Jumat, 09 Juni 2017

Cerita Silat Mandarin Mutiara Hitam 5

Cerita Silat Mandarin Mutiara Hitam 5 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Mandarin Mutiara Hitam 5
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Mandarin Mutiara Hitam 5
Betapa pun juga, karena dasar ilmu silatnya memang lebih tinggi, tenaga sinkang-nya lebih kuat dan
ditambah pedangnya adalah benda pusaka yang ampuh, tidak sampai empat puluh jurus kemudian, empat
orang pengemis itu sudah roboh terluka semua. Akan tetapi Pangeran itu bukanlah seorang kejam. Hal ini
terbukti bahwa empat orang pengemis itu hanya terluka goresan pedang di pundak, lengan atau paha saja.
Tentu saja kalau ia mau, luka di pundak bisa menjadi pemenggalan leher, luka di lengan bisa menjadi
tusukan di dada, dan luka di paha bisa menjadi babatan di pinggang.
Sambil melintangkan pedang di depan dadanya, Pangeran yang perkasa itu membentak. “Sekarang
mengakulah, siapa pimpinan kalian yang menyuruh kalian mencoba untuk menangkap aku?”
“Kami tidak berani mengaku!” kata seorang di antara mereka dan seterusnya mereka membungkam tidak
berani bicara lagi hanya mengeluh karena kesakitan.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu dari tempat gelap muncullah sesosok bayangan.
Ketika Talibu memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar bertubuh
ramping padat, rambutnya panjang dan ketawanya seperti wanita, bahkan kemudian orang itu lalu
menyanyi-nyanyi dengan suara kecil merdu! Orang ini bukan lain adalah Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi Talibu
tidak mengenal orang aneh ini, maka ia lalu bertanya dengan hormat karena munculnya orang aneh ini
menimbulkan dugaan bahwa dia tentu bukan orang sembarangan.
“Maaf, siapakah Tuan dan mengapa datang ke tempat ini menjumpai saya?”
“Ha-ha-hi-hi-hik! Pemuda tampan, Pangeran Mahkota Khitan. Aku disebut Bu-tek Siu-lam dan Pangeran
menjadi tamu agung. Harap saja kau suka ikut bersamaku. Maafkan sikap jembel-jembel yang tidak sopan
ini, dan saya persilakan Pangeran menjadi tamu kami secara terhormat.”
Talibu biar pun belum banyak pengalaman, namun dapat mengenal orang pandai. Menurut ibunya, orangorang
sakti amat banyak di dunia kang-ouw dan sikap mereka memang aneh-aneh. Orang ini sukar
ditaksir, laki-laki atau wanita. Pakaiannya aneh dan jelas adalah pakaian pria, namun lagaknya amat genit,
bicaranya seperti wanita dan suara serta ketawanya jelas suara wanita! Maka ia lalu menjura dengan
hormat dan menjawab.
“Saya memang Pangeran Mahkota Khitan, akan tetapi pada saat ini saya sedang merantau sebagai orang
biasa. Saya tidak mempunyai hubungan dengan Tuan, maka harap Tuan jangan mengganggu dan
maafkan penolakanku.”
“Hi-hik! Kalau para pembesar yang mengundang boleh saja Paduka menolak, akan tetapi Bu-tek Siu-Lam
adalah seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, dan dalam hal ini undangan bukan hanya datang dari saya
pribadi, melainkan juga dari Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Kami perlu memperundingkan
sesuatu yang amat penting dengan Paduka. Apakah Paduka tidak memandang mata kepada kami?”
Talibu seorang pemuda cerdik. Mendengar bahwa orang aneh ini sekutu pimpinan bangsa Hsi-hsia, ia
terkejut sekali. Dan pada saat itu ia pun sudah melihat munculnya puluhan orang di sekitar tempat itu,
sebagian besar hwesio-hwesio berjubah merah. Teringatlah ia akan cerita tentang penumpasan Bengkauw
dan ia maklum bahwa melawan pun akan sia-sia belaka. Maka ia lalu menjawab.
“Undangan resmi dari bangsa Hsi-hsia untuk Pangeran Mahkota bangsa Khitan tentu saja tak dapat saya
tolak. Saya pun tidak percaya bahwa bangsa Hsi-hsia yang gagah akan menyalah-gunakan undangan ini.
Marilah, Tuan, saya menerima undangan terhormat itu.”
Kembali Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh, kemudian dengan lagak genit ia mempersilakan Pangeran itu
berjalan di sampingnya. Pergilah mereka ke barat dan mendaki sebuah bukit. Menjelang pagi barulah
mereka tiba di puncak bukit dan ternyata di situ terdapat bangunan-bangunan darurat dari bambu yang
dijadikan tempat persembunyian Bouw Lek Couwsu dan anak buahnya.
Pangeran Talibu disambut dengan penuh kehormatan oleh Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya.
Hwesio tinggi besar berkaki buntung ini menjura penuh hormat sambil menyambut di depan pintu. “Selamat
datang, Pangeran Mahkota Talibu dari Khitan! Kunjungan Paduka Pangeran ini merupakan sebuah
dunia-kangouw.blogspot.com
kehormatan besar sekali dan membuktikan bahwa bangsa Khitan adalah bangsa yang besar dan
mempunyai keinginan baik terhadap bangsa Hsi-hsia. Juga membuktikan kesetiaan orang gagah Bu-tek
Siu-lam terhadap kami, ha-ha-ha!”
Pangeran Talibu balas memberi hormat dan berkata, suaranya tenang dan sikapnya agung. “Sudah lama
kami mendengar akan bangkitnya bangsa Hsi-hsia yang dimulai dari Tibet dan kami merasa kagum bahwa
bangsa yang kecil itu dapat bangkit menjadi bangsa yang kuat. Akan tetapi saya tidak melihat hubungan
sesuatu yang dapat menjadi alasan bagi Lo-suhu untuk mengundang saya menjadi tamu pimpinan bangsa
Hsi-hsia.”
Sebagai putera kandung seorang panglima besar, tentu saja Pangeran Talibu ini pandai pula dalam hal
siasat dan diplomasi. Di dalam kata-katanya ia memuji-muji bangsa Hsi-hsia, akan tetapi di lain pihak ia
pun membanting dan menganggap bangsa Hsi-hsia sebuah bangsa yang kecil dan tidak ada hubungannya
dengan Khitan yang besar!
“Ha-ha-ha! Pangeran Talibu dari Khitan benar tinggi hati! Justru pertemuan antara kita inilah yang menjadi
jembatan penyambung hubungan itu. Pangeran Talibu, silakan duduk dan mari kita berunding seperti dua
pihak pimpinan bangsa yang besar dan yang memiliki kepentingan bersama.”
Talibu mengikuti Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam memasuki ruangan besar dan duduk menghadapi
meja yang bulat telur dan panjang. Pelayan-pelayan wanita muda dan cantik segera datang membawa
arak hangat dan hidangan. Para pelayan ini amat menghormati Bouw Lek Couwsu dan keadaan di situ
tiada ubahnya dengan ruangan istana raja.
Diam-diam Talibu merasa heran mengapa pendeta ini bermata demikian genit penuh nafsu dan mengapa
pula seorang pendeta, biar pun dia pemimpin suku bangsa Hsi-hsia, mempunyai pelayan-pelayan wanita
yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi sebagai seorang tamu yang tahu akan tata susila dan
peraturan istana, ia diam saja, melirik pun tidak untuk menyembunyikan perasaan herannya. Namun diamdiam
ia merasa bahwa ia berada di dalam keadaan bahaya, maka ia bersikap hati-hati.
Setelah mereka makan minum ditemani Bu-tek Siu-lam yang menjadi makin genit sikapnya terhadap
dirinya, Talibu tak sabar lagi lalu bertanya, “Lo-suhu, kalau saya tidak keliru menduga, Lo-suhu ini tentulah
Bouw Lek Couwsu, pimpinan para hwesio Tibet yang menggerakkan orang-orang Hsi-hsia, yang terkenal
sampai ke Khitan.”
“Pandang mata Pangeran Talibu amat tajam dan dugaan itu tepat sekali. Pinceng adalah Bouw Lek
Couwsu yang merasa tidak tega menyaksikan kemiskinan bangsa Hsi-hsia, maka sengaja memimpin
mereka untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka.”
Pangeran Talibu mengangguk-angguk. “Setelah saya memenuhi undangan Lo-suhu yang disampaikan
oleh Bu-tek Siu-lam ini, harap Lo-suhu suka memberi penjelasan, apakah yang akan Lo-suhu bicarakan
dengan saya.”
“Ha-ha-ha! Pangeran Mahkota Khitan sungguh gagah dan bicara seperti laki-laki.” Pendeta ini memberi
isyarat dan semua pelayan lalu mengundurkan diri, meninggalkan mereka bertiga di dalam ruangan itu.
Setelah mengisi cawan arak tamunya dan mempersilakan minum, Bouw Lek Couwsu berkata, “Pangeran
Talibu, memang tepat. Urusan harus diutamakan, kesenangan baru nanti menyusul kita rayakan. Terus
terang saja, kami mengundang Paduka Pangeran dengan maksud untuk mengikat tali persahabatan dan
membicarakan urusan antara bangsa kita dalam menghadapi Kerajaan Sung.”
Talibu cukup cerdik. Segera ia dapat menduga sedalamnya apa yang terkandung di hati pendeta dengan
senyum yang memikat dan pandang matanya yang tajam itu. Ia sudah mendengar akan serbuan Hsi-hsia
ke Beng-kauw, sudah mendengar pula bahwa sejak lama bangsa Hsi-hsia mulai dengan gangguangangguan
di tapal batas sebelah barat Kerajaan Sung. Jelas bahwa bangsa ini tidak mempunyai maksud
baik terhadap Sung dan sekarang pendeta ini bicara tentang persahabatan. Tentu saja tidak bisa lain dari
pada maksud mengulurkan tangan, mengajak bersekutu dengan bangsa Khitan untuk memusuhi Sung!
Padahal pada waktu itu Kerajaan Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung. Betapa pun bangsanya
banyak yang tidak suka kepada Kerajaan Sung, namun ibunya sebagai Ratu Khitan selalu mencegah
bangsanya bermusuhan dengan Kerajaan Sung. Ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat menerima
persekutuan dengan Hsi-hsia, apa lagi atas nama bangsanya. Namun sebaliknya, biar pun ia dianggap
dunia-kangouw.blogspot.com
tamu agung, namun ia telah berada di sarang Hsi-hsia, sehingga penolakannya akan membahayakan
keselamatannya.
“Membicarakan urusan kepentingan bangsa bukanlah soal remeh, Couwsu. Sungguh pun saya Putera
Mahkota Khitan, namun saya tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan urusan pemerintahan. Apa
lagi pada saat ini saya hanya sebagai seorang pelancong, bagaimana saya dapat merundingkan urusan
besar ini? Setidaknya haruslah seorang utusan khusus dari Sang Ratu di Khitan.”
“Hi-hi-hik! Pangeran Mahkota Khitan yang tampan gagah kenapa seperti seorang gadis pemalu saja?
Kenapa harus bersembunyi di bawah jubah Sang Ratu? Mengecewakan betul!” kata Bu-tek Siu-lam sambil
terkekeh.
Talibu bangkit berdiri, jari tangan kanan meraba gagang pedang, sikapnya menantang. “Apakah ini sebuah
penghinaan?”
Bu-tek Siu-lam terkekeh makin geli dan Bouw Lek Couwsu segera bangkit lalu melerai. “Ah, Paduka
Pangeran mengapa belum dapat mengenal watak Bu-tek Siu-lam? Sahabatku ini sama sekali tidak
menghina, akan tetapi suka bicara secara terus terang dan sejujurnya. Apa yang dikatakan memang
tidaklah terlalu salah. Paduka adalah seorang Pangeran Mahkota, demi untuk kebaikan bangsa tentu saja
berhak mengambil keputusan. Secara kebetulan kita bertemu di Lok-yang, bukankah ini sudah menjadi
kehendak Thian bahwa di antara kedua bangsa kita memang sudah ditakdirkan menjadi sekutu?”
Pangeran Talibu duduk kembali dan menarik napas panjang. “Hemm, sebagai seorang Pangeran Mahkota
yang mencinta bangsanya, tentu saja saya selalu siap bicara tentang kebaikan bangsaku. Bouw Lek
Couwsu, bicaralah agar dapat kupertimbangkan apakah aku berhak memutuskan atau tidak.”
Bouw Lek Couwsu tertawa lega dan tidak mempedulikan Bu-tek Siu-lam yang tertawa ha-ha-hi-hi. “Bagus,
memang inilah sikap yang pinceng harapkan dari Paduka sebagai Pangeran Mahkota calon raja besar
bangsa Khitan. Bangsa Hsi-hsia dan bangsa Khitan adalah dua bangsa yang besar gagah perkasa,
mempunyai kepentingan yang sama dan musuh yang sama pula, yaitu Kerajaan Sung yang selalu
menganggap kami sebagai bangsa biadab. Kami bangsa biadab? Huh, bangsa Han yang lemah itu harus
dihajar. Kerajaan Sung harus dirampas dan kami bangsa Hsi-hsia ingin membagi keuntungannya dengan
bangsa Khitan. Dalam keadaan bangsa Sung lemah sekarang ini, kalau Khitan bergerak dari utara dan Hsihsia
menyerbu dari barat, menaklukkan Sung sama mudahnya dengan membalik telapak tangan saja.
Kami mengulurkan tangan kepada bangsa Khitan untuk bekerja sama dan menjadi bangsa besar bersama
yang memiliki wilayah kekuasaan sampai ke tepi laut timur dan selatan!”
“Agaknya Couwsu lupa bahwa biar pun Kaisarnya lemah, Sung masih mempunyai banyak panglima yang
pandai dan pasukan-pasukan yang kuat.”
“Ha-ha-ha! Hal ini sudah pinceng selidiki, akan tetapi jangan Paduka khawatir. Pinceng telah mempunyai
hubungan dengan banyak pejabat dan panglima di kota raja Kerajaan Sung. Mereka akan mengadakan
pergerakan dari dalam dan membantu kita pada saat kita bergerak menyerbu. Juga banyak sekali orang
gagah di dunia kang-ouw yang menjadi anak buah Bu-tek Ngo-sian siap membantu kita.”
“Bu-tek Ngo-sian? Siapakah mereka?” Pangeran Talibu banyak mendengar dari ibunya tentang orangorang
sakti di dunia kang-ouw, bahkan pernah mendengar dari ibunya tentang Thian-te Liok-koai yang
sudah dihancurkan oleh Suling Emas, ayah kandungnya itu, dan orang-orang gagah lainnya. Akan tetapi
belum pernah ia mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian ini.
“He-heh-heh, tidak heran kalau Paduka Pangeran yang tampan dan gagah belum mendengar tentang Butek
Ngo-sian! Aku Bu-tek Siu-lam adalah orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Seluruh kai-pang menjadi anak
buahku dan mereka merupakan pasukan-pasukan yang amat kuat. Orang ke dua adalah Thai-lek Kauwong,
raja monyet raksasa itu. Ke tiga adalah Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang tentu Paduka sudah
kenal karena banyak orang Khitan menjadi anak buahnya pula di samping orang-orang Mongol. Ke empat
adalah Siauw-bin Lo-mo yang menguasai semua perampok dan bajak, sedangkan ke lima adalah Siantoanio,
iblis betina yang aneh dan memiliki kepandaian mengerikan.”
“Apa yang dituturkan Bu-tek Siu-lam tentu sudah jelas betapa kuatnya kedudukan kita, Pangeran Talibu.
Karena itu pinceng harap Paduka tidak ragu-ragu lagi untuk membuat persekutuan dengan kami.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bouw Lek Couwsu, aku hanya seorang Pangeran dan urusan amat penting ini tidak mungkin dapat
kuputuskan sendiri. Apakah yang harus kulakukan sekarang?”
“Paduka menjadi tamu agung kami dan harap Paduka suka menulis surat tentang persekutuan ini kepada
Sang Ratu di Khitan, membujuk agar Ratu Khitan menyetujuinya.”
“Kalau ibuku menolak...?”
“Ha-ha-ha, tidak mungkin menolak melihat kemungkinan besar bagi Kerajaan Khitan terutama selama
Paduka menjadi tamu agung kami....“
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar dan tak lama kemudian, seorang kakek kurus tua
yang tertawa-tawa gembira melangkah masuk sambil menggiring lima orang gadis muda yang cantikcantik.
Begitu tiba di ruangan itu, si Kakek tua mendorong mereka ke depan. Lima orang gadis cantik itu
jatuh berlutut dan menundukkan muka menahan tangis. Mereka kelihatan bingung, sedih dan ketakutan.
Namun harus diakui hahwa kedua orang gadis itu amat cantik jelita.
“Bouw Lek Couwsu, aku datang untuk menebus kesalahanku dan membayar hutang kepadamu!” kakek itu
berkata sambil berdiri tanpa memberi hormat. “Aku tidak berhasil menangkap kembali Mutiara Hitam, akan
tetapi sebagai gantinya, kuhadiahkan kepadamu lima orang gadis paling cantik yang kutemui di sepanjang
perjalanan ke sini. Eh, Siu-lam si genit, kau sudah berada di sini? Bagus! Dan kudengar tadi kalian
menjamu Pangeran Mahkota Khitan. Dia inikah orangnya? Ha-ha-ha, bagus, bagus! Wah, kebetulan sekali
kalau begini. Untung aku membawa lima orang gadis cantik. Couwsu, kau menjamu tamu agung tanpa
suguhan wanita cantik, sungguh kurang ramah!”
Melihat kedatangan Siauw-bin Lo-mo, hati Bouw Lek Couwsu girang. Memang ia membutuhkan sekali
tenaga bantuan Bu-tek Ngo-sian, apa lagi setelah ia kehilangan bantuan Siang-mou Sin-ni yang entah ke
mana perginya itu. Ia tertawa bergelak.
“Bagus, terima kasih, Siauw-bin Lomo. Pangeran Talibu, Paduka sebagai tamu kehormatan, silakan
memilih di antara lima orang dara ini. Hayo kalian bangkit berdiri dan layani Pangeran Talibu!” perintahnya
kepada lima orang gadis yang masih berlutut.
Karena sudah mengalami siksaan apa bila tidak menurut perintah Siauw-bin Lo-mo, lima orang gadis itu
seperti kehilangan semangat untuk melawan lagi. Kini mendengar perintah pendeta tinggi besar yang
kelihatan lebih galak dari pada Siauw-bin Lo-mo yang menculik mereka, mereka makin takut dan cepat
mereka bangkit berdiri. Wajah mereka yang cantik itu menjadi agak terang ketika mereka melihat siapa
yang harus mereka layani. Kalau disuruh melayani seorang pemuda demikian tampan dan gagahnya, apa
lagi yang disebut Pangeran, kiranya tanpa dipaksa mereka akan sungkan untuk menolak! Terutama sekali
melihat bahwa ada kemungkinan mereka tidak terpilih oleh si Pangeran sehingga harus melayani Siauwbin
Lo-mo atau si Pendeta yang biar pun tampan akan tetapi sudah tua dan berkaki buntung, atau juga lakilaki
tinggi yang memiliki wajah tampan akan tetapi aneh dengan dandanan seperti orang gila, kini lima
orang gadis itu seperti berlomba menghampiri Pangeran Talibu hendak merebut perhatiannya.
Talibu hampir tak dapat mengendalikan kemarahan hatinya. Ketika ia tadi mendengar Bu-tek Siu-lam
memperkenalkan Pak-sin-ong sebagai seorang di antara lima orang sakti yang membantu Bouw Lek
Couwsu, ia sudah marah sekali. Tokoh jahat Pak-sin-ong itu adalah musuh besar ibunya, merupakan
seorang pengkhianat Khitan, mana mungkin Khitan dapat bekerja sama dengannya? Akan tetapi ia masih
dapat menahan perasaannya. Kini lima orang gadis itu berdiri dan menghampirinya dengan langkah lemas
dan pandang mata penuh harap, bibir kepucatan dipaksa senyum. Ia merasa seolah-olah sebagai seekor
kucing yang tertangkap, kini musuh-musuhnya melepas lima ekor anjing untuk menerkam dan
mengeroyoknya!
Ia memandang dan hatinya dipenuhi rasa iba. Lima orang gadis cantik itu sama sekali tidak menimbulkan
benci di hatinya. Sebaliknya mereka itu bukan lima ekor anjing ganas, melainkan lima ekor kelinci yang
ketakutan dan hampir mati karena sedih. Pandang mata mereka membuat hatinya merasa tertusuk.
Mereka pun menjadi korban kebiadaban orang-orang yang memusuhinya ini. Tak dapat pula ia menahan
kemarahannya, dan ia segera bangkit berdiri, menggerakkan tangannya dengan halus sambil berkata.
“Nona berlima saya bebaskan, silakan keluar dari sini dan pergi kembali ke rumah masing-masing.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lima orang gadis itu kelihatan bingung, saling pandang, meragu dan seperti tidak percaya kepada telinga
mereka sendiri. Mereka melirik ke arah Siauw-bin Lo-mo yang masih duduk sambil tertawa. Melihat ini
serentak timbul harapan mereka bahwa mereka benar-benar dibebaskan seperti yang dikatakan pemuda
tampan itu. Otomatis mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap Talibu, mengangguk-anggukkan kepala
lalu bangkit dan tergesa-gesa mereka berjalan menuju pintu.
Mendadak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu-tek Siu-lam sudah meloncat melalui lima orang
gadis itu, berdiri di tengah pintu mengembangkan kedua lengannya yang panjang sambil tertawa-tawa.
“Hi-hi-hik, Nona-nona manis mau ke mana? Kalau Pangeran Talibu tidak suka kepada kalian, masih ada
aku dan yang lain-lain yang membutuhkan hiburan dan pelayanan kalian. Ha-ha, mari kembali dan duduk
minum arak, temani kami Nona-nona cantik! Aku memilih yang dua ini!” Sekali rangkul, ia telah menangkap
dan memondong dua orang gadis, sambil tertawa-tawa ia menciumi muka mereka bergantian. Dua orang
gadis yang usianya kurang lebih enam belas tahun itu menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil
ketakutan. Tiga yang lain juga menggigil dan dengan kaki lemas mereka digiring kembali ke meja oleh Butek
Siu-lam.
“Tahan!” Talibu membentak dengan suara marah sekali. Muak hatinya menyaksikan perbuatan Bu-tek Siulam
dan hatinya penuh iba kepada lima orang gadis itu. “Bouw Lek Couwsu, engkau sudah menyerahkan
gadis-gadis itu untuk melayaniku dan aku berhak melakukan apa saja terhadap mereka. Setelah
kubebaskan dia, kenapa dihalangi? Apakah aku tidak dipandang sebelah mata di sini?”
“Eh-eh, orang muda! Aku yang membawa datang anak-anak ini, dan hanya akulah yang berhak
membebaskan mereka. Kenapa kau lancang hendak membebaskan mereka? Kau berani memandang
rendah Siauw-bin Lo-mo?” Kakek kurus itu sudah bangkit berdiri sambil tertawa-tawa mengejek.
Talibu marah sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan Siauw-bin Lo-mo, sebaliknya ia menghadapi Bouw
Lek Couwsu dan berkata lagi suaranya keras dan marah. “Bouw Lek Couwsu, engkaulah tuan rumah di
sini, maka aku tidak sudi melayani yang lain. Kau mau membebaskan lima orang wanita ini ataukah tidak?”
Bouw Lek Couwsu tertawa dan sekali tangannya meraih, tiga orang wanita muda yang lain sudah ia tarik
keras-keras ke arahnya. Tiga orang gadis itu menjerit lirih dan ketika dua tangan Bouw Lek Couwsu
bergerak, seorang telah jatuh di atas pangkuannya, yang dua orang lagi ia peluk pinggang mereka dan ia
dudukkan di kanan kirinya!
“Pangeran Talibu, sebagai seorang tamu agung, engkau tak tahu sopan menolak hidanganku untuk
menikmati wanita-wanita ini. Sebagai seorang tawanan, engkau sombong dan berani menjual lagak. Haha-
ha, apa kau kira pinceng tidak tahu isi hatimu? Engkau pura-pura bersikap baik dan bersahabat,
padahal di dalam hatimu engkau benci kepada kami. Ujian dengan dara-dara ini membuka rahasiamu.
Coba katakan, maukah engkau menulis surat kepada ibumu Ratu Khitan? Engkau belum memperlihatkan
jasa sedikit pun juga, sudah hendak bersikap sebagai raja di sini. Ha-ha-ha! Coba jawab, maukah engkau
menulis surat itu sekarang juga?”
“Hi-hi-hik, Bouw Lek Couwsu seperti anak-anak saja. Tentu saja dia tidak mau! Ketika tadi aku menyebut
nama Pak-sin-ong, apakah Couwsu tidak melihat perubahan mukanya? Sudah kuduga, Pangeran cilik ini
takkan menurut kalau tidak dipaksa.” kata Bu-tek Siu-lam sambil membelai-belai tubuh dua orang dara
yang dirangkulnya secara tak tahu malu.
“Couwsu, serahkan saja bocah ini kepadaku. Mau dia mati? Atau setengah mati? Atau menangkapnya
saja? Tanggung dalam berapa jurus ia akan bertekuk lutut di depanmu,” kata pula Siauw-bin Lo-mo yang
rupa-rupanya amat bernafsu untuk mencari muka terhadap pimpinan bangsa Hsi-hsia ini dan untuk
menebus kesalahannya telah bentrok dengan para hwesio jubah merah.
Bouw Lek Couwsu hanya tersenyum lebar, matanya memandang tajam ke arah wajah Pangeran Talibu.
Melihat betapa Talibu memandang Bu-tek Siu-lam yang membelai-belai dan meremas-remas tubuh dua
orang gadis yang menggigil pucat dengan pandang mata penuh kebencian, tiba-tiba ia mendorong tiga
orang gadis yang dirangkulnya sambil membentak, “Hayo kalian bertiga buka pakaian!”
Tiga orang gadis itu terkejut lalu menjatuhkan diri berlutut. Seorang di antara mereka berkata dengan suara
gemetar, “Ampunkan kami... ampunkan kami...“ sedangkan yang dua orang lainnya menangis.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Masih belum memenuhi perintah?” Bouw Lek Couwsu membentak lalu mengerling ke arah Talibu yang
memandang ke arah tiga orang wanita itu dengan wajah berubah merah, kemudian ia tertawa, kedua
lengannya yang besar berbulu menyambar ke depan, sepuluh jari tangannya mencengkeram dan
merenggut.
“Brett-brett-brett...!” terdengar suara di antara jerit lirih, dan seluruh pakaian tiga orang gadis itu robek
semua sehingga dalam sekejap mata mereka bertiga telah telanjang bulat. Mereka hanya dapat menangis
dan berlutut, berusaha menutupi dada dengan kedua lengan.
Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak, memandang wajah Talibu yang menjadi pucat, kemudian dengan
sengaja ia meraih dan merenggut tubuh tiga orang gadis yang sudah tak berpakaian lagi itu ke arahnya,
dipangku dan dirangkul seperti tadi! Bu-tek Siu-lam tertawa ha-ha-hi-hi, dan terdengar pula suara pakaian
cabik-cabik diseling jerit tangis dua orang gadis dalam pelukannya yang dalam waktu beberapa detik sudah
telanjang pula seperti teman-teman senasib mereka.
“Ha-ha-ha, bagaimana Pangeran Talibu? Maukah kau sekarang juga menulis surat itu? Kalau kau mau,
biarlah pinceng mengalah dan rela memberikan tiga dara jelita ini kepadamu!” Bouw Lek Couwsu berkata
penuh ejekan.
Pangeran Talibu maklum bahwa dia diuji secara hebat. Bouw Lek Couwsu sengaja melakukan semua itu
untuk mengujinya, untuk melihat apakah dia dapat diajak bersekutu dan apakah dia dapat dipercaya. Akan
tetapi darahnya bergolak mendidih saking marahnya. Ia maklum juga bahwa apa pun yang terjadi, sampai
mati tak mungkin ia mau bersekutu dengan manusia-manusia macam ini, dan bahwa ibunya pun tak
mungkin sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia untuk memusuhi Kerajaan Sung. Maka dengan
kemarahan meluap ia lalu mencabut pedangnya dan membentak nyaring.
“Jahanam berkedok pendeta! Siapa sudi mendengar omonganmu? Orang-orang macam kalian patut
dibasmi!” Ia menyerbu ke depan untuk menyerang Bouw Lek Couwsu.
Akan tetapi tiba-tiba sebuah lengan kurus menyelonong dari samping, menyambar ke arah pergelangan
tangannya yang memegang pedang. Sambaran tangan itu cepat sekali dan mendatangkan angin pukulan
yang kuat. Talibu kaget, cepat menarik kembali pedangnya dan melompat ke samping sambil membalikkan
tubuhnya. Kiranya Siauw-bin Lomo sudah berdiri di depannya, tertawa-tawa dan berkata.
“Couwsu, apakah kau ingin dia mampus?”
“Jangan, cukup asal kau tangkap dia Lo-mo.”
“Kau lihat aku menangkap tikus ini!” Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan tubuhnya menubruk maju.
Pangeran Talibu tidak gentar biar pun ia dapat menduga akan kelihaian lawannya. Pedangnya berkelebat,
memapaki datangnya tubuh lawan dengan tusukan kilat. Namun tubuh lawan yang kurus kering itu tiba-tiba
meliuk ke kanan dan tangan yang berkuku panjang menyambar tangan kanannya. Talibu kaget dan cepat
menarik pedang memutar pergelangan tangannya sehingga pedangnya berkelebat ke kanan menyambar
leher Siauw-bin Lo-mo. Kakek ini tertawa menyembunyikan kekagetannya dan menundukkan kepala
miringkan tubuh, membiarkan pedang lewat di dekat leher. Diam-diam ia harus mengakui kelihaian
Pangeran Khitan ini dan karena ia maklum bahwa Ratu Khitan memiliki kepandaian tinggi, apa lagi setelah
menyaksikan gerakan Talibu, kakek ini tidak berani main-main lagi.
Kini tubuh Siauw-bin Lo-mo bergerak cepat dan aneh. Suara ketawanya tak pernah berhenti sehingga
Talibu menjadi bingung. Ia melihat tubuh kakek itu berubah menjadi bayangan yang berkelebatan, seolaholah
ia dikeroyok empat lima orang lawan yang kesemuanya tertawa terkekeh-kekeh. Namun ia tidak
menjadi gentar, bahkan segera memutar pedangnya, menyambarkan pedang ke arah bayangan yang
berkelebatan. Pedangnya mengeluarkan suara berdesingan dan berubah menjadi sinar merah yang
bergulung-gulung menyilaukan mata.
Lima orang gadis yang tak berpakaian lagi itu kini agak terbebas dari siksaan karena Bouw Lek Couwsu
dan Bu-tek Siu-lam menonton pertandingan sehingga untuk sementara seperti melupakan mereka. Mereka
tak berani berkutik, bahkan ikut pula menonton dengan jantung berdebar-debar, mengharap kemenangan
bagi si Pemuda Tampan yang mereka tahu bertanding karena membela mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun Siauw-bin Lo-mo adalah seorang lawan yang jauh terlalu lihai bagi Talibu yang belum
berpengalaman. Memang harus diakui bahwa ilmu pedang Talibu amat cepat dan tangkas dan bahwa
jarang dapat ditemui seorang pemuda, apa lagi pemuda Khitan, sepandai dia mainkan pedang. Namun
menghadapi Siauw-bin Lo-mo, ia hanya mampu bertahan selama dua puluh jurus saja.
Ketika sebuah bacokannya dapat terelakkan lawan, tiba-tiba pada saat pedangnya kembali menusuk
bayangan yang berada di depannya, bayangan itu lenyap dan dari sebelah kanannya bayangan yang lain
telah berhasil mengetuk pergelangan tangan kanannya. Tangannya seketika menjadi lumpuh saking
nyerinya dan pedangnya terlepas, jatuh berkerontangan di atas lantai. Talibu cepat membuang diri
bergulingan di lantai menjauhi lawan.
Lima orang gadis itu seperti dikomando saja menjerit. Jeritan ini mencelakakan mereka karena seolah-olah
menyadarkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam bahwa mereka berdua tadi melupakan korban-korban
mereka. Kini mereka sambil tertawa-tawa membelai dan menciumi mereka sehingga lima orang gadis itu
kembali merintih-rintih penuh kengerian.
Mendengar jeritan dan rintihan mereka, semangat Talibu bangkit kembali. Ia lupa akan urusan lain. Satusatunya
yang memenuhi perasaannya hanya berusaha membasmi orang-orang jahat ini dan
membebaskan lima orang gadis yang bernasib malang dan terancam mala petaka itu. Ia berseru keras
sekali dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dengan tangan kosong.
Mula-mula kaki tangan Talibu bergerak lambat sambil maju karena tadi ia menggulingkan tubuh sampai
jauh. Dengan geseran-geseran kaki lambat ia maju menghampiri Siauw-bin Lo-mo yang tertawa terkekehkekeh.
Gerakan pemuda itu aneh sekali dan belum pernah ia melihat gerakan macam ini. Siauw-bin Lo-mo
yang dengan mudah dapat menangkap pemuda ini ketika tadi mainkan pedang, tentu saja sekarang
memandang rendah, apa lagi gerakan pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kelihaian dan garis
pertahanannya lemah sekali. Ia yakin dalam segebrakan akan dapat merobohkan dan menangkap pemuda
ini.
Makin dekat gerakan Talibu makin cepat dan kini gerakannya luar biasa sekali karena kakinya bergerak
membawa tubuhnya maju sambil berputaran! Siauw-bin Lo-mo yang tadi terkekeh, kini mulai
menyangsikan kewarasan otak Pangeran Mahkota Khitan ini. Mana ada ilmu silat berputar-putar seperti
itu? Menghadapi pengeroyokan banyak orang sambil memainkan pedang, memang ada gerakan memutarmutar
tubuh ini, akan tetapi kalau hanya berhadapan dengan seorang lawan, apa lagi bertangan kosong,
apa gunanya berputaran? Yang pasti membuat kepala menjadi pening sendiri! Ia makin memandang
rendah dan setelah tubuh yang berputaran itu datang dekat, ia cepat menerjang maju dan dalam sekali
gerak ia telah menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, disusul cengkeraman untuk menangkap! Hebat
bukan main serangan ini dan agaknya sukarlah bagi seorang muda seperti Talibu untuk dapat
menghindarkan diri.
Akan tetapi terjadi hal yang amat aneh. Semua totokan Siauw-bin Lo-mo meleset, juga cengkeramannya,
bahkan dari dalam putaran itu datang menyambar pukulan tangan kanan Talibu yang mengenai dadanya,
membuat tubuh Siauw-bin Lo-mo terguling roboh!
Lima orang gadis itu sejenak melupakan kesengsaraan tubuh mereka yang dipermainkan Bouw Lek
Couwsu dan Bu-tek Siu-lam ketika melihat bahwa pemuda pujaan dan penolong mereka dapat
merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi alangkah kecewa hati mereka ketika melihat kakek itu meloncat
bangun lagi sambil berseru marah, namun mulutnya masih terkekeh ketawa. Kembali mereka berlima
harus menderita di bawah penghinaan jari-jari tangan yang kurang ajar.
Siauw-bin Lo-mo kini berhati-hati sekali. Kembali ia teringat bahwa Ratu Khitan memiliki ilmu kesaktian
yang tinggi. Maka ia dapat menduga bahwa ilmu silat tangan kosong Pangeran ini lihai bukan main, malah
jauh lebih lihai dari pada ilmu pedangnya. Tanpa pedang pemuda ini malah merupakan lawan yang lebih
tangguh! Dugaannya memang tepat. Setelah kehilangan pedangnya, tanpa ia sadari sendiri, Talibu
menjadi lebih berbahaya.
Ia kini mainkan ilmu Cap-sha sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang biar pun belum dapat ia mainkan
dengan sempurna, namun kesaktian ilmu ini ternyata dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Ketika
berputaran tadi, Talibu telah mainkan jurus dari Cap-sha-sin-kun yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin
Puyuh Menyambarkan Kilat). Dalam berputaran, semua geraknya mengandung daya tahan yang kokoh
kuat, dengan gerakan yang selalu dapat mengelak setiap pukulan dan serangan lawan. Tidak
mengherankan apa bila totokan-totokan dan cengkeraman tangan Siauw-bin Lo-mo meleset semua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian, sesuai dengan nama jurus itu, dari dalam pusaran tubuh yang seperti gasing itu menyambar
pukulan kilat yang tak tersangka-sangka munculnya sehingga seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lomo
sampai kena dirobohkan.
Karena Siauw-bin Lo-mo bersikap hati-hati dan terutama sekali karena latihan Talibu belum masak benar,
maka kini setelah Siauw-bin Lo-mo maju lagi, jurus Soan-hong-ci-tian yang dipergunakan Talibu tidak
berhasil. Ketika Talibu melancarkan beberapa pukulan, tangannya hampir saja dapat ditangkap lawan.
Mulailah pemuda ini terdesak. Tubuhnya masih berputaran, namun kini gerakannya berputar itu sambil
mundur untuk menghindarkan pukulan-pukulan Siauw-bin Lo-mo yang dilakukan dengan pengerahan
tenaga sinkang sehingga membobolkan daya pertahanan jurusnya yang ampuh. Ia maklum bahwa sekali
kena pukul, ia tentu akan roboh.
Siauw-bin Lo-mo mulai tertawa-tawa lagi melihat pemuda lawannya mundur-mundur dan ia terus
mendesak dengan pukulan-pukulan yang kuat untuk menghancurkan jurus pertahanan lawan dan mencari
lowongan merobohkan Pangeran itu. Talibu sudah mulai lelah dan pening. Jurus Soan-hong-ci-tian
sesungguhnya tidak boleh dimainkan terlalu lama karena hal ini akan melelahkan diri sendiri. Biasanya
dimainkan sebentar saja sudah dapat merobohkan lawan. Akan tetapi kali ini tidak ada hasilnya. Kakek
kurus itu makin mendesak dan pada saat perputaran tubuh Talibu berkurang kecepatannya, sambil
tertawa-tawa Siauw-bin Lo-mo mencengkeram kedua pundak Talibu!
Pangeran Khitan itu menggigit bibir, membiarkan pundaknya dicengkeram jari-jari kurus yang kuat seperti
baja, akan tetapi cepat sekali kedua kakinya bergerak menendang bergantian, pertama ke arah anggota
rahasia lawan kemudian disusul tendangan ke lutut kanan.
“Aihhhh...!” Siauw-bin Lo-mo sampai berseru keras saking kagetnya.
Kembali ia hampir menjadi korban kelihaian ilmu silat aneh dari Pangeran ini. Tendangan pertama dapat ia
elakkan sehingga hanya menyerempet paha kirinya, akan tetapi tendangan susulan biar pun ia elakkan
masih mengenai tulang kering kakinya, membuat ia mengaduh dan meloncat mundur terpincang-pincang!
“Hi-hi-hik, Lo-mo dapat dipermainkan anak kecil. Sungguh lucu!” Bu-tek Siu-lam tertawa mengejek.
Mulut Siauw-bin Lo-mo masih tertawa ha-ha-he-he, akan tetapi pandang matanya yang ditujukan ke arah
Talibu menyinarkan pandangan maut. “Kau lihat saja, Siu-lam. Kau lihat kuhancurkan Pangeran cilik ini.
Ditambah seorang engkau lagi, aku tetap akan dapat menghancurkannya!”
