri di atas makam Ho Lu. Harimau putih adalah
7 Helena dari Troya (Helen of Troy), terkenal sangat cantik dan menyebabkan perang besar antara Troya dengan Yunani. Sesudah
perang bertahun-tahun, akhirnya Troya kalah sesudah tertipu dengan taktik “Kuda Troya”. Cerita tentang Helena, Kuda Troya dan
pertempuran antara Troya dengan Yunani ada pada buku “Iliad” karangan Homer. Jika tertarik, Anda dapat menonton film “Troy”
yang salah satu bintangnya Brad Pitt. Ada juga film lain “Helen of Troy” yang pernah diputar oleh TV Indosiar.
8 Nama Vietnam berasal dari kata Nam Viet (Cina: Nan Yueh), atau “Viet Selatan (Southern Viet)”, kerajaan yang didirikan Zhao
Tuo (Vietnam: Trieu Da), jenderal kerajaan Qin yang berkuasa di selatan dan melepaskan diri dari pusat sewaktu kerajaan Qin
runtuh tahun 223 SM setelah kaisar Qin Shih Huangdi wafat. Vietnam juga dikenal dengan nama An Nam. (Annam). Sebagian
nenek-moyang orang Vietnam adalah Etnis Viet (China: Yue atau Yueh) yang beremigrasi dari pesisir selatan China pada abadabad
V sebelum Masehi. Vietnam dikuasai China mulai Dinasti Han tahun 111 SM dan disebut kerajaan Funan sampai
keruntuhan Dinasti Tang (939 M), seluruhnya hampir seribu tahun.
lambang logam, sehingga penduduk setempat percaya kalau harimau merupakan penjelmaan
pedang sakti yang terpendam di bawahnya. Percayalah atau tidak.
Tentang si Gadis Yueh, dia tidak pernah ada dalam kisah sejarah nyata. Dia hanya hidup dalam
dunia dongeng dan dongeng tentang dia akan selalu diceritakan. Dia telah melakukan banyak
perbuatan-perbuatan yang besar, perbuatan-perbuatan yang tak dikenal sampai generasi-generasi
mendatang dan sampai para pendongeng siap untuk mendongengkannya .
Tamat
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:

Postingan Cersil Terbaru