Melihat sinar mata dari mata kakek itu, Bouw Lek Couwsu cepat berkata. “Ingat, Lo-mo. Aku tidak
menghendaki dia mati!”
Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Tentu ia ingat akan hal itu. Kini ia melangkah maju, perlahan-lahan
seperti seekor singa menghampiri calon mangsanya. Talibu yang merasa betapa kedua pundaknya
berdenyut-denyut dan membuat kedua lengannya hampir lumpuh menahan nyeri, sudah siap menanti
penyerbuannya. Ia maklum bahwa dia bukanlah lawan kakek kurus itu dan bahwa ia harus nekat dan
melawan mati-matian untuk mempertaruhkan namanya sebagai putera Ratu Khitan yang terkenal. Apa lagi
setelah teringat bahwa dia adalah putera kandung Ratu Khitan dan pendekar sakti Suling Emas,
keangkuhannya timbul dan ia akan melawan terus sampai titik darah terakhir! Maka begitu lawannya sudah
dekat, Talibu menggigit gigi menghilangkan semua rasa nyeri dan melompat maju, menerjang dengan
ketangkasannya yang mengagumkan.
Kini Talibu menekuk sebelah lututnya, tangan kiri dikepal menghantam pusar, tangan kanan menghantam
disusul cengkeraman ke arah anggota rahasia lawan. Serangan hebat ini tak mungkin dielakkan lagi,
karena pada saat itu tubuh Siauw-bin Lo-mo sudah meloncat maju. Kakek itu tidak gentar melihat serangan
aneh ini. Ia cepat menggerakkan tangannya, menangkis tangan kanan Talibu dan menangkap pergelangan
tangan kiri lawan.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kedua tangan pemuda itu terbuka jari-jarinya dan memapaki
tangkisannya dengan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan ke arah telapak tangannya yang
hendak menangkap. Inilah hebat dan berbahaya! Kakek itu secara tergesa-gesa merubah gerakannya,
membatalkan niatnya menangkis dan menangkap, akan tetapi agaknya pemuda itu pun sudah menduga
akan hal ini, atau memang jurus ilmu silatnya ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua
perhitungannya tidak meleset. Kiranya totokan-totokan itu pun tidak dilanjutkan, di tengah jalan membalik
dunia-kangouw.blogspot.com
dan menotok kedua lutut Siauw-bin Lo-mo. Untuk keperluan inilah agaknya maka pemuda itu memasang
kuda-kuda sambil berlutut sebelah kaki!
“Haya...!” Siauw-bin Lo-mo berteriak kaget.
Ia dapat menyelamatkan kaki kanannya, akan tetapi kaki kirinya tetap saja kena ditotok lututnya sehingga
lumpuh seketika. Baiknya ia amat lihai sehingga dengan sebelah kaki ia dapat meloncat mundur sampai
tiga meter jauhnya. Di dalam hati ia harus mengakui bahwa selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu
jurus-jurus ilmu silat yang amat luar biasa. Tiga kali pemuda itu menggunakan jurus-jurus itu, dan tiga kali
pula ia ‘termakan’. Kalau pemuda ini lebih mahir dan menyempurnakan ilmu itu selama lima sampai
sepuluh tahun saja, tentu ia akan terpukul roboh. Kekagetannya mendatangkan kemarahan yang berkobar.
Talibu yang melihat bahwa jurusnya berhasil melukai kaki kiri lawan, menjadi besar hati dan menyerbu
dengan hati girang. Dengan sebelah kaki tertotok lumpuh, kelihaian Siauw-bin Lo-mo tidak banyak
berkurang. Inilah kesalahan Talibu yang mengira bahwa lawannya sudah tak berdaya lalu maju menyerbu
dengan terjangan ganas, tidak lagi menggunakan jurus-jurus Cap-sha-sin-kun yang sama sekali belum
dikenal lawan. Kini ia menerjang dengan pukulan-pukulan keras susul-menyusul. Akan tetapi tiba-tiba
Siauw-bin Lo-mo tertawa, tubuhnya merendah dan sebelum Talibu dapat mencegahnya, sebuah tamparan
mengenai perutnya.
“Plakk...! Aduuuuuhhh...!” Tubuh Talibu terguling, lambungnya sakit sekali rasanya, seakan-akan isi
perutnya dibakar. Ia berusaha meloncat bangun akan tetapi kembali tangan Siauw-bin Lo-mo menampar
yang tepat mengenai sebelah kanan lehernya. Seketika pandang matanya berkunang-kunang, kepalanya
pening, kemudian pandang matanya menjadi merah gelap. Telinganya masih dapat menangkap suara
Bouw Lek Couwsu.
“Lo-mo, jangan bunuh dia...!”
“Jangan khawatir, Couwsu!” jawab Siauw-bin Lo-mo yang kembali menampar, kali ini mengenai tengkuk
Talibu. Pangeran ini masih mendengar suara ketawa lawannya yang amat menusuk perasaan sebelum
tamparan itu datang dan dunia menjadi hitam di sekelilingnya.
********************
Kota raja Kerajaan Sung kelihatan aman tenteram. Para pedagang dan pelancong dari luar kota memenuhi
kota raja. Rumah-rumah para pembesar dan bangsawan selalu kelihatan megah dalam suasana gembira.
Pesta-pesta diramaikan bermacam kesenian silih berganti diadakan di halaman gedung-gedung yang luas.
Di setiap taman bunga yang terawat indah selalu dihias arca-arca batu dengan ukir-ukiran yang amat indah
dan semua ruangan tamu dalam gedung-gedung itu penuh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan hias
melukiskan sajak-sajak indah. Banyak pemuda-pemuda dengan pakaian pelajar berjalan hilir-mudik
memenuhi jalan-jalan raya. Pendeknya sepintas lalu melihat keadaan kota raja ini orang akan mendapat
kesan bahwa penduduknya menikmati hidup aman tenteram dan bersuka ria, berlomba dalam keindahan
dan kemajuan seni budaya.
Memang demikianlah yang dikehendaki Kaisar. Pada waktu itu, Kaisar Kerajaan Sung lebih
mengutamakan kesenangan untuk diri pribadi dan untuk semua rakyatnya, lebih condong untuk
memajukan kebudayaan, sedapat mungkin menjauhi perang karena Kaisar pribadi tidak suka akan
kekerasan. Memang niatnya baik sekali, akan tetapi sayangnya Sang Kaisar lupa bahwa untuk menjamin
semua keamanan dan ketenteraman ini amatlah diperlukan penjagaan dan untuk menjamin penjagaan
yang dapat diandalkan mutlak diperlukan bala tentara yang kuat! Apa lagi kalau diingat bahwa Kerajaan
Sung dikelilingi bangsa lain yang selalu mengincar untuk mencaploknya.
Para bangsawan yang kaya raya itu seakan berlomba mengadakan pesta terbuka di mana siapa saja boleh
datang menikmati hidangan dan menonton pertunjukan kesenian. Mereka berlomba melakukan derma dan
perbuatan baik karena Kaisar menganjurkan perbuatan amal dan kebaikan. Hanya mereka sendirilah yang
tahu bahwa amal ini bukan keluar dari lubuk hati sendiri, melainkan merupakan siasat untuk membedaki
muka mereka yang hitam oleh korupsi agar menjadi putih bersih.
Dan memang siasat seperti ini banyak berhasil. Bukan saja atasan dan Kaisar senang dengan
kedermawanan mereka, juga rakyat kecil yang diberi kesempatan ikut berpesta dan makan serta menonton
gratis itu banyak yang merasa bersyukur atas kedermawanan pembesar-pembesar dan bangsawandunia-
kangouw.blogspot.com
bangsawan kota raja. Bahkan pandang mata orang-orang kang-ouw yang biasanya tajam dapat pula
dikelabui karena terlampau sering mereka ini minum arak wangi dan hidangan-hidangan lezat.
Pagi hari itu, pagi hari yang cerah, sebuah pesta diadakan di sebuah taman bunga gedung Pangeran
Kiang. Gedung besar dengan taman bunga yang luas dan indah ini adalah sebuah di antara gedunggedung
besar yang paling terkenal di kota raja. Siapakah yang tidak mengenal keluarga Kiang ini? Bukan
Pangeran Kiang yang kaya raya ini yang banyak dikenal orang, melainkan puteranya, yaitu Kiang-kongcu
(Tuan Muda Kiang), sebutan untuk Kiang Liong. Semua orang mengenal Kiang-kongcu.
Orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengenalnya karena sepak terjangnya yang gagah dan lihai, apa
lagi karena dia adalah murid pendekar sakti Suling Emas! Penjahat-penjahat mengenalnya karena takut.
Penjilat-penjilat mengenalnya karena tangannya selalu terbuka. Pemuda-pemuda mengenalnya karena ia
ramah dan pandai bergaul. Bahkan wanita-wanita mengenalnya karena ketampanannya dan sifatnya yang
romantis sehingga banyak yang jatuh hati kepadanya!
Dan pagi hari itu, pesta meriah diadakan di taman bunga rumah keluarga Pangeran Kiang ini! Untuk
keperluan apa? Kiang-kongcu tidak tampak berada di rumah. Juga Pangeran Kiang dan isterinya yang
sudah berusia lanjut dan tidak bernafsu lagi untuk main pesta-pestaan, tidak hadir. Sebagai wakil tuan
rumah adalah seorang pemuda yang pakaiannya mewah dan indah dan memang pesta ini diadakan untuk
menyambut kedatangannya di gedung itu.
Dia bernama Suma Kiat dan kepada para tamu ia diperkenalkan oleh Pangeran Kiang sebagai anak
keponakan Nyonya Kiang yang baru datang berkunjung setelah berpisah belasan tahun. Padahal
sesungguhnya baru pertama kali itu selama hidupnya pemuda ini muncul dan mengaku sebagai putera
tunggal mendiang Suma Boan, kakak dari Nyonya Kiang. Muncul begitu saja, akan tetapi isterinya, yaitu
Nyonya Kiang, tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang mengaku bernama Suma Kiat ini benar-benar
putera mendiang kakaknya karena mempunyai persamaan wajah yang tidak dapat diragukan lagi.
“Engkau benar, keponakanku..., engkau tentu putera mendiang Kakakku.... Ahhh, melihatmu seperti
melihat dia dahulu...!” Demikianlah Suma Ceng, isteri Pangeran Kiang, merangkul dan menangis.
Dan demikianlah, pesta meriah di taman bunga diadakan untuk menghormat kedatangan pemuda ini dan
untuk memperkenalkannya kepada semua orang. Seperti biasanya, jika ada kesempatan baik seperti ini,
banyak pula para anggota kai-pang (perkumpulan pengemis) yang datang dan mereka duduk berkelompok
menyendiri, menikmati hidangan lezat dan arak wangi. Banyak di antara para tokoh kai-pang ini adalah
kenalan baik Kiang-kongcu karena mereka ini sesungguhnya bukanlah orang-orang jembel biasa,
melainkan ahli-ahli silat yang berkeliaran di dunia kang-ouw sebagai pengemis. Bahkan dalam pesta di
kebun kembang Pangeran Kiang ini, banyak orang-orang aneh sahabat Kiang-kongcu muncul sehingga
tidak mengherankan apa bila tempat pesta itu didatangi orang-orang yang tidak semestinya ikut berpesta,
yaitu beberapa orang hwesio gundul dan tosu-tosu pertapa! Semua orang aneh ini datang hanya karena
pesta diadakan di kebun Kiang-kongcu.
Dan bukan hal yang aneh lagi kalau ada pula beberapa orang wanita cantik muncul dalam pesta! Bukan
wanita-wanita cantik sembarangan, melainkan ahli-ahli silat pula yang menjadi sahabat Kiang-kongcu. Dua
orang enci adik Chi, dan tiga orang murid perguruan Ang-lian (Teratai Merah) yang amat terkenal di kota
raja. Lima orang wanita ini berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, berpakaian ringkas, tampak
gagah namun tidak melenyapkan kecantikan mereka. Semua sahabat wanita Kiang-kongcu sudah dapat
dipastikan cantik-cantik!
Tentu saja mereka berlima memilih sebuah meja dan menjadi sekelompok, akan tetapi alangkah kecewa
hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa Kiang-kongcu tidak hadir! Sebetulnya mereka hendak
mempergunakan kesempatan ini untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan orang yang selama ini
menjadi buah mimpi, ingin melepaskan rindu. Kekecewaan mereka hanya sebentar karena sebagai
pengganti Kiang-kongcu, di situ terdapat Suma-kongcu atau Suma Kiat yang ternyata dalam hal
keramahan dan kepandaian bermanis muka dan memikat hati wanita tidak kalah lihai dari pada Kiangkongcu.
Suma-kongcu ini segera duduk di meja kelompok gadis-gadis ini dan terjadilah percakapan yang asyik dan
gembira. Apa lagi ketika lima orang gadis itu mendengar bahwa Kongcu ini juga seorang ahli silat yang
pandai sekali. Ternganga mulut mereka menyaksikan ketika Suma Kiat menggenggam cawan arak,
mengerahkan sinkang dan membuat arak di dalam cawan itu panas beruap dan mendidih! Biar pun wajah
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Kiat tidak setampan Kiang-kongcu, namun harus diakui bahwa dia termasuk seorang pemuda yang
berlagak dan tidak berwajah buruk.
Ada pun delapan orang pengemis yang menduduki sekitar meja di sudut adalah para pengemis yang
tergolong gagah perkasa. Pengemis golongan sesat tidak berniat mendekati Kiang-kongcu yang mereka
anggap sebagai seorang musuh. Bukankah Kiang-kongcu murid Suling Emas yang menjadi musuh besar
pengemis golongan sesat? Delapan orang pengemis yang kini berkumpul di situ adalah pengemispengemis
golongan baju butut, bahkan di antara mereka terdapat seorang pengemis muda yang
memegang sebuah topi butut berhias kembang. Pengemis muda belia yang tampan dan gagah.
Dia ini bukan lain adalah Yu Siang Ki, atau Yu-pangcu (Ketua Yu) yang dihormati tujuh orang pengemis
lainnya karena dikenal sebagai ketua baru perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Yu Siang Ki yang datang
bersama Kwi Lan di kota raja segera berpisah dari dara yang dianggap sebagai adik angkatnya ini,
kemudian ia menemui tokoh-tokoh pengemis di kota raja. Ketika mendengar bahwa ketua Khong-sim Kaipang
ini berniat mencari Suling Emas, para tokoh pengemis segera berunding.
“Yu-pangcu, pendekar sakti Suling Emas adalah seorang sahabat dan semenjak dahulu kami menghormat
dan mencintanya. Akan tetapi sayang sekali, tak seorang pun dapat mengatakan di mana dapat bertemu
dengan pendekar itu. Dia datang dan pergi seperti dewa, tak pernah meninggalkan jejak. Bahkan sudah
bertahun-tahun tidak pernah orang melihatnya. Akan tetapi, yang sudah nyata, di kota raja ini terdapat
seorang muridnya yang lihai.” kata Pek-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat Putih).
“Apakah Lo-kai maksudkan Kiang-kongcu?”
“Ha-ha, nama besar Kiang-kongcu sudah terkenal sampai jauh.”
“Bukan hanya mengenal namanya, Lokai, malah secara kebetulan sekali saya sudah mendapat
kehormatan berjumpa dengan Kiang-kongcu.”
“Ah, begitukah? Kebetulan sekali. Kami mendengar bahwa di taman bunga Pangeran Kiang akan diadakan
pesta umum. Marilah Yu-pangcu ikut bersama kami hadir di pesta itu. Kalau ada jodoh bertemu Kiangkongcu,
agaknya dia akan dapat menerangkan di mana Pangcu dapat bertemu dengan Suling Emas.”
Demikianlah, pagi hari itu Yu Siang Ki hadir bersama tujuh orang tokoh pengemis kota raja. Akan tetapi
alangkah kecewa hatinya ketika ia tidak melihat Kiang Liong dan mendengar bahwa pesta itu sengaja
diadakan oleh keluarga Pangeran Kiang untuk menyambut kedatangan seorang keponakan mereka yang
bersama Suma Kiat. Makin besar rasa kecewa dan ketidak-senangan hati Yu Siang Ki ketika ia
menyaksikan lagak Suma-kongcu itu, yang duduk menjamu kelompok wanita-wanita cantik yang genitgenit
dan mendemonstrasikan kepandaiannya, seperti main sulap membuat arak dalam cawan bergolak,
melihat pemuda berpakaian indah itu petantang-petenteng dengan sombongnya ketika dipuji-puji tamu.
“Hemmm, dia amat sombong. Akan tetapi harus diakui bahwa lweekang-nya hebat sekali,” bisik pengemis
di sebelah kiri Siang Ki. “Melihat kepandaiannya, ia memang pantas menjadi saudara misan Kiang-kongcu,
akan tetapi melihat kesombongannya, sungguh jauh bedanya...”
Siang Ki mengangguk-angguk. “Kepandaiannya hebat, dan mungkin kesombongannya itu karena ia masih
muda dan karena berhadapan dengan wanita-wanita.”
Pek-tung Lo-kai yang duduk di sebelah kanan Siang Ki, setelah melirik ke kanan kiri, berbisik. “Hemmm...
sungguh mengherankan sekali. Begini sedikit orang-orang gagah yang sepatutnya hadir mengingat bahwa
semua orang gagah menjadi sahabat Kiang-kongcu, sebaliknya banyak hadir orang-orang tergolong busuk
dan banyak pembesar-pembesar penjilat dan perwira-perwira penting. Heran sekali, orang macam apakah
Suma Kongcu ini?”
“Lo-kai, bukan urusan kita, tidak perlu kita ambil pusing. Kalau sampai nanti Kiang-kongcu tidak muncul,
sebaiknya kita mohon diri dan meninggalkan tempat ini saja,” berkata demikian Siang Ki mengangkat
cawan arak dan hendak diminumnya.
Akan tetapi dia menunda niatnya minum arak ketika pada saat itu terdengar suara nyaring, suara Kwi Lan!
Gadis itu berseru dengan nyaring.
“Suheng...! Mengapa kau berada di sini...?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya sebentar Siang Ki menunda minumnya. Ia tersenyum, menenggak araknya dan berbisik kepada
Pek-tung Lo-kai di sebelah kanannya. “Wah, tentu akan terjadi keributan....“
Bagaimanakah tahu-tahu Kwi Lan si Mutiara Hitam muncul di tempat pesta ini? Telah kita ketahui bahwa
dara perkasa ini melakukan perjalanan bersama Yu Siang Ki setelah pemuda ketua Khong-sim Kai-pang ini
berjanji akan menganggapnya sebagai seorang adik angkat. Biar pun sikap Kwi Lan tidak berubah dan
masih gembira dan jenaka seperti biasa, namun sikap Siang Ki terhadapnya sudah berubah. Pemuda ini
menekan hatinya dan memaksa perasaannya untuk memandang gadis ini sebagai adik angkat, namun ia
tak pernah berhasil sehingga sepanjang perjalanan Siang Ki nampak murung dan berduka.
Akhirnya mereka tiba di kota raja dan di sini mereka berpisah. Siang Ki hendak menemui tokoh-tokoh
pengemis untuk mencari keterangan tentang Suling Emas, sedangkan Kwi Lan mencari keterangan
tentang Suma Kiat seperti yang dipesankan gurunya. Diam-diam ia menjadi jengkel sekali. Di dalam kota
besar seperti ini, di mana terdapat puluhan laksa orang, bagaimana ia dapat menemukan seorang Suma
Kiat?
Selagi ia termenung di sore hari itu, duduk di bangku dalam ruangan depan kamarnya, ia mendengar suara
ketawa cekikikan dan dua orang gadis yang berpakaian ringkas berwajah cantik memasuki ruangan itu dari
depan. Melihat cara mereka berpakaian, pedang yang tergantung di pinggang, dan langkah kaki mereka
yang ringan, Kwi Lan dapat menduga bahwa mereka adalah dua orang gadis ahli silat. Ia tertarik dan dari
sudut matanya ia mengerling. Hatinya sudah tidak senang melihat sikap kedua orang gadis itu yang genit,
akan tetapi karena mereka itu tidak ada hubungan dengan dirinya, ia pun diam saja dan hanya
memperhatikan ucapan-ucapan mereka ketika mereka lewat di ruangan itu menuju ke kamar sebelah
belakang.
“Wah... sayang sekali kalau dia tidak ada, Cici. Kalau dia tidak ada, untuk apa kita datang menghadiri pesta
itu?” kata yang bertubuh ramping dengan sanggul rambut tinggi sambil menghela napas kecewa.
“Ihh, yang kau pikirkan dia saja, Moi-moi! Jangan khawatir, biar pun dia tidak ada, namun ada
penggantinya. Aku mendengar bahwa keponakan Pangeran Kiang itu pun lihai dan tampan, hi-hik!”
“Hemm, aku sangsi apakah ada yang lebih hebat dari pada dia. Siapakah namanya, Cici?”
“Entah, hanya aku mendengar bahwa dia disebut Suma-kongcu begitu....“
Suara percakapan mereka lenyap di balik pintu kamar mereka di sebelah belakang. Akan tetapi Kwi Lan
sudah mendengar cukup banyak. Nama Suma-kongcu membangkitkan perhatiannya. Bukan tidak boleh
jadi bahwa Suma-kongcu yang dibicarakan dua orang gadis genit ini, adalah Suma Kiat, suheng-nya yang
sedang ia cari-cari.
Demikianlah, pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang gadis itu pergi meninggalkan losmen,
diam-diam ia membayangi mereka. Mula-mula ia meragu ketika dua orang gadis itu memasuki pekarangan
gedung besar Pangeran Kiang. Akan tetapi ketika melihat bahwa di dalam taman di sebelah kiri rumah
gedung itu terdapat banyak tamu bermacam-macam, bahkan ada yang berpakaian pengemis, setelah
meragu sampai sejam lebih di luar, akhirnya ia berjalan masuk pula.
“Suheng...! Mengapa kau berada di sini...?” tegurnya ketika ia melihat Suma Kiat duduk menghadapi lima
orang wanita cantik, dan di antaranya adalah gadis-gadis yang ia lihat di losmen. Ada rasa girang
terkandung dalam seruan Kwi Lan karena hatinya lega bahwa akhirnya ia dapat menemukan suheng-nya
seperti yang diperintahkan gurunya.
Seruan yang nyaring ini membuat banyak tamu menoleh dan memandang. Kecuali Yu Siang Ki, tak
seorang pun di antara tamu itu mengenal gadis jelita yang bersikap lincah ini. Suma Kiat juga menengok
dan ia meloncat bangun, menghampiri dan memegang tangan Kwi Lan.
“Aha, Sumoi...! Alangkah girang hatiku melihatmu! Betapa rinduku kepadamu selama ini...!” Suma Kiat
yang memegang tangan gadis itu menarik dan ia hendak memeluk Kwi Lan dengan pandang mata penuh
nafsu.
“Suheng, kau menjadi makin gila!” bentak Kwi Lan sambil merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan
pemuda itu, mulutnya cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika Suma Kiat yang masih tertawa ha-ha-he-he itu hendak memegang tangannya lagi, Kwi Lan
menampar tangan pemuda itu dalam tangkisan yang dilakukan dengan keras. Suma Kiat terkejut,
tangannya terasa sakit dan agaknya ia baru tahu bahwa sumoi-nya marah benar-benar.
“Eh... eh..., Sumoi..., mengapa marah? Tidak bolehkah aku melepas rinduku kepadamu? Sudah amat lama
kita tidak saling berjumpa....”
“Bodoh! Tak malukah engkau?” bentak Kwi Lan, mukanya kini menjadi merah ketika melihat betapa semua
orang memandang ke arah mereka sambil tersenyum-senyum dan menahan ketawa.
Suma Kiat tersenyum masam, sadar akan keadaan ini. Tadinya ia dipengaruhi rasa gembira melihat sumoinya
yang memang amat dirindukannya ini. Ketika ia masih tinggal bersama Kwi Lan di istana bawah tanah,
ia tidak merasakan sesuatu terhadap sumoi-nya kecuali ingin menggodanya dan ia suka sekali melihat
sumoi-nya ini marah-marah. Setelah berpisah jauh dan lama, barulah ia merasa betapa tersiksa hatinya,
betapa rindunya terhadap Kwi Lan, dan baru ia sadar betapa besar rasa cintanya terhadap gadis itu. Kini
melihat munculnya Kwi Lan secara tiba-tiba dalam pesta, ia menjadi demikian girang sehingga tidak ingat
bahwa sikapnya itu ditonton oleh semua tamu. Ia kini sadar lalu cepat berkata.
“Ah, maaf, Sumoi. Silakan duduk. Mari duduklah di sini dan ceritakan semua pengalamanmu. Oya, biarlah
kuperkenalkan kau kepada para tamu.” Tanpa mempedulikan sikap Kwi Lan yang memprotes, pemuda ini
memandang ke semua penjuru dan berkata dengan suara lantang.
“Para tamu yang terhormat! Perkenankanlah saya memperkenalkan Sumoi-ku yang cantik jelita dan
perkasa ini, Kam Kwi Lan!” Dan sambil tersenyum-senyum ia membalas para tamu yang terpaksa
menunda percakapan, makan dan minum untuk berdiri dan menjura kepada mereka.
Dengan tersipu-sipu Kwi Lan terpaksa pula mengangkat kedua tangan ke dada membalas penghormatan
mereka, kemudian karena takut kalau-kalau suheng-nya yang otak-otakan ini melakukan hal-hal lain yang
memalukan, ia cepat-cepat duduk di bangku menghadapi meja berhadapan dengan lima orang wanita
yang memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut jelas membayangkan iri hati dan kebencian.
Suma Kiat sebaliknya gembira sekali. Setelah Kwi Lan duduk, ia bertepuk tangan memanggil pelayan,
berseru. “Lekas bawa hidangan terlezat dan arak terbaik untuk Kam-siocia!” Bahkan para pelayan diamdiam
mencibirkan bibirnya melihat sikap congkak melebihi pemilik rumah sendiri. Kiang-kongcu saja tidak
pernah bersikap seperti itu. Diam-diam mereka membenci tamu ini, pemuda yang tinggi hati dan kasar.
Namun Suma Kiat yang pada saat itu merasa menjadi peran utama karena pesta itu diadakan untuk
menghormatinya, apa lagi kini melihat sumoi-nya datang, tidak tahu akan ketidak-senangan mereka ini.
Sambil tersenyum-senyum ia duduk di sebelah kanan Kwi Lan, kemudian berkata, “Oya, belum
kuperkenalkan. Sumoi, dua orang nona ini adalah Chi Ci-moi (Enci Adik she Chi), dan tiga orang Nona ini
adalah murid-murid kepala dari perguruan Ang-lian Bu-koan. Mereka ini merupakan harimau-harimau
betina kota raja, kepandaian mereka amat lihai.”
Senang hati lima orang gadis itu mendengar pujian ini. Mereka mengangkat kedua tangan dan
menghormat Kwi Lan. Akan tetapi Kwi Lan bersikap dingin, bahkan terdengar berkata ketus, “Sudah, kalian
berlima pergilah!”
Suma Kiat melongo dan lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Seorang di antara Chi Ci-moi itu,
yang tertua, kini menjadi merah mukanya dan bertanya, suaranya ketus. “Apa maksudmu...?”
“Maksudku sudah cukup jelas. Menggelindinglah kalian beriima pergi dari sini, aku hendak bicara berdua
lengan Suheng-ku!”
Lima orang wanita itu tak dapat menahan kemarahan hati mereka. Dengan muka merah padam mereka
melotot kepada Kwi Lan dan seorang di antara murid kepala Ang-lian Bu-koan membentak. “Orang tidak
boleh menghina kami begini saja!”
Kwi Lan yang sejak tadi memang sudah gemas karena sikap suheng-nya, kini pun marah. “Aku suruh
kalian pergi, kalian anggap menghina? Hemmm, kalau menghina, kalian ini perempuan-perempuan genit
dan cabul tak tahu malu mau apa? Pergilah!” Berkata demikian Kwi Lan menggerakkan kakinya dan meja
di depannya terbang ke arah lima orang gadis itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua Chi Ci-moi dan tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan bukanlah gadis-gadis sembarangan.
Diserang begini biar pun tak secara tersangka-sangka dan dari jarak dekat, mereka masih sempat
berjungkir balik ke belakang, kemudian secara berbareng mereka menggerakkan lengan ke depan
menahan meja yang menyambar. Mereka terhindar dari hantaman meja, namun tak dapat menghindarkan
diri dari serangan arak dan kuah daging sayur yang menyambar ke arah muka dan pakaian mereka dari
mangkok-mangkok di atas meja. Muka dan pakaian mereka berlepotan kuah dan arak, dan celaka bagi
mereka, kuah-kuah itu baru saja dihidangkan oleh pelayan dalam keadaan masih panas-panas! Tentu saja
mereka menyumpah-nyumpah dan mencak-mencak.
“Ah, Sumoi jangan bikin ribut. Mari kita bicara...!” Suma Kiat sudah menyambar lengan adik
seperguruannya dan menarik pergi dari taman, memasuki ruangan samping rumah itu.
Kwi Lan ingin membangkang, namun ia masih ingat akan pesan gurunya dan tidak menghendaki
pertempuran melawan suheng-nya sendiri di tempat umum itu, maka ia menurut. Mulutnya cemberut dan
matanya menyinarkan kemarahan.
Setelah mereka berdua duduk di ruangan samping, Suma Kiat segera berkata dengan suara perlahan
setengah berbisik, tetapi penuh kesungguhan. Matanya memancarkan kecerdikan yang mengagetkan hati
Kwi Lan.
“Ah, Sumoi, kau tidak tahu. Ibu yang mengatur semua ini. Tahulah engkau bahwa kakakmu ini menjadi
calon kaisar?”
Kwi Lan memandang, matanya terbelalak. Celaka, kiranya sinar kecerdikan di mata suheng-nya itu hanya
penonjolan dari kegilaannya yang makin menjadi!
“Suheng, tak sudi aku mendengar ocehanmu yang tidak karuan ini!”
“Huh, anak bodoh. Kau tidak percaya? Bukankah Ibu yang menyuruh kau datang ke sini mencariku?
Bantuanmu amat kubutuhkan. Kau lihatlah lima orang wanita itu, dan para tamu itu, sebagian besar adalah
sekutu kami.”
“Sekutu apa?” Kwi Lan mulai tidak sabar.
“Sekutu untuk menjatuhkan Kaisar, bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia yang sudah siap bergerak....”
“Ahhh...!” Bukan main kagetnya hati Kwi Lan. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Jadi gurunya
yang gila, juga suheng-nya yang berotak miring ini, mempunyai rencana yang demikian gila?
Ia cerdik, maka kini ia menahan kemarahannya dan berbisik. “Suheng aku belum diberi tahu Bibi Sian
tentang rencana ini. Apakah rencana itu dan bagaimana?” Ia pura-pura bersungguh-sungguh.
Suma Kiat tersenyum, menengok ke sekelilingnya. “Ketahuilah, Ibu membawa aku ke sini. Ini adalah
gedung Pangeran Kiang dan engkau tahu, isteri Pangeran Kiang bernama Suma Ceng, dan menurut Ibu
dia adalah Bibiku, adik mendiang Ayahku yang masih putera Pangeran bernama Suma Boan.”
Sampai di sini Suma Kiat membusungkan dadanya. “Aku cucu Pangeran! Karenanya aku berhak menjadi
kaisar! Dan engkau menjadi puteri, ha-ha-ha, kalau aku menjadi kaisar, kelak engkau menjadi permaisuri,
dan Ibu menjadi ibu suri... ha-ha-ha!”
“Hushh... Suheng, bicaralah yang benar. Bagaimana rencana itu? Apa yang telah terjadi?”
“Heh-heh, banyak yang terjadi, Adikku sayang! Bangsa Hsi-hsia telah mengadakan hubungan rahasia
dengan banyak pembesar di sini, dan yang hadir di taman itu sebagian besar adalah pembesar-pembesar
yang telah sepakat untuk mengadakan persekutuan. Kau lihat hwesio yang duduk di sudut tadi? Dia adalah
Cheng Kong Hosiang, dia yang mewakili bangsa Hsi-hsia. Dan Ibu menunjuk aku untuk memimpin
pergolakan dari dalam apa bila saatnya tiba.”
“Hemm, kau kira begitu mudah? Di sini banyak terdapat orang gagah yang tentu akan menentang
pengkhianatan ini, Suheng. Kenapa Bibi Sian melakukan hal berbahaya ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa bilang tidak mudah? Kerajaan Sung amat lemah, kaisarnya seperti perempuan! Dan menurut kabar
yang baru kuperoleh, bangsa Khitan juga siap membantu bangsa Hsi-hsia...”
“Bohong...!”
Kwi Lan sendiri menjadi kaget mendengar suaranya yang spontan dan mengandung kemarahan itu. Tanpa
disadarinya, ia kini telah menjadi pembela bangsa Khitan! Teringat ini, dan melihat pandang mata Suma
Kiat penuh selidik, ia cepat menyambung. “Aku mendengar bangsa Khitan bersahabat dengan Kerajaan
Sung. Tak mungkin mereka sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia yang biadab, yang menyerang dan
menghancurkan Beng-kauw secara menggelap, yang dipimpin oleh hwesio-hwesio gila, manusia-manusia
biadab berkedok pendeta!”
“Aihh... kiranya pengetahuanmu cukup luas, Sumoi. Agaknya selama dalam perantauan ini engkau sudah
menjumpai banyak pengalaman. Akan tetapi kau tentu belum tahu apa yang baru saja kudengar. Bouw Lek
Couwsu pimpinan bangsa Hsi-hsia kini mendapat jalan untuk memaksa pemerintah Kerajaan Khitan untuk
bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia.”
“Hemm, aku tidak percaya. Bangsa Hsi-hsia hanyalah bangsa biadab yang kecil jumlahnya, sedangkan
Khitan adalah negara besar...“
“Ha-ha-ha, mereka terpaksa harus memenuhi permintaan bangsa Hsi-hsia setelah Pangeran Mahkota
mereka terjatuh ke dalam tangan Bouw Lek Couw.
“Apa...?!” Kwi Lan menekan perasaannya sehingga kekagetan hebat tidak terlalu menonjol pada wajahnya.
Suma Kiat tertawa puas. “Benar! Pangeran Mahkota yang bernama Talibu, Pangeran Khitan itu kini
menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu dan dia itulah yang akan menjamin bahwa Kerajaan Khitan pasti akan
suka membantu.”
Kwi Lan tersenyum dingin untuk menutupi hatinya yang panas. Ia sudah mendengar dari Siang Ki bahwa
Ratu Khitan yang menurut gurunya adalah ibu kandungnya itu memang mempunyai seorang putera angkat
bernama Pangeran Talibu yang tampan dan gagah perkasa. Biar pun ia mengandung perasaan iri dan
tidak senang kepada anak angkat ibunya itu, namun kini ia terkejut sekali mendengar betapa putera
mahkota itu ditawan Bouw Lek Couwsu.
Urusan ini ternyata bukan urusan kecil dan sama sekali bukan urusan main-main. Kalau yang dikatakan
pemuda gila ini benar, ia harus berusaha sedapat mungkin menolong putera angkat ibunya! Maka dengan
cerdik ia lalu tertawa, tertawa dingin yang sepenuhnya menonjolkan sikap tidak percaya.
“Ah, Suheng. Setelah lama merantau, engkau masih tetap seperti kanak-kanak, mudah saja diakali orang.
Sudah jelas kau dibohongi orang, akan tetapi kau menerima dan menelannya begitu saja tanpa mau
memeriksa lagi. Siapa mau percaya Pangeran Mahkota Khitan ditawan orang-orang Hsi-hsia?” Kwi Lan
sengaja mengeluarkan suara ketawa nyaring yang dia tahu menyakitkan hati pemuda ini. Dahulu kalau
bertengkar, ia selalu tertawa seperti ini.
Merah wajah Suma Kiat. “Sumoi, kaulah yang bodoh dan tolol! Kau masih tidak percaya kepada aku, calon
Kaisar! Pangeran Talibu benar telah ditawan oleh Bouw Lek Couwsu yang bermarkas di sebelah barat Lokyang,
di lembah Sungai Kuning di kaki gunung Fu-niu-san...“ Tiba-tiba Suma Kiat menghentikan katakatanya
dan memandang ke kanan kiri dengan sikap kaget, seakan-akan ia baru ingat bahwa ia telah
membuka rahasia besar yang tidak seharusnya ia katakan kepada siapa pun juga. “eh, Sumoi..., jangan
bilang kepada siapa pun juga...“
Akan tetapi pada saat itu perhatian mereka tertarik oleh suara ribut-ribut di luar ruangan itu, di taman.
Mereka bergegas keluar, terutama Suma Kiat telah mendahului sumoi-nya melompat ke luar dan
menghampiri para tamu yang tampak ribut.
Di tengah taman itu berdiri seorang pengemis muda yang jangkung tampan, memakai sebuah topi lebar
yang butut, akan tetapi dihias bunga memegang sebatang tongkat, berdiri dengan tegak, berhadapan
dengan dua orang wanita enci adik she Chi. Dua orang gadis inilah yang ribut-ribut dan memaki-maki.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jembel busuk! Jembel kelaparan! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan, ya? Kami bukanlah
gadis-gadis macam iblis tadi yang boleh kau permainkan...!“ bentak gadis muda she Chi, sedangkan
encinya sudah meraba gagang pedangnya.
Pengemis muda itu bukan lain adalah Yu Siang Ki. Dia tadi melihat munculnya Kwi Lan dan sudah ia duga
bahwa gadis itu tentu akan menimbulkan keributan sesuai dengan wataknya. Ketika ia melihat Kwi Lan
mempermainkan lima orang wanita cantik yang duduk semeja dengan Suma Kiat, diam-diam ia tertawa.
Memang lima orang wanita itu patut diberi sedikit hajaran. Dia sudah mendengar siapa adanya lima orang
wanita itu.
Akan tetetapi ketika ia melihat Kwi Lan pergi ke dalam gedung bersama Suma Kiat yang disebut suheng
oleh Kwi Lan, timbullah kekhawatirannya dan hatinya menjadi jengkel sekali. Jengkel melihat kenyataan
bahwa temannya yang dianggap adik angkat, wanita yang pernah merebut cinta kasihnya itu ternyata adik
seperguruan pemuda bangsawan memuakkan ini. Jengkel pula karena Kwi Lan tidak mempedulikannya,
bahkan kini masih bersama pemuda itu. Ia khawatir sekali. Pada saat itulah ia mendengar betapa lima
orang wanita yang merasa terhina oleh Kwi Lan, mengeluarkan kata-kata memaki-maki Kwi Lan secara
kasar sekali.
Yu Siang Ki tentu tidak begitu mudah mencari keributan, apa lagi mengingat bahwa di situ adalah tempat
tinggal Kiang-kongcu murid Suling Emas! Akan tetapi karena ia merasa khawatir akan keadaan Kwi Lan
yang masuk ke dalam gedung bersama pemuda sombong tadi, kini melihat adanya kesempatan untuk
menarik perhatian Kwi Lan keluar dari gedung. Tanpa ragu lagi ia lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya
setelah berbisik kepada para pengemis lainnya. “Jangan heran akan sikapku...!”
Sambil memandang lima orang gadis itu, ia membentak, suaranya nyaring, “Kuharap kalian berlima tahu
diri dan tidak membuka mulut sembarangan mengeluarkan kata-kata kotor menghina Kam-lihiap. Tidak
sadarkah bahwa tadi Kam-lihiap telah mengampuni jiwa anjing kalian?”
Ucapan ini sungguh hebat dan pedas. Biar pun mereka berlima itu wanita, namun tokoh-tokoh kota raja
tahu belaka bahwa ilmu kepandaian mereka tidak boleh dipandang rendah. Apa lagi tiga orang murid
kepala Ang-lian Bu-koan yang amat berpengaruh karena perguruan mereka. Dan kini seorang pengemis
muda yang tidak terkenal berani mengeluarkan ucapan yang demikian pedas! Juga lima orang itu terkejut,
wajah mereka berubah merah dan tak dapat ditahan lagi kemarahan orang termuda dari Chi Ci-moi yang
bernama Chi Bwee, meloncat bangun menghadapi Yu Siang Ki dan memaki-makinya seperti tadi.
Siang Ki tersenyum mendengar maki-makian ini, kemudian menambah panasnya api yang ia kobarkan.
“Kam Kwi Lan bukanlah iblis betina, melainkan seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar, tidak
seperti kalian ini lima ekor tikus betina yang genit...“
“Jembel busuk mau mampus!” bentak Chi Leng, enci Chi Bwee yang sudah mencabut pedang dan dengan
gerakan kilat pedangnya menyambar dengan sebuah tusukan ke dada Siang Ki.
“Wuuuuttt...!” Tusukan itu mengenai angin karena tubuh Siang Ki doyong ke belakang. Pemuda ini tanpa
merubah kedudukan kakinya telah mampu mengelak dengan amat mudahnya. Ia tertawa mengejek.
“Gadis galak dan canggung macam engkau ini berani menghina Kam-lihiap? Sungguh menjemukan!”
“Enci, mari kita bunuh jembel ini!” Chi Bwee juga sudah mencabut pedangnya dan membacok. Namun
kembali bacokannya mengenai angin.
“Hayo, kalian yang tiga orang lagi tidak ikut maju? Maju dan keroyoklah, perempuan-perempuan macam
kalian mana ada kepandaian?” Siang Ki mengejek terus.
Marahlah tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan. Mereka pun dapat menduga bahwa dari gerakan
pemuda jembel ini, dua orang enci adik Chi sama sekali bukan tandingannya. Mereka mencabut pedang
dan bergeraklah lima orang gadis ini menyerang kalang-kabut! Biar pun dibandingkan dengan Siang Ki
tingkat ilmu silat mereka masih jauh, namun karena mereka maju bersama dan mengeroyok dengan nafsu
membunuh, Siang Ki tidak berani memandang rendah. Tangan kirinya menyambar topinya, sambil
bergerak dengan lincah ia mengayun topi dan tangan kanan.
“Siuut-siuut-bret-bret...!” terdengar lima orang itu menjerit kaget dan di lain saat rambut mereka yang
digelung rapi itu sudah terlepas semua ikatannya, cerai-berai dan awut-awutan karena pita rambutnya telah
dunia-kangouw.blogspot.com
putus oleh renggutan jari tangan Yu Siang Ki. Mereka hanya merasa betapa pandang mata mereka gelap
karena muka mereka tiba-tiba tertutup topi lebar yang baunya apek oleh keringat, kemudian merasa
rambut mereka terlepas ikatannya. Ketika mereka memandang, pita-pita rambut mereka telah berada di
tangan Siang Ki yang tertawa-tawa.
Bukan main kaget dan marah hati mereka. Kaget karena tidak mengira bahwa jembel muda ini benar-benar
luar biasa lihainya dan marah karena peristiwa yang terjadi di depan banyak tokoh kang-ouw itu
merupakan penghinaan bagi mereka. Kemarahan inilah yang membuat mereka lupa diri, lupa akan pesan
guru-guru mereka bahwa menghadapi seorang yang jauh lebih lihai, tiada gunanya berlaku nekat karena
takkan dapat menang. Dengan gerakan ganas mereka sudah menyerbu lagi mengeroyok Siang Ki.
Pemuda ini menjadi girang karena usahanya memancing Kwi Lan keluar berhasil. Ia sudah melihat gadis
itu muncul keluar di belakang Suma-kongcu, maka hatinya menjadi lega dan ia berniat mengakhiri
perkelahian dan meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, pada saat itu Suma Kiat sudah datang berlari seperti terbang cepatnya. Pemuda ini marah
sekali. Ia tidak mengenal si Pemuda Jembel, sebaliknya ia sudah beramah-tamah dan menerima janji-janji
senyum dan kerling manis lima orang wanita cantik itu, tentu saja tanpa pikir-pikir panjang lagi ia sudah
memihak lima orang wanita itu. Gerakannya aneh dan luar biasa sekali cepatnya, tahu-tahu ia sudah terjun
ke dalam pertandingan dan mengirim pukulan hebat ke arah Yu Siang Ki.
“Suheng... jangan...!” Kwi Lan melompat dan mengejar kakak seperguruannya.
Akan tetapi Suma Kiat tidak mempedulikannya dan sudah menghantam ke arah dada Yu Siang Ki. Ketua
pengemis yang muda ini sedang sibuk mengelak dan menangkis keroyokan lima batang pedang dengan
kebutan topinya, ketika secara mendadak ada angin menyambar keras sekali dari arah depan. Belum tiba
pukulannya, anginnya sudah datang menghantam dengan hawa amat panas! Kagetlah ia mengenal
pukulan ampuh ini. Cepat ia menangkis dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan yang memegang
topi juga digerakkan menampar atau mengebut ke arah tiga batang pedang yang menyambar ke arahnya.
“Wuuuuttt... plakkk...!” Karena Yu Siang Ki membagi tenaga sinkangnya untuk mengebut pedang dan
menangkis, maka tangkisannya itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaganya. Ia tidak menduga bahwa
pemuda bangsawan itu dapat melakukan pukulan yang demikian ganas dan kuat, maka ketika kedua
lengan bertemu Yu Siang Ki merasa betapa serangkum hawa panas menembus sampai ke dadanya dan ia
terhuyung-huyung dengan wajah pucat!
Suma Kiat tertawa mengejek dan sudah menyambar lagi ke depan, mengirim pukulan lebih ganas kepada
Siang Ki yang sedang terhuyung-huyung ke belakang.
“Suheng... mundur kau...!”
Suma Kiat melihat sinar hijau berkelebat dan tahulah ia bahwa Siang-bhok-kiam di tangan sumoi-nya telah
mengancam pundaknya. Namun ia tidak percaya bahwa sumoi-nya akan berani atau mau melukainya,
maka ia tidak ambil peduli dan melanjutkan pukulannya ke arah Siang Ki.
“Brettt...! Aduhhh...! Heeee, Sumoi, gilakah engkau? Berani kau melukai aku?!” bentak Suma Kiat. Pundak
kirinya mengucurkan darah karena tepi pundak telah tertusuk pedang merobek baju dan kulit dagingnya. Ia
menutupi luka di pundak kiri dengan tangan kanan, memandang sumoi-nya dengan mata terbelalak heran.
Sungguh di luar dugaannya bahwa sumoi-nya benar-benar berani melukai pundaknya, dan hal ini
dilakukan hanya untuk membela seorang... pengemis!
Dengan pedang di tangan dan muka merah saking marahnya, Kwi Lan menjawab dan menentang pandang
mata suheng-nya. “Suheng! Perempuan-perempuan itu telah menghinaku dan Yu-pangcu ini telah
membelaku karena di antara kami ada tali persahabatan yang erat. Akan tetapi engkau malah membela
perempuan-perempuan tak tahu malu ini dan hendak mencelakainya. Aku sudah minta kau mundur, tapi
kau memaksa maju sehingga terluka oleh pedangku. Pendeknya, siapa pun juga tidak boleh
mencelakakannya!” Sikap Kwi Lan garang sekali, pedangnya melintang di depan dada.
“Ha-ha-ha, sungguh lucu! Sumoi jadi kau sekarang telah menjadi inang pengasuh jembel cilik ini? Menjadi
pelindung pengemis kelaparan ini?”
Siang Ki telah menyambar tongkatnya yang tadi ia sandarkan di meja. Gerakannya cepat sekali dan kini ia
sudah berdiri di depan Kwi Lan, memandang Suma Kiat dengan pandang mata penuh wibawa, suaranya
dunia-kangouw.blogspot.com
nyaring ketika berkata, “Sungguh omongan yang tidak patut keluar dari mulut seorang gagah. Lebih tidak
patut lagi keluar dari mulut Suheng dari Kam-lihiap! Aku Yu Siang Ki tidak pernah minta dilindungi Kamlihiap
dan jangan kira bahwa aku takut menghadapi engkau, Suma-kongcu.”
Suma Kiat marah sekali, akan tetapi melihat sumoi-nya masih berdiri dengan pedang di tangan, ia raguragu
untuk bergerak maju. Ia sudah cukup mengenal watak sumoi-nya yang ganas dan diam-diam ia pun
maklum bahwa sekali sumoi-nya marah dan melawannya, belum tentu ia mampu mengalahkan sumoi-nya
itu. Dan kini jelas tampak sikap sumoi-nya itu membela si Pengemis ini!
Pada saat yang menegangkan itu, di mana kedua pihak agaknya siap untuk bertanding dan selagi semua
tamu memandang penuh perhatian dan ketegangan, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun nyaring
berwibawa.
“Hemm, apakah yang terjadi di sini?”
Semua orang menengok dan dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda tinggi tegap yang berpakaian
putih dan di punggungnya tampak sebuah yang-khim yang bentuknya seperti kepala naga. Pemuda ini
bukan lain adalah Kiang Liong! Dan di samping pemuda itu berjalan seorang gadis cantik jelita berpakaian
indah dan gadis ini adalah Puteri Mimi!
Bagaimanakah Kiang Liong bisa muncul pada saat itu dan mengapa pula bersama Puteri Mimi? Untuk
menjawab pertanyaan ini marilah kita mengikuti perjalanan Kiang Liong agar jalannya cerita menjadi
lancar.
********************
Seperti telah kita ketahui, pemuda murid Suling Emas ini telah berhasil diobati dan diselamatkan oleh Song
Goat yang cantik manis. Setelah tubuh Kiang Liong ‘direbus’ dalam air yang dimasuki obat, air dalam
tahang berubah hitam dan tubuh bagian bawah berubah putih dan normal kembali.
Untung bahwa pengobatan ini telah selesai dan berhasil dengan baik ketika Song Goat mendengar suara
hiruk-pikuk di luar kedai. Melihat betapa pemilik kedai dan penduduk dusun itu hendak menyerbu masuk
dan mendengar betapa ia disangka siluman, Song Goat tertawa lalu berkata, “Kongcu, sebaiknya kita
segera pergi dari tempat ini. Kasihan mereka itu yang bodoh.”
Kiang Liong membelakangi gadis itu dan mengenakan pakaiannya, kemudian baru ia menghadapi Song
Goat dan menjura sampai dalam. “Nona Song, kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku Kiang Liong
selama hidupku takkan melupakanmu dan amat berterima kasih kepadamu. Orang-orang itu benar kurang
ajar, berani menganggap Nona sebagai siluman. Terlalu! Biar kuhajar mereka agar kapok!”
“Ah, mengapa kau berpemandangan sepicik itu, Kongcu. Mereka adalah orang-orang yang jalan pikirannya
amat sederhana dan bodoh percaya akan tahyul. Kita tidak semestinya marah kepada mereka, sebaliknya
aku kasihan kepada mereka. Kongcu, hanya orang-orang yang berpikiran sederhana dan bodoh sajalah
yang masih dapat diharapkan kebaikannya di dunia yang penuh orang pintar ini. Orang yang sederhana
memang bodoh, akan tetapi jujur dan setia, tidak seperti orang-orang pintar yang terlalu pintar sampai lupa
akan kejujuran dan kesetiaan! Marilah kita pergi!” Suara gadis itu terdengar penuh kedukaan dan ia sudah
berkelebat ke luar melalui jendela.
Sejenak Kiang Liong tertegun. Ia banyak mempelajari filsafat dan pelajaran keagamaan, maka mendengar
ucapan gadis itu ia tertegun. Gadis yang cantik manis, gadis yang berbudi, gadis yang patah hati! Tanpa
berkata sesuatu, setelah menyambar sepasang pit dan yang-khim-nya, ia pun melompat ke luar jendela
menyusul Song Goat.
Mereka berdua berlari cepat tanpa bicara. Berapa kali Kiang Liong melirik ke arah gadis itu dan melihat
betapa wajah yang cantik itu terselubung kekeruhan tanda bahwa hati gadis itu berduka. Ia merasa heran
sekali dan setelah mereka berlari jauh dari dusun, mendaki sebuah bukit dan melalui padang rumput yang
luas. Kiang Liong tak dapat menahan kesunyian di antara mereka.
“Nona Song, harap berhenti dulu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Song Goat mengerling kepadanya lalu berhenti. Mereka, tanpa bicara menghampiri sebuah pohon besar di
tepi jalan. Tempat itu teduh dan amat sejuk hawanya. Enak duduk di bawah pohon teduh ini setelah berlari
di bawah sinar matahari yang sudah naik tinggi.
Mereka duduk berhadapan, di atas akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Masih
tidak bicara. Song Goat menyapu dengan pandang matanya ke depan. Melihat pemuda itu memandangnya
penuh selidik, kedua pipinya menjadi kemerahan dan menunduk. Kemudian tanpa mengangkat mukanya ia
bertanya.
“Kongcu, mengapa kau menyuruh aku berhenti?”
Kiang Liong tersenyum. Makin tertarik hatinya ketika ia menatap wajah yang tunduk itu. Dara cantik manis,
memiliki hati yang baik akan tetapi patah-patah dan... pemalu! Berdebar jantungnya, timbul rasa kasih dan
suka di hatinya.
“Nona Song, aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu.”
Kini Song Goat mengangkat mukanya dan cepat-cepat ia menundukkan pandang matanya ke tanah ketika
melihat sinar mata tajam yang seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya. “Bicara tentang apakah,
Kongcu? Engkau sudah sembuh, dan engkau dapat melanjutkan perjalananmu. Jalan kita bersimpangan...”
“Ah, Song-kouwnio, apakah kau menganggap aku seorang yang demikian rendah dan tidak ingat budi?
Kau sudah merenggut nyawaku dari cengkeraman maut. Engkau telah menyelamatkan aku dan sampai
mati sekali pun, budimu yang besar tidak akan dapat kulupakan. Betapa mungkin akan kutinggalkan kau
begitu saja setelah kini kau menyelamatkan aku? Tidak, aku tidak serendah itu, Nona. Pohon-pohon yang
disiram, dipupuk dan dirawat akan membalas dengan bunga-bunga indah dan buah-buah lezat. Kuda dan
anjing yang dipelihara akan membalas dengan kesetiaan. Mana aku Kiang Liong kalah oleh pohon atau
binatang?”
Mau tidak mau Song Goat tersenyum kecil. Benar-benar pemuda yang pandai merayu hati pikirnya. Hati
siapa tidak merasa nikmat mendengar ucapan seperti itu? Pemuda yang berkepandaian amat tinggi, jauh
lebih tinggi dari pada dia sendiri, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat ayahnya mau pun semua tokoh yang
pernah dijumpainya. Makin keras debar jantung Song Goat ketika ia mengangkat muka. Mereka bertemu
pandang. Pandang mata pemuda itu amat tajam, halus, dan mesra. Bagaikan sinar matahari, hangathangat
menembus jantung gadis itu.
“Kiang-kongcu, kalau engkau mau berterima kasih, harus kepada Ayah, karena sedikit kepandaian
pengobatan ini kudapat dari Ayah...“
“Ah, benar! Betapa kurang hormat aku kepada Song-locianpwe. Di manakah adanya ayahmu, Nona?
Bawalah aku kepadanya agar aku dapat menghaturkan terima kasihku.”
Tiba-tiba Song Goat yang duduk bersandar pohon itu membungkukkan punggung, menyembunyikan muka
di kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Sikap pemuda yang amat halus dan mengenal budi ini,
pertanyaannya yang mengingatkan ia kepada ayahnya, menyeretnya kembali kepada peristiwa yang amat
menyakitkan hatinya, bergema kembali ditelinganya suara Yu Siang Ki tunangannya yang secara berterang
menyatakan pembelaan dan cinta kasihnya kepada Kwi Lan. Rasa sakit hati yang ditahan-tahan, ditekantekan
dan dibendungnya selama ini sekarang pecah oleh pertanyaan dan sikap Kiang Liong, pecah dan
membanjir sebagai tangis yang membuat air matanya berderai melalui celah-celah jari tangannya yang
menutupi muka.
Sebuah lengan yang kuat melingkar punggungnya dengan halus penuh hiburan. Bisikan suara yang halus
terdengar dekat telinganya. “Kouwnio, mengapa berduka? Mengapa menangis? Hanya manusia kejam
berhati iblis saja yang tega membuatmu berduka. Ceritakanlah kepadaku, Nona, dewi penolongku, dan aku
sudah siap dengan jiwa ragaku untuk membantumu.”
Sentuhan jari tangan yang halus menghibur, bisikan yang mengandung ucapan manis ini seakan-akan
menjebolkan bendungan terakhir sehingga membanjirlah air mata dari sepasang mata yang sayu itu.
Terisak-isak Song Goat menangis dan tanpa ia sadari lagi kini menyandarkan kepala di dada Kiang Liong,
dan baju pemuda itu sampai basah semua oleh air matanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Liong yang banyak mengenal watak wanita tidak mengganggunya dan membiarkan gadis itu
menangis tersedu-sedu. Tangis adalah obat terbaik untuk menguras semua duka dan dendam yang
meracuni hati. Dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus rambut yang halus itu, bahkan perlahanlahan
ia menundukkan muka dan mencium ubun-ubun kepala dengan rambut halus dan harum itu sambil
memejamkan matanya. Gadis yang luar biasa dan pantas dicinta sepenuh hati, pikirnya. Akan tetapi ia
berlaku hati-hati agar gadis itu tidak merasa terhina. Kiang Liong seorang pemuda romantis, mudah
terjaring cinta, namun ia bukan seorang kasar.
Akhirnya reda juga banjir kedukaan yang menggelora di hati Song Goat. Seperti seorang terbangun dari
mimpi, gadis itu baru sadar bahwa ia merebahkan diri di atas dada yang bidang itu, baru sadar bahwa ia
berada di dalam pelukan Kiang Liong, bahkan membatas pelukannya, dan baru tampak olehnya betapa
baju yang menutupi dada pemuda itu sudah basah semua oleh air matanya.
“Aiihhh...“ Ia merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan, lalu duduk menjatuhkan diri.
“Kenapa, Nona?” Kiang Liong bertanya, tersenyum ramah.
Dua pasang mata bertemu pandang, kasih sayang dan kemesraan dalam pandang mata Kiang Liong itu
mendatangkan rasa jengah yang mendalam sehingga akhirnya Song Goat menundukkan mukanya yang
menjadi merah sekali.
“Ahh, Kiang-kongcu, maafkan... maafkan aku... yang lupa diri...“
“Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona. Aku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menolongmu.
Ceritakanlah, apa yang membuat kau begini berduka dan sakit hati?”
Song Goat merenungi tanah di depan kakinya menarik napas panjang kemudian hanya menggeleng
kepala tanpa jawaban.
Kiang Liong meraih maju dan memegang tangan yang dingin dan halus itu. Dikepalnya jari-jari tangan
Song Goat dan diguncangnya sambil berkata. “Nona Song, aku berterima kasih kepadamu, aku kagum dan
suka kepadamu. Apakah kau masih tidak percaya padaku?”
Song Goat mengangkat mukanya yang berlinang air mata dan kembali dua pasang mata bertemu
pandang. Melihat betapa wajah yang tampan itu dengan penuh kejujuran dan kemesraan memandangnya,
Song Goat berdebar jantungnya. Tanpa ia sadari jari-jari tangannya bergerak dan membalas tekanan
Kiang Liong. Alangkah mudahnya menjatuhkan hati kepada pemuda seperti ini. Alangkah mudahnya
menyerahkan jiwa raga kepada pemuda seperti ini, kalau saja... kalau saja...
Song Goat cepat mengusir perasaan ini dan rasa malu membuat leher dan mukanya menjadi merah dan
panas, kemudian ia menarik tangannya perlahan-lahan. Kiang Liong melepaskan tangan itu, tidak mau
memaksanya sungguh pun ia tahu betapa tangan kecil itu tadi membalas remasannya sebagai jawaban
suara hati.
“Nona Song, siapa yang menyakitkan hatimu? Dan di mana adanya ayahmu, Song-locianpwe?”
Dengan muka tunduk Song Goat menjawab lirih. “Aku... meninggalkan Ayahku...!”
“Kenapa? Di mana dia?”
Kembali Song Goat menghela napas dan kini ia mengangkat muka. Mereka berpandangan dan Song Goat
lalu berkata, “Kiang-kongcu, urusan ini sebenarnya merupakan rahasia pribadi, akan tetapi... biarlah kau
menjadi satu-satunya orang yang akan mendengarnya. Aku percaya kepadamu... dan biarlah kau seorang
yang menjadi penumpahan rasa duka hatiku, karena kalau hal ini tidak kutumpahkan, tentu akan meracuni
hatiku. Kiang-kongcu, aku... aku telah dihina dan dikhianati... tunanganku sendiri.”
Kiang Liong mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Hemm? Apakah dia seorang yang buta? Kalau tidak
buta matanya, tentu buta hatinya sehingga ia tega berbuat keji terhadapmu. Siapa dia, Nona?”
Dengan suara lirih Song Goat lalu menceritakan betapa sejak kecil ia telah dijodohkan oleh ayah dan
sahabat ayahnya, dijodohkan dengan putera sahabat ayahnya itu. Belasan tahun ia ikut merantau mencari
tunangannya, kemudian menceritakan betapa ia dan ayahnya berhasil menolong tunangannya, kemudian
dunia-kangouw.blogspot.com
betapa tunangannya itu di depannya menyatakan cinta kasihnya kepada seorang gadis lain sehingga ia
menjadi malu dan kecewa lalu melarikan diri.
Kiang Liong mendengarkan dengan sabar dan tidak pernah mengganggunya, akan tetapi setelah selesai
cerita gadis itu, ia bertanya, suaranya mengandung ketegangan. “Nona Song, kau bilang nama
tunanganmu itu Yu Siang Ki, Pangcu dari Khong-sim Kai-pang? Apakah dia seorang pengemis muda yang
bertopi lebar terhias bunga dan memegang tongkat. Wajahnya tampan tubuhnya tinggi?”
Song Goat mengangguk. “Apakah Kongcu sudah mengenal dia?”
“Hemm, kenal baik sih tidak, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia seorang pemuda yang
gagah perkasa dan baik, mengapa tega melakukan kekejian kepadamu? Dan siapakah wanita yang
dicintanya?”
“Seorang gadis yang hebat, julukannya Mutiara Hitam, namanya Kam Kwi Lan...”
“Ahhhh...! Dia...?” Terbayang di depan mata Kiang Liong seorang gadis yang cantik jelita, lincah dan
ganas, dan ia kini tidak merasa heran bahwa tunangan gadis ini telah jatuh cinta kepada Mutiara Hitam.
Memang gadis itu terlalu hebat untuk dijadikan sahabat biasa. Pemuda jenaka bernama Tang Hauw Lam
yang ia jumpai bersama Mutiara Hitam dahulu itu pun sudah tergila-gila kepada Mutiara Hitam!
“Eh, kau sudah mengenal pula Adik Kwi Lan, Kongcu?”
“Hemm, kenal sih tidak. Dia gadis aneh dan binal. Akan tetapi pernah aku bertemu dengannya. Memang
dia cantik dan lihai, akan tetapi tunanganmu itu sungguh tak tahu diri, tidak mengenal budi dan tidak
bijaksana kalau dia melukai hatimu dengan pernyataan cintanya kepada wanita lain di depanmu.”
Song Goat menarik napas panjang. “Tak dapat kupersalahkan dia, Kongcu. Dia menyatakan cinta kasih
kepada Adik Kwi Lan tanpa ia ketahui bahwa ia telah ditunangkan dengan aku. Dan dia menyatakan cinta
kasih itu dalam keadaan terdesak untuk menolong keselamatan Adik Kwi Lan.” Song Goat lalu
menceritakan tentang munculnya seorang wanita aneh berkerudung yang ternyata adalah guru Mutiara
Hitam dan betapa Yu Siang Ki mengaku cinta kepada Kwi Lan dalam pembelaannya ketika melihat Kwi
Lan terancam maut di tangan gurunya sendiri.
Mendengar semua ini Kiang Liong mengangguk-angguk.
“Setelah mendengarkan pengakuan itu, bagaimana aku mempunyai muka untuk bertemu kembali dengan
dia, Kongcu? Apa lagi harus bicara tentang jodoh! Jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari rasa
terhina dan malu hanyalah melarikan diri seperti yang kulakukan sekarang.”
Kiang Liong maklum akan keadaan gadis ini yang ruwet dan ia merasa kasihan sekali. Tiba-tiba ia
memegang tangan yang kecil itu. Sejenak tangan itu gemetar seperti seekor anak ayam dalam
genggaman, akan tetapi tidak ditarik lepas.
“Nona, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?”
Dua pasang mata bertemu. Song Goat meragu, lalu menggeleng kepala, menunduk dan menarik
tangannya. “Aku... aku tidak tahu... dia memang gagah dan baik, akan tetapi aku baru saja bertemu
dengannya..., dan... mendengar pengakuannya terhadap Kwi Lan, rasanya... rasanya aku tidak
mencintanya...“
Kembali tangan kanan Song Goat dipegang dan diremas tangan Kiang Liong yang menggeser dekat.
“Dewiku, kalau begitu mengapa berduka? Kalau pengemis bodoh itu tidak dapat menghargaimu dan kau
pun tidak mencintanya, mengapa harus berduka? Engkau sebaliknya harus bersyukur telah terbebas dari
padanya. Terus terang saja, aku bersedia sepenuh hati, sepenuh jiwa ragaku untuk mencintamu, dan cinta
kasihku akan jauh melampaui cinta kasih pengemis bodoh itu!”
Mendengar ucapan ini Song Goat memejamkan matanya dan air matanya berlinang di atas pipi. Ia seperti
mabok dan mandah saja ketika Kiang Liong menariknya, memeluknya erat-erat, bahkan ia hanya
meramkan mata ketika pemuda itu mengecupi air mata dari kedua pipinya. Ia merasa seolah-olah
diterbangkan ke angkasa dan terayun-ayun nikmat, merasa aman sentosa dalam pelukan sepasang lengan
dunia-kangouw.blogspot.com
yang kuat itu, bisikan-bisikan merdu merayu dari mulut Kiang Liong bagaikan nyanyian dewata. Sejenak ia
hampir lupa diri, hampir mabok madu asmara.
Akan tetapi ketika merasa betapa bibir pemuda itu dengan penuh kasih sayang dan mesra mendekati dan
menyentuh bibirnya, ia terhenyak kaget dan menggerakkan kedua lengannya yang tadi merangkul leher
pemuda itu untuk mendorong dada Kiang Liong, merenggutkan dirinya terlepas dan meloncat berdiri.
Mukanya pucat sekali dan kedua kakinya menggigil.
“Tidak...! Tidak...!” keluhnya berkali-kali.
Kiang Liong juga meloncat berdiri di depan gadis itu, memandang penuh pertanyaan. Akan tetapi ia tidak
mau memaksa dan hanya memandang penuh selidik. Melihat pandang mata ini, Song Goat merasa
bersalah. Dia tadi seperti hendak menyerahkan diri, kini merenggut lepas, seolah-olah ia mempermainkan
cinta kasih orang!
“Kiang-kongcu, kau maafkan aku. Sesungguhnya, akan merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar
sekali bagi seorang dara bodoh dan buruk lagi miskin seperti aku ini untuk mendapatkan cinta kasih
seorang Kongcu sepertimu. Ah, betapa aku akan dapat menolak cinta kasihmu, Kongcu? Aku akan
bahagia sekali!”
Kiang Liong tersenyum dan hendak meraih dan memeluk gadis itu lagi, akan tetapi Song Goat mengelak
dan cepat-cepat menyambung kata-katanya. “Akan tetapi... jelek-jelek aku bukanlah seorang yang tidak
memiliki kesetiaan seperti Yu Siang Ki. Aku tidak mau menjadi seorang anak murtad dan tidak berbakti.
Aku tidak mau memutuskan tali perjodohan yang sudah dipastikan oleh orang tuaku semenjak aku kecil.
Sejak dahulu aku sudah menganggap diriku menjadi isteri Yu Siang Ki dan kalau dia sekarang
memutuskan tali perjodohan, tiada lain jalan bagiku kecuali masuk menjadi nikouw (pendeta wanita)!”
“Moi-moi...!”
“Tidak, jangan sentuh aku lagi, Kongcu! Ingat, aku calon isteri orang lain! Engkau seorang pendekar muda
yang sudah terkenal dan aku yakin seorang pendekar akan menjunjung tinggi kesusilaan dan menjaga
peraturan. Engkau budiman, lebih baik tunjukkan kepadaku kelenteng yang baik untuk aku mengabdi
kepada agama.” Song Goat menghapus air matanya yang kembali berderai itu dengan ujung bajunya.
Kiang Liong menghela napas panjang, hatinya terharu. Bukan wataknya untuk memaksakan cintanya
terhadap wanita, maka ia lalu berkata, “Nona Song, aku mengerti akan pendirianmu. Baiklah, Kuil Pek-liansi
di lereng Bukit Cin-ling-san diketuai oleh Fang-nikouw yang menjadi sahabat baikku. Kau dapat datang
ke sana dan menjadi murid Fang-nikouw mempelajari keagamaan, akan tetapi kau berjanjilah bahwa
sebelum satu tahun, engkau tidak akan menjadi nikouw. Aku akan menemui Yu Siang Ki dan kalau dalam
satu tahun dia tidak mencarimu, anggap saja usahaku gagal dan sesukamulah kalau kau hendak menjadi
nikouw. Kau serahkan suratku kepada Fang-nikouw.”
Pemuda itu lalu mengeluarkan pena bulunya, mengambil sehelai sapu tangan putih dan menggunakan
getah pohon sebagai tinta, mencorat-coret beberapa belas huruf di atas sapu tangan lalu memberikannya
kepada Song Goat.
“Terima kasih, Kongcu. Engkau baik sekali. Selama hidupku, aku tidak akan melupakan budimu.”
“Aihhh, Song-moi, engkau benar-benar membikin hatiku terasa perih. Akan tetapi apa boleh buat,
urusanmu memang ruwet. Kau berjanjilah akan menanti sampai satu tahun.”
“Baiklah, Kongcu, dan selamat berpisah. Semoga Thian memberkahimu.”
Dengan pandang mata sayu Kiang Liong melihat gadis itu pergi. Banyak sudah ia mengenal gadis cantik,
akan tetapi baru Song Goat ini yang mendatangkan rasa iba besar di hatinya. Kemudian, setelah bayangan
gadis itu lenyap, ia pun melanjutkan perjalanan.
Tentu saja ia menuju pulang ke kota raja karena ia menghadapi urusan besar. Ia harus melapor sendiri
kepada Kaisar agar Kerajaan Sung dapat bersiap-siap menghadapi ancaman bangsa Hsi-hsia yang makin
mengganas. Di sepanjang perjalanan, hanya dua wajah yang selalu terbayang di depan matanya. Wajah
Po Leng In dan wajah Song Goat. Dua orang gadis yang amat berbeda wataknya, akan tetapi yang keduaduanya
telah melepas budi kepadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Senja telah mendatang ketika Kiang Liong tiba di lembah Sungai Kuning, di kaki Bukit Fu-niu-san di
sebelah selatan kota raja. Ia mempercepat larinya karena tidak ingin kemalaman di jalan, ingin bermalam di
sebuah dusun yang ia tahu berada di depan, kurang lebih dua puluh li lagi jauhnya.
Akan tetapi perhatiannya tertarik oleh keributan yang terjadi di pinggir hutan di sebelah depan. Dari jauh
sudah kelihatan bahwa di pinggir hutan itu terjadi perang kecil yang dilakukan oleh empat lima puluh orang.
Hatinya berdebar keras. Dari jauh tampak bahwa yang bertanding adalah orang-orang Hsi-hsia, hal ini
dapat dilihat dari adanya beberapa hwesio jubah merah yang bergerak cepat dan tangkas. Sedangkan
pihak lawan adalah orang-orang berseragam, seperti pasukan yang pada saat itu keadaannya terdesak
karena selain kalah banyak, juga kelihatan para hwesio jubah merah itu membuat mereka repot
mempertahankan diri.
Kiang Liong menjadi cemas sekali. Adakah pasukan Hsi-hsia sudah mulai menyerbu dan berada begini
dekat dari kota raja? Adakah pasukan yang terancam itu pasukan pengawal dari kota raja? Dari jauh tidak
tampak jelas, maka ia segera mempercepat larinya menuju ke tempat pertempuran.
Setelah dekat, ia terheran-heran. Kiranya pasukan yang terdiri dari belasan orang itu adalah orang-orang
Khitan! Beberapa orang Khitan sudah menggeletak mandi darah dan belasan orang sisanya melakukan
perlawanan mati-matian. Orang-orang Khitan ini tidak pandai silat, akan tetapi mereka biasa bertempur dan
memiliki keberanian serta kenekatan yang amat besar. Namun orang-orang Hsi-hsia di bawah pimpinan
lima orang hwesio jubah merah itu terlampau kuat bagi orang-orang Khitan ini. Dan yang mengagumkan
hati Kiang Liong adalah ketika ia melihat seorang gadis remaja mengamuk melawan dua orang hwesio
jubah merah.
Bukan main gadis remaja ini. Cantik jelita, memiliki kecantikan khas Khitan yang berbeda dengan
kecantikan orang-orang daerah Tionggoan, memakai pakaian serba indah dan hebatnya, permainan
pedang gadis itu jelas merupakan ilmu pedang yang bertingkat tinggi! Sayangnya gadis itu agaknya belum
banyak pengalaman bertanding, karena kalau ia lebih berpengalaman, Kiang Liong yakin bahwa dua orang
hwesio jubah merah ini tentu takkan dapat bertahan lama.
Apa lagi ia telah mengenal bahwa pasukan itu adalah pasukan Khitan yang pada waktu itu merupakan
bangsa sahabat. Andai kata pasukan tak dikenal sekali pun, tentu Kiang Liong tidak ragu-ragu untuk
membantunya melawan orang-orang Hsi-hsia dan hwesio-hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu ini.
Terutama sekali melihat gadis cantik jelita itu, hatinya kagum dan ingin berkenalan. Amatlah baik
kesempatan itu. Kalau dia membantunya merobohkan musuh-musuh gadis itu, tentu mereka akan dapat
berkenalan dengan baik!
Akan tetapi gadis itu tidak membutuhkan bantuan pada saat itu karena permainan pedangnya dapat
mengatasi dua orang pengeroyoknya. Yang amat membutuhkan bantuan adalah pasukan Khitan itu, maka
tanpa banyak cakap lagi ia melompat maju, menyerbu dengan cepat. Bagaikan seekor burung rajawali
menyerbu serombongan tikus saja, begitu kaki tangannya bergerak, empat orang Hsi-hsia memekik dan
roboh terguling.
Seketika berubah keadaan perang kecil itu. Apa lagi ketika hwesio-hwesio jubah merah itu memandang
dan mengenal Kiang Liong, mereka menjadi gentar sekali. Kiang Liong terus menerjang dan dalam waktu
singkat saja, belasan orang Hsi-hsia sudah roboh terguling. Para prajurit pengawal bangsa Khitan timbul
semangat mereka melihat bala bantuan yang lihai ini. Mereka mengeluarkan pekik kemenangan lalu
menyerbu makin hebat. Orang-orang Hsi-hsia mawut, sebagian roboh binasa, yang lain melarikan diri.
Lima orang pendeta jubah merah yang memimpin mereka, termasuk yang mengeroyok dara jelita tadi,
sudah lebih dulu melarikan diri masuk ke dalam hutan dan berlindung pada kegelapan malam yang mulai
timbul.
“Cianbu (Kapten), syukur kau dan pasukanmu tiba tepat pada saatnya, kalau tidak tentu aku sudah mereka
tawan!” Dara remaja itu berkata sambil menyarungkan pedangnya, wajahnya sedikit pun tidak
membayangkan kecemasan atau kekagetan sungguh pun ia baru saja terlepas dari pada bahaya besar.
Kapten yang memimpln pasukan pengawal itu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam di
depan dara itu dan meletakkan tangan kanan di depan dada, kemudian berkata. “Rasa syukur dan terima
kasih sepatutnya diberikan kepada Kiang-kongcu ini, karena kalau Kiang-kongcu tidak datang tepat pada
saatnya, bukan hanya hamba sepasukan akan terbasmi, juga Paduka Puteri tidak akan tertolong,” berkata
demikian, kepala pengawal itu menunjuk ke arah Kiang Liong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hal ini tidak mengherankan hati Kiang Liong. Ia tahu bahwa Kerajaan Khitan mempunyai banyak matamata
dan tentu saja namanya sudah dikenal baik oleh para perwira Khitan, bahkan wakil-wakil Kerajaan
Khitan yang berada di kota raja merupakan seorang di antara sahabat-sahabatnya. Ia hanya kaget
mendengar betapa dara itu disebut Paduka Puteri oleh si Kapten, maka ia menduga-duga siapa gerangan
puteri jelita ini.
“Cianbu terlalu memuji...,“ Kiang Liong berkata sambil menjura di depan dara itu yang memandangnya
dengan sepasang mata bintang.
“Ah, kiranya engkau ialah Kiang-kongcu yang dikatakan murid... Suling Emas....?”
Di dalam hatinya Kiang Liong merasa bangga. Kenyataan bahwa dia murid Suling Emas tidak
membanggakan hatinya kalau yang memujinya orang biasa, akan tetapi keluar dari sepasang bibir yang
indah ini...!
“Saya orang she Kiang hanya seorang bodoh dan hanya dapat sedikit mempelajari ilmu guru saya yang
mulia.” katanya merendah.
Dara itu tersenyum, pandang matanya melamun. “Sudah sering aku mendengar dari Ayahku tentang
kesaktian Paman Suling Emas. Aku pun pernah mendengar penuturan Pangeran Mahkota tentang dirimu,
juga Ayah mengenal namamu.”
Kiang Liong memandang wajah ayu itu, mengingat-ingat. Kemudian ia teringat akan cerita bahwa Panglima
Besar Kerajaan Khitan yang ia kenal, yaitu Panglima Kayabu yang gagah perkasa dan pandai mengatur
barisan, mempunyai seorang puteri yang cantik jelita dan pandai ilmu silat.
“Ah, kiranya saya berhadapan dengan Puteri Mimi, puteri dari Panglima Kayabu yang terhormat?”
Puteri Mimi tersenyum, giginya berkilat putih dan indah seperti mutiara disusun dan senyumnya seakanakan
menerangi cuaca yang sudah mulai gelap itu. “Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan
ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah jumpa dapat menduga tepat.” Kemudian puteri jelita
itu memandang kepala pengawal dan berkata.
“Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul secara kebetulan? Ataukah memang kau sengaja
mengikuti perjalananku?” Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan kemarahan.
Kepala pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura dalam-dalam, baru menjawab.
Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti kalau ia membuat laporan kepada atasannya. “Hamba
mendapat pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsihsia.
Hamba memimpin pasukan mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa.”
“Apa...? Pangeran Talibu tertawan...?” Puteri Mimi menjadi kaget sekali. “Mengapa orang-orang Hsi-hsia
menawan Pangeran? Dan dibawa ke mana?” Wajah puteri ini sekarang menjadi pucat dan ia cemas sekali.
Kepala pengawal itu menggeleng kepala. “Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui, hal itu
sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan di luar kota Lok-yang, juga belum
diketahui dibawa ke mana. Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja kita
amat mengharapkan bantuan Kerajaan Sung...” Ia menoleh ke arah Kiang Liong.
“Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami
akan membantu sekuat tenaga untuk membebaskannya karena kejadian itu terjadi di wilayah Kerajaan
Sung.” kata Kiang Liong. “Harap Puteri beristirahat saja di rumahku agar terjaga keamanannya, ada pun
Cianbu kuharap membantu teman-teman melakukan penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia
dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah. Di antara mereka banyak terdapat
orang-orang pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia
tidak akan membunuh Pangeran Talibu.”
“Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan
Pangeran?” tanya Puteri Mimi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Liong tersenyum. “Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak
kuceritakan kepadamu.”
Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang Liong tadi.
Berangkatlah pasukan itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung
dua ekor kuda yang disediakan oleh kepala pasukan.
Karena dapat menduga bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki tangan
yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa Puteri Mimi memasuki kota raja
lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa
kesukaran. Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat tinggal ayahnya melalui sebuah pintu
rahasia yang hanya diketahui olehnya dari belakang rumah.
Ketika ia bangun pagi itu, sudah agak siang, ia melihat bahwa di taman samping diadakan pesta. Ia
membawa Puteri Mimi yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan singkat
menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada orang tuanya. Sebagai seorang
pangeran, tentu saja Pangeran Kiang menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hormat dan ramah, juga
ibunya amat suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian dari ibunya ia mendengar tentang
kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.
“Bagaimana ini, Ibu? Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu tidak
pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggalkan seorang putera?” Kiang Liong
bertanya.
“Hemm, aku pun heran sekali melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong),” kata Pangeran Kiang dengan muka
cemberut. “Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal setahuku, Pamanmu Suma Boan tidak
pernah menikah dan tidak pernah punya putera. Kalau saja kau melihat ibu pemuda itu... hiihh, mengerikan
sekali, seperti iblis betina.”
“Ah, terlalu sekali. Tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Suma Ceng, ibu Kiang Liong
memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran. “Kau sendiri dahulu menjadi sahabat baik
kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu?
Pula, kita pernah mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Memang Kam Sian Eng
mengerikan, akan tetapi... ah, dia seorang yang berilmu tinggi, dan tidak waras, apa lagi dia masih adik tiri
Suling Emas, apakah kau masih bersangsi?”
Makin keruh wajah Pangeran Kiang. “Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emas selalu benar dan
baik, sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan!”
“Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan....“
“Sudahlah!” Pangeran Kiang membanting kaki dan meninggalkan kamar.
Kiang Liong menjadi sedih dan juga malu karena ayah bundanya bertengkar di depan Puteri Mimi.
Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah sering kali ia mendengar ayah dan ibunya bertengkar dan
selalu dalam pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika dia diambil
murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia menghela napas panjang
dan berkata.
“Sesungguhnya, bagaimanakah ia datang dan mau apa? Sekarang, eh, wanita yang menjadi ibunya itu ke
mana, apakah berada di sini pula?”
Suma Ceng yang biar pun usianya sudah mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus itu, menarik
napas panjang, memegang dan menarik tangan Puteri Mimi mendudukkan gadis itu di dekatnya sambil
berkata. “Puteri harap kau maafkan kami yang tidak tahu sopan-santun. Tentu membikin kau merasa tidak
enak sekali.”
Mimi biar pun masih gadis remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang besar,
maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nyonya yang halus itu, kagum akan
kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata, “Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa
yang terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan senang. Kemudian
berkata, suaranya halus dan matanya sayu termenung. "Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi.
Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci angkat
ratumu di Khitan."
Kemudian ia memandang putera sulungnya, "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal
dunia, di luar tahu siapa pun juga ia meninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung. Semenjak
itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di waktu malam dia muncul secara tiba-tiba di
sini bersama puteranya, Suma Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di
sini dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja aku tidak dapat menolak
permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat melalui pesta umum kepada para tamu.
Ayahmu tidak setuju, maka terpaksa Suma Kiat sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."
Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam
rumah tangga ibunya, dan di dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri
belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya, melebihi
sayangnya kepada dua orang adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat. Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang
kepada dua orang adiknya. Rahasia apakah?
Dia tidak tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun yang sudah berusia
dua puluh tiga tahun, sudah menikah dan bahkan tinggal jauh di selatan, di Sucouw. Ada pun Kiang Hoat
adiknya yang bungsu, menjadi siucai (sastrawan) yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya
mengejar wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.
"Kalau begitu... Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal di sini?"
"Tidak, bahkan ia datang, bicara singkat lalu pergi lagi menghilang seperti... seperti setan. Tidak terlalu
menyalahkan Ayahmu kalau mengatakan dia iblis betina. Memang mengerikan sekali, Liong-ji. Tentang
kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat orang-orang sakti seperti Suling... eh,
Gurumu sehingga melihat orang berkelebat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia
menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan sikapnya... hih,
menyeramkan!"
Kiang Liong tidak merasa heran kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak
mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di taman, adalah saudara misan
dengannya. Dan melihat ibu pemuda itu sakti, tentu pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini
menggembirakan hatinya, karena biar pun ia mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali
tidak mengerti ilmu silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat dari pada ilmu silat.
Teringat akan adiknya, ia lalu bertanya.
"Adik Hong ke mana, Ibu? Apakah ikut berpesta di samping?"
Ibunya cemberut. "Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan dia! Seorang siucai pemogoran! Kini
tergila-gila kepada anak pemilik rumah makan di barat kota! Merengek minta dikawinkan dengan anak itu.
Anak pemilik restoran! Wah benar-benar anak itu membikin malu orang tua!"
Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang marah. "Kenapa tertawa?"
"Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih? Kan dia juga perempuan tulen? Kalau
memang Adik Hoat mencintanya..."
"Cinta? Ah, cinta hanya awal bencana dan duka! Aku akan merasa bahagia sekali kalau dia mencinta
seorang gadis seperti... Mimi ini..."
"Ihhh... Bibi membikin aku malu saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.
"Ha-ha-ha! Ibu tidak usah marah-marah, maafkan kalau pendapat saya keliru." Kiang Liong berlutut dan
memeluk kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus kepala
puteranya. Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan dari pria yang dicintanya, putera
Suling Emas!
"Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau menikah."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apa lagi sekarang, aku harus cepat-cepat
menghadap Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat bertindak untuk
menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan yang kini tertawan orang-orang
Hsi-hsia."
Seketika wanita itu menjadi serius. "Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara tentang
urusan pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan
selesaikan urusan penting itu."
Pada saat itulah terdengar suara ribut-ribut di samping gedung, dari arah taman di mana sedang
berlangsung pesta. mendengar ini, Kiang Liong lalu melompat dan melangkah ke luar, diikuti Puteri Mimi
yang juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.
********************
Demikianlah, seperti telah kita ketahui di bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba di taman dan
menyaksikan keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.
"Hemmm, apakah yang terjadi di sini?"
"Kiang-kongcu datang...!" Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang sekaligus dan semua mata kini
memandang ke arah Kiang Liong.
Dengan pandang matanya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang kelihatan
menimbulkan keributan. Tertegun hatinya ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa
pengemis muda bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak didengarnya.
Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa tidak senang di hatinya, apa lagi melihat
munculnya pengemis muda itu bersama Mutiara Hitam! Hatinya makin sebal melihat seorang pemuda
berpakaian serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi ia tidak berkata
apa-apa, hanya memandang penuh perhatian.
Suma Kiat adalah seorang yang wataknya aneh, namun harus diakui bahwa di balik keanehannya, ia
memiliki kecerdikan luar biasa. Mendengar seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan
menarik muka semanis-manisnya, menjura dengan penuh hormat sambil berkata.
"Kiang-piauwheng (Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak
dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk ini!" Setelah berkata
demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak kirinya.
Kiang Liong hanya mengangguk kepada Suma Kiat sebagai balasan, lalu bertanya, suaranya tetap tenang.
"Siapakah yang mengacau dan apa sebabnya?"
Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata, "Jembel busuk
inilah yang mengacau. Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi. Aku tentu sudah dapat
memukul mampus padanya kalau saja Sumoi-ku ini tidak mencampuri dan melukai pundakku!"
Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran, akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh tak
disangka-sangkanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid wanita aneh bernama Kam Sian Eng
yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya sendiri? Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang
lain, masih terhitung adik seperguruan dengannya. Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat
berkata.
Kemudian ia memandang Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa
pemuda tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata tajam juga.
Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia
sebagai tuan rumah, maka ia segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan
ini membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, kemudian ia pun balas menghormat.
"Pesta kecil ini diadakan untuk menyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh
datang. Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang tamu
sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu menghina tamu lain, apa lagi tamudunia-
kangouw.blogspot.com
tamu wanita. Sungguh hal yang amat tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi
penjelasan."
Sebelum Yu Siang Ki sempat menjawab, lima orang wanita yang tadi dikalahkan Siang Ki sudah berebut
maju dan seorang di antara mereka berkata, "Mula-mula adalah si Bocah Iblis ini yang menghina kami,
Kiang-kongcu. Tanpa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan kuwah panas. Kemudian
setelah kami dapat menahan diri karena ternyata dia sumoi dari Suma-kongcu, si Jembel busuk ini bikin
gara-gara dan menyerang kami!"
Kiang Liong menoleh kepada mereka dan tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang
cantik dan dan genit ini yang selalu mengejar-ngejarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang seperti mereka
ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun tidak boleh didengar omongannya dalam
urusan besar.
"Harap kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan ini. Pergilah!"
Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang wanita itu mundur dan dengan bersungutsungut
mereka lalu pergi dari dalam taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan
Siang Ki.
Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki. "Nah, sobat, bagaimana penjelasanmu? Kuulangi lagi bahwa
sebagai seorang tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu lain."
"Kiang-kongcu, sudah amat lama saya mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong
(pendekar) yang gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya kecewa.
Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang patut menjadi tamu Kiangkongcu.
Saya telah turun tangan menghajar mereka, kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima
pertanggungan-jawabnya."
Diam-diam Kiang Liong kagum mendengar jawaban itu. Jawaban yang sederhana namun sekaligus
menonjolkan sifat gagah pemuda itu yang tidak suka menceritakan peristiwa itu untuk membela diri sendiri
dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga membayangkan keangkuhan seorang ketua perkumpulan
pengemis yang mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima
pertanggungan-jawabnya! Namun jawaban ini pun mengandung tantangan terhadap dirinya sebagai tuan
rumah. Kiang Liong seorang laki-laki sejati, betapa pun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini
adiknya itu terluka, si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang!
"Hemm, sombong sekali! Sobat, kau hendak mempertanggung-jawabkan perbuatanmu berarti kau
menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara laki-laki!" Pandang mata
Kiang Liong tajam menusuk.
Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia menjawab dengan lantang dan gagah. "Aku Yu Siang
Ki sebagai seorang gagah mengenal kegagahan, menjunjung tinggi persahabatan dan tahu mana baik
mana buruk. Sebagai ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahankan nama. Sudah lama mendengar
akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai murid pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau
Kongcu menantangku untuk mengadu kepandaian, aku orang she Yu tentu saja tidak berani berlaku
kurang ajar dan ceroboh membentur gunung Thai-san. Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai
pembela lima orang wanita tadi, berarti Kongcu membela yang sesat dan aku siap untuk menerima
pelajaran dari Kiang-kongcu!"
Dua orang muda yang sama tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah
mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk bertanding seperti dua ekor ayam jantan berlagak.
Semua tamu menjadi tegang, apa lagi setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah ketua Khong-sim
Kai-pang yang baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang hebat antara dua
orang jago muda yang berilmu tinggi.
"Piauwheng, untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar? Harap
Piauwheng jangan mencapaikan diri, untuk membikin mampus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi
pun kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus!" kata Suma Kiat berlagak
sambil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.
"Kiang-kongcu, maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,” tibatiba
Puteri Mimi menghampiri Kiang Liong dan menyentuh pundaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejak tadi puteri ini mendengar dan melihat dengan penuh perhatian. Ia amat kagum menyaksikan sikap
Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan gagah. Mendengar ucapan
Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap
menyamar dalam pakaian jembel itu.
Melihat majunya Puteri Mimi, terpaksa Kiang Liong mengalihkan perhatiannya dan menoleh. Ia melihat
betapa dua pipi yang halus itu kemerahan, mata yang jeli itu bersinar-sinar, dan diam-diam ia menjadi
kagum. "Ada petunjuk apakah, Puteri?" Kini semua orang memperhatikan Mimi karena dandannya,
kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap didengar.
"Kiang-kongcu, mereka yang ribut-ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara tamu tentu
ada sebabnya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak bijaksana. Sebagai tuan rumah,
sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih dulu apa sebab keributan, baru mengambil keputusan yang
bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas melupakan pertimbangan pikiran akan menimbulkan penyesalan
yang sudah terlambat. Harap Kiang-kongcu mendahulukan kesadaran."
Tidak hanya Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang yang
mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucapan seperti itu keluar dari sepasang bibir mungil dari
seorang dara remaja seperti Puteri Mimi.
Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera Mimi, sebaliknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah
amat marah, kini tak dapat menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju dengan pedang di tangan
kanan dan berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang Liong dengan sikap
dan pandang mata penuh tantangan! Suaranya nyaring tinggi menyambar telinga semua orang, langsung
menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.
"Orang she Kiang! Apakah karena menjadi murid Suling Emas engkau lalu boleh berlagak sombong seperti
seorang pangeran dari langit? Kalau segala macam urusan kecil hendak dibereskan secara begini sukar
olehmu, apa lagi urusan besar! Ketahuilah dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi
adalah aku, Mutiara Hitam! Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam! Yu Siang Ki ini
hanya turun tangan karena perempuan-perempuan rendah tadi menghinaku. Akan tetapi yang menjadi
biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti hakim dan memberi hukuman, hayo hukumlah
aku. Mutiara Hitam berani berbuat berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa
Suling Emas seorang pendekar besar dan patriot, akan tetapi muridnya mengapa mengumpulkan kaum
pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan kedudukan dan nama gurumu, akan tetapi jangan
kira aku takut!"
Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai persekutuan untuk membantu
gerakan bangsa Hsi-hsia menjadi pucat karena khawatir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi
pucat karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupakan penghinaan hebat!
"Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila? Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?" Yu
Siang Ki menegurnya, wajah pemuda ini pun menjadi pucat. Ia maklum bahwa kali ini gadis liar ini telah
membuat onar dan kekacauan hebat sekali.
Akan tetapi yang ditegur sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan sinar matanya seakan-akan
mengejek dan berkata. "Jangan turut campur!"
Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini! Kalau diucapkan tidak di tempat
umum, masih belum hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi ucapan
yang amat menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu. Suaranya agak gemetar karena menahan
amarah ketika ia bertanya.
"Mutiara Hitam, sungguh lancang mulutmu!" Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku Suma Kiat
berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani bersikap begini kurang ajar? Kau menuduh
dan memfitnah yang bukan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum pemberontak? Apa maksudmu?"
Kwi Lan tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis. "Masih berpura-pura lagi?
Apa kau menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang mata Kiang Liong mengeluarkan sinar berkilat. Sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang
maju, menghajar gadis yang liar ini. Akan tetapi ia masih dapat menekan hatinya dan membentak, "Boleh!
Coba hendak kulihat siapa orangnya!"
"Kau lihat baik-baik!" Kwi Lan yang masih memegang pedang itu menyapu taman dengan pandang
matanya kemudian melangkah dan menghampiri meja di mana duduk tiga orang hwesio.
"Sumoi... jangan...!" Suma Kiat berseru.
Akan tetapi dengan langkah lebar, Kwi Lan sudah tiba di depan meja tiga orang hwesio itu dan sekali
tendang, meja itu mencelat dan menimpa tiga orang hwesio tadi.
"Brakkk...!" Hwesio kurus berjubah kuning itu dengan tangan kirinya menyampok dan meja itu pecah.
Sambil menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi Lan. "Omitohud, apakah Nona
ini menjadi gila?"
Kwi Lan tertawa, menuding dengan pedangnya. "Apakah engkau yang bernama Cheng Kong Hosiang?"
"Sumoi, jangan...!" kembali Suma Kiat berseru.
Cheng Kong Hosiang menjadi beringas pandang matanya. Kakek ini mencium bahaya, akan tetapi ia
memandang rendah gadis ini. Ia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi
seorang gadis remaja.
"Pinceng benar Cheng Kong Hosiang, Nona mau apa dan...."
Belum habis ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang maju. Dua orang hwesio tinggi besar yang duduk di
kanan kiri Cheng Kong Hosiang adalah murid-murid hwesio tua ini, mereka pun pandai ilmu silat dan
melihat gadis itu sudah menerjang maju, mereka segera menyambut dari kanan kiri bersenjatakan tongkat.
"Trang-trang... wuuut-wuuut, aduhhh...!"
Cepat luar biasa gerakan Kwi Lan. Dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangan kanan, ia menangkis dan
menempel dua tongkat itu sehingga tak dapat ditarik kembali, kemudian dengan gerakan memutar amat
kuat, ia membuat dua batang tongkat ikut berputaran sampai terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian
secara mendadak tangan Kwi Lan bergerak, dua kali memukul dan robohlah dua orang hwesio itu dengan
tulang pundak patah-patah!
Cheng Kong Hosiang sudah menyambar tongkatnya yang panjang dan berat, namun gerakan Kwi Lan
lebih cepat dari padanya. Tubuh gadis ini seperti lenyap, berubah menjadi bayangan yang didahului sinar
pedang kehijauan.
"Sumoi, tahan...!" Kembali terdengar suara Suma Kiat yang sudah dekat di belakangnya.
Melihat sumoi-nya nekat dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali dan mengirim
pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak jauh yang mengandung hawa beracun dan
betapa pun lihainya Kwi Lan, karena ia menujukan perhatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya
sukar baginya untuk menghindarkan diri dari pukulan maut suheng-nya. Dan kalau pukulan itu sampai
mengenai lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong!
"Dukk...!"
Suma Kiat terhuyung ke belakang, mulutnya menyeringai menahan nyeri, seluruh lengan kanannya terasa
lumpuh dan dadanya sesak. Bukan karena tangkisan Kiang Liong, melainkan karena hawa pukulannya
sendiri membalik ketika pukulannya tadi tertahan oleh lengan Kiang Liong. Melihat betapa adik misannya
mengirim pukulan dari belakang seganas dan sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak menangkis.
Diam-diam pemuda ini menjadi makin tidak senang kepada adik misannya. Terhadap seorang sumoi saja
sudah dapat bersikap sekeji dan securang itu.
Andai kata Mutiara Hitam ini benar bersalah dalam hal keributan ini sekali pun, ia tetap tidak akan
membiarkan adik misannya atau orang lain merobohkannya secara curang. Sinar matanya yang amat
dunia-kangouw.blogspot.com
tajam membuat Suma Kiat tak berani membuka mulut, kemudian mereka berdua, seperti juga semua
orang, kembali menonton pertandingan antara Mutiara Hitam dan Cheng Kong Hosiang.
Yu Siang Ki juga menyaksikan peristiwa yang terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak mengerti akan
sikap Kiang Liong. Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi sekarang melindungi Mutiara
Hitam. Dan Kwi Lan mengapa bersikap seperti itu? Ia merasa dihadapkan sebuah teka-teki. Benarkah apa
yang dituduhkan gadis itu? Bahwa Kiang Liong bersekongkol dengan para pemberontak? Ah, rasanya tidak
mungkin. Dan siapakah hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang diserang Kwi Lan? Ia memandang
penuh perhatian, siap untuk membantu Kwi Lan apa bila gadis itu terancam bahaya.
Hwesio kurus itu memang lihai sekali. Tongkatnya terbuat dari pada baja kebiruan yang kuat dan berat,
sedangkan ilmu tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di tangannya diputar cepat sehingga lenyap
bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar biru yang menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap
bayangannya, tergulung oleh sinar pedangnya yang kehijauan. Namun pertahanan hwesio tua itu benar
amat tangguh. Ke mana pun juga sinar pedang Kwi Lan menyerang, selalu dapat ditangkisnya dengan
tongkat sehingga pertandingan itu menjadi makin seru dan sengit. Belasan serangan hwesio itu juga tak
pernah berhasil karena gerakan Kwi Lan amat gesit.
"Trang! Trang...!" dua kali tongkat dan pedang bertemu dan kedua orang yang bertanding seru itu mencelat
mundur sampai tiga meter lebih.
“Tahan!" seru Cheng Kong Hosiang, menghapus peluh di dahinya dengan ujung baju lengan kiri, sikapnya
bengis. "Nona, pinceng adalah tamu Kiang-kongcu dan pinceng cukup menghormat tuan rumah, tidak sudi
mengacau di dalam taman ini. Kalau kau tidak memandang mata kepada Kiang-kongcu dan tetap hendak
menantang pinceng, bukan di sini tempatnya!"
Kwi Lan tersenyum mengejek. "Wah, kau tua bangka gundul benar pandai mencari muka kepada tuan
rumah yang menjadi sekutumu! Eh, Cheng Kong Hosiang, apa kau kira aku tidak mengerti akan rahasia
busukmu? Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Engkau bertugas
mengadakan persekutuan busuk dengan kaum pengkhianat dan pemberontak di kota raja. Sebagian besar
bangsawan dan pembesar yang hadir di sini...."
"Trang-trang...!" Tongkat itu menyambar hebat dan Kwi Lan yang menangkis dua buah serangan itu
sampai merasa tergetar pundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan pedangnya membalas serangan
lawan. Kedua orang itu kembali sudah bertanding secara hebat.
Berubah wajah Siang Ki mendengar ucapan Kwi Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah bertindak dengan
dasar yang demikian penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis itu? Ia melirik kepada para tokoh
pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara itu, para pembesar yang mendengar ucapan Kwi Lan,
menjadi pucat wajahnya dan bangkitlah mereka, kemudian secara tergesa-gesa dan diam-diam mereka
bergerak hendak pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.
"Berhenti! Semua tidak boleh, meninggalkan tempat ini!" bentak Kiang Liong yang cepat memberi isyarat
kepada penjaga, kemudian membisikkan perintah agar si Penjaga cepat pergi mengundang komandan
pengawal istana dan pasukannya.
Ia sendiri menjaga di pintu dan menonton pertempuran dengan hati tegang. Sejak tadi ia sudah merasa
heran melihat betapa hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu silat yang didasari gerakan kaki pat-kwa,
persis seperti ilmu silat Bouw Lek Couwsu yang lihai. Kini mendengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya
makin hebat. Tuduhan gadis itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw Lek Couwsu
berniat keras untuk menghubungi para pembesar khianat.
Kwi Lan maklum bahwa ia telah membongkar rahasia besar dan tentu saja hwesio ini akan berusaha keras
untuk membunuhnya. Bahkan mungkin kaki tangan hwesio ini termasuk suheng-nya akan
mencelakakannya. Akan tetapi hatinya agak lega melihat betapa tadi pukulan suheng-nya digagalkan oleh
Kiang Liong. Kalau sampai terjadi pertempuran besar, yang ia khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu
memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya. Maka melihat sikap Kiang Liong tadi, hatinya
lega, pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut pula berkhianat, kini menipis. Ia harus dapat menghalau
hwesio ini lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi tidaklah mudah mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya
adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan menjadi penasaran. Pertahanan hwesio itu benar amat kuat, sukar ditembusi pedangnya. Ia harus
menggunakan akal. Dalam satu dua detik saja ia sudah mendapatkan akal ini. Kalau lawannya yang
merupakan seorang berilmu dan sudah memiliki pengalaman matang dalam pertandingan-pertandingan itu
dibiarkan terus mempertahankan diri agaknya dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia akan bisa
mendapatkan kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek itu menyerang, karena
pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi lebih lemah jika dipergunakan untuk menyerang. Artinya
setiap serangan membuka lowongan atau kelemahan dalam pertahanan.
Tiba-tiba Kwi Lan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Sengaja ia membuat gerakannya itu agak
miring dengan kedudukan kaki yang tidak cukup kuat. Tongkat lawan menangkis dan Kwi Lan berseru
keras dan kaget, pedangnya terlepas dari pegangan! Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget pula, bahkan
Suma Kiat juga mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan girang. Ia maklum bahwa betapa pun lihainya,
Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak akan dapat menandingi kehebatan sumoi-nya dan tentu akan roboh.
Kini melihat berubahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia merasa girang. Ia mencinta sumoi-nya, akan
tetapi kalau sumoi-nya menghalang jalan menuju tercapainya cita-citanya, ia tidak segan-segan
bergembira melihat sumoi-nya terancam bahaya maut! Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak
matanya tak pernah berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat
digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.
Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi
kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah terbayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena
terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghantam ke arah kepala Kwi Lan.
Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat menyerempet
pundaknya!
Di dalam hatinya, Kiang Liong tertegun. Memang siasat ini hebat, akan tetapi terlalu berbahaya. Gadis ini
bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya,
terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun selain tabah
Kwi Lan juga tenang dan cerdik, perhitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya
nyeri diserempet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan Siang-tokciang
(Tangan Racun Wangi).
"Auuuggghhh...!" Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang
terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena seluruh isi
perutnya seperti ditusuk-tusuk.
"Sumoi, kau terlalu...!" Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suheng-nya,
akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong
Hosiang yang masih menggeliat-geliat.
"Lo-suhu, bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya...!" Pemuda ini meraba dada, meraba perut
dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.
"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.
Pemuda ini hendak memeriksa dan memaksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya
ketika ia memeriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit berdiri, dan
menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya
menyeringai saja.
Pada saat itu terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang komandan berpakaian gagah
memimpin sepasukan pengawal terdiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar
menghampiri Kiang Liong, sedangkan para anak buahnya dengan rapi menjaga di pintu keluar.
"Hemm, tidak ada perlunya kita berada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!" kata Kwi Lan yang
sudah menyimpan pedangnya.
Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan mengenai tuduhan yang
dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang berada di sini ikut bergerak. Komandan pengawal
menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan pandang mata bertanya, menanti perintah.
Akan tetapi Kiang Liong berkata halus, "Biarkan mereka pergi!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di
depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata, "Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."
"Hemm, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalau kau ingin minta maaf, pergilah ke lereng Bukit Cin-lin-san,
di kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat
dimaafkan atau tidak." Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi
kepada ketua Khong-sim Kai-pang ini.
Yu Siang Ki tercengang, tidak mengerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah membelakanginya dan
bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan sudah menarik tangannya, terpaksa ia
mengikuti gadis itu keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.
"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."
"Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong
Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu!"
"Apa...? Bagaimana? Di mana?"
"Sstt, mari ikut saja, nanti kujelaskan."
"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"
"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut!"
"Takut siapa?"
"Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia datang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan
takkan tertolong."
"Ah, Gurumu marah karena kau membunuh hwesio itu?"
Kwi Lan menghentikan larinya memandang pemuda itu dan membanting kaki. "Siang Ki, kau benar
cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio
itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan
Putera Mahkota Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang lebih baik kau kumpulkan rekan-rekanmu
yang memiliki kepandaian, kemudian menyusulku pergi ke lembah Sungai Kuning di sebelah barat Lokyang,
di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sanalah markas Bouw Lek Couwsu dan barisan mata-matanya, dan di
sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh!" Kwi Lan lalu melompat dan lari
meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya.
Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajahnya berubah.
Seorang calon nikouw? Yang akan mempertimbangkan permintaan maafnya? Ah, tentu saja. Siapa lagi
kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu. Tunangannya itu, dalam keadaan
sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil keputusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya
Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu.
Akan tetapi urusan yang. dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biar pun ia tidak peduli tentang nasib
Pangeran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi
gadis itu. Dia harus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup kuat.
"Mari kumpulkan teman-teman!" katanya dan berangkatlah mereka mempersiapkan pasukan pengemis
yang kuat. Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki
memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat
menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.
********************
Semua tamu yang hadir dalam pesta penyambutan Suma Kiat digiring oleh pasukan pengawal istana.
Setelah diperiksa, ditanya seorang demi seorang, mereka itu tidak ada yang mengaku kenal dengan Cheng
dunia-kangouw.blogspot.com
Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan tidak mengenal Suma Kiat, dan hanya datang hadir karena
mengingat Pangeran Kiang dan terutama sekali mengingat nama Kiang-kongcu!
Diam-diam Kiang Liong berunding dengan pembesar yang berwenang, lalu membebaskan mereka semua,
akan tetapi semenjak saat itu, gerak-gerik semua pembesar ini selalu diawasi. Kemudian Kiang Liong
menghadap Kaisar dan menceritakan pengalamannya dalam penyelidikan gerakan orang-orang Hsi-hsia.
Kaisar menerima laporan ini dengan sabar, kemudian menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya
agar berusaha keras mencegah pecahnya perang.
"Betapa pun kecilnya, perang tetap merupakan mala-petaka bagi rakyat. Oleh karena itu, sedapat mungkin
harus dihindarkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa kehendak mereka. Kalau hanya harta
benda yang mereka kehendaki, kami lebih suka mengorbankan sebagian harta benda dari pada
mendatangkan mala-petaka bagi rakyat!"
Perintah kaisar inilah yang kelak mencelakakan Kerajaan Sung sendiri. Karena perintah semacam ini yang
sering kali dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti perang ini, kedudukan Kerajaan Sung
menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak kuat bertahan ketika mala-petaka tiba. Perintah ini pula yang
membuat bangsa Hsi-hsia yang tidak berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan ancaman
yang sama besarnya dengan bangsa Khitan!
Kiang Liong kecewa sekali mendengar perintah ini. Namun tentu saja tak seorang di antara para panglima
berani membangkang. Dengan hati gelisah Kiang Liong kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana
caranya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan kalau kaisar melarang dipergunakannya kekerasan
terhadap orang-orang Hsi-hsia? Dan di manakah adanya Pangeran Khitan yang tertawan itu? Ia teringat
akan peristiwa di dalam taman. Melihat betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng Kong Hosiang dan
melihat pula sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam menghamburkan dakwaan-dakwaan yang hebat itu.
Malam itu ia mengajak Suma Kiat ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis ia
berkata, "Nah, sekarang kau harus menceritakan semua rahasiamu, Piauwte!"
Suma Kiat memandang kakak misan ini, menyeringai dan duduk di atas kursi. Tanpa berkata sesuatu ia
menuangkan arak yang tersedia di meja ke dalam sebuah cawan dan minum dengan mata mengerling
penuh ejekan. Setelah cawan itu kering, ia meletakkannya di atas meja, perlahan-lahan dan tidak tergesagesa,
barulah ia menoleh dan menjawab.
"Piauwheng, aku tidak punya rahasia apa-apa."
"Suma Kiat! Orang lain boleh kau bohongi akan tetapi aku tidak! Kau kira aku tidak tahu akan
kebingunganmu ketika kau melihat Mutiara Hitam hendak membuka rahasia di dalam taman? Dan... kau
membunuh Cheng Kong Hosiang, tentu hendak menutup mulutnya, bukan?"
"Ha-ha-ha, Piauwheng. Kau benar-benar tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi, membela pengemis itu
dan orang-orang lain, sebaliknya menekan adik misan sendiri? Sungguh engkau seorang kakak yang tak
patut dibanggakan. Sekarang kau malah membentak dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Hemm,
agaknya kau tidak suka dan iri karena aku datang di sini, ya? Kau tidak suka melihat kenyataan bahwa aku
putera Pamanmu? Akan kulihat apa kata Bibi kalau kuceritakan hal ini kepadanya!" Suma Kiat bangkit dari
tempat duduknya, hendak pergi ke pintu.
Akan tetapi dengan sebuah loncatan kilat, tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di ambang
pintu. Wajahnya bengis, mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan hati yang panas oleh marah.
Suaranya mendesis perlahan, "Suma Kiat, jangan kau mempermainkan aku! Engkau telah membunuh
Cheng Kong Hosiang yang agaknya benar seorang penghubung dan pembantu Bouw Lek Couwsu.
Engkau bersekongkol dengan pemberontak dan musuh, mempergunakan tempat kami, mengotorkan dan
mencemarkan nama baik keluarga kami. Hayo ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan
kesesatan ini? Tahukah kau tentang penawanan Putera Mahkota Khitan? Jawab sejujurnya kalau kau tidak
ingin aku menggunakan kekerasan terhadapmu!"
Tiba-tiba berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri tegak, bertolak pinggang dan mukanya membayangkan
kemarahan yang membuat wajah yang tampan itu menjadi ganas. Bibirnya tersenyum mengejek, setengah
menyeringai dan matanya disipitkan, dari mana menyambar ke luar sinar mata yang tajam dan aneh.
Kemudian ia tertawa, kepalanya didongakkan dan perutnya bergerak-gerak, suara ketawa yang panjang
dunia-kangouw.blogspot.com
bergelak, akan tetapi yang tersentak berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa.
Ketawa iblis, atau ketawanya seorang yang tidak waras otaknya!
"Kiang Liong! Engkau terlalu! Apa kau kira aku ini orang bawahanmu sehingga boleh kau perintah begitu
saja? Kau lupa agaknya bahwa aku ini seorang tamu, bahwa aku ini keponakan Ibumu. Semua orang
boleh jadi gentar terhadap namamu, akan tetapi aku, Suma Kiat, selama hidupku belum pernah takut
kepada siapa pun juga. Kau tidak perlu menggertak dengan omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku
tidak takut!"
Setelah berkata demikian, dengan membusungkan dada Suma Kiat melenggang terus hendak keluar, tidak
mempedulikan Kiang Liong yang menghadang di pintu.
Kiang Liong membentak, "Bocah setan, jangan harap dapat keluar dari kamar ini sebelum kau mengaku!"
Sambil membentak tangan kanan Kiang Liong mendorong kembali tubuh Suma Kiat ke dalam kamar.
Suma Kiat tertawa, cepat miringkan tubuh dan secara tiba-tiba kepalan tangan kirinya menyambar dengan
pukulan keras ke leher Kiang Liong, sedangkan seperempat detik berikutnya, tangan kanannya menyusul
dengan pukulan jari-jari terbuka ke arah lambung. Pukulan ke dua inilah pukulan maut, pukulan Siang-tokciang
yang beracun dan amat ganas!
"Plak-plak...!" Tangkisan Kiang Liong cepat sekali dan bertenaga besar karena pemuda ini sudah tahu
akan kelihaian adik misannya sehingga melihat pukulan maut itu ia menjadi marah dan menangkis dengan
pengerahan sinkang disalurkan ke tangannya. Tubuh Suma Kiat terlempar dan menabrak dinding
sedangkan dengan kaget Kiang Liong merasa betapa lengannya yang menangkis menjadi panas sekali.
Hanya beberapa detik saja Suma Kiat menjadi nanar karena terbanting ke dinding. Ia sudah meloncat
bangun lagi, mukanya merah sekali, mulutnya tersenyum menyeringai. "Piauwheng, kau benar-benar
mengajak berkelahi?"
"Huh, bukan aku yang mengajak berkelahi, melainkan engkau yang memancing keributan. Tinggal kau
pilih, mengaku terus terang ataukah harus kuberi hajaran lebih dulu!" jawab Kiang Liong, suaranya bengis
pandang matanya tajam.
Suma Kiat tersenyum dan menjura. "Ah, Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani kurang ajar
kepadamu? Harap kau suka maafkan dan marilah kita bicara secara baik-baik." Sambil berkata demikian
Suma Kiat mendekati Kiang Liong.
Pada hakekatnya Kiang Liong juga tidak suka bertentangan dengan keponakan ibunya, karena hal ini tentu
akan menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar, menekan kemarahannya dan berkata, "Begitulah
yang kukehendaki, Piauwte. Sekarang kau ceritakan baik-baik tentang...."
"Wuuuutt... dukkkk...!" Tubuh Kiang Liong terjengkang ke belakang dan bergulingan di lantai.
Pukulan Suma Kiat datangnya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak menyangkanyangka
tidak sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih untung bahwa pukulan yang
menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena Kiang Liong melempar diri ke belakang, namun tetap
saja dada kanannya terkena pukulan. Hanya karena sinkang pemuda ini sudah mendekati tingkat tertinggi
saja yang menyelamatkan nyawanya. Isi dadanya seperti dibakar, napasnya sesak dan sambil menggulinggulingkan
tubuhnya ia menahan napas mengerahkan sinkang yang ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu
bahwa ia terluka, sungguh pun tidak berat dan berbahaya. Ia menahan kemarahannya dan terus
bergulingan, karena ia tahu kalau kemarahan menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya akan
menjadi berbahaya.
"Heh-heh, kau mencari celaka sendiri, Kiang Liong!" terdengar suara Suma Kiat mengejek dan angin
pukulan yang keras secara bertubi-tubi menyambar ke arah Kiang Liong, menutup jalan ke luar dari empat
jurusan.
Kiang Liong yang sedang bergulingan itu berhasil menyambar kaki sebuah kursi dan cepat ia melempar
kursi itu ke atas sambil menyusul dengan lompatan yang disebut gaya Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas
Membalikkan Tubuh), cepat sekali menyusul di belakang bayangan kursi yang dilontarkannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kraakkk... bruukk!" Kursi yang terbuat dari kayu yang tebal dan berat itu hancur berkeping-keping karena
terhimpit hawa pukulan Suma Kiat yang menyambar dari kanan kiri.
"Aihhh...!" Suma Kiat terkejut, tidak mengira bahwa lawannya yang sudah hampir kalah itu dapat
menyelamatkan diri dengan pertolongan sebuah kursi.
Namun ia tidak dapat terlalu lama berheran, karena Kiang Liong kini sudah menyambar ke depan dan
menggunakan kedua tangannya, yang kanan menimpa dari atas, yang kiri mendorong dari bawah. Inilah
pukulan tangan kosong yang diambil dari gerakan ilmu silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Mengacau
Lautan), sebuah ilmu silat Suling Emas yang luar biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan
kekuatan berdasarkan tenaga gwakang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong dari bawah
dengan tenaga lweekang (tenaga dalam).
Suma Kiat memang telah mempelajari pelbagai ilmu silat yang aneh-aneh, namun dalam hal tenaga dalam
dan pengalaman, ia masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia terkejut dan menggunakan kedua
tangannya untuk menahan dan menangkis dua pukulan itu. Inilah kesalahannya. Tangan kanan Kiang
Liong tiba lebih dulu dan melihat sambarannya Suma Kiat juga menangkis dengan tenaga gwakang. Akan
tetapi setengah detik berikutnya, pukulan tangan kiri Kiang Liong yang ditangkisnya itu ternyata
menggunakan tenaga yang berlawanan, yakni tenaga dalam.
Suma Kiat terkejut, namun terlambat. Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu tangan Kiang Liong
sudah menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong membuat gerakan, menyendal, tubuh
Suma Kiat terlempar ke atas menabrak langit-langit kemudian terbanting jatuh ke atas lantai!
Suma Kiat mengeluh, kepalanya yang terbentur pada langit-langit membuatnya pening. Ketika ia membuka
mata, lantai terasa berputaran. Ia meramkan matanya lagi, mengaduh, merintih dan menarik napas dalamdalam.
Ia sudah pasrah karena kalau saat itu lawannya menyusul dengan serangan baru, ia tentu takkan
dapat mengelak atau menangkis. Ia menanti maut. Namun pukulan itu tidak kunjung tiba. Ketika ia
membuka matanya perlahan-lahan, ia melihat Kiang Liong masih berdiri tegak, bertolak pinggang, kedua
kaki terpentang lebar, sikapnya menyeramkan dan menakutkan hati Suma Kiat.
Tiba-tiba Suma Kiat menangis! Menangis sesenggukan, terisak-isak dan bergulingan di atas lantai, seperti
seorang anak kecil menangis rewel. "Uhuuk-hu-huukk... Piauwheng, kau benar kejam sekali... u-hu-huuk...
kalau memang kau tega kepada adik misan, kau bunuhlah aku sekarang juga... u-huhuuukk...!"
Kiang Liong mengerutkan keningnya. Ia teringat akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian Eng, ibu
pemuda ini. Menurut penuturan ibunya, mungkin sekali Kam Sian Eng itu seorang wanita yang selain aneh,
juga tidak waras otaknya. Dan bukan aneh kalau puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Ataukah
berpura-pura? Ia menghela napas dan duduk di atas sebuah kursi.
"Sudahlah, tidak perlu banyak tingkah. Bangkit dan lekas kau ceritakan semua rahasia itu," katanya
dengan hati sebal.
Suma Kiat menghapus air matanya, kemudian meringis kesakitan. Untung bahwa Kiang Liong tadi tidak
bermaksud mencelakakannya, dan hanya menggunakan kekuatan sinkang untuk melontarkannya. Rasa
nyeri yang dideritanya kini hanya akibat terbanting, hanya merupakan luka lecet dan benjol belaka. Dengan
terpincang-pincang buatan Suma Kiat menghampiri kakak misannya, menggerakan pinggul sehingga
pedangnya terputar agak dekat ke pinggang.
"Piauwheng, kau benar-benar terlalu kejam. Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini rupa?
Memang aku bunuh Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya itu. Coba saja kau pikir,
Piauwheng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani membujuk-bujuk aku untuk bersekongkol
dengannya. Katanya... kelak kalau bangsa Hsi-hsia menyerbu ke kota raja, aku supaya membantu gerakan
itu. Nah, apa ini tidak menjengkelkan? Aku tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan, tentang
persekongkolan gelap. Aku hanya suka kepada... eh, sahabat-sahabatmu yang cantik itu. Apa lagi enci
adik Chi itu. Kau bagi mereka untukku, ya, Piauwheng?"
Kiang Liong mendongkol bukan main. Ia tahu bahwa adik misannya ini membohong. Ia sudah mendongkol
oleh sikap Kaisar yang tidak berniat membasmi ancaman bangsa Hsi-hsia, kini setelah ada harapan
memperoleh keterangan tentang ditawannya Pangeran Mahkota Khitan, Suma Kiat mempermainkannya.
Kalau tidak ingat ibunya, ingin ia sekali pukul merobohkan adik misan yang tidak patut ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suma Kiat!" bentaknya marah. "Tak perlu kau berpura-pura lagi. Aku bukan anak kecil yang bisa kau
bodohi dengan sandiwaramu. Hayo katakan, di mana adanya Pangeran Mahkota Khitan yang ditawan oleh
Bouw Lek Couwsu, di mana markas orang-orang Hsi-hsia, kalau tidak mengaku... hemm... engkau tentu
akan kuhajar!" Kiang Liong melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.
"Eh... eh... ohh... Piauwheng kau bunuhlah saja aku...," kembali Suma Kiat menangis menggerung-gerung!
Kiang Liong menjadi gemas dan makin marah. Celaka, pikirnya, kalau anak edan ini makin keras
menangis, tentu akan terdengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok dia agar tidak dapat banyak tingkah. Ia
melangkah maju dan... sinar putih yang menyilaukan mata menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat
sudah mencabut pedang dan menyerangnya secepat kilat!
Kiang Liong terkejut bukan main. Serangan pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak dekat secara
tak tersangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak keburu lagi, maka tiada lain jalan
bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga ginkang dan tubuhnya mencelat ke belakang. Akan tetapi
sinar pedang putih itu terus menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya mentertawakan.
"Crak-crak...!" Sebuah meja besar pecah menjadi beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma Kiat
ketika tubuh Kiang Liong menyelinap ke belakang meja.
Beberapa detik ini sudah cukup bagi Kiang Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan meja yang
mewakili dirinya, ia sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia meloncat melampaui meja sambil
menyerang! Suma Kiat tidak gentar melihat bahwa kakak misannya hanya memegang sepasang senjata
pensil yang hanya satu kaki lebih panjangnya itu. Ia tertawa dan pedangnya diputar cepat, membentuk
gulungan sinar putih
"Cring-cring... trang-trang-trang...!" berkali-kali pedang yang bersinar putih itu bertemu dengan sepasang
pensil di kedua tangan Kiang Liong.
Barulah Suma Kiat menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap kali pedangnya
bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh kalah kuat tenaganya dan ia menjadi bingung
karena dua pensil itu mengandung tenaga yang berlawanan dan lebih membingungkan lagi, berubah-ubah.
Kalau dalam bentrokan pertama pensil kiri mengandung tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua
mengandung tenaga lemas, dan demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah dapat
mengatur tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh.
Betapa pun Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu pedangnya yang aneh, tetap saja ia terkurung dan
terhimpit oleh sinar sepasang pensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar pedang melindungi
tubuhnya. Andai kata Suma Kiat bukan adik misan Kiang Liong melainkan seorang musuh yang boleh
dibunuh, tentu saja ia sudah roboh binasa karena dengan kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong
dapat membunuh Suma Kiat. Akan tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuhnya, hanya ingin merobohkan
dan menaklukkannya, maka hal ini memakan waktu agak lama dan tidaklah mudah, sama dengan orang
hendak menangkap hidup-hidup seekor harimau ganas. Kiang Liong sedang menanti kesempatan untuk
menotok adik misannya.
Tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong terkejut, akan tetapi
Suma Kiat dengan suara girang berseru. "Ibu, tolonglah!"
Angin yang keras menyambar masuk dari jendela dan... lampu dinding dalam kamar itu seketika menjadi
padam! Kiang Liong kaget, tidak melanjutkan serangannya dan meloncat mundur. Akan tetapi dari depan,
pedang Suma Kiat menerjangnya dengan hebat. Kagetlah Kiang Liong dan ia menangkis. Pertemuan
pedang dengan pensil di tangannya menciptakan bunga api yang tampak jelas di dalam kamar gelap ini.
Kembali Suma Kiat menyerangnya. Kiang Liong menangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman
pendengarannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih tajam pandangan matanya di
dalam gelap dari pada dia. Suma Kiat semenjak kecil hidup di dalam istana bawah tanah, sudah biasa
dengan kegelapan. Matanya amat tajam di dalam gelap, inilah sebabnya mengapa setelah kamar menjadi
gelap ia dapat menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan Kiang Liong.
Karena tidak ingin ‘salah tangan’ dalam gelap itu sehingga ia membunuh atau mendatangkan luka berat
pada adik misannya, pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan, ia cepat ‘menangkap’ pedang
itu dengan sepasang pensilnya dengan cara menjepit pedang itu dengan dua pensil yang disilangkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Kiat terengah-engah berusaha menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedang itu
seperti lekat pada sepasang pensil.
"Suma Kiat, lepaskan pedangmu!" dengan suara tegas Kiang Liong berkata.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bukan main. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan
menyambar ke arah tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti
memberi kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi. Tidak melepaskannya, ia
terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba.
Kiang Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan kaget Suma Kiat
karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas dari tangannya oleh tenaga putaran
yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa menerima tamparan dari belakang yang mengenai
pundaknya karena ia sudah miringkan tubuh dan mengerahkan sinkang ke arah pundak. Ia percaya bahwa
tenaga sinkang-nya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak kelihatan.
"Plakk...!”
Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata tubuh Kiang
Liong terguling roboh, sepasang pensil yang masih menjepit pedang Suma Kiat terlepas dari kedua tangan,
jatuh berkerontangan di atas lantai kamar.
Suma Kiat menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata.
"Untung kau datang, Ibu."
"Goblok! Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur dekat!" gumam wanita itu yang
bukan lain adalah Kam Sian Eng.
Melihat wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa seram juga. Di dalam hati ia
mentertawai ucapan wanita itu. Memang kata-katanya mengandung kebenaran, yaitu bahwa keampuhan
senjata pit adalah untuk pertempuran jarak dekat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat, tetap saja
ia akan dapat mengalahkan adik misan itu biar pun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh.
Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya membuat ia terpaksa
mengerahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan mata mengatur pernapasan, tiba-tiba
belakang lehernya ditotok. Kagum juga hatinya karena wanita itu dapat menotoknya tanpa ia ketahui sama
sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak pula, menjadi lemas karena yang
tertotok adalah jalan darah yang berpusat di punggung. Maka ia hanya dapat rebah telentang sambil
memandang ibu dan putera yang gila itu.
"Bagus, Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini
menggagalkan pertemuan dan persekutuan, bahkan membahayakan kedudukan para pembantu di kota
raja."
Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar mata yang amat tajam menembus kerudung hitam, membuat
Kiang Liong tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa! Mata itu kehilangan perasaan,
kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah gila atau mata iblis!
"Kau bawa dia dan mari kita pergi!" katanya lirih.
"Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung Bouw Lek
Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang akan kubawa ini merupakan tanggungan akan bala bantuan
Khitan, Heh-heh!"
"Siapa?"
"Puteri Panglima Besar Khitan. Kau tunggu sebentar, Ibu." Suma Kiat menyarungkan pedangnya yang tadi
terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat ke luar dari dalam kamar.
Di ruangan tengah Suma Kiat bertemu dengan Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri
Mimi. "Kiat-ji (Anak Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar suara ribut-ribut. Apakah... kau bertengkar
lagi? Mana Liong-ji?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Heh-heh-heh, anakmu sudah mampus!" Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri
Mimi yang jelita.
"Apa...? Di mana dia...?" Suma Ceng menjerit.
Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke arah dada
bibinya sambil membentak. "Pergilah kau!"
Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari dorongan
kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup mengenal kecurangan dan kelihaian keponakannya. Dengan
sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet, terangkat dan
tubuhnya terbanting ke lantai. Kepalanya membentur lantai dan nyonya ini pingsan!
"Kau jahat!" Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.
"Heh-heh, tidak kepadamu, manis." Suma Kiat terkekeh, tangannya menjangkau hendak menangkap.
Akan tetapi Puteri Mimi bukan seorang wanita lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya yang dikepal
keras menghantam dada Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.
"Heh-heh, kau gesit juga, manis!" Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha
menangkap lagi. Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim pukulan-pukulan dan
tendangan-tendangan mengarah bagian berbahaya dan lemah dari tubuh lawan.
Terdengar suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini.
Suma Kiat cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia berseru dan tangannya
menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha
menangkis, akan tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan belaka dan di lain saat tubuh Mimi sudah
menjadi lemas karena tertotok oleh tangan kiri Suma Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh
itu disambar oleh Suma Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong.
Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng tidak berkata apaapa.
Wanita ini lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian berkata
singkat. "Hayo pergi, ikuti aku!"
Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan anak ini menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas
genteng, berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Di dalam gedung menjadi gempar. Pangeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget dan
gelisah melihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget lagi mereka melihat bahwa Puteri
Mimi telah lenyap, demikian pula Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya.
Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan perbuatan Suma Kiat. Ia
menghela napas panjang dan mengomel.
“Ah, tidak disangkanya dia menurun ayahnya...!” Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan Suma Boan
yang memang amat jahat.
Mendengar ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus. “Perlu apa
memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati? Lebih baik kau cepat-cepat berusaha mengerahkan
pengawal untuk mencari Liong-ji dan Puteri Mimi!”
Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan tetapi ia keluar dari kamar isterinya untuk mengerahkan
pasukan pengawal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya. Pertama karena ia tahu
akan kelihaian Kiang Liong sehingga lenyapnya tidak perlu dikhawatirkan. Kedua karena ia memang
kurang peduli akan pemuda itu yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui
dengan yakin di dalam hati bukanlah keturunannya. Ia maklum akan permainan asmara antara isterinya
dan Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa Suling Emas amat
mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia
terlampau mencinta isteri, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam suntuk mereka
berlari seperti terbang cepatnya menuju ke barat. Mereka melewati kota Lok-yang, terus ke barat sampai
mereka tiba di luar sebuah hutan besar di kaki bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning.
Malam telah terganti pagi dan matahari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar hutan dan Kiang
Liong yang sudah tertotok lemas kembali dilempar oleh wanita berkerudung itu sehingga rebah telentang di
atas tanah.
Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya. “Ibu, kenapa berhenti?”
“Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya,” kata ibunya.
Puteri Mimi mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari
lengan Suma Kiat yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma Kiat,
tertawa. “Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak akan menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan
menikmati banyak kesenangan dengan aku, ha-ha!” Suma Kiat memeluk erat dan mendekatkan mukanya
hendak mencium. Puteri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu jauh lebih kuat.
Kam Sian Eng duduk bersila, memejamkan mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu.
Hanya Kiang Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya berapi. Pemuda ini
mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam itu benar hebat, membuat kaki tangannya
lumpuh dan ia hanya dapat membentak keras.
“Suma Kiat! Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!”
Suma Kiat mengangkat muka memandang sambil menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong, ia tertawa.
“Ha-ha, Piauwheng, apakah kau cemburu dan iri?” Ia mengejek.
Akan tetapi agaknya sinar mata Kiang Liong yang menyeramkan itu membuat ia keder juga. Ia tahu betapa
lihainya kakak misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsunya. Ia mendorong tubuh Mimi
dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh ke atas tanah, rebah miring. Biar pun ia sudah dapat
bergerak, namun ia pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa untuk
sementara ia terbebas dari pada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia amat cemas, apa lagi mengingat
bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan musuh, dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong, satu-satunya
orang yang dapat ia harapkan juga tertawan!
Mereka tidak lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong srigala susul-menyusul, makin
lama makin dekat dan tak lama kemudian muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera
memberi hormat kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam, segera berkata.
“Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat menyambut. Couwsu memerintahkan pinceng untuk
menyambut Toanio dan mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu.”
Kam Sian Eng bangkit, tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda
agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang Liong. Suma Kiat
memondong Puteri Mimi lalu mengikuti ibunya, diiringkan dua belas orang hwesio jubah merah, memasuki
hutan yang besar dan gelap. Hwesio muka hitam sebagai penunjuk jalan membawa mereka berjalan
melalui pohon-pohon besar menerjang alang-alang dan berputar-putaran. Sungguh jalan yang amat sulit
bagi orang luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan lain berarti harus
menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia, pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah!
********************
Setelah berpisah dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh Kai-pang, Kwi Lan
melanjutkan perjalanan melanjut perjalanan seorang diri menuju kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat
sekali dan ia tiba di kaki bukit Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras. Ia
belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota itu adalah putera
angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula. Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya
itu bernama Pangeran Talibu.
Biasanya Ia tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar Pangeran ini
tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisah sekali. Ia sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
begini? Jantungnya terasa bergetar penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya
hanya pergi menolong dan membebaskan Pangeran itu dari pada orang-orang Hsi-hsia!
Ibu kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran Mahkota ini tertimpa
bencana. Kini ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu kandungnya itu. Melihat watak gurunya,
sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara paksa oleh gurunya dari ibu kandungnya. Dan tentu saja ibu
kandungnya mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak kandung,
kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan hancur hatinya.
Hutan yang lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak pernah
mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu tinggal di
dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut pedangnya kemudian memasuki hutan.
Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam
hutan, sunyi dan gelap, bahkan sedikit pun tak ada angin bertiup.
Jalan kecil itu penuh daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba
kakinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah tumpukan daun kering. Terdengar bunyi
bercuitan dari kanan kiri dan puluhan batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon di
kanan kiri, anak panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara otomatis! Kwi
Lan tidak mau bertindak sembrono. Ia berdiri tegak dan tetap di tempatnya, hanya memutar pedangnya
menjadi segulung sinar melindungi tubuhnya. Semua anak panah terpukul runtuh dan akhirnya hujan anak
panah itu pun berhenti.
Kwi Lan amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung rahasia
serangan atau jebakan gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali
bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan ini, apa lagi malam hampir tiba. Kalau melalui jalan kecil ini ia
akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan
matanya yang indah berseri-seri. Itulah jalan yang paling tepat, pikirnya dan sekali ia mengenjotkan kaki
pada tanah dan mengayun tubuh, tubuhnya yang ramping itu melayang ke arah pohon.
Kemudian mulailah ia melanjutkan perjalanan melalul ‘jalan atas’ yaitu berloncatan dari pohon ke pohon!
Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di situ amat lebat, sambung-menyambung di
kanan kiri jalan kecil yang dari atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga
dalam waktu singkat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih seratus batang pohon besar.
Tiba-tiba ketika ia meloncat ke sebuah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar
ke arahnya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil mengerahkan tenaga.
“Cring-cring... brettt...!”
Ketika ia memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang dalamnya dilengkapi dengan
kaitan-kaitan baja! Ia bergidik dan marah sekali, apa lagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia
berlompatan dan menyerangnya dari lima penjuru. Gerakan binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas.
Sambil cecowetan mereka menyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang berbulu.
Kwi Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan andai kata ia dikeroyok di atas tanah, jangankan hanya oleh lima
ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor monyet sekali pun ia tidak akan gentar. Kini ia berada di atas dahandahan
pohon yang tentu saja merupakan ‘daerah’ monyet. Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak
lebih leluasa dan gesit. Betapa pun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan kirinya sudah merogoh
saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum hijau!
Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan
ketika mendengar betapa ‘monyet-monyet’ itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia! Kiranya
mereka adalah manusia-manusia yang menyamar sebagai monyet, agaknya untuk mengawasi daerah itu
sekalian menjadi penjaga. Setelah mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi
makin tabah. Lima orang itu masih berusaha bergantung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang
maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat mengeluh
lagi karena mereka semua telah tewas!
Akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan keras dan... pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba
roboh! Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat turun, takut tertimpa dahan-dahan
pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat bahaya terbanting bersama pohon. Biar pun terancam bahaya
dunia-kangouw.blogspot.com
maut, gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang matanya yang tajam dan terbiasa
di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada dahan.
Setelah tahu arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas sehingga ia
berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apa bila pohon itu sudah rebah di tanah. Kemudian,
sambil mengerahkan seluruh ginkang-nya, sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot
tubuhnya ke depan, melampaui pohon itu dan melayang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung
dahan terpanjang.
Untung sekali bahwa dalam seperempat detik terakhir ia ingat untuk menyambar ujung ranting dari dahan
terpanjang pohon itu, karena begitu kedua kakinya turun menginjak tanah yang tertutup daun-daun kering,
tiba-tiba tanah itu bergoyang dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam!
Kwi Lan menahan napas, mengerahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung ranting
pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi turun ke atas tanah yang banyak
jebakannya melainkan memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat!
Kini ia ‘nongkrong’ di atas dahan mengeluarkan sapu tangan dan menghapus dahi dan leher yang penuh
dengan keringat dingin. Tangan yang dipergunakan untuk menghapus keringat itu agak gemetar,
jantungnya berdebar-debar. Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari
tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pikir Kwi Lan. Ia berada terlalu dekat dengan mayat lima
orang itu, dan hal ini berbahaya. Para penjaga tentu akan memeriksa sekeliling tempat ini. Ia tidak takut
menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya alat rahasia yang demikian
berbahaya. Di samping ini, ia tidak ingin bertempur dengan mereka sebelum dapat menemukan dan
menolong Pangeran Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana tempat
sembunyi?
Kwi Lan memandang ke sekeliling. Ia tidak mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan.
Bersembunyi di pohon juga tidak aman. Buktinya tadi ia bertemu lima orang yang menyamar sebagai
monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati
jurang ini melalui pohon-pohon menjauhi jalan kecil. Kemudian dengan hati-hati sekali ia turun dari pohon,
tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian
ia melangkah maju perlahan-lahan menggunakan sebatang ranting sebagai tongkat. Ia menekan tanah di
depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada
jebakannya.
Suara manusia terdengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup banyak. Malam telah
tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang
dindingnya batu karang. Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batubatu
menonjol. Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang menonjol, terlindung dari
atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai
mendengar jejak kaki banyak orang dan suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.
“Siapa yang terjebak? Di mana dia?” terdengar suara yang parau,
“Tidak ada bayangan seorang setan pun!” seru suara yang lain, suaranya tinggi.
“Wah, mereka ini tewas...!”
“Bawa obor, biarkan pinceng memeriksanya!”
Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar. Itulah suara orang Hsi-hsia
dan yang terakhir tentulah seorang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di
sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suheng-nya, di sinilah Pangeran Mahkota tertawan. Ia
memutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti amat kuat, jauh lebih kuat dari pada markas
Bouw Lek Couwsu di Bukit Kao-likung-san di lembah Nukiang dahulu, karena selain markas ini dekat kota
raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang dibasmi orang-orang Beng-kauw tentu
membuat Bouw Lek Couwsu kini berhati-hati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang
ditawan?
Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar saja, mereka kini mencari-carinya. Mereka sudah
tahu bahwa lima orang anak buah yang menyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka
jarum dan tewas oleh bacokan pedang. Makin jeias suara mereka ketika mendekat dan tak lama kemudian
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan mendengar menyambarnya puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam jurang atas sumur
di mana ia bersembunyi. Kalau ia bersembunyi di dasar jurang itu, tentu tubuhnya dihujani senjata rahasia.
Akan tetapi di bawah batu besar yang menonjol ini, ia terlindung dan aman!
“Kalau dia bersembunyi di bawah tentu mampus!” terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka
makin menjauh.
Kwi Lan maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang ia mengintai.
Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa orang berkeliaran mencari-cari di
sekitar tempat itu dengan obor di tangan. Kwi Lan menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang
tinggi besar, bangsa Hsi-hsia yang mencari sendirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang ke
kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia membabati alang-alang
dengan goloknya, mencari-cari.
Tiba-tiba dua batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika orang Hsihsia
itu lumpuh dan pingsan. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan berkelebat dekat, menerima obor
dan golok yang terlepas dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap lengan
korbannya, lalu memadamkan obor, mengempit tubuh yang lemas itu dan membawanya naik ke atas
pohon. Ia merasa yakin bahwa kini pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu
tadi mencari dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini mereka berpencar
mencari ke tempat yang agak jauh.
“Jawab saja dengan anggukan,” bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang ditawannya setelah ia menotok
urat gagu orang itu. “Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan ditawan?”
Orang itu menggeleng kepalanya.
“Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh.”
Kembali orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan memandang di bawah sinar
bulan yang bersinar melalui celah-celah daun pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya
dengan mata melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang membayangkan keras hati dan keras kepala,
sedikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan sadar akan kekeliruannya. Mengapa ia menawan
seorang Hsi-hsia? Tentu saja orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa,
menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang pahlawan!
Tadi ia melihat banyak orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han sudah membantu Hsihsia
menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang pengkhianat. Dan biasanya, seorang pengkhianat
adalah seorang pengecut, hanya berjuang untuk uang dan kedudukan. Orang yang berjuang untuk cita-cita
bangsa, bangsa apa pun juga, adalah seorang patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang
berjuang untuk harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang pengecut
besar. Orang seperti itu tentu takut mati.
Sadar akan kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi lumpuh, dan ia
menjepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian dengan gerakan tangan ia merayap turun
dari pohon. Ia berlaku hati-hati, tidak berani sembarangan meloncat.
Setelah mencari dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon, akhirnya ia melihat
seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis penuh tambalan membawa obor dan pedang
mencari-cari seperti orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti
tadi, membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia
membawa orang itu naik ke atas pohon.
Tepat dugaannya, pengemis baju bersih yang berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apa lagi ketika ia
mengenal bahwa yang menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di antara kaum sesat
dunia pengemis. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi ia tidak berani berteriak minta tolong
karena tak dapat bersuara akibat totokan pada urat gagunya.
“Bawa aku ke tempat tahanan Pangeran Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh,” desis Kwi Lan
sambil menempelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak, lalu mengangguk-angguk.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus
lehermu sebelum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu!” Kembali orang itu menggeleng-geleng
kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan membebaskannya.
“Ampunkan aku, Li-hiap...”
“Sst, jangan banyak cerewet,” bisik Kwi Lan. “Hayo bawa aku ke tempat itu.”
Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung pedang ditodongkan di
punggung. Pengemis itu lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang
besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.
Sampai lima kali orang itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat tertentu, berbisik bahwa tempat itu
terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke tempat
penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga orang
penjaganya roboh binasa semua sebelum mereka sempat bergerak.
Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan mereka kini menuju ke tepi Sungai Huang-ho,
sebuah daerah yang berbatu-batu besar. Biar pun Kwi Lan melakukan perjalanan malam yang gelap,
hanya diterangi bulan sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah berhasil
membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar dari sarang Bouw Lek Couwsu.
“Di sanalah tempat tahanan itu, Lihiap. Di dalam goa yang tampak dari sini itu,” pengemis yang ditawan itu
berbisik, suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia menghapus peluh.
Mereka telah melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah menjelang
pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari tangannya menotok tawanannya. Orang
itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang
bergerak-gerak memandang penuh rasa takut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andai kata ia terbebas
dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan perbuatannya membawa Mutiara
Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian yang lebih hebat lagi.
Dengan amat hati-hati Kwi Lan merayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang berbaris
di sepanjang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu
perlahan-lahan ia bergerak mendekati goa batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba
ia berhenti dan menyelinap di belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang.
Kiranya di depan goa yang cukup besar itu terdapat lima orang penjaga! Dan melihat keadaan mereka, ia
dapat menduga bahwa lima orang yang bertugas menjaga tempat tahanan ini tentulah bukan orang-orang
biasa. Tiga orang hwesio jubah merah yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar
dan memegang sebuah penggada yang mengerikan karena selain besar dan berat juga dihias duri-duri
runcing, sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pendek yang memegang toya. Melihat tambaltambalan
pada pakaian orang ini jelas bahwa dia seorang tokoh kai-pang yang sesat.
Kwi Lan mengintai, hatinya berguncang. Tentu saja ia tidak gentar. Akan tetapi tampaknya lima orang itu
cukup tangguh. Kalau ia melompat ke luar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat mencapai kemenangan
secara cepat, dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan atau Bouw Lek Couwsu
muncul sendiri, usahanya tentu akan gagal.
Ia mulai menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di sampingnya tentu
akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan berhasil. Apa lagi kalau Kiang Liong ikut
membantu. Pemuda hebat! Pemuda lihai luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya
gemas. Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan mengenang pemuda itu? Ih, pemuda sombong.
Tidak memandang mata kepadanya!
Padahal semua pemuda, yang tampan-tampan dan gagah-gagah, seorang demi serang jatuh cinta
kepadanya! Mula-mula Tang Hauw Lam si Berandal! Hampir ia tertawa ketika teringat kepada Hauw Lam.
Kemudian Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini tidak memandang sebelah mata
kepadanya! Si Sombong, mentang-mentang menjadi murid Suling Emas lalu besar kepala!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan makin gemas. Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan?
Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir semua kenangan, kemudian menjemput batu kecil, dilemparkan
ke sebelah kanannya, kurang lebih dua puluh meter jauhnya dari mulut goa.
“Eh, apa itu?” Seorang di antara mereka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya besar
sekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu. “Biar pinceng periksa, siapa tahu ada musuh.”
“Benar, mari kita periksa, Suheng,” kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil
mencabut pedangnya pula.
Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu besar. Ketika ia mendengar
jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar, ia membiarkan mereka
lewat beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari belakang!
Hebat bukan main serangan ini. Jarum-jarum hijau itu adalah senjata-senjata rahasia yang halus sekali,
dilontarkan dengan tenaga sinkang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya hanya
tampak sinar kehijauan. Apa lagi dilontarkan dari jarak dekat dan dari belakang si Korban, benar-benar
amat berbahaya.
Dua orang hwesio itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi serangan
gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biar pun mereka yang telah memiliki gerak reflek
lumayan, namun ketika mengelak masih kurang cepat sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke
dalam kulit memasuki daging meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar
hijau pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamatkan riwayat dua orang hwesio ini. Setelah
membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke belakang batu besar.
Tiga orang penjaga yang lain terkejut sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan
mempergunakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia lari memasuki goa. Ia melihat
seorang pemuda yang tampan, tubuh dari pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda
ini setengah pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan berkulit putih bersih itu penuh
dengan luka-luka bekas cambukan. Namun wajah yang tampan itu masih membayangkan kegagahan dan
keagungan, sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir.
Kwi Lan memegang pundaknya, mengguncangnya perlahan. “Eh, sadarlah!”
Pemuda itu membuka matanya, memandang heran, seakan-akan tidak percaya akan pandang matanya
sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam mimpi.
“Jawablah, apakah engkau ini Pangeran Mahkota Khitan yang bernama Pangeran Talibu?”
Pemuda itu sejenak memandang tajam, lalu balas bertanya. “Engkau siapakah, Nona? Bagaimana kau
bisa...”
“Tidak penting aku siapa, yang penting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?” Suaranya gemas dan
tidak sabaran.
Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu mengangguk. “Aku mengenalmu! Ya...
Aku mengenalmu. Kau tidak asing bagiku... tapi di mana dan kapankah? Nona, kau siapakah?”
“Wah, kau cerewet benar, apakah pangeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk menolongmu.”
Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru. “Nona, awas...!”
Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah Pangeran Mahkota Khitan yang harus
ditolongnya, cepat membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada di tangan kanannya.
Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di depan goa dengan senjata di
tangan dan sikap mengancam. Melihat ini Pangeran Talibu mengeluh, memejamkan mata dan berkata lirih.
“Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku? Kenapa...?” Ia tidak berani menoleh, tidak tega
menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia pun
masih mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini. Wajah yang jelita itu bukan asing
baginya, wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia mendengar suara denting riuh
bertemunya senjata tajam, diseling bentakan marah tiga orang penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia tahu
betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti
tadi mana akan mampu bertahan melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara mereka
saja sudah cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat ibunya. Ibunya!
Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya! Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir
itu! Ia menjadi makin heran dan makin khawatir. Sepuluh menit sudah lewat. Suara pertempuran sudah
berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau
ia teringat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu, Butek Siu-lam dan Siauwbin
Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati saja dari pada tertawan hidup-hidup!
Talibu membuka matanya dan... ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah
menggeletak di depan goa, tak bernyawa lagi! Ada pun dara itu sejenak memandang ke sekeliling depan
goa, kemudian meloncat masuk ke dalam goa, gerakannya seperti seekor burung, demikian ringan dan
lincah. Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja
dikeroyok tiga lawan berat!
“Tahanlah, aku akan melepaskan belenggu!” bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika ia
menggerakkan pedangnya. Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu menggigit bibir karena
setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan tetapi
kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum,
memandang Kwi Ian dengan sepasang mata bersinar-sinar.
“Nona, kau...”
“Sstt, mari kita lari!” Kwi Lan menyambar tangan Pangeran itu dan ditariknya ke luar dari goa, diajak lari
cepat meninggalkan goa. Tak jauh dari goa Talibu melihat mayat dua orang hwesio jubah merah, maka
mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya
yang dua orang sudah dipancing ke luar dan dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik
hwesio itu, barulah ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.
“Nona, kau benar hebat! Aku kagum dan berterima kasih...”
“Sssttt, jangan cerewet! Kita belum bebas!” bisik Kwi Lan galak.
Talibu yang berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau tersenyum. Gadis ini hebat,
memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang. Baru sekali ini
selama hidupnya ia dimaki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis remaja. Dia, putera Ratu Khitan,
Pangeran Mahkota yang disembah-sembah rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita
yang galak!
Akan tetapi belum lama mereka pergi, baru tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat
penjuru muncullah pasukan Hsi-hsia yang mengurung mereka. Pangeran Talibu tertawa, membuat Kwi Lan
terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu, khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam
pangeran itu menjadi gila karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka itu
berdiri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di depan dada, matanya
bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu membalas pandang mata Kwi Lan dan berkata.
“Bagus! Seperti inilah selayaknya seorang pangeran tewas! Tidak mati konyol dalam goa sebagai tawanan.
Mati dalam medan perang adalah mati nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan menghendaki dan aku
akan dapat terbebas dari pada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup, percayalah, aku Talibu
selama hidupku tidak akan pernah melupakan engkau! Sekarang aku tidak peduli lagi. Andai kata kita
berdua takkan dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu merupakan kehormatan besar.
Ha-ha-ha!”
Kwi Lan memandang dengan mata berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi
putera angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini memiliki semangat pendekar,
jiwa satria, dan amat tampan! Ia pun tersenyum dan berkata lirih, “Pangeran Talibu, selama nyawa saya
belum meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar anjing-anjing Hsihsia
itu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus! Kau hebat sekali, Nona. Marilah kita mati bersama atau bebas!” Pangeran Talibu berseru penuh
semangat sambil menerjang maju, memutar pedangnya.
Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk sementara tidak
mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang
Pangeran karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari mara-bahaya. Begitu enam orang
memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan menyilang dengan pedang agak ke bawah dan robohlah
tiga orang lawan dengan perut terobek pedang!
Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan Kwi Lan cepat-cepat meloncat mundur ketika ada angin
hebat menyambar dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan tadi mengirim
pukulan dengan tangan kirinya.
“Kakek busuk! Mari kita mengadu nyawa!” bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh
besarnya Ini.
“Heh-heh-heh, kau masih belum kapok?” Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju.
Kwi Lan menyambar dengan tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju
terus, tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram! Hebat bukan main dan
aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak memberi kesempatan kepada kakek
bertangan kosong itu untuk mendekati dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki
itu berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, untuk sementara Kwi Lan
dapat bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi hatinya gelisah karena ia kini sama sekali tidak
dapat membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran Talibu.
“Pangeran, kau larilah!” bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan pedangnya yang diputar
membentuk lingkaran panjang.
Namun Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindarkan diri dan membalas dengan sebuah
tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas oleh Kwi Lan. Kembali kakek itu dapat
menghindarkan diri. Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh
perhatiannya terhadap kakek ini.
Siauw-bin Lo-mo diam-diam menjadi gemas sekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk
dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebusan tempo hari ketika ia kehilangan gadis yang
sudah menjadi tawanannya. Setelah melayani Kwi Lan selama lima puluh jurus dan melihat betapa
Pangeran Talibu juga belum dapat tertawan kembali, ia mendapatkan akal baik. Ia tahu bahwa orang-orang
Hsi-hsia dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu yang
merupakan tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun bukan hal
mudah bagi mereka.
“Kalian kepung gadis ini!” Tiba-tiba ia berseru dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa
kali melewati kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang menerjang Kwi Lan, kemudian turun
di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh menyeramkan.
Pangeran Talibu terkejut, cepat menusukkan pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo hanya
miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu,
merampas, pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Talibu roboh. Siauw-bin Lomo
menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Talibu sambil berseru.
“Mundur semua! Lepaskan bocah itu!”
Namun sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat orang hwesio jubah
merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan
pucatlah wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.
“Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kau lepaskan pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku
mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai tembus jantungnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu
dapat mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati si Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu untuk
membunuh Pangeran Talibu. Hatinya menjadi lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.
“Nona, kau larilah! Jangan mendengarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan apa-apa! Lari dan
lawanlah, Jangan menyerah!” Talibu berteriak-teriak akan tetapi sebuah tendangan pada dagunya
membuat ia pingsan!
“Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?” Siauw-bin Lomo mengguratkan ujung
pedang pada dada yang telanjang itu dan... kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit, memperlihatkan
garis merah memanjang.
Kwi Lan merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya dan berkata lemah, “Siauw-bin Lo-mo, kau
jahanam tua bangka, lepaskan dia!”
“Heh-heh-heh, aku tidak akan membunuhnya kalau kau menyerah. Hayo belenggu dia!”
Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu kedua tangan gadis itu. Kwi
Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsihsia
tinggi besar yang merasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh banyak kawannya ini,
menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau untuk meraba dada gadis itu.
Sudah biasa bagi orang-orang peperangan ini apa bila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa
saja di antara anggota pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang Hsi-hsia tinggi besar ini pun
tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban
banyak di antara temannya, ia hendak menjadi orang pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita
yang lihai ini.
“Heh, mundur...!” Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu saja ia akan
dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi merendahkan diri menolong
seorang prajurit Hsi-hsia biasa yang baginya tidak lebih seekor kucing atau anjing.
Pada saat jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan kecepatan yang
sukar diduga, tepat menghantam pusar orang Hsi-hsia itu.
“Hekkk!” Orang Hsi-hsia hanya sempat mengeluarkan suara demikian, lalu tubuhnya terlempar dan roboh
tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga
sinkang yang hebat! Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang dengan
pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau menantang, siapa lagi yang berani kurang ajar terhadap
dirinya.
Keadaan tegang dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Lo-mo. “Heh-heh-heh, orang goblok macam dia
sudah sepatutnya mampus! Hayo bawa tawanan menghadap Couwsu!” Ia sendiri lalu memegang lengan
dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu yang pingsan dipanggul oleh seorang hwesio jubah
merah.
“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang kutawan
untukmu ini. Si Mutiara Hitam! Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu belum pernah kau menikmati bunga
liar sehebat ini!” kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk bercakap-cakap
ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta Jin-cam Khoa-ong.
Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik. Dalam usahanya memperluas daerah
kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula menempel
kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek
Couwsu, oleh karena, kecuali Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk
mengangkat diri sendiri menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu dengan Bouw Lek
Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan barisan orang-orang tangguh.
Sian Eng sendiri tidak bersekongkol dengan pemimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita
yang lebih tinggi lagi, yaitu apa bila bala tentara Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan
mengangkat puteranya, Suma Kiat, menjadi kaisar baru. Betapa tidak? Suma Kiat adalah putera Suma
Boan yang masih keturunan Pangeran! Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan puteranya
dunia-kangouw.blogspot.com
di kota raja di rumah Pangeran Kiang, kemudian mengusahakan persekutuan di antara pembesarpembesar
Kerajaan Sung.
Ada pun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia barat yang sengaja bertualang
untuk mencari kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya ia
hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan tetapi kini melihat
kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi lagi, ia segera menerima penawaran
Bouw Lek Couwsu untuk bersekutu dan mengerahkan barisan pengemis baju bersih untuk membantu Hsihsia
apa bila saat penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini berhasil, kelak ia sedikitnya tentu
akan menjadi seorang pangeran!
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang perampok sejak kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para perampok dan
bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk memiliki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang
membantu Bouw Lek Couwsu. Ia sudah tua dan sudah waktunya hidup bergelimang kesenangan dan
kemewahan, hidup dimuliakan orang sampai matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok
dan bajak, juga orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu, bahkan berjanji
kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis anak buah Bu-tek Siu-lam.
Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja mendukung usaha Bouw Lek Couwsu sepenuh hati. Seperti diketahui,
Algojo Manusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi musuh Kerajaan Khitan dan
dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa Khitan. Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia
dengan janji bahwa kalau usaha Hsi-hsia ini berhasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan
untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh besarnya.
Hanya Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia datang ke markas Bouw Lek Couwsu
karena terbujuk teman-temannya dan terutama sekali karena tidak mau kalah dengan empat orang
temannya yang katanya sedang mengusahakan pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa
yang akan menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang tergabung dalam Bu-tek Ngosian
semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi
orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang menjadi tamu Bouw Lek
Couwsu. Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang urusan pemberontakan, hanya menikmati hidangan
yang serba lezat.
Bouw Lek Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk merundingkan
soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek sakti itu apa bila menghadapi musuhmusuh
tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat bahwa Thai-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun
pengikut atau anak buah. Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan
sudah berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk mengumpulkan dan
memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.
Ketika Siauw-bin Lo-mo datang membawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan juga terkejut
mendengar laporan tentang usaha Mutiara Hitam untuk membebaskan Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu
sembrono, terlalu percaya kepada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada
yang menyelundup dan hampir saja membebaskan tawanan penting itu. Ia telah menggunakan pelbagai
usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya,
namun pangeran yang keras hati itu tetap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu ditahan dalam
goa juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara
Hitam.
Bouw Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang diwaktu mudanya terlalu banyak
mengejar ilmu, mengekang nafsu. Karena pada dasarnya ia memang seorang hamba nafsu, setelah tua
pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila perempuan. Melihat Mutiara Hitam
yang selain muda remaja dan cantik jelita, juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan
tetapi di samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar sekali untuk
kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih besar dari pada nafsunya, sehingga begitu melihat
Mutiara Hitam yang jelita dan melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk
menundukkan Pangeran Talibu.
“Bagus!” jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak. “Sekali ini pinceng benar-benar
berterima kasih kepadamu, Lo-mo.” Kemudian ia berkata kepada muridnya, “Masukkan mereka berdua
dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat agar jangan sampai ada kemungkinan didatangi orang
luar!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu membicarakan rencananya
terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek
Kauw-ong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul sambil berkata.
“Demi Iblis! Engkau benar-benar pintar sekali, Couwsu!”
Bouw Lek Couwsu tertawa. “Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan bunga ini kepada seorang
Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk si
anjing, makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menyerah! Ha-ha-ha!”
“Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan tetapi harus cepat-cepat kau laksanakan. Karena
kalau sampai Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan kiraku, Mutiara
Hitam harus dibebaskan.”
“Mengapa?” Bouw Lek Couwsu bertanya heran.
“Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio.”
Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening lalu
memandang Siauw-bin Lo-mo. “Eh, Lo-mo. Apa artinya ini? Kalau kau sudah tahu dia murid Sian-toanio,
mengapa kau sengaja menawannya dan memberikannya kepadaku? Apakah kau sengaja hendak
mengadu aku dengan Sian-toanio?”
Siauw-bin Lo-mo terkekeh, “Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara Hitam
menentangmu? Berapa kali menentangku? Bahkan sekarang dia datang untuk membebaskan Talibu.
Bukankah dia termasuk musuh yang berbahaya? Kalau muridnya seperti itu, kita harus berhati-hati
terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik kedok kerudung hitam mengerikan itu?
Kau harus hati-hati, Couwsu”
Bouw Lek Couwsu masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu mengangguk-angguk.
“Hemmm, memang diam-diam aku sudah menaruh curiga kepada wanita itu. Kalau dapat menariknya
sebagai kawan, baik, kalau sebagal lawan, amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan rencana
ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!”
Kalau Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda ini
menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak mendengar apa-apa ketika mereka digusur dan
dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang luas. Kamar ini merupakan ruangan yang lebarnya
sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari batu putih yang bersih dingin,
dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping
dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan bagian atasnya ada jeruji pula.
Setelah Kwi Lan yang dibelenggu kedua tangannya dan Talibu yang masih pingsan itu didorong masuk,
pintu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dua pasang mata penjaga untuk beberapa lama memandang ke
arah Kwi Lan dengan pandang mata kurang ajar, mulut mereka menyeringai kemudian mereka bicara
dalam bahasa Hsi-hsia, tertawa-tawa dan lenyap dari balik jeruji pintu.
Kwi Lan duduk di atas lantai, memandang Pangeran Talibu yang rebah telentang di dekatnya. Kembali
jantungnya berdebar. Wajah Pangeran ini telah menggetarkan perasaannya, membuat darahnya berdenyut
lebih cepat dari pada biasa. Ia telah rela menyerah, rela ditawan untuk menyelamatkan nyawa pemuda
yang baru sekarang ia jumpai ini. Alangkah anehnya ini. Biasanya ia tidak peduli akan keadaan orang lain.
Mengapa ia menjadi takut dan ngeri melihat nyawa pemuda ini diancam maut dan tidak ragu-ragu untuk
mengorbankan dirinya? Jantungnya berdebar aneh dan teringatlah ia akan pernyataan Hauw Lam.
Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki terhadap dirinya. Mereka itu menyatakan cinta kepadanya. Adakah
perasaan hatinya terhadap Pangeran Talibu ini yang dinamakan cinta? Adakah dia mencinta pemuda ini?
Kakak angkatnya, putera angkat ibunya?
Kwi Lan mengguncang-guncang kepalanya, seakan hendak mengusir semua lamunan yang membuat ia
bingung dan jantungnya berdebar-debar itu. Bagaimana ia harus meloloskan diri bersama Pangeran
Talibu? Kakinya bebas. Tangannya biar pun terbelenggu, namun kalau ia berusaha, kiranya akan dapat ia
bebaskan pula. Ia masih mempunyai tenaga simpanan untuk mematahkan belenggu baja ini. Akan tetapi
apa gunanya? Dinding itu amat kuat. Pintu dan jendelanya pun kokoh kuat. Belum lagi para penjaga, dan di
dunia-kangouw.blogspot.com
sana berkumpul orang-orang sakti seperti Bouw Lek Couwsu, Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, dan dua
orang kakek lain yang ia duga tentu juga amat sakti. Ataukah mereka itu Bu-tek Ngo-sian yang pernah ia
dengar?
Harapan untuk dapat lolos dari tangan mereka amat tipis. Seorang di antara mereka saja sudah
merupakan lawan yang amat berat. Apa lagi kini pedangnya terampas oleh Siauw-bin Lo-mo. Dan ada
Pangeran Talibu lagi yang masih harus ia lindungi. Kwi Lan duduk menekur dengan kening berkerut. Satusatunya
harapannya adalah Yu Siang Ki. Kalau saja pemuda itu datang membawa banyak tokoh kai-pang
yang sakti!
Ia tidak kaget ketika mendengar pintu dibuka dan Bouw Lek Couwsu seorang diri masuk. Ia sudah siap
menghadapi segala macam kemungkinan yang paling buruk sekali pun. Tanpa bangkit, ia mengangkat
muka memandang.
“Bouw Lek Couwsu, apakah kau akan membunuh kami? Silakan! Memang orang macam engkau ini
pengecut, mana berani menghadapi lawan secara jantan?”
Bouw Lek Couwsu tersenyum lebar dan sabar. “Bagaimana kalau menghadapi secara jantan?”
“Berikan pedangku dan mari kita bertanding sampai selaksa jurus, sampai seorang di antara kita
menggeletak tak bernyawa lagi! Baruiah jantan namanya!”
Kembali pendeta itu memperlebar senyumnya. “Nona, kau ganas benar. Kalau kau sayang kepada
Pangeran ini, kau harus bersikap sabar dan tenang. Aku berjanji sebagai pimpinan bangsa Hsi-hsia, kalau
Pangeran Talibu suka menulis surat membujuk ibunya untuk membantu pergerakan Hsi-hsia, akan
kubebaskan engkau dan dia juga! Berlakulah sabar dan tenang, dan untuk menjaga agar kau tidak
menimbulkan keributan, terpaksa kau harus dibuat tidak berdaya.” Setelah berkata demikian, Bouw Lek
Couwsu bergerak maju dan menotok dengan jari telunjuknya ke arah tengkuknya.
Kwi Lan yang kedua tangannya terbelenggu tidak dapat menangkis atau berusaha mengelak, akan tetapi
gerakan tangan Bouw Lek Couwsu amat cepat, dan sudah meluncur turun menotok pundaknya. Kwi Lan
roboh lemas dan hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan ketika Bouw Lek
Couwsu mengeluarkan sebuah bungkusan. Ia melihat betapa bungkusan itu ditaburkan di atas mukanya, ia
mencium bau wangi dan keras, kemudian tak ingat apa-apa lagi, pingsan.
Baik Kwi Lan mau pun Pangeran Talibu dalam keadaan pingsan dan tidak tahu betapa Bouw Lek Couwsu
memberi mereka minum anggur yang dicampuri obat, memaksa mereka minum dengan menuangkan
anggur ke dalam mulut yang dipaksa membuka. Setelah membuka belenggu Kwi Lan, Bouw Lek Couwsu
meninggalkan kamar sambil tersenyum dan meninggalkan pesan kepada para penjaga.
Menjelang senja, Kwi Lan siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa panas bukan main, rasa panas yang
menyesak dada. Ia bangkit dan duduk, tubuhnya basah oleh keringat. Ia menghapus peluh dari dahi dan
leher. Kemudian berseru heran karena baru ia ingat bahwa kedua tangannya kini tidak terbelenggu lagi. Ia
sudah bebas dari belenggu. Aneh sekali! Siapa yang membuka belenggunya? Dan mengapa begini
panas?
Ia duduk menoleh ke arah Pangeran Talibu. Pemuda itu pun basah oleh keringat. Dadanya yang bidang
dan berkulit halus putih itu berkilauan. Lantai di bawahnya sampai basah oleh tetesan-tetesan keringat dari
tubuh pemuda itu. Pangeran Talibu agaknya baru sadar. Menggeliat perlahan seperti orang merintih.
Jantung Kwi Lan terasa tertusuk. Rasa iba dan cinta menyesak dada.
Tanpa ia sadari, ia sudah merangkak maju, lalu bersimpuh di dekat pemuda itu, menggerakkan tangan
mengusap luka-luka di dada dan dahi. Luka kecil, darahnya pun sudah mengering. Pemuda itu membuka
mata, dua pasang mata bertemu pandang, sejenak bertaut, kemudian pemuda itu bangkit duduk. Entah
mengapa, pandang mata pemuda itu bagi Kwi Lan seperti sinar matahari yang menyilaukan matanya. Ia
menunduk, tersenyum kecil, tak berani mengangkat muka, rasa panas menjalar ke mukanya, dadanya, dan
pusarnya.
“Sakit sekalikah luka-luka itu...?” tanya Kwi Lan yang menjadi heran sendiri mengapa suaranya begini
halus dan mesra, mengapa ia menjadi begini malu, mengapa ia gemetar dan tidak berani menentang
pandang mata pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ti... tidak..., Nona... mengapa kau menyerah...?”
Lebih aneh lagi bagi Kwi Lan ketika mendengar suara ini. Mengapa suara Pangeran Talibu menggetar dan
setengah berbisik? Suaranya yang baginya begitu mesra sehingga getaran suara itu menggetarkan pula
hatinya, membuat Kwi Lan menahan isak yang menyesak di dada. Ia mengangkat muka perlahan. Kembali
dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut, lekat seperti tak dapat dipisahkan lagi.
Bagi Kwi Lan, mata Pangeran itu memandangnya begitu mesra, begitu penuh cinta kasih, begitu halus.
Seakan-akan ada kekuatan ajaib dalam pandang mata itu yang mendorong dorongnya atau menariknya,
membuat ia ingin membuang diri ke dalam pelukan Pangeran itu membuat ia ingin merapatkan mukanya
pada dada yang bidang dan berkeringat itu, ingin merasai belaian jari-jari tangan Pangeran Talibu dan
mendengar bisikan-bisikan cinta di dekat telinganya. Semua keinginan yang amat besar ini membuat ia
terengah-engah, menahan-nahan sekuat tenaga sampai kepalanya menjadi pening.
“Aku... aku tak mungkin... membiarkan kau... kau terbunuh....” Suaranya tersendat-sendat, agak serak dan
tubuhnya terasa lemas, dan tentu ia sudah terguling kalau saja sepasang lengan yang kuat tidak
merangkul dan menariknya.
“Nona....“ Suara Pangeran Talibu tersendat-sendat, kedua lengannya memeluk erat, sedangkan Kwi Lan
seperti dalam mimpi membenamkan muka di dalam dada itu sehingga mukanya yang sudah basah
menjadi makin basah oleh keringat Pangeran Talibu. Hatinya merasa bahagia sekali, kedua telinganya
mendengar suara detak jantung pemuda itu, kemudian mendengar suara Talibu seperti bunyi musik yang
merdu, “Nona... siapakah engkau...? Siapakah namamu...?”
Belum pernah selama hidupnya Kwi Lan menikmati perasaan seperti saat ini. Terhadap pemuda ini, lenyap
semua rasa malu dan jengah, ia tersenyum manis dan tanpa mengangkat muka ia berkata lirih, “...aku...
namaku Kam Kwi Lan....”
Tubuh Pangeran Talibu serasa digetarkan sinar kilat yang menyambarnya. Tubuh itu seperti kejang,
mendadak menjadi dingin dan ia meloncat ke belakang sampai tubuhnya membentur dinding. Kwi Lan
yang tenggelam dalam kenikmatan madu yang manis memabokkan itu sampai jatuh terguling, namun
gerak refleks tubuhnya yang matang membuat ia terloncat bangun dan berdiri.
“Ada apakah...? Mengapa kau... kau...?” Ia bertanya gagap, lalu duduk pula di atas lantai.
Pangeran Talibu terengah-engah, serasa tercekik lehernya. Ah, pantas ia merasa kenal betul dengan gadis
ini. Persamaan dengan wajah ibunya! Inilah Kam Kwi Lan Mutiara Hitam. Inilah adik kandungnya, bahkan
saudara kembarnya!
"Kau... kau... Mutiara Hitam...?" bisiknya dengan suara menggetar.
Kwi Lan memandang terbelalak dan lalu mengangguk. "Betul. Kau kenapakah, Pangeran? Menyesalkah
kau karena... karena... kita saling mencinta?"
"Diam...!" Pangeran Talibu membentak. "Jangan bicara tentang itu...!"
Biar pun Kwi Lan merasa sudah tergila-gila kepada pemuda ini, namun dia seorang gadis yang keras hati.
Ia mengerutkan kening dan berkata, "Apa? Jadi... kau tadi... hanya pura-pura... dan kau tidak cinta
kepadaku?"
"Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diriku sendiri! Tapi...
kau...!"
"Kenapa...?" Tiba-tiba Kwi Lan menaruh telunjuknya di depan bibir, tanda bahwa ia mencegah pemuda ini
bicara karena pendengarannya yang tajam menangkap gerak kaki di luar jendela. Kemudian ia menuding
ke jendela sambil menyentuh telinga sendiri.
Pangeran Talibu mengangguk, maklum bahwa di luar jendela ada orang mendengar dan mengintai. Ah,
untung ia belum membuka rahasia. Kalau tadi ia katakan kepada Mutiara Hitam bahwa gadis itu adik
kembarnya dan berarti puteri Ratu Khitan, tentu keadaan mereka menjadi makin berbahaya. Ia lalu
merangkul dan duduk dekat Kwi Lan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Merasa kehangatan tubuh pemuda itu, mencium bau keringatnya, membuat tubuh Kwi Lan menggigil.
Hawa nafsu remaja menyesakkan napasnya. Ia tidak tahu bahwa inilah akibat obat yang dipaksakan
masuk ke perutnya. Demikian pula dengan Pangeran Talibu. Melihat wajah adik kembarnya yang begini
cantik jelita, sepasang pipi yang halus putih kemerahan, mata yang indah bersinar-sinar, hidung yang kecil
mancung dan seakan-akan menghembuskan hawa panas penuh nafsu dengan cuping hidung kembangkempis,
bibir yang kecil mungil, penuh dan merah basah seakan menantang, dada yang padat dan
bergelombang turun naik seperti minta dipeluk.
Ah, hampir pemuda ini tidak kuat bertahan. Keadaannya bagaikan seekor harimau kelaparan yang
dihadapkan seekor kelinci gemuk. Ingin sekali langsung menerkam dan memangsanya. Akan tetapi,
pengetahuan bahwa gadis jelita ini adalah adik kandungnya, bahkan adik kembar yang lahir pada hari yang
sama, pengetahuan ini merupakan perisai yang kokoh kuat.
Ketika lengannya bersentuhan dengan lengan Kwi Lan, pemuda itu memejamkan mata. Seperti ada aliran
yang menggetar-getar melalui kulit mereka yang bersentuhan. Naik sedu-sedan di dada pemuda ini dan
cepat-cepat ia menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah. Ia terpekik kesakitan, akan tetapi dorongan
nafsu birahi dapat tertahan.
Juga Kwi Lan dalam keadaan seperti mabok. Memang ia mabok, mabok nafsu birahi yang timbul dari obat
pemberian Bouw Lek Couwsu. Kwi Lan adalah seorang gadis yang aneh dan sejak kecil digembleng oleh
gurunya yang aneh pula. Di balik kemabokannya, masih ada kesadaran pikirannya yang merasa terheranheran
melihat sikapnya sendiri. Mengapa ia begini gila? Mengapa ia ingin sekali bersentuhan dengan
Pangeran Talibu? Dan ingin didekap dibelai? Ingin mendengar bisikannya? Mengapa? Andai kata ia
mencinta pemuda ini, mengapa harus ada perasaan yang seperti memabokkannya ini?
Di sudut hatinya yang masih perawan, gadis ini merasakan sesuatu yang tidak wajar. Akan tetapi ia tidak
tahu apa ketidak-wajaran itu dan mengapa. Kini menyaksikan keadaan Pangeran Talibu ia makin terheran.
Sinar mata pemuda itu jelas memancarkan kasih mesra, memancarkan kehausan akan cinta. Akan tetapi
pemuda itu seperti tersiksa, bahkan menggigit bibir sendiri sampai berdarah.
"Pangeran, kau kenapa? Kita... kenapa?" Ketidak-wajaran yang makin mendesak dalam kesadarannya
membuat ia mengajukan pertanyaan terakhir itu.
Pertanyaan ini menolong banyak bagi Pangeran Talibu. "Kwi Lan... Mutiara Hitam... ah, kita mabok. Tidak
wajar ini! Kita keracunan... begini panas dan begini... merangsang..."
Kwi Lan tersentak kaget. Benar! Racun! Biar pun racun yang amat aneh dan belum pernah ia mendengar
akan racun yang menimbulkan kemabokan seperti ini, yang mendatangkan daya rangsangan birahi begini
hebat, namun ia dapat menduga tentu mereka telah terkena racun! Teringat akan taburan bubuk wangi
yang membuat ia pulas, dan tahu-tahu setelah ia sadar, belenggu tangannya telah terlepas dan ia bersama
Pangeran Talibu berada dalam keadaan tidak wajar! Akan tetapi teracun atau tidak, tetap saja ia yakin
bahwa ia mencinta pemuda ini! Ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pangeran Talibu, kapan dan di
mana pun juga.
"Benar kiranya, Pangeran. Kita terkena racun. Akan tetapi... apa bedanya? Aku tidak menyesal..."
"Apa? Apa maksudmu?"
"Aku tidak menyesal menjadi tawanan bersamamu, Pangeran. Aku... aku... ah, bukan main panas
hawanya..." Kwi Lan mengeluh dan mengerang, mengerang bukan hanya karena hawa panas! Ia lalu
duduk di sudut dan bersandar pada dinding, mengebut-ngebutkan bajunya bagian atas agar agak
melonggar untuk mengurangi hawa panas.
Gerakan gadis itu begitu menarik dan manis. Kembali Talibu memejamkan mata dan ia pun mundur di
sudut yang berlawanan. Mereka kini duduk berpisah dalam jarak sepuluh meter. Hanya saling pandang
dari jauh, saling menahan gelora birahi yang membakar. Namun siksaan batin ini bagi Pangeran Talibu
tidaklah seberat yang diderita Mutiara Hitam.
Pangeran itu memaksakan kesadaran pengetahuannya bahwa gadis jelita itu adalah adik kembarnya
sendiri! Teringat akan ini, ingin ia menangis! Menangis saking girang bertemu dengan adik kandung yang
sejak terlahir dipisahkan orang. Menangis karena berduka karena begitu bertemu, mereka berdua menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
tawanan dan keselamatan nyawa mereka di ujung rambut. Akan tetapi, semua perasaan ini merupakan
penguat batinnya untuk melawan arus birahi yang tidak wajar dan yang membakar tubuhnya.
Hebat memang pengaruh obat itu. Serangan yang datang dari dalam tubuh ini bukan main kuatnya. Kwi
Lan terpaksa mempergunakan sinkang yang dikerahkannya untuk melawan hasrat yang dianggapnya gila
dan tidak tahu malu. Ia menjadi lemas karena pengerahan sinkang ini dipergunakan untuk menindas hawa
yang timbul dari dalam tubuh sendiri.
Cuaca sudah menjadi gelap. Hal ini melegakan hati Pangeran Talibu. Sungguh pun ia mempunyai perisai
berupa pengetahuan bahwa gadis itu adik kembarnya, namun tetap saja rangsangan di dalam tubuhnya
masih amat membahayakan. Kalau keadaan dalam ruangan itu gelap dan ia tidak dapat melihat wajah
cantik dan tubuh menggairahkan itu, tentu akan berkurang siksaan yang dirasakannya.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa, suara ketawa Bouw Lek Couwsu disusul kata-kata
mengejek, "Tuan dan Nyonya pengantin tentu lapar, silakan makan minum!"
Daun pintu terbuka dan seorang hwesio jubah merah masuk membawa sebatang lilin merah besar yang
sudah dinyalakan, meletakkan lilin di dekat pintu, kemudian meletakkan pula beberapa mangkuk makanan
dan seguci arak di atas lantai. Tanpa berkata apa-apa hwesio ini lalu keluar lagi dan mengunci daun pintu.
Kwi Lan tadinya hendak menerjang hwesio itu, akan tetapi ia melihat pula Bouw Lek Couwsu yang
memegang tongkat kuningannya berada di depan pintu, maka ia mengurungkan niatnya. Belum saatnya
untuk turun tangan, pikirnya.
Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Api lilin berkelap-kelip menerangi kamar dengan cahayanya yang
kemerahan, membuat suasana dalam kamar menjadi romantis, dan indah seperti suasana kamar
pengantin!
"Pangeran, apakah yang kau pikirkan?" Kwi Lan akhirnya bertanya setelah sekian lamanya ia memandang
ke arah Talibu yang duduk di sudut bersandar dinding dengan mata meram, kening berkerut dan dada
turun naik bergelombang.
Talibu membuka mata memandang, mata yang bersinar-sinar dan ganas penuh nafsu birahi. Mata yang
melotot menyusuri tubuh Kwi Lan yang tanpa sadar telah membuka kancing pakaian luar sehingga tampak
pakaian dalamnya yang tipis halus berwarna merah. Gadis ini telah melepaskan kancing tanpa disadarinya
saking hebat serangan hawa panas. Akan tetapi keadaan pakaiannya ini membuat Talibu menjadi makin
tersiksa. Pandang mata Talibu seolah-olah sudah melahap dan menelannya bulat-bulat!
"Apa yang kupikirkan? Aku... aku... memikirkan... kematian!" jawab Talibu.
Bagi Pangeran ini, keadaannya merupakan siksaan batin hebat. Ia jatuh cinta atau berhasrat mencinta adik
kembarnya sendiri! Berbeda dengan Kwi Lan yang belum tahu akan rahasia itu, baginya perasaan yang
merangsang terhadap pria yang ia cinta, bukanlah merupakan hal yang terlalu menyiksa batin, sungguh
pun ia tahu bahwa racun membuatnya seperti mabok.
Kwi Lan tersenyum dan kembali Talibu memejamkan mata. Senyum itu demikian manisnya, seperti ujung
golok menusuk jantung! "Pangeran, mengapa engkau berputus asa benar? Jangan khawatir, aku
bersumpah akan membelamu sampai titik darah terakhir."
Kembali Talibu membuka matanya. Ia merasa terharu sekali. Ingin ia meneriakkan bahwa mereka adalah
kakak adik kembar, namun terpaksa ia menahan. Kalau Bouw Lek Couwsu mendengar dan tahu bahwa
Mutiara Hitam ini pun puteri Ratu Khitan, tentu pendeta murtad itu akan mempergunakan kenyataan ini
untuk makin menekan Ratu Khitan agar suka membantu Hsi-hsia. Tidak, ia harus memegang rahasia
selama mereka masih menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu. Namun rangsang birahi sukar dikendalikan
lagi. Melihat mangkuk-mangkuk di lantai, Pangeran itu menjadi girang dan segera mengalihkan perhatian
dengan berkata gembira.
"Apa pun yang terjadi, sebelum mati kita harus dapat menikmati hidup. Ada makanan lebih baik dimakan,
Nona!"
Kwi Lan tersenyum, senang hatinya melihat Pangeran itu bergembira dan baru ia merasa betapa lapar
perutnya. Ia mengangguk dan mendekati mangkuk-mangkuk yang diletakkan di atas lantai. Mereka duduk
menghadapi mangkuk itu yang terisi makanan harum sedap baunya. Araknya pun arak wangi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Talibu kembali tertawa dan berkata, "Bagaimana kalau makanan ini ada racunnya?"
"Paling hebat kita mati. Tiada lebih mengerikan dari pada itu," jawab Kwi Lan yang membuat pangeran itu
kaget. Gadis ini begitu pasrah, begitu rela seakan-akan tiada kekurangan sesuatu di dunia ini. Memang
demikianlah orang muda kalau sudah bercinta. Lupa akan segala. Asalkan berada di samping orang yang
dicintanya, lupa makan lupa tidur lupa segala, tidak peduli apakah dunia akan kiamat!
Pangeran Talibu menarik napas panjang. Alangkah akan bahagianya kalau Kwi Lan bukan adiknya.
Mempunyai kekasih seperti gadis ini! Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya penuh penyesalan. Mengapa
hatinya begini tidak setia? Ia sudah mempunyai seorang yang amat dikasihinya, dikasihi seperti seorang
pria mencinta wanita, yaitu Puteri Mimi! Teringat akan Mimi, terasalah betapa aneh dan janggal jalan
hidupnya.
Puteri Mimi yang semenjak kecil ia anggap adik kandung, kiranya sama sekali bukan apa-apanya. Orang
lain dan cintanya sebagai kakak berubah menjadi cinta sebagai pria terhadap wanita. Sebaliknya, gadis ini
yang sampai saat ini mengira bahwa mereka orang lain yang tiada hubungan sama sekali, tiada hubungan
darah, bahkan saudara kembarnya!
"Kalau memang ada racunnya, marilah kita mati bersama,” jawabnya kemudian dan mulai makan.
Kwi Lan tersenyum bahagia dan tanpa ragu-ragu makan pula. Masakan-masakan itu ternyata amat lezat
dan araknya pun amat harum. Sampai habis beberapa mangkuk masakan itu, guci araknya pun menjadi
kosong. Sebaliknya, perut mereka kenyang.
"Ahh... betapa pun juga Bouw Lek Couwsu bukan orang yang terlalu pelit. Lezat makanannya...," kata
Pangeran Talibu sambil bangkit berdiri, menghapus bibir dengan telapak tangannya, lalu berjalan menuju
ke sudut kembali. Akan tetapi pandang matanya berkunang dan ia terhuyung-huyung. Rasa aneh
menguasai seluruh tubuhnya, hawa panas makin menghebat sampai terasa kepalanya seperti akan
meledak!
"Pangeran... !"
Sampai di sudut Talibu membalikkan tubuh dan ternyata Kwi Lan sudah berada di depannya. Mereka
saling pandang, tubuh mereka bergoyang,-goyang dan bagaikan besi dengan besi sembrani, keduanya
saling tubruk dan saling peluk.
"Mutiaraku...!"
"Talibu, Pangeranku...”
Dekapan makin erat dan muka mereka bertemu dalam ciuman mesra. Kwi Lan sudah pasrah bahkan
membalas peluk cium pemuda itu dengan penuh nafsu. Tiba-tiba Pangeran Talibu mengeluarkan seruan
seperti isak tertahan, lalu merenggutkan diri terlepas dari pelukan dan terhuyung-huyung lari ke sudut lain.
"Pangeran...!"
"Berhenti! Jangan maju selangkah pun. Kalau kau bergerak, mendekatku, aku... aku akan bunuh diri...!"
Terengah-engah Talibu berteriak.
Kwi Lan sedang dibuai racun yang memabokkan. Di dalam makanan tadi memang diberi obat oleh Bouw
Lek Couwsu, yang membuat racun di tubuh mereka bekerja makin hebat. Bouw Lek Couwsu yang
mengintai di luar kamar menjadi penasaran sekali tadi melihat betapa obatnya belum juga berhasil, maka ia
lalu mengirim makanan yang ia campur dengan obat untuk memperhebat pengaruh racun asmara itu.
Melihat kekasihnya melarikan diri dan mengeluarkan ucapan seperti itu, Kwi Lan menjadi heran, kaget, dan
juga kecewa. Ia melangkah maju sedikit dan serentak menghentikan langkahnya karena tiba-tiba Pangeran
Talibu membenturkan kepalanya pada dinding!
"Ahhh... jangan... Pangeran...! Aku aku tidak akan mendekatimu...!" jerit Kwi Lan cemas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran Talibu yang sudah putus asa karena ngeri memikirkan kalau sampai terjadi pelanggaran susila
dengan adik kembarnya sendiri, dapat mendengar jerit ini dan ia menghentikan perbuatannya yang nekat.
Dengan terengah-engah ia duduk di sudut ruangan itu memandang. Gadis itu terlampau cantik, apa lagi di
bawah penerangan lilin merah. Bentuk-bentuk yang menonjol pada tubuhnya tampak nyata antara sinar
dan bayangan. Ia tahu bahwa biar pun ia merasa yakin bahwa gadis itu adiknya, namun keyakinan ini
belum tentu akan kuat menahan gelora nafsu yang menyesak di dada dan ia akan menjadi seperti seorang
buta mabok kalau gadis itu mendekati dan menyentuhnya lagi.
"Mutiara Hitam... ini tidak baik... kita dirangsang racun... nafsu birahi menguasai kita...," gumamnya.
Tiada jawaban dan ketika Talibu mengangkat muka, dilihatnya Kwi Lan yang duduk di sudut lain menangis
terisak-isak. Gadis ini merasa terhina dan malu. Merasa bingung dan kecewa.
"Mutiara, Adikku sayang... maafkan aku... percayalah, aku tidak bermaksud menolak dan menghinamu...
akan tetapi kau tunggu... sampai racun ini bersih dari tubuh kita... aku tetap cinta kepadamu."
Kwi Lan menarik napas panjang, menahan tangisnya dan pikiran bersih menyelinap di benaknya. Mengapa
ia harus merasa nelangsa? Jelas bahwa mereka telah keracunan, bahkan perasaan tubuhnya
membuktikan bahwa makanan dan minuman tadi pun mengandung racun yang mempunyai daya rangsang
hebat. Ia mencinta pemuda ini, akan tetapi tidak semestinya menurutkan rangsang nafsu birahi. Dengan
pengerahan tenaga batinnya, ia bersila dan memejamkan mata, bersemedhi. Melihat keadaan gadis itu,
Pangeran Talibu bernapas lega dan ia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menindas
nafsu dan bersemedhi.
Malam itu merupakan malam siksaan bagi Kwi Lan dan Talibu. Belum pernah mereka merasa tersiksa
seperti malam hari itu. Tubuh yang terasa panas dengan hawa yang menggelora tidak memungkinkan
mereka dapat bersemedhi secara layak. Mereka gelisah sekali. Terdengar Pangeran Talibu menggereng
berkali-kali seperti harimau terluka. Tubuhnya penuh peluh.
Ada pun Kwi Lan tidak dapat dibayangkan sengsaranya. Gadis ini yang mencinta Talibu dan yang merasa
yakin bahwa pemuda itu pun mencintanya, lebih hebat penderitaannya. Berkali-kali ia mengeluarkan suara
merintih dan mengerang, tubuhnya menggeliat, peluhnya bercucuran, namun ia berusaha sekuat tenaga
untuk bertahan agar dapat menindas keinginan hatinya yang membuat ia seakan-akan ingin loncat
menubruk pemuda itu.
Menjelang pagi mereka mendengar suara Bouw Lek Couwsu di luar kamar tahanan. Suara pendeta itu
menyumpah-nyumpah dan marah-marah, agaknya kecewa sekali melihat dua orang muda ini tidak
terpengaruh obatnya yang amat luar biasa. Diam-diam ia merasa kagum akan kekerasan hati dua orang
muda itu, di samping merasa kecewa, penasaran, dan marah. Tak lama kemudian, kamar tahanan itu
penuh dengan asap yang disemprotkan dari luar melalui lubang jendela dan pintu. Mula-mula Kwi Lan yang
mencium bau harum tidak sewajarnya.
"Pangeran, hati-hati, asap beracun...!" Serunya, namun sia-sia belaka.
Mereka meloncat dan hendak menghindarkan diri, akan tetapi ke mana? Tak mungkin ke luar dari ruangan
tertutup itu dan asap makin menebal. Tak mungkin pula menahan napas untuk waktu lama dan akhirnya
mereka terhuyung dan roboh pingsan setelah terbatuk-batuk dan menyedot asap wangi itu.
Ketika Pangeran Talibu sadar, ia sudah terbaring di sudut ruangan. Ia mendengar suara orang dan ketika
ia membuka mata, bukan main kaget dan ngeri rasa hatinya. Ia melihat Kwi Lan terbelenggu kaki
tangannya dan di situ berdiri Bouw Lek Couwsu dan dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar dan amat buruk
rupanya, seperti monyet-monyet besar.
Mereka berdua itu hanya memakai sebuah celana kasar pendek sebatas lutut dengan badan bagian atas
telanjang. Tampak kaki tangan mereka yang besar dan kekar kuat itu penuh bulu hitam. Juga dada mereka
penuh bulu yang memanjang sampai ke perut. Muka mereka menghitam dan kasar sekali karena bopeng
bekas luka penyakit cacar. Mata mereka liar dan merah, hidung besar dengan mulut besar tampak gigi
mereka besar-besar menguning. Pendeknya, dua orang raksasa Hsi-hsia ini mengerikan dan buruk sekali,
sedikit pun tidak mempunyai daya tarik sebagai seorang laki-laki dan mendatangkan rasa jijik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bouw Lek Couwsu memperlihatkan kertas putih dan alat tulis kepada Pangeran Talibu, lalu berkata,
suaranya halus dan sopan. "Pangeran, apakah sampai sekarang juga Pangeran tidak sudi menulis surat
untuk Ibunda Pangeran di Khitan?"
"Bouw Lek Couwsu! Percuma saja kau membujuk. Sampai mati pun aku tidak sudi. Kau boleh
membunuhku, aku tidak peduli!" jawab Talibu sambil bangkit duduk.
Rasa panas tubuhnya masih ada, akan tetapi tidak sehebat malam tadi. Ia kini dapat melihat betapa Kwi
Lan juga sudah sadar, akan tetapi gadis itu tidak mampu bergerak karena belenggu pada kaki tangannya
yang amat kuat. Gadis ini pun sama sekali tidak membayangkan takut pada pandang matanya yang
melotot ke arah Bouw Lek Couwsu penuh kemarahan.
"Hemmm..." pemimpin orang-orang Hsi-hsia itu menyeringai dan tampak betapa muka pendeta itu kini
membayangkan kekejaman hati yang dingin. "Pangeran benar-benar keras hati. Mengingat bahwa kita
sama-sama bangsa yang besar dan gagah perkasa, kami tidak ingin menyusahkan Pangeran. Sekarang
harap Pangeran sudi memilih, menulis surat ini ataukah terpaksa pinceng membunuh gadis ini!"
Terbelalak mata Pangeran Talibu. Mutiara Hitam adalah adik kandungnya, adik kembarnya. Andai kata
orang lain sekali pun, tak mungkin ia dapat membiarkan gadis itu tewas karena dia! Apa lagi adik
kembarnya, adiknya yang telah datang dengan niat menolongnya, tanpa mengetahui bahwa yang ditolong
adalah kakak kembarnya. Bagaimana mungkin ia mengorbankan nyawa adik yang dicintanya ini? Ia tak
mampu menjawab, hanya menggeleng-geleng kepalanya sambil menatap wajah pendeta yang tersenyumsenyum
dingin itu.
"Pinceng tahu bahwa hati Pangeran adalah baik dan tentu saja tidak tega melihat gadis jelita ini mati. Oleh
karena itu, harap Pangeran sudi membuat surat yang kami butuhkan itu dan inilah kertas..."
"Pangeran Talibu! Jangan pedulikan dia! Eh, Bouw Lek Couwsu pendeta palsu. Kau mau bunuh aku, lekas
bunuh! Apa kau kira aku takut mati? Cih, pendeta tak tahu malu. Jahanam yang berkedok pendeta untuk
melampiaskan angkara murka!"
Bouw Lek Couwsu melihat perubahan pada muka Pangeran Talibu yang kini kembali mengeras, tanda
bahwa Pangeran itu timbul semangatnya dan tidak akan suka tunduk. Ia menjadi marah sekali kepada
Mutiara Hitam. "Baiklah, jangan kira bahwa kau akan begitu enak menerima kematianmu. Dan kau,
Pangeran Talibu, marilah kita menyaksikan pemandangan yang amat menyenangkan." Ia memberi
perintah dalam bahasa Hsi-hsia kepada dua orang raksasa buruk itu.
Dua orang setengah telanjang itu saling pandang, tertawa ha-ha-hi-hi, menyeringai lebar sehingga deretan
gigi besar-besar kuning dekil tampak nyata. Kemudian keduanya bermain jari mengadu untung. Si Raksasa
yang hidungnya pesek sekali yang menang, maka sambil mengeluarkan suara seperti binatang buas ia
berlutut, girang bukan main. Si Raksasa Hidung Besar yang kalah hanya tertawa ha-ha-he-he, lalu berlutut
dekat kepala Kwi Lan dan tangannya yang besar meraih ke bawah.
"Breeetttt...!" Sekali renggut robeklah baju Kwi Lan, tidak hanya baju luar yang robek sama sekali, bahkan
sebagian baju dalamnya ikut robek dan tampaklah sebagian dada yang putih padat dan sebagian kulit
paha yang putih bersih!
Si Raksasa Hidung Pesek kembali mendengus dan tangannya siap bergerak untuk menelanjangi calon
korbannya. Jelas kelihatan betapa nafsu iblis sudah menguasainya, siap melakukan perkosaan tanpa
mempedulikan orang-orang di sekelilingnya.
"Iblis keparat...!"
Pangeran Talibu sudah meloncat maju dan dalam kemarahan yang meluap-luap ia menerjang dengan
pukulan ke arah raksasa hidung pesek yang hendak memperkosa Kwi Lan. Tubuhnya agak membungkuk,
mukanya menjadi pucat dan lengan kanannya mengeluarkan suara berkerotokan ketika pemuda
bangsawan ini mengirim pukulan ke arah kepala si Raksasa Hidung Pesek. Inilah ilmu pukulan sakti Tokhiat-
coh-kut (Racun Darah Lepaskan Tulang) yang amat hebat dan biar pun baru dilatih setengah matang
dari Ratu Yalina namun raksasa Hsi-hsia yang hanya bertenaga besar itu mana mampu menghindarkan
diri.
“Kraakkk...! terdengar suara dan raksasa itu terguling dengan kepala remuk isinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemmm...!" Bouw Lek Couwsu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tangannya bergerak dan
Pangeran Talibu terguling roboh dengan kaki seperti patah rasanya. Pukulan jarak jauh pendeta ini telah
merobohkannya.
Bouw Lek Couwsu memberi perintah lagi dalam bahasa Hsi-hsia. Raksasa hidung besar yang menjadi
marah sekali karena temannya roboh tewas mentaati perintah itu, lalu bangkit berdiri dan mencabut sebuah
cambuk kulit dari ikat celananya. Kemudian ia menghampiri Pangeran Talibu dan terdengarlah suara
meledak-ledak ketika cambuk itu melecut dan menghantam tubuh Pangeran Talibu yang juga telanjang
bagian atasnya.
Pangeran yang memang sudah luka-luka itu merasa betapa kulit dan sedikit daging di bawah kulit seperti
dicacah-cacah, digigiti cambuk, terasa panas dan perih. Saking sakitnya, ia sempat menggeliat-geliat dan
bergulingan ke sana ke mari seperti seekor ayam disembelih, akan tetapi ia menggigit bibir sampai
berdarah, sedikit pun tidak ada suara keluhan keluar dari mulutnya!
Biar pun Kwi Lan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu saking terharu dan sakit hatinya, namun air
matanya bercucuran menyaksikan betapa pemuda yang dicintanya ini mengalami siksaan seperti itu.
Kemudian ia mendapatkan kembali suaranya lalu memaki-maki nyaring.
"Bouw Lek Couwsu kau manusia iblis! Kau anjing tua berkedok pendeta! Aku bersumpah akan mencabut
nyawamu kalau diberi kesempatan!"
Bouw Lek Couwsu hanya tertawa bergelak, kemudian berkata dalam bahasa yang dimengerti Kwi Lan,
"Heeii, kau beri rasa sekali dua kali kepada bocah bermulut lancang ini!"
Raksasa Hsi-hsia berhidung besar yang tadinya memandang Kwi Lan dengan mata penuh nafsu birahi, kini
memandang dengan kebencian meluap-luap. Ia membalik dan mengangkat cambuknya, siap dijatuhkan ke
atas muka yang jelita dan berkulit halus putih kemerahan itu.
Cambuk diangkat ke atas, bergerak di udara mengeluarkan bunyi "tarrr!" dan ujungnya menyambar ke arah
muka Kwi Lan.
"Binatang...!"
Tubuh Pangeran Talibu yang tadinya sudah menggeletak kehabisan tenaga dan amat menderita rasa
panas perih dan nyeri, kini meloncat dan ujung cambuk yang menyambar ke arah muka Kwi Lan
tertangkap oleh tubuhnya.
"Tarrr...!"
Tubuh Pangeran Talibu terguling roboh lagi. Ia tadi dapat bergerak karena kemarahan yang meluap-luap
ditambah rasa gelisah menyaksikan adik kembarnya akan disiksa. Akan tetapi begitu ia berhasil
menghindarkan wajah adiknya dari cambukan, kedua kakinya yang sudah setengah lumpuh oleh pukulan
Bouw Lek Couwsu tadi tidak dapat berdiri tegak, maka ia terguling. Orang Hsi-hsia tinggi besar menjadi
marah. Ia lalu menggerakkan cambuknya dan kembali tubuh Talibu dihajar bertubi-tubi sampai akhirnya
pemuda itu roboh pingsan! Dada dan punggungnya tertutup darah dan garis-garis biru merah.
"Cukup, kau anjing tolol! Jangan bunuh dia! Hajar perempuan ini kataku!" Bouw Lek Couwsu membentak
kemudian melangkah minggir.
Orang Hsi-hsia itu terkejut, maklum akan hebatnya hukuman kalau ia membuat marah pemimpin besar ini,
lalu mengangkat cambuknya, menghantam sekerasnya ke arah Kwi Lan yang rebah telentang tak mampu
bergerak. Gadis ini sama sekali tidak berkedip, menanti datangnya cambuk ke muka dengan ketabahan
luar biasa.
"Wuuuutt..., adduuuuhhhh...!"
Cambuk yang sudah nenyambar itu berhenti di tengah jalan bahkan lalu terlepas dari pegangan si Raksasa
Hsi-hsia yang roboh seperti pohon ditebang. Sebatang jarum telah menembus punggung dan terus
menancap di jantungnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemmm… Bouw Lek Couwsu! Beginikah engkau memperlakukan muridku?" terdengar suara halus dingin
dan muncul di ambang pintu, seorang wanita berpakaian putih berkerudung hitam, Kam Sian Eng! Tangan
kanannya masih mengempit tubuh Kiang Liong dan tadi dengan tangan kiri, hanya menggunakan sebatang
jarum, ia telah membunuh raksasa Hsi-hsia dalam sekejap mata.
Di sebelahnya tampak Suma Kiat yang memondong tubuh Puteri Mimi, dan di belakang dua orang ini
berdiri Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong. Empat orang tokoh sakti ini
hanya tersenyum-senyum, agaknya mereka ini tidak peduli, atau bahkan gembira menyaksikan betapa kini
Bouw Lek Couwsu agaknya akan bentrok dengan Sian-toanio!
Bouw Lek Couwsu tentu saja tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia kalau ia tidak
cerdik dan pikirannya dapat bekerja amat cepat dan mengambil keputusan yang amat tepat pada
waktunya. Ia sama sekali tidak kelihatan terkejut atau kehilangan akal. Bahkan lalu cepat-cepat menjura
kepada Kam Sian Eng, tersenyum lebar dan kemudian menghela napas panjang, menggeleng kepala dan
berkata.
"Aaahhh, sayang sekali. Tanpa aku sengaja, kau telah menggagalkan siasatku, Sian-toanio. Pinceng
belum gila untuk menyakiti murid Toanio. Dapat Toanio periksa apakah muridmu itu terluka sedikit pun.
Pinceng terpaksa melakukan ancaman ini tidak lain hanya dalam usaha menundukkan kekerasan hati
Pangeran Khitan itu. Marilah kita ke dalam dan bicara lebih leluasa, Toanio. Dan orang yang Toanio bawa
itu... ah, bukankah dia Kiang-kongcu murid Suling Emas?"
Kam Sian Eng tadi membunuh raksasa Hsi-hsia bukan semata-mata karena hendak menolong Kwi Lan,
melainkan ia merasa terhina kalau muridnya diganggu orang di depan matanya. Ia sebetulnya masih
marah kepada muridnya itu, apa lagi ketika mendengar penuturan Suma Kiat tentang sepak terjang Kwi
Lan di kota raja. Kini mendengar ucapan Bouw Lek Couwsu, ia mendengus dan melemparkan tubuh Kiang
Liong ke atas lantai. Kiang Liong ternyata pingsan dan tubuhnya menggelundung dekat Kwi Lan yang
hanya melotot dan memandang gurunya.
"Kakanda Pangeran...!"
Puteri Mimi meronta dari pondongan Suma Kiat. Ketika pemuda ini yang tertawa-tawa tidak mau
melepaskannya, Mimi mencakar dan menggigit. Lucu juga pemandangan itu dan terdengar Kam Sian Eng
berkata ketus, "Lepaskan dia!"
Suma Kiat masih menyeringai, akan tetapi ia tepaksa melepaskan Mimi yang segera lari dan menubruk
tubuh Pangeran Talibu dan menangis tersedu-sedu, memanggil nama Talibu dan menggosok-gosok tubuh
yang penuh darah dan luka-luka cambukan.
Bouw Lek Couwsu mengajak tamu-tamunya meninggalkan ruangan tahanan. Daun pintu ditutup dan
dikunci dari luar, para penjaga kini ditambah jumlahnya dan sunyilah keadaan ruangan tahanan itu, kecuali
tangis Puteri Mimi.
Melihat guru dan suheng-nya tidak berusaha membebaskannya, Kwi Lan mengerti di dalam hatinya bahwa
ia telah dianggap musuh oleh mereka. Namun ia tidak merasa sedih karena kini tahulah ia bahwa gurunya
dan suheng-nya itu bukanlah manusia-manusia baik. Ia bahkan merasa lega ditinggal di sini bersama
Pangeran Talibu dan Kiang Liong, karena andai kata ia dibebaskan gurunya, ia masih belum yakin apakah
ia akan mau bersekutu dengan mereka.
Kini perhatiannya tercurah kepada Puteri Mimi yang menangisi Talibu. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu,
melihat puteri cantik yang pernah ia jumpai di taman bunga Kiang Liong itu kini menangisi Talibu, ia secara
tiba-tiba saja membenci puteri ini! Ingin ia bangkit dan menamparnya, menyeretnya pergi menjauhi
Pangeran Talibu.
“Kakanda Pangeran...!”
Panggilan berkali-kali ini membuat Talibu sadar. Ia mengeluh lalu membuka matanya. Ia masih dikuasai
racun yang memabokkan. Begitu membuka mata dan melihat Puteri Mimi duduk bersimpuh di dekatnya
dan memeluki serta memanggil-manggil namanya sambil menangis, serentak ia bangkit.
“Mimi... kau... kau...?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka berpelukan. Puteri Mimi terkejut sekali ketika merasa betapa kakaknya ini, kakak kandungnya yang
ia tahu diambil putera ratunya, kini memeluknya dengan tidak wajar. Bahkan menciumi mukanya, menciumi
bibirnya penuh nafsu. Ia terlonjak kaget, matanya terbelalak, khawatir kalau-kalau kakaknya yang
dicintanya ini menjadi gila!
"Kakanda...!" Ia berusaha melepaskan pelukan. Akan tetapi Pangeran Talibu memeluk makin erat, bahkan
mencegahnya bersuara lagi dengan ciuman mesra.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking nyaring. Itulah suara Kwi Lan yang tak dapat menahan rasa
amarahnya yang menggelegak di hati. Ia tidak tahu bahwa ia telah berada dalam cengkeram iblis cemburu,
yang membuatnya marah dan beringas, siap membunuh Puteri Mimi. Setelah mengeluarkan suara
melengking seperti suara gurunya kalau marah, tubuhnya mencelat ke depan, memukul ke arah Mimi
dengan pukulan maut. Ia sudah lemah, tenaganya sudah hampir habis karena ia pergunakan untuk
melawan rangsangan birahi sepanjang malam, akan tetapi pukulan itu masih ganas dan dahsyat luar biasa.
"Dukkk...!" Tubuh Kwi Lan terpelanting. Sebelum sempat bangkit kembali, sebuah totokan membuat gadis
yang sudah lemah ini rebah miring dalam keadaan pingsan.
Puteri Mimi terkejut dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya ia berhasil melepaskan diri dari pelukan
Pangeran Talibu. Akan tetapi Pangeran itu bangkit dengan mata merah, mulut terengah-engah lalu hendak
mengejar.
"Kakanda... apakah kau gila...?" teriak Mimi dan gadis ini merasa ngeri dan khawatir. Pangeran Talibu
menubruk akan tetapi sebuah totokan dari samping membuat ia roboh pula menggelundung di dekat Kwi
Lan dalam keadaan pingsan.
Kiranya Kiang Liong yang tadi siuman cepat turun tangan melihat Kwi Lan menyerang Mimi tadi. Pemuda
yang banyak pengalaman dan berpemandangan luas ini melihat sesuatu yang tidak wajar pada sinar mata
Kwi Lan dan Pangeran Talibu, maka melihat betapa Pangeran itu mengejar adiknya sendiri dengan nafsu
menyala-nyala, segera ia menotoknya roboh.
Untung bahwa dua orang muda itu sudah kehabisan tenaga. Kalau tidak, belum tentu Kiang Liong dapat
merobohkan mereka secara mudah. Apa lagi merobohkan Kwi Lan, karena tenaga Kiang Liong sendiri pun
sudah lemah akibat luka yang dideritanya akibat pukulan Kam Sian Eng.
Setelah melihat betapa Kiang Liong merobohkan kakaknya, Puteri Mimi berbalik menjadi marah kepada
Kiang Liong. Ia menghadapi pemuda itu dengan mata terbelalak dan membentak. "Kau apakan
Kakakku...?"
Kiang Liong mengerutkan kening. "Mereka tidak wajar, seperti beringas dan gila. Aku hanya menotok
mereka agar tidak terjadi hal-hal tidak baik. Mungkin mereka berada di bawah pengaruh racun." Ia
menuding ke arah mangkuk-mangkuk bekas makanan.
Puteri Mimi mengeluh lalu bersimpuh lagi dekat kakaknya. Kalau teringat betapa kakaknya tadi
menciuminya seperti itu, mukanya menjadi merah saking jengah. Ah, selama hidupnya belum pernah ia
dicium orang seperti itu! Kemudian timbul pula rasa kasihan dan khawatir di hati melihat tubuh kakaknya
yang penuh luka bekas cambukan. Ia menoleh ke arah Kwi Lan, mengerutkan kening. Siapa wanita cantik
jelita ini dan mengapa datang-datang hendak menyerangnya? Ia mengeluh dan kembali merenungi
kakaknya dengan hati penuh kegelisahan.
Kiang Liong juga maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu
dengan berduka atau berkhawatir. Cepat ia bangkit untuk menyelidiki keadaan kamar tahanan. Setelah
mendapat kenyataan bahwa kamar itu kuat sekali, dijaga ketat di luar, ia lalu mengundurkan diri di sudut
ruangan itu, duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan dan kesehatannya. Ia
tahu bahwa yang terpenting adalah memulihkan kekuatan karena apa pun yang akan terjadi, yang paling ia
perlukan adalah tenaga dan kesehatannya.
Keadaan di dalam ruangan tahanan ini menjadi sunyi sekali. Hanya terdengar helaan napas panjang
diselingi isak dari Puteri Mimi. Lilin merah makin mengecil dan akhirnya padam. Ruangan menjadi gelap.
Puteri Mimi makin gelisah. Dua orang pingsan, yang seorang duduk bersemedhi. Dia merasa seperti di
kuburan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menjelang pagi terjadi geger di dalam hutan dekat markas Bouw Lek Couwsu. Yu Siang Ki yang membawa
pasukan pengemis sebanyak lima puluh orang telah tiba dan langsung menyerbu hutan yang kini terjaga
rapat oleh orang-orang Hsi-hsia dan para pendeta jubah merah. Pasukan yang dibawa Yu Siang Ki adalah
orang-orang pilihan dari dunia kai-pang dan rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Sebagai tokohtokoh
kai-pang yang berpengalaman, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang ahli akan siasat
pertempuran dan ahli pula akan tempat-tempat rahasia, maka mereka tidak bertindak sembrono.
Yu Siang Ki di samping teman-temannya yang berpengalaman, dapat menduga bahwa markas besar
pimpinan orang Hsi-hsia ini tentu penuh dengan perangkap-perangkap berbahaya. Oleh karena itu mereka
menanti sampai datangnya malam gelap, barulah mereka menyerbu ke dalam hutan. Yu Siang Ki dan
teman-temannya tidaklah begitu sembrono seperti Kwi Lan untuk melalui jalan satu-satunya yang terdapat
di hutan itu, melainkan mengambil jalan menyusup di antara semak-semak belukar, menyelinap di antara
pohon-pohon besar.
Dengan amat hati-hati mereka menyusup seperti gerakan pasukan monyet yang amat lincah. Setelah
melalui perjalanan yang amat sukar dan lama, menjelang senja barulah mereka dapat mendekati markas.
Mereka telah lolos dari pada perangkap-perangkap rahasia yang dipasang di sepanjang jalan, akan tetapi
ternyata mereka tidak dapat lolos dari pada para penjaga yang ketat. Ketika para penjaga melihat gerakan
mereka, para hwesio jubah merah beserta pasukan Hsi-hsia segera bergerak mengepung dan terjadilah
pertempuran hebat sekali di dekat markas besar Bouw Lek Couwsu.
Keadaan masih remang-remang gelap, dan pasukan kai-pang di bawah pimpinan Yu Siang Ki menyerbu
dengan dahsyat sehingga pertempuran itu berlangsung seru sampai pagi. Akan tetapi ternyata pasukan
yang dipimpin Yu Siang Ki cukup tangguh sehingga banyak prajurit Hsi-hsia roboh binasa. Para hwesio
jubah merah melakukan perlawanan gigih, namun mereka kalah banyak sehingga mulailah mereka
terdesak.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Jembel-jembel busuk sungguh menjemukan!" Bentakan ini disusul
munculnya seorang kakek kurus bertopi tinggi, namun gerakannya hebat luar biasa. Begitu dengan tangan
kosong ia menyerbu, empat orang pengemis roboh dengan mata mendelik dan putus napasnya!
"Hemmm, baru kalian mengenal Pak-sin-ong!" kata si Kurus dan kembali ia melangkah maju.
Para pengemis yang terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek ini, menjadi lebih kaget mendengar
namanya. Kiranya inilah Pak-sin-ong! Namun hanya sebentar mereka terkejut. Seorang pengemis yang
bertubuh kekar dan berkumis lebat, menubruk maju mengayun tongkatnya, menghantam ke arah kepala
Pak-sin-ong. Kakek itu hanya berdiri dengan angkuh dan tersenyum mengejek.
"Krakk!" Tongkat itu tepat mengenai kepala dekat dahi, akan tetapi kakek itu tetap tersenyum, sebaliknya
tongkat itu yang terbuat dari pada kayu keras itu patah menjadi dua potong dan terlempar jauh entah ke
mana.
Si Pengemis kaget, tetapi tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya dan ditusukkan ke depan.
Pengemis itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan jerit mengerikan. Juga teman-temannya terbelalak
ngeri ketika melihat betapa pengemis ini pecah perutnya, ususnya berantakan dan ditarik-tarik ke luar oleh
si Kakek Kejam! Pemandangan yang amat mengerikan, akan tetapi juga menimbulkan kemarahan yang
meluap-luap, membuat para pengemis menjadi nekat. Majulah mereka menerjang kakek itu yang melayani
sambil tersenyum simpul.
Yu Siang Ki yang mendengar laporan tentang munculnya kakek hebat ini cepat meloncat dan
menggerakkan tongkatnya merobohkan seorang hwesio jubah merah. Akan tetapi sebelum ia tiba di
tempat Pak-sin-ong mengamuk tiba-tiba ia harus melempar diri ke sarnping, bergulingan dan menyabetkan
tongkatnya ke kiri karena dari arah kiri menyambar sebuah gunting besar yang tadi hampir saja
menggunting putus lehernya! Ia meloncat bangun dan berhadapan dengan seorang kakek yang terbahakbahak.
Butek Siu-lam!
Kagetlah Yu Siang Ki. Sudah lama ia mendengar akan nama besar Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong
sebagai seorang tokoh utara yang luar biasa saktinya. Juga ia pernah mendengar nama besar Bu-tek Siulam
yang baru muncul namun memiliki nama yang tidak kalah oleh orang-orang pertama. Melihat
bentuknya, lagaknya, dan guntingnya, tak salah lagi inilah orangnya. Ia tahu bahwa lawan ini amat
berbahaya, maka cepat Siang Ki menyambar topinya dan begitu tangannya bergerak, topinya melesat
seperti petir menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Klikk!" Gunting itu menyambar dan... biar pun topi masih terbang lewat, namun kembangnya yang
menghias topi sudah terguling dan kini terpegang di tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang mencium-cium
kembang itu dengan lagak genit!
"Hi-hik, pemuda tampan, Engkau boleh juga, sayang semuda dan setampan engkau begini malas menjadi
pengemis. Hi-hik!"
Pada saat itu, seorang pengemis tua mendekati Yu Siang Ki dan berkata, suaranya gugup, "Pangcu,
keadaan kita terdesak. Minta putusan."
"Beri tanda untuk mundur, sedapat mungkin keluar dari tempat ini!" kata Yu Siang Ki yang tidak ingin
mengorbankan teman-temannya. Ia maklum bahwa setelah muncul dua orang sakti yang sama sekali tidak
pernah disangkanya, keadaan pasukannya terancam bahaya.
Kakek pengemis itu mengangguk lalu meloncat pergi sambil mengeluarkan pekik seperti orang menangis.
Itulah tanda untuk mundur, maka paniklah pasukan pengemis. Mereka mulai mundur sambil
mempertahankan diri, didesak oleh musuh yang kini mendapat hati.
Jalan keluar kiranya malah lebih sukar dari pada jalan masuk. Selain pasukan Hsi-hsia dan pendetapendeta
jubah merah, juga kini sudah muncul pula Thai-lek Kauw-ong dan Siauw-bin Lomo dari sebelah
kiri dan dari sebelah kanan muncul pula Kam Sian Eng dan Suma Kiat! Percuma saja para pengemis
melakukan perlawanan dan berusaha lari. Mereka disapu sampai bersih, dan tidak seorang pun dapat lolos
dari tempat itu!
Ketika Bu-tek Siu-lam mendengar bahwa pengemis muda yang tampan gagah ini adalah seorang Kaipangcu
(Ketua Pengemis) yang memimpin pasukan pengemis, ia menjadi kagum dan berkata, "Eh, kiranya
engkau seorang pangcu! Hi-hik! Aku mendengar laporan para pengemis anak buahku bahwa ada seorang
ketua pengemis muda belia yang katanya adalah putera mendiang Yu Kang Tianglo. Engkaukah
orangnya?"
"Benar, dan aku pun tahu bahwa engkaulah orang dari barat yang menampung kaum sesat untuk
menyelewengkan dunia pengemis ke dalam kejahatan. Sudah tiba saatnya kita membuat perhitungan!"
kata Yu Siang Ki, sedikit pun tidak gentar dan ia sudah menggerakkan tongkat panjangnya.
"Hi-hi-hik, bagus! Bouw Lek Couwsu akan suka sekali menerima bantuanmu dan anak buahmu. Eh, bocah
ganteng, engkau ikut saja denganku membantu Couwsu."
"Bu-tek Siu-lam! Kau kira aku Yu Siang Ki orang macam apakah? Lihat tongkatku!" pemuda itu sudah
menerjang dengan gerakan yang dahsyat. Tongkatnya mengeluarkan suara mengaung ketika menyambar
ke arah kepala Bu-tek Siulam.
Namun kakek ini hanya tertawa mengejek dan berkata, "Hi-hik, percuma kau melawan!" Tongkat Siang Ki
lewat di dekat kepalanya ketika tokoh banci ini mengelak. Namun sungguh tak disangkanya ketika tongkat
itu seperti seekor naga membalikkan tubuh sudah membalik dan menusuk ke arah dadanya. Ketika ia
cepat miringkan tubuh, tongkat itu kembali tahu-tahu sudah menghantam ke arah pinggangnya.
"Hiyaa..., kau boleh juga...!" seru tokoh ini, terkejut dan juga kagum. Kiranya biar pun masih muda
pengemis ini memiliki kepandaian yang hebat. Pantas saja menjadi ketua kai-pang dan juga tidak
mengecewakan menjadi putera mendiang Yu Kiang Tianglo yang dulu amat tersohor.
Pada saat itu, muncul dua orang pengemis tua. Tubuh mereka sudah terluka di lengan dan pundak, dan
wajah mereka penuh keringat, pandang mata mereka penuh kegelisahan. Mereka serentak menerjang Butek
Siu-lam membantu Yu Siang Ki dan seorang di antara mereka berkata, "Pangcu mari kita lari, keadaan
sudah berbahaya dan mendesak...!"
Kiranya dua orang pengemis ini yang melihat betapa pasukannya yang sedang melakukan usaha
mengundurkan diri dihajar habis-habisan oleh musuh, kini berusaha membujuk Siang Ki untuk
menyelamatkan diri. Mendengar ucapan mereka ini, Siang Ki mempercepat gerakan tongkatnya sehingga
ujung tongkatnya berubah menjadi puluhan buah banyaknya, yang kesemuanya menyerbu ke arah jalan
darah dan bagian-bagian lemah dari tubuh Bu-tek Siu-lam.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hi-hi-hi-hik, dasar pengemis tak tahu diri!" seru Bu-tek Siu-lam dan tubuhnya berkelebat ke arah dua
orang pengemis tua itu. Guntingnya yang besar menyambar dan mengeluarkan bunyi nyaring.
"Klikk! Klakk!" Dua orang pengemis itu menjerit keras dan tubuh mereka roboh menjadi empat potong!
Siang Ki kaget dan kemarahannya meluap. Ia segera menerjang, mainkan ilmu tongkat ajaran ayahnya
sambil mengerahkan semua tenaga sinkang di tubuhnya. Lenyaplah tubuh pemuda ini, berkelebatan
dengan loncatan cepat, diselimuti gulungan sinar tongkatnya yang menyambar-nyambar. Bunyi mengaung,
makin meninggi sampai melengking-lengking nyaring.
Namun yang dihadapi pemuda lihai ini adalah Bu-tek Siu-lam, seorang tokoh besar, seorang di antara Butek
Ngo-sian. Sungguh pun dasar ilmu silat Bu-tek Siu-lam tidak semurni ilmu silat Yu Siang Ki, namun jauh
lebih berbahaya dan ganas, juga kakek banci ini menang tenaga dan menang pengalaman. Semua
terjangan tongkat Yu Siang Ki yang demikian dahsyatnya dapat terbendung oleh gunting sehingga
terdengarlah berkali-kali suara nyaring disusul percikan bunga api ketika kedua senjata itu bertemu.
Yu Siang Ki terkejut. Setiap kali senjatanya bertemu senjata lawan, lengannya menjadi kesemutan. Inilah
tandanya bahwa tenaga sinkang lawan amat kuat. Dan ia pun dapat melihat betapa teman-temannya roboh
seorang demi seorang, melihat pula munculnya Siauw-bin Lo-mo si kakek sakti di samping Pak-sin-ong
dan Bu-tek Siu-lam ini.
Habislah harapannya, bukan hanya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan, bahkan kini ia sendiri
terancam. Pasukannya hancur dan entah bagaimana dengan nasib Kwi Lan. Semua kegagalan ini
membuat ia menjadi nekat dan marah. Tongkatnya diputar makin hebat dan kini ia tidak pedulikan apa-apa
lagi, semua perhatiannya ia curahkan dalam penyerbuan terhadap Bu-tek Siulam.
"Bocah tampan yang bodoh! Engkau masih tidak mau menyerah?" Bu-tek Siu-lam mengejek dan terpaksa
ia pun mempercepat gerakan guntingnya karena biar pun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh
dipandang ringan.
Jarang ia menemui lawan semuda tapi setangguh ini, dan diam-diam ia makin kagum. Alangkah akan
senangnya mempunyai seorang kekasih seperti pemuda ini, pikirnya. Tampan, kulitnya putih halus,
matanya jernih tajam, lahir batinnya gagah perkasa dan jantan! Namun tidaklah mudah menangkap
pemuda tampan ini, dan mereka sudah bertanding sampai seratus jurus lebih!
Yu Siang Ki juga menjadi bingung. Ia maklum bahwa ia tidak akan menang melawan kakek yang amat
sakti ini. Betapa pun juga, ia harus mempertahankan diri dan kalau perlu mengadu nyawa dengan Bu-tek
Siu-lam. Tidak terlalu penasaran kalau ia mati bersama kakek ini yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari
padanya. Ia harus menggunakan akal, kalau hanya mengandalkan ilmu silat saja tak mungkin ia dapat
membunuh Bu-tek Siu-lam.
Berpikir demikian, Siang Ki yang sudah menjadi nekat dan putus harapan itu lalu mencondongkan tubuh ke
depan, tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan disusul tangan kiri yang melepaskan tongkat dan
memukul dengan jari-jari terbuka ke arah dada. Serangan tongkatnya tidak berbahaya, dan pukulan inilah
yang berbahaya, mengandung tenaga sinkang yang kuat.
Bu-tek Siu-lam bukan anak kecil, dan ia tahu akan akal ini, yaitu yang disebut serangan membesarbesarkan,
yang kosong menyembunyikan yang isi. Menghadapi sambaran tongkat, ia hanya menundukkan
kepala dan berbareng ia menggerakkan gunting besarnya, yang sudah dibuka dan siap menggunting
lengan kiri Yu Siang Ki yang mengirim pukulan ke dada.
Tangan kiri Siang Ki sudah meluncur ke depan dengan sepenuh tenaga dan gunting itu siap menanti untuk
mencaplok lengan. Terlambatlah Siang Ki untuk menarik kembali lengannya, dan memang sesungguhnya
inilah akalnya, akal seorang nekat yang hendak mengadu nyawa. Ia menggunakan lengan kirinya itu untuk
memancing, menjadi umpan dan kalau perlu mengorbankan lengan kirinya dicaplok gunting lawan. Begitu
melihat gunting menyambar lengan kirinya, tanpa menarik kembali lengan kirinya, kaki kanannya maju
melangkah dan tongkatnya menghantam ke arah pinggang lawan sekerasnya. Hebat pukulannya ini, cepat
dan tak tersangka-sangka. Ia akan kehilangan lengan kiri, akan tetapi pukulannya tentu akan
membinasakan lawannya!
Bu-tek Siu-lam terkejut setengah mati melihat betapa lengan kiri itu sama sekali tidak mengelak atau ditarik
kembali, membiarkan menjadi korban gunting. Sebagai seorang ahli tingkat tinggi, ia menjadi curiga dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menarik kembali guntingnya sehingga ketika terdengar suara "klik", hanya ujung lengan baju Siang Ki saja
tergunting. Dengan gerakan reflex yang mengagumkan, kakek itu sudah miringkan tubuh dan sekaligus
menggerakkan guntingnya menangkis tongkat. Ia terlambat sedikit, tongkat yang tertangkis itu
menyeleweng ke bawah dan menghantam paha kirinya.
"Bukkk...!"
Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Biar pun tulang pahanya tidak remuk, namun
celananya pecah dan tampak pahanya yang putih itu kini menggembung dengan warna biru kemerahan!
"Bocah sinting! Kau tak mengenal kasihan orang!" teriaknya marah-marah dan kini terpincang-pincang ia
menerjang maju, guntingnya menyambar-nyambar ganas dan diam-diam tangan kirinya mengeluarkan
senjatanya yang ke dua, yaitu seutas benang dengan jarumnya!
Yu Siang Ki kaget dan menyesal sekali. Ia berhasil memukul lawannya, akan tetapi tahu pula bahwa ia
hanya mendatangkan luka di kulit saja. Maka terpaksa ia lalu membela diri dan memutar tongkatnya. Akan
tetapi sebentar saja Yu Siang Ki menjadi repot terdesak secara hebat. Ia melihat jarum berkilauan yang
menyambar-nyambar seperti seekor lebah hidup, dan celakanya, jarum itu menyambar ke arah kedua
matanya!
Pemuda ini terpaksa membantu tongkatnya dengan ujung lengan baju dikibaskan setiap kali ada sinar
berkilau menyambar mata. Namun dengan cara begini, permainan tongkatnya menjadi kacau-balau. Ketika
kembali gunting menyambar pinggang, ia menangkis dengan tongkat. Kilauan jarum menyambar mata, ia
kibas dengan lengan kiri dan berusaha menangkap jarum.
Akan tetapi jarum yang diikat benang itu seperti hidup digerakkan tangan kiri Butek Siu-lam, kini jarum itu
terbang membalik dan tahu-tahu telah menancap d pergelangan tangan kanan Yu Siang Ki! Pemuda ini
mengeluh, tongkatnya terlepas, dan ketika ia membungkuk untuk menyambar kembali senjatanya,
punggung gunting lawannya menotok tengkuknya. Yu Siang mengeluh perlahan dan roboh pingsan.....
********************
Dalam keadaan tidak berdaya, Kiang Liong terpaksa menonton saja ketika ia dan para tawanan lain
dibelenggu, karena yang melakukan ini adalah Bouw Lek Couwsu sendiri yang masuk ke ruangan tahanan
ditemani Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo. Di antara para tawanan, hanya dia dan Puteri
Mimi yang kini dalam keadaan sehat. Akan tetapi apa artinya dia dan Puteri Mimi berdua saja menghadapi
empat orang kakek sakti ini? Belum waktunya untuk menerjang dan mati-matian mengadu nyawa, pikirnya.
Terpaksa ia berpura-pura lemah dan tidak berbuat sesuatu sehingga mereka semua ini terbelenggu
dengan rantai-rantai baja, diikat pada dinding kamar tahanan. Kiang Liong di sudut kiri, dan berbaris di
sebelah kanannya adalah Pangeran Talibu, Yu Siang Ki, Kam Kwi Lan dan Puteri Mimi. Lima orang muda
belia berbaris dalam keadaan terbelenggu di dalam kamar tahanan itu, nasib mereka berada di tangan
kakek-kakek yang kejam dan ganas!
Puteri Mimi terisak-isak menangis. Melihat ini, Kiang Liong berkata perlahan dan tenang menghibur, "Harap
puteri jangan gelisah dan putus harapan. Percayalah bahwa Bouw Lek Couwsu yang amat mengharapkan
bantuan Khitan tidak akan begitu gila untuk membunuh puteri dan Pangeran. Ia melakukan ini sebagai
gertakan saja untuk mengancam dan membujuk Pangeran Talibu yang saya lihat amat gagah dan keras
hati tidak mau menyerah sehingga mengalami siksaan. Kalau dia nanti sadar dan melihat puteri menangis,
hal ini amat tidak baik bagi pertahanannya. Engkau adalah puteri Panglima Kayabu yang gagah perkasa,
tidak semestinya takut menghadapi bahaya yang baru sekian saja."
Puteri Mimi menghentikan tangisnya. Hanya air matanya yang masih mengalir turun melalui kedua pipinya,
akan tetapi. makin lama air mata itu pun makin mengecil dan akhirnya berhenti. "Terima kasih, Kiangkongcu.
Sesungguhnya, aku tidak akan memalukan nama besar ayahku dan aku bukan menangis karena
takut. Kematian di tangan musuh bukanlah apa-apa bagiku. Yang kutangisi dan kusedihkan adalah
keadaan Pangeran Talibu. Melihat keadaan jasmaninya tersiksa seperti itu sudah cukup mengenaskan,
akan tetapi melihat betapa ia tadi... ah, Kongcu, engkau tahu bahwa dia adalah kakak kandungku, bahwa
dia adalah Pangeran Mahkota. Hati siapa takkan berduka melihat kakak sendiri dan pangerannya
menjadi... menjadi... gila...?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Liong menarik napas panjang. Ia tadi pun melihat betapa Pangeran Talibu memeluk dan menciumi
adik kandungnya itu secara berlebihan bahkan secara tidak patut. Pelukan dan ciuman yang mengandung
nafsu birahi sepenuhnya! Bahkan sedemikian hebat nafsu itu menggelora dan menguasai Pangeran tadi
sehingga Pangeran itu tidak mempedulikan kehadiran orang lain dan hendak memaksa Sang Puteri. Hal ini
memang benar-benar tidak wajar dan ini pula yang menyebabkan ia tadi turun tangan menolong Sang
Pangeran.
"Puteri Mimi, harap kau suka tenang. Saya tahu bahwa sikapnya tadi tidak wajar, seperti juga sikap Mutiara
Hitam ini, akan tetapi percayalah, mereka ini pasti terkena racun yang hebat. Mereka berdua bukanlah
orang-orang jahat dan juga tidak gila. Tunggu saja kalau mereka sadar, tentu kita akan mendengar
keterangan mereka..."
Terdengar keluhan Kwi Lan. Mimi menoleh ke sebelah kirinya, melihat Kwi Lan menggerakkan kaki tangan
yang terbelenggu, kemudian kepalanya dan akhirnya membuka matanya. Sejenak mata itu nanar dan
bingung, kemudian Kwi Lan menoleh ke kanan kiri dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Mata itu
kini memandang ke arah pintu besi dan mulutnya memaki.
"Heh si bedebah Bouw Lek Couwsu, kakek tua bangka mau mampus yang tak tahu malu! Kau pengecut
besar yang hanya mengandalkan jebakan-jebakan rahasia, racun-racun menjijikkan dan bantuan
pengeroyokan! Kalau memang kau mengaku jantan pemimpin bangsa biadab Hsi-hsia, hayo kita
bertanding sampai selaksa jurus!"
"Kwi Lan, tidak ada gunanya menantang-nantang kalau kita sudah tak berdaya begini," kata Yu Siang Ki.
Kwi Lan menoleh ke kiri dan nenjawab dengan mulut cemberut. "Dasar kau yang tidak punya guna, Siang
Ki. Kau datang bersama pasukan pengemis pilihan, bagaimana tahu-tahu sudah menjadi tawanan? Ke
mana perginya pasukanmu itu?"
Siang Ki menarik napas panjang. "Aaahhh, semoga saja di antara mereka ada yang berhasil meloloskan
diri. Masih terlalu berat, apa lagi kakek-kakek iblis seperti Siauw-bin Lo-mo, Bu-tek Siulam, Pak-kek Sinong
dan yang lain. Sungguh mereka merupakan lawan berat."
"Aku tidak takut!" bentak Kwi Lan marah dan kembali ia berteriak-teriak "Iblis-iblis tua bangka macam Butek
Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo atau Bouw Lek Couwsu, kalau berani bertanding melawan aku
secara jantan, biarkan maju. Kalau aku kalah, aku rela mampus di tangan seorang di antara mereka!"
Siang Ki hanya menghela napas, maklum akan watak gadis ini. Kiang Liong tertawa kecil dan berkata,
"Heh-heh, biarkan saja dia, Yu-pangcu. Andai kata dilayani, dia takkan mampu mengalahkan seorang di
antara Bu-tek Ngo-sian."
Kwi Lan kini menoleh ke kiri, sedapat mungkin memanjangkan lehernya untuk dapat melihat Kiang Liong
yang terhalang Siang Ki dan Talibu, matanya mendelik dan ia menghardik. "Kau murid Suling Emas si
sombong takabur! Kalau kau takut mampus, boleh kau menyerah kepada mereka dan boleh wakili mereka
menempur aku! Huh, sombong, tidak menengok tengkuk sendiri. Kalau kau pandai dan murid Suling Emas
kenapa kau sendiri tertawan? Tak tahu malu!"
Kiang Liong hanya tertawa, memperlihatkan deretan gigi yang putih dan kuat, Kwi Lan makin marah,
mendengus-dengus dan meronta-ronta, akan tetapi belenggu kaki tangannya terlampau kuat. Akhirnya ia
tidak meronta-ronta lagi dan hanya merenung ke depan. Dua titik air mata meloncat ke atas sepasang
pipinya yang kemerahan.
Melihat ini Kiang Liong menjadi kasihan. Dengan kata-kata serius ia kemudian berkata, "Mutiara Hitam,
siapakah yang menyangsikan kegagahan dan keberanianmu? Aku kagum sekali kepadamu. Akan tetapi,
kau tentu mengerti pula bahwa seorang gagah akan dapat menanggung penderitaan dengan sikap tenang
dan tidak putus harapan."
"Huhh...!" Kwi Lan hanya mendengus, akan tetapi tidak membantah dan kini ia mencurahkan perhatiannya
ke sebelah kanan, kemudian ke kiri ke arah Pangeran Talibu.
Ia melihat betapa pangeran yang dicintanya itu telah sadar pula, dan kembali jantungnya berdebar aneh.
Kini ia tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Talibu dan kalau ia teringat akan keadaan mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
pada malam hari tadi, wajahnya menjadi merah sekali. Ah, jelas bahwa malam tadi terjadi peristiwa yang
amat memalukan antara mereka berdua. Sikap mereka seperti orang kemasukan setan, tidak tahu malu!
Dan makin yakin pula hati Kwi Lan bahwa tentu malam tadi ia terpengaruh oleh racun yang terdapat dalam
masakan dan minuman, demikian pula Pangeran Talibu. Buktinya, pagi ini ia tidak mempunyai perasaan
panas dan rangsangan seperti semalam, sungguh harus ia akui bahwa cinta kasihnya terhadap pangeran
itu makin membesar. Juga sinar mata Pangeran Talibu pagi ini halus dan tenang tidak panas dan penuh
nafsu seperti malam tadi.
Akan tetapi perih hatinya kalau teringat akan kelakuan Pangeran itu terhadap Puteri Mimi. Dan saat ini,
pandang mata Pangeran itu pun ditujukan kepada Puteri Mimi yang berdiri terbelenggu di sebelah
kanannya. Dan di antara mereka ini terjadi percakapan dalam bahasa yang ia tidak mengerti! Bahasa
Khitan!
Ia sama sekali tidak mengerti dan tiba-tiba mendengar ketawa perlahan di sebelah kirinya. Ia menoleh dan
melihat Yu Siang Ki tersenyum dan mengangguk-angguk. Juga di ujung kiri tampak Kiang Liong tersenyum
tenang. Jelas bahwa Siang Ki dan Kiang Liong mengerti bahasa Khitan dan tahu apa yang dipercakapkan
kedua orang itu. Membicarakan tentang dia? Mentertawakan dia? Hatinya panas dan betapa pun ditahantahannya,
akhirnya ia tidak kuat dan berbisik kepada Siang Ki.
"Mereka bicara apa? Apa yang dikatakan oleh dia?" Ia menunjuk dengan gerakan muka ke arah Pangeran
Talibu.
Siang Ki menoleh kepadanya dan menjawab sambil berbisik pula. "Pangeran Talibu bilang bahwa puteri ini
bukan adik kandungnya, bahkan sama sekali tidak ada hubungan keluarga di antara mereka."
Kwi Lan tertegun, heran. Ia menoleh ke kanan dan melihat Puteri Mimi memandang ke kiri, ke arah
Pangeran itu dengan mata terbelalak, seperti tidak percaya, akan tetapi wajah itu berseri-seri, penuh
cemas, harap, dan bahagia! Kemudian ia mendengar Talibu masih berkata-kata penuh semangat dan
perasaan, dan wajah Puteri Mimi makin berseri, lalu kemerahan kedua pipinya.
"Apa lagi yang dikatakan?" desisnya kepada Siang Ki.
"Ha, Pangeran itu bilang bahwa dia mencinta Puteri Mimi, dan telah mengambil keputusan untuk menikah
dengan Puteri Mimi..."
Kwi Lan memejamkan mata, merasa seakan-akan halilintar menyambar kepalanya. Ia membuka mata,
menoleh ke kanan melihat Puttri Mimi juga memejamkan mata sambil tersenyum penuh bahagia. Menoleh
ke ujung kiri melihat Pangeran Talibu memandang ke arah Puteri Mimi, melalui dia, dengan penuh cinta
kasih! Hatinya makin panas dan tiba-tiba air matanya bercucuran tanpa dapat dicegahnya lagi.
“Kita akan mampus semua...” desisnya menghibur hati panas dan patah. “Kita akan mampus semua di
sini...!”
Yu Siang Ki tidak tahu apa yang terjadi dalam hati dan pikiran Mutiara Hitam. Mendengar ucapan ini dan
melihat air mata bercucuran, ia terheran. Mengapa kini Kwi Lan seperti orang putus harapan? Ke mana
keberaniannya tadi?
“Kwi Lan, sebelum hayat meninggalkan badan, masih ada harapan untuk lolos...”
“Cukup! Siapa putus harapan?” bentaknya.
Sementara itu, menjelang pagi tadi terjadi hal-hal yang aneh di luar ruangan tahanan. Serombongan
penjaga bangsa Hsi-hsia sebanyak lima orang yang menjaga barisan di luar markas menantikan datangnya
pengganti penjaga sambil bermain kartu untuk menghilangkan rasa kantuk. Mereka sedang gembira
karena ketegangan semalam telah mereda dan mereka merasa beruntung mendapat tugas menjaga
sampai pagi, lebih untung dari pada teman-teman yang mendapat tugas menyingkirkan sekian banyaknya
mayat-mayat para pengemis yang menyerbu markas.
Keadaan mayat-mayat itu mengerikan. Ada yang terpotong-potong tubuh mereka oleh gunting besar Butek
Siu-lam, ada yang berceceran isi perutnya sampai berantakan ususnya oleh tangan Pak-sin-ong.
Menyingkirkan mayat-mayat seperti itu amat menjijikkan dan jauh lebih enak melakukan penjagaan dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
gardu ini sambil mengobrol dan bermain kartu. Apa lagi setelah kaum penyerbu dapat dihancurkan,
keadaan menjadi aman dan siapa berani memasuki markas mereka?
Suara tapak kaki halus membuat mereka menengok dan lima orang Hsi-hsia ini meloncat keluar dari gardu
sambil menghunus golok masing-masing. Sebentar saja mereka telah mengepung wanita yang mendatangi
gardu itu. Wanita yang masih muda, cantik manis dengan sikap yang genit, tersenyum-senyum malu,
dengan sepasang mata bening lincah, tubuhnya melenggak-lenggok. Biar pun sedang berdiri, pinggangnya
tak pernah diam, bergerak-gerak seperti batang pohon liu tertutup angin. Wanita yang cantik molek
menggairahkan dan genit!
Namun lima orang penjaga Hsi-hsia itu tidak mau bersikap sembrono. Terlalu banyak wanita cantik yang
berbahaya dan berkepandaian tinggi, seperti Puteri Mimi dan terutama sekali Mutiara Hitam. Siapa tahu
wanita cantik ini pun sahabat Mutiara Hitam. Maka mereka mengurung dengan golok terhunus.
“Siapa kau? Dari mana dan mau apa?” bentak seorang di antara penjaga yang berkumis panjang,
mengacungkan goloknya yang tajam berkilauan.
“Iihhh..., jangan bunuh aku... aduhhh, jangan bunuh aku... Cu-wi-enghiong (Tuan-tuan Yang Perkasa)...!”
wanita itu menjerit lirih, suaranya parau basah.
Lima orang Hsi-hsia itu tertawa. Pertama karena serasa dielus-elus hati mereka mendengar mereka
disebut lima orang perkasa! Dan ke dua karena dengan sikapnya itu, wanita ini jelas bukanlah pendekar
wanita yang pandai silat. Seorang wanita dusun yang cantik dan bodoh.
“Siapa kau dan mau apa datang ke sini?” bentak seorang penjaga lain yang matanya buta sebelah akibat
perang.
“Aku... aku bernama Kiok Hwa (Bunga Seruni)... dan aku... aku datang mencari Boan-koko (Kakanda
Boan)....”
Wanita itu tertawa hak-hak-hik-hik, malu-malu dan akhirnya berkata, “Boan-koko adalah Boan-hwesio,
seorang hwesio jubah merah yang... ah... sahabatku, eh... dia sering datang ke rumahku di luar hutan.
Sudah tiga bulan kami berhubungan, akan tetapi lebih sepekan ini dia tidak datang....”
“Ha-ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa terbahak-bahak.
Mereka tidak mengenal Boan-hwesio akan tetapi dapat menduga bahwa tentulah seorang di antara
hwesio-hwesio jubah merah. Bukan rahasia lagi bahwa hwesio-hwesio itu, biar pun pakaiannya jelas
seperti hwesio dan kepalanya gundul namun dalam hal mengejar wanita cantik, tidak kalah oleh mereka!
Bahkan mereka tahu betapa Bouw Lek Couwsu sendiri setiap hari berganti kekasih.
“Kenapa kalian tertawa? Tolong panggilkan Boan-toako, atau tunjukkan ke mana aku dapat bertemu
dengan dia...,“ wanita itu kembali berkata, sikapnya makin genit, senyum manisnya murah dan kerling
matanya menyambar-nyambar penuh tantangan.
“Ha-ha-ha-ha!” si Kumis Panjang berkata sambil tertawa. “Jadi kau sudah sepekan lebih tidak didatangi
sehingga menjadi rindu dan kini menyusul ke sini?” Tangan kirinya diulur dan meraba dagu yang putih
halus itu.
“Aiihh... kenapa raba-raba?” wanita itu menjerit genit.
Si Kumis tiba-tiba memandang tajam dan sikap gembiranya berubah dengan bentakan menghardik.
“Perempuan, jangan kau coba mengelabui kami! Kau seorang perempuan dusun penghuni luar hutan?
Bagaimana kau dapat memasuki tempat ini?” Kiranya si Kumis ini teringat betapa jalan menuju masuk ke
situ penuh perangkap dan terjaga sehingga tak mungkin seorang wanita muda yang bodoh dan lemah
dapat masuk tanpa diketahui, sedangkan Mutiara Hitam sendiri terjebak.
Wanita itu tersenyum genit. “Aahhh. kenapa Cu-wi begini curiga? Apakah percuma saja aku mempunyai
kekasih Boan-koko? Sudah beberapa hari aku diselundupkan masuk oleh Boan-koko, melalui jalan yang
aman menyusup-nyusup semak dan alang-alang. Apa sukarnya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lima orang ini lega dan percaya kini, lalu timbul pula kegembiraan mereka untuk mempermainkan wanita
cantik genit ini. “Kenapa kau menjadi kekasih seorang hwesio gundul? Apakah dia masih muda?”
“Ah, tidak muda lagi, lebih tua dari pada kalian.”
“Hemm, apa dia tampan?”
“Tampan? Huh, mukanya bopeng dan terutama sekali hidungnya amat kubenci. Terlalu besar hidung itu,
dan dia... rakus.”
“Ha-ha.-ha-ha! Apanya yang rakus? Apakah hidungnya?”
“Idihh, mau tahu aja. Pendeknya dia tua dan buruk, kalian jauh lebih menarik. Apa lagi... hemm, aku paling
suka pria berkumis panjang!” Ia memandang si Kumis dengan mata dipicingkan penuh tantangan.
“Waduh! Kalau begitu, kenapa tidak menjadi kekasih kami saja?”
“Boan-koko biar pun buruk rupa tapi hatinya baik. Kalau tidak ada dia, bagaimana aku dan Ayah Ibu serta
adik-adikku dapat makan? Aku menjadi kekasihnya bukan untuk mencari kesenangan melainkan mencari...
makan. Kalau mencari senang tentu aku memilih kalian, terutama yang kumisnya panjang.”
“Ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang memelintir kumisnya dengan bangga, matanya liar menjelajahi tubuh wanita
itu lalu menengok ke kanan kiri, “Manis, marilah ikut kami sebentar ke dalam gardu!” bisiknya sambil
merangkul.
Wanita itu terkekeh genit dan balas memeluk pinggang si Kumis sambil berkata, “Aku mau akan tetapi
satu-satu. Yang lain menjaga di luar, karena aku takut ketahuan Boan-koko!”
“Baik. Kawan-kawan, kalian jaga di luar menanti giliran!” Si Kumis terkekeh dan menyeret tubuh wanita itu
memasuki gardu.
Empat orang kawannya tersenyum senyum dan menanti di luar dengan sikap tak sabar. Jarang sekali,
bahkan belum pernah mereka mendapatkan korban yang begini lunak. Mereka menanti di luar dan tertawatawa
ketika mendengar suara si Kumis menggereng dan mengeluh di dalam gardu.
Tak lama kemudian muncul kepala si Wanita sambil menggerakkan leher ke arah si Buta Sebelah.
“Giliranmu. Dia tertidur!”
Si Buta Sebelah seperti ditarik tenaga tak tampak, meloncat memasuki gardu menyusul bayangan wanita
itu. Kemudian ganti-berganti mereka memasuki gardu, akan tetapi tak tampak seorang pun di antara
mereka keluar lagi. Tak lama kemudian, muncullah seorang Hsi-hsia yang bertubuh tegap ramping,
mukanya kotor berdebu, pakaiannya longgar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok. Orang ini
melenggang ke luar dari dalam gardu penjagaan, langsung masuk ke bagian dalam dari markas itu. Ketika
di bagian dalam dari batas penjagaan ia bertemu dengan beberapa orang Hsi-hsia, ia ditegur dalam
bahasa Hsi-hsia.
“Hee! Siapa kamu dan dari mana? Mengapa baru kali ini kami melihatmu?”
Orang muda itu tersenyum dan menjawab sambil mengangkat dada. “Aiih, kawan-kawan apakah belum
mendengar? Couwsu sendiri yang dengan rahasia mengutusku dari utara langsung melakukan
penyelidikan ke kota raja Sung dan kini aku datang untuk menyampaikan hasil kerjaku.” Ia lalu memberi
salam dengan tangannya. Sikapnya yang lincah dan tidak ragu-ragu serta wajahnya yang gembira agaknya
tidak menimbulkan kecurigaan.
“Tunggulah, kawan-kawan. Setelah selesai menghadap Couwsu, akan kuceritakan pengalamanku dengan
puteri-puteri Sung!” Semua penjaga tersenyum dan pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke sebelah
dalam dan mulailah tampak bangunan-bangunan markas Bouw Lek Couwsu.
Tidak lagi tampak orang-orang Hsi-hsia dan di bagian ini penjagaan dilakukan oleh hwesio-hwesio jubah
merah murid anak buah Bouw Lek Couwsu. Pemuda Hsi-hsia ini melanjutkan perjalanan dengan hati-hati,
akan tetapi kali ini ia menyelinap di antara bangunan-bangunan, mencari-cari. Ia mulai bersikap hati-hati
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali karena ia dapat menduga bahwa lima orang Hsi-hsia yang dibunuhnya di dalam gardu penjagaan
tadi tentu kini sudah ditemukan orang-orang Hsi-hsia lainnya.
Ia tertawa sendiri kalau teringat akan perannya sebagai seorang wanita cantik tadi. Untung lima orang Hsihsia
itu semuanya goblok-goblok dan mata keranjang sehingga mudah saja ia pancing masuk gardu
seorang demi seorang. Kalau tidak, ia harus bertempur melawan pengeroyokan mereka dan sungguh pun
ia sanggup pula membunuh mereka dengan cara ini, namun bahayanya ketahuan lebih besar. Ia harus
bekerja cepat. Ia maklum bahwa para penjaga kini adalah hwesio-hwesio jubah merah dan ia dapat
menduga pula bahwa penjaga-penjaga ini tidaklah selemah penjaga-penjaga sebelah luar yang hanya
terdiri dari orang-orang Hsi-hsia kasar. Hwesio-hwesio ini adalah murid Bouw Lek Couwsu!
“Heiii! Mau apa kau masuk ke sini?” Teguran ini begitu tiba-tiba sehingga dia terkejut sekali.
Akan tetapi teguran yang diucapkan dalam bahasa Hsi-hsia ini melegakan hatinya. Selama hwesio-hwesio
di sini menyangka ia seorang Hsi-hsia, hal ini baik sekali. Sambil bersikap menghormat ia lalu berkata,
“Saya hendak menghadap Couwsu untuk menyampaikan hasil penyelidikan saya di kota raja Sung
sebagaimana yang diperintahkan langsung kepada saya.”
Hwesio itu mengerutkan keningnya, memandang tajam. Ia memang tahu bahwa gurunya banyak mengirim
mata-mata ke kota raja musuh, akan tetapi mengapa mengirim seorang pemuda seperti ini? Pula, ia
merasa tak pernah bertemu dengan orang ini. Kembali ia membentak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, kalau menghadap Couwsu, mengapa longak-longok di sini dan tidak langsung saja masuk melalui
pintu gerbang? Dan kenapa tidak melapor kepada penjaga agar menyampaikan permohonanmu
menghadap kepada Couwsu? Hayo kita pergi ke tempat jaga, dan pinceng (aku) sendiri yang akan
melapor kepada Couwsu yang sekarang sedang sibuk.”
“Ah, Couwsu sedang sibuk apakah? Apakah ada tamu? Kalau sibuk, lebih baik saya tidak mengganggu,
jangan-jangan saya akan mendapat marah besar!” pemuda itu tampak ketakutan. Sikapnya itu agak
mengurangi kecurigaan si Hwesio yang mengenal watak gurunya. Memang kalau gurunya sedang sibuk,
orang yang mengganggunya sering kali menerima hukuman berat.
“Karena itu harus pinceng yang menghadap. Suhu sedang menjamu Bu-tek Ngo-sian yang sekarang sudah
hadir lengkap. Malah wanita mengerikan itu, Sian-toanio, datang bersama puteranya. Dan tempat tahanan
makin penuh saja!”
“Eh, apakah yang terjadi? Mengapa ada orang tahanan? Dari mana?” Pemuda itu bertanya.
“Tahanan-tahanan penting. Pangeran Mahkota Khitan, puteri Pangllma besar Khitan, Kiang-kongcu dari
kota raja, ketua Khong-sim Kai-pang, Mutiara Hitam...”
“Mutiara Hitam...?” Pemuda itu bertanya terbelalak lebar memandang.
“Ya, gadis cantik jelita dan galak... auuughhh...!” Hwesio itu roboh oleh pukulan jari-jari terbuka yang tepat
menghantam tenggorokannya, membuat kerongkongannya hancur dan tewas seketika! Sebelum tubuhnya
terbanting, pemuda itu menyambarnya dan menyeretnya ke belakang semak-semak.
Tidak lama kemudian, dari belakang semak itu muncullah si Pemuda yang kini sudah berubah menjadi...
hwesio muda tampan berjubah merah berwajah alim! Goloknya yang tadi tak tampak lagi, tersembunyi di
balik jubah merah yang kebesaran itu. Hwesio tadi memang gemuk.
Setelah berpakaian hwesio, pemuda ini dapat memasuki markas tanpa mendapat kesukaran. Ia selalu
menjaga agar wajahnya tidak tampak dari depan oleh hwesio lain, hanya jubahnya yang merah dan
kepalanya yang gundul licin saja yang tampak dan dalam hal ini, biar pun ada banyak hwesio, jubah merah
dan kepala gundulnya tentu saja tiada banyak bedanya.
Di dalam kamar tahanan, kecuali Kiang Liong yang tetap tenang, orang-orang muda yang terbelenggu di
situ sudah hampir kehilangan harapan. Apa lagi keadaan Pangeran Talibu, sungguh amat mengenaskan.
Biar pun keselamatannya tidak terancam bahaya, namun ia sungguh menderita. Kulitnya pecah-pecah
matang biru, terasa panas perih dan nyeri bukan main. Kadang-kadang Pangeran ini siuman, mengerang
dan sering kali pingsan lagi. Tubuhnya lemas menggantung pada kedua tangan yang terbelenggu di atas
kepalanya.
Melihat keadaan Pangeran ini, Puteri Mimi memandang dengan air mata bercucuran. Kasihan sekali
kakaknya. Agaknya penderitaan yang hebat itu membuat kakaknya berubah ingatan. Tadi kakaknya
mengaku cinta kepadanya, hendak mengawininya. Mengatakan bahwa mereka bukan sanak kadang, apa
lagi saudara kandung! Dan pandang mata kakaknya itu, pandang mata penuh cinta kasih dan amat mesra.
Puteri Mimi menangis.
Kwi Lan juga beberapa kali menoleh ke arah Pangeran ini. Ia gemas, marah, penasaran, benci dan... cinta!
Hatinya seperti ditusuk-tusuk menyaksikan keadaan pria yang dicintanya ini, akan tetapi mengingat akan
kata-kata yang diterjemahkan Siang Ki, hatinya panas bukan main. Kalau diberi kesempatan, ia akan
membunuh Puteri Mimi!
Yu Siang Ki menyesal sekali kalau mengingat akan kawan-kawannya. Pasukan yang dibawanya itu adalah
tokoh-tokoh pengemis di kota raja dan di Lok-yang, kini mereka telah dibasmi habis! Sungguh pun tewas
sebagai patriot yang membela negara menghadapi bangsa Hsi-hsia, akan tetapi semua itu adalah karena
kesalahannya! Ia terlalu memandang rendah kekuatan Bou Lek Couwsu.
Hanya Kiang Liong yang tetap tenang. Pemuda ini selain pada dasarnya memiliki watak yang tenang, juga
ia lebih tahu akan duduknya persoalan, lebih tahu akan suasana dan politik negara. Ia telah yakin bahwa
nyawa mereka belum terancam bahaya. Kalau Bouw Lek Couwsu hendak membunuh mereka, tentu sudah
dibunuhnya dan tidak perlu ditahan seperti sekarang ini. Dengan cara menahan, berarti tidak menghendaki
mereka mati dan selama nyawa mereka masih ada, harapan untuk lolos pun selalu akan tetap ada.
dunia-kangouw.blogspot.com
Apa lagi bagi Talibu dan Mimi, ia tidak perlu khawatir. Bangsa Hsi-hsia bukanlah bangsa yang besar dan
kuat, akan tetapi mereka memiliki ambisi besar, hendak menaklukkan Sung. Untuk ini tentu saja Hsi-hsia
tidak sekali-kali berani membunuh Pangeran Mahkota dan puteri Panglima Khitan yang diharapkan oleh
mereka menjadi sekutu, bukan musuh!
Tentang Kwi Lan ia pun mempunyai keyakinan takkan dibunuh karena bukankah Kwi Lan ini murid wanita
aneh yang disebut Sian-toanio dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Betapa pun juga, guru itu
tentu tidak membiarkan muridnya terbunuh, apa lagi di sana masih ada Suma Kiat, suheng gadis itu yang
menurut penglihatannya, mencinta Mutiara Hitam. Dan dia sendiri masih ada dan masih hidup. Ia tidak
akan membiarkan Mutiara Hitam terbunuh! Heeii, apa pula ini? Kiang-Liong ingin menampar kepalanya
sendiri, akan tetapi kedua tangannya terbelenggu sehingga ia hanya dapat menarik napas panjang dan
kembali melirik ke arah Kwi Lan.
Sejak tadi ia memperhatikan Kwi Lan dan makin dipandang, makin jatuh hatinya. Entah bagaimana, gadis
itu seakan-akan mempunyai hawa yang menyedot dan menarik perhatiannya, kemudian menimbulkan rasa
suka dan cinta yang belum pernah dirasakannya terhadap gadis lain. Ia memang selalu suka akan gadis
cantik, akan tetapi rasa suka ini seperti rasa suka seseorang akan benda-benda indah, akan bunga-bunga
harum, tidak pernah lebih mendalam dari pada itu.
Kini ia mempunyai rasa suka dan cinta yang lain terhadap Mutiara Hitam. Seperti ada dorongan dalam hati
bahwa ia harus membela gadis ini, harus menolongnya, dan kalau perlu mengorbankan nyawa sendiri
untuknya! Kalau biasanya terhadap gadis-gadis cantik yang pernah menjadi kekasihnya ia ingin
mendengar pengakuan cinta gadis itu kepadanya, kini sebaliknya. Ia ingin menyatakan cinta kasihnya
kepada gadis ini! Alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau gadis ini mau menerima cintanya!
“Kiang Liong, kau sudah gila...!” Pikiran ini tanpa ia sadar, ia ucapkan melalui mulutnya sehingga semua
tahanan, kecuali Pangeran Talibu, memandang kepadanya dengan penuh keheranan, termasuk Kwi Lan.
“Orang yang gila tidak akan mengaku gila!” tiba-tiba Kwi Lan berkata, suaranya mengejek.
Memang gadis ini sedikit banyak merasa gemas kepada Kiang Liong. Bukankah Puteri Mimi tertawan
bersama Kiang Liong? Berarti bahwa Kiang Liong murid Suling Emas ini yang membawa datang Puteri
Mimi ke tempat tahanan! Kalau Kiang-kongcu ini tidak tertawan, tentu Puteri Mimi juga tidak dan kalau
begitu, tentu Mimi tidak datang ke sini dan Talibu tidak jatuh cinta kepada gadis itu!
Kiang Liong memandang gadis ini, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri. “Betulkah, Nona?
Pendapatmu membesarkan hatiku, terima kasih.”
“Engkau memang tidak gila, akan tetapi engkau merasa gila karena... takut! Huh, dan beginikah murid
perkasa dari Suling Emas?”
Senyum di bibir Kiang Liong lenyap, berubah menjadi masam karena hati kecewa. “Aku... ? Takut...? Aku
tidak takut, Nona dan....”
Terpaksa Kiang Liong menghentikan ucapannya karena pada saat itu terdengar suara pintu dibuka. Semua
mata memandang hwesio gundul jubah merah berwajah tampan yang memasuki ruangan tahanan itu.
“Eh, kau... Berandal...!” Suara Kwi Lan ini membuat semua orang menoleh dan memandang kepadanya
dengan heran.
Apa pula sekarang maksud Mutiara Hitam yang menyebut berandal kepada seorang hwesio jubah merah,
dengan suara bukan seperti orang memaki, bahkan dengan mata bersinar-sinar dan muka tersenyum geli?
“Sssttt..., matamu selalu tajam, Mutiara Hitam.” Hwesio muda itu berbisik dan menaruh telunjuk ke depan
bibir, kemudian melanjutkan sambil mendekati Kwi Lan. “Aku terpaksa menyamar. Aku datang untuk
membebaskanmu. Kau bersiaplah, aku akan mematahkan belenggu tangan dan kakimu.”
Pemuda itu bukan lain adalah si Berandal Tang Hauw Lam! Dia datang memasuki markas
mempergunakan akalnya, menyamar sebagai wanita cantik, kemudian sebagai orang Hsi-hsia dan terakhir
ini sebagai seorang hwesio gundul berjubah merah. Kini Hauw Lam mengeluarkan goloknya dan empat kali
bacokan kuat, belenggu kaki tangan yang mengikat Kwi Lan terlepas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mari kita cepat pergi dari sini!” bisik Hauw Lam sambil menyambar lengan Kwi Lan yang sedang
menggosok-gosok pergelangan tangannya yang terasa sakit.
“Kau bebaskan dulu yang lain-laini” bisik Kwi Lan merenggut lengannya.
“Kita harus lekas lari...,“ bantah Hauw Lam.
“Berandal! Kalau mereka ini tidak dibebaskan, aku pun tidak ingin bebas!” kata Kwi Lan marah.
Hauw Lam mengangkat alis dan pundak, lalu menghampiri Kiang Liong dengan golok di tangan. “Kiangkongcu,”
katanya. “Bagaimana selama kita berpisah, engkau baik-baik sajakah? Maaf, bukan maksudku
tadi tidak mau membebaskan kalian, hanya makin banyak orang yang lari makin sukar dan....”
“Saudara tak perlu sungkan-sungkan. Aku pun sudah bebas dari belenggu.”
“Apa?”
Kiang Liong menggerakkan kaki tangannya dan... benar saja, kedua kaki dan tangannya terlepas dari pada
belenggu tanpa mematahkan belenggu itu. Hauw Lam terbelalak, memandang ke arah belenggu dan
mengangguk-angguk. “Hebat! Ilmu Sia-kut-hoat (Lepaskan Tulang Lemaskan Diri) yang luar biasa!”
Melihat ini, Kwi Lan yang menghampiri Pangeran Talibu dan menggunakan kekuatan sinkangnya
mematahkan belenggu, berkata mengomel. “Kalau bisa melepaskan diri kenapa tidak dari tadi? Aksinya!”
Kiang Liong hanya tersenyum dan juga mulai membantu melepaskan belenggu kaki tangan Siang Ki
sedangkan Hauw Lam membebaskan Puteri Mimi. “Ah, kalau terlepas dari belenggu, apa artinya? Pintu
tertutup kuat dan penjagaan amat kuat, belum waktunya mencoba bebas. Akan tetapi setelah Saudara
Tang datang, terpaksa kita harus berusaha menerobos ke luar!”
“Kita harus keluar berpencar,” kata pula Kiang Liong yang kini sikapnya sungguh-sungguh. Yang lain-lain,
kecuali Kwi Lan, tunduk kepadanya karena maklum bahwa selain dia yang paling lihai di antara mereka,
juga memiliki pengalaman yang dalam. “Kalau keluar bersama, sekali ketahuan akan kena tawan semua.
Kita masih kurang kuat untuk menghadapi mereka yang berjumlah besar, apa lagi banyak orang sakti di
sini. Dengan berpencar, ada harapan seorang di antara kita bebas untuk pergi mencari bantuan menyerbu
ke sini.”
“Benar,” kata Hauw Lam. “Aku pun tadi mendahului pasukan Khitan yang agaknya hendak menyerbu dan
menyusup dalam usaha mereka menolong Pangeran Talibu dan Puteri Mimi.”
Mendengar ini timbul semangat Pangeran Talibu. Ia diam saja karena Puteri Mimi menggosok-gosok
tubuhnya yang telanjang dan penuh luka itu dengan obat bubuk pemberian Hauw Lam. Obat ini manjur dan
mendatangkan rasa dingin. Kwi Lan hanya memandang dengan penuh iri dan cemburu. Dalam keadaan
seperti itu, ia menahan diri dan tidak mungkin mengumbar amarah urusan cinta. Apa lagi ia tahu bahwa
Puteri Mimi memang sahabat Pangeran, bahkan saudara.
“Pangeran biarlah bersama aku,” kata pula Kiang Liong membagi tugas. Pemuda ini menahan pula
keinginan hatinya untuk berusaha lolos di samping Kwi Lan. “Mutiara Hitam bersama Saudara Tang, dan
Puteri Mimi bersama Saudara Yu-pangcu. Tiga rombongan kita mencari jalan masing-masing, sebaiknya
melalui kanan, kiri, dan belakang markas karena di depan adalah tempat yang terjaga kuat.”
“Baik, pendapat Kiang-kongcu tepat. Aku pun tidak perlu lagi menyamar!” Sambil berkata demikian, Hauw
Lam meraba dahinya dan membuka ‘kulit’ dahi terus ke belakang. Lenyaplah gundulnya dan kini tampak
rambuthya hitam panjang yang segera digelung ke atas belakang dan dibungkus kain sutera. Jubah
merahnya dibuka dan kini ia sudah berganti pakaian, yaitu pakaiannya sendiri yang ringkas, goloknya ia
gantung di pinggang.
“Berapa orang penjaga di luar?” bisik Kiang Liong kepada Hauw Lam.
“Hanya tiga. Aku tadi membohongi mereka, mengatakan bahwa aku khusus diperintah Couwsu membujuk
para tahanan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baik, mereka bagianku, Mutiara Hitam, dan Yu-pangcu. Kau menjadi pengawas kalau-kalau ada muncul
yang lain.”
Biar pun Kiang Liong hanya berbisik dan ucapannya singkat-singkat, namun mereka sudah tahu akan
kewajiban masing-masing. Pintu dibuka perlahan oleh Kiang Liong, kemudian melihat tiga orang hwesio
jubah merah menjaga di depan pintu, ia membukanya serentak lebar-lebar dan empat bayangan
berkelebat ke luar dengan gerakan amat cepat laksana empat ekor burung terbang.
Bayangan pertama adalah Hauw Lam yang sudah menghunus goloknya dan meloncat jauh ke depan untuk
berjaga, sedangkan tiga orang kawannya dengan kecepatan kilat sudah menerjang tiga orang hwesio itu.
Tiga orang hwesio ini kaget setengah mati karena tidak menyangka akan hal ini. Mereka berusaha
menangkis namun tiga orang muda itu terlampau cepat gerakannya. Hampir berbareng mereka roboh
tanpa mendapat kesempatan untuk berteriak sedikit pun.
“Aman...,“ bisik Hauw Lam memberi tanda dengan tangan.
“Berpisah, sampai jumpa!” kata Kiang Liong yang menujukan kata-kata ini kepada semua temannya akan
tetapi matanya memandang kepada Kwi Lan yang sebaliknya memandang kepada Pangeran Talibu.
Mereka segera meloncat pergi, Kiang Liong menggandeng tangan Pangeran Talibu meloncat melalui
jurusan belakang markas, Yu Siang Ki dan Mimi lari ke jurusan kanan, sedangkan Kwi Lan dan Hauw Lam
yang bergerak paling akhir menuju ke kiri.
Hauw Lam dan Kwi Lan menyusup-nyusup melalui bangunan kecil, makin menjauhi bangunan besar.
“Bagaimana kau tiba-tiba bisa muncul, Berandal?”
Hauw Lam terkekeh. Girang bukan main hatinya, kegirangan yang selama ia berpisah dari samping Kwi
Lan tak pernah ia rasakan lagi. “Aduh, serasa kita tidak pernah berpisah. Mutiara! Serasa kita masih seperti
dulu ketika berlari-lari bersama melawan orang-orang jahat Thian-liong-pang dan pengemis-pengemis
busuk berbaju bersih! Tahukah kau, Mutiara, selama ini tak pernah aku melupakan engkau sekejap mata
sekali pun.”
“Bohong!” Mau tidak mau Kwi Lan terseret oleh kegembiraan teman yang jenaka ini. “Kalau kau tidur?”
“Tidur pun mimpi bersama engkau!”
“Ah, kau bisa saja. Aku tidak percaya.”
“Eh, tidak percaya? Perlukah aku membuka dadaku dengan golok ini?” Hauw Lam berhenti lari, mencabut
golok dan bersikap seperti hendak membuka dada. Kwi Lan tertawa.
“Ihhh, sudahlah jangan ngaco! Aku tadi tanya bagaimana kau tiba-tiba saja muncul seperti setan?”
“Memang aku setan! Heh-heh, setan cilik seperti kata Ibu.”
“Ibu? Kau bertemu Bibi Bi Li?”
Pemuda itu mengangguk, mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang tak menyenangkan teringat
olehnya. Akan tetapi ia tersenyum lagi, “Dan aku melihat istana di bawah tanah. Wah, pantasnya menjadi
tempat tinggal setan-setan. Ibuku bertahun-tahun tinggal di sana, bukankah patut aku menjadi setan pula?
Aduhh...!” Ia menekan perutnya.
“Ada apa?” Kwi Lan kaget, khawatir.
“Perutku... lapar amat, tak tertahankan!” Ia masih menekan-nekan perutnya dan lapat-lapat terdengar oleh
telinga Kwi Lan suara perut berkeruyuk. Kwi Lan tertawa geli.
“Dasar rakus! Kau tiada bedanya dengan cacing-cacing dalam perutmu!”
“Sstt...! Tuh di sana...!” Telunjuknya menuding ke kanan, ke sebuah bangunan kecil.
“Ada apa di sana?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hidung Hauw Lam kembang-kempis menyedot-nyedot. “Benar-benarkah kau tidak mencium sesuatu?
Begini sedap, begini gurih!”
Baru sekarang Kwi Lan tahu apa yang dimaksudkan. Memang dari bangunan itu tercium bau sedap
masakan dan tampak asap mengebul. Agaknya tempat itu adalah sebuah dapur. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Perlu apa ke sana? Kita lari saja. Kalau sudah terbebas, baru makan sekenyangnya.”
Hauw Lam menggeleng-geleng kepala. “Makan saja tanpa kerja amat tidak baik, seperti babi. Akan tetapi
kerja saja tanpa makan juga tidak mungkin. Kita menghadapi bahaya, membutuhkan tenaga, kalau perutku
yang sudah dua hari dua malam tidak diisi karena mendekam terus di hutan ketika menyerbu ke sini, mana
aku ada sisa tenaga untuk bertempur? Kau pun harus makan, Mutiara Hitam.”
“Aku sudah kenyang!” jawab Kwi Lan mendongkol, akan tetapi mukanya menjadi merah karena teringat
betapa ia makan kenyang di tempat tahanan lalu terjadi hal-hal luar biasa dan memalukan bersama
Pangeran Talibu.
“Tapi kau tidak ingin melihat aku roboh bukan oleh pedang musuh, tapi karena kelaparan, bukan?”
“Sudahlah. Hayo, kalau memang kau sudah kelaparan!” ajak Kwi Lan dan mereka berindap-indap
menghampiri dapur itu.
Ketika mereka mengintai dari jendela, benar saja dugaan Hauw Lam bahwa tempat itu memang sebuah
dapur. Dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar melayani dua orang koki yang pendek-pendek dan gemuk
seperti babi. Dua orang koki itu adalah bangsa Han, agaknya anggota kaum sesat yang menjadi kaki
tangan sekutu-sekutu Bouw Lek Couwsu. Di meja sudah penuh dengan masakan-masakan lezat,
mengebul panas dari mangkok-mangkok besar.
Hampir tersedak kerongkongan Hauw Lam ketika ia menelan sudah. Karena sudah tidak tahan lagi, Hauw
Lam mengayun tangan melempar empat buah batu kerikil ke arah empat orang itu. Terdengar koki-koki itu
berseru kaget dan tubuh mereka terhuyung-huyung. Dua orang Hsi-hsia sudah roboh pingsan karena batubatu
kecil itu tepat mengenai belakang telinga mereka. Karena koki-koki itu tidak roboh pingsan, maklumlah
Hauw Lam dan Kwi Lan bahwa sedikit banyak mereka mengerti ilmu silat. Kalau sampai mereka berteriak,
keadaan akan menjadi berbahaya, maka bagaikan dua ekor burung walet, Hauw Lam dan Kwi Lan
melayang lewat jendela. Sebelum dua orang koki itu tahu apa yang terjadi, mereka sudah roboh tertotok
dan ‘ngorok’ di atas lantai!
Tanpa banyak cakap lagi dan tanpa sungkan-sungkan Hauw Lam menyeret sebuah bangku, duduk
menghadap meja lalu ‘menyapu’ masakan-masakan yang tersedia di atas meja.
“Wah-wah,” serunya girang sambil mencoba ini mencaplok itu. ”Dalam hal makanan ternyata Bouw Lek
Couwsu tidak pelit! Tidak kalah dengan masakan orang-orang Thian-liong-pang!” Sumpitnya sibuk bekerja
menjepit potongan-potongan daging dan sayur.
Hauw Lam memang mempunyai hobby (kegemaran) makan enak! Melihat lahapnya pemuda ini makan,
Kwi Lan menelan ludah, dan tak dapat menahan keinginannya. Ia pun duduk dan mencicipi beberapa
masakan yang memang lezat.
“Sudahlah,” akhirnya Kwi Lan berkata setelah beberapa lama mereka makan, melihat betapa banyaknya
Hauw Lam memasukkan masakan-masakan itu ke dalam perut didorong aliran arak wangi. “Kalau kau
makan terus sampai kekenyangan, kau bisa tertidur di sini.”
Hauw Lam tertawa, bangkit berdiri, mengelus-elus perutnya yang anehnya tetap kempis dan ramping.
“Wah, kalau makan lupa segala! Bakso goreng ini luar biasa enaknya, entah terbuat dari daging apa! Perlu
bawa sebanyaknya untuk bekal!” Ia sibuk menggunakan kedua tangannya mengambil bakso-bakso goreng
sebesar kepalan tangan itu. Kantung-kantungnya penuh. Ia masih belum puas dan mengambil semua sisa
dalam panci, memasukkan panci kecil ini ke dalam celana di mana terdapat sebuah kantung besar tepat di
depan perutnya! Kwi Lan hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian mereka keluar dan cepatcepat
meninggalkan tempat itu, terus ke jurusan kiri markas.
Setelah mereka meninggalkan kelompok bangunan dan mulai menuju ke jalan yang berbatu-batu melalui
hutan kecil menuju sungai, dan merasa bahwa kini sudah aman, terlewatlah bahaya, mendadak terdengar
seruan-seruan dan derap kaki kuda dari belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita dikejar! Cepat!” seru Hauw Lam yang mulai ‘menancap gas’ mempercepat larinya.
Kwi Lan yang tadi di dapur mengambil pedang milik koki yang dirobohkan, meraba gagang pedang dan
siap untuk melawan. Akan tetapi melihat Hauw Lam berlari cepat, ia pun mempercepat larinya. Tempat itu
berbatu-batu dan naik turun, maka sambil berlari mereka melompat-lompat.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments