Rabu, 10 Mei 2017

Cersil 7 Hina Kelana (Syair Mari Menertawakan Dunia Persilatan)

Cersil 7 Hina Kelana (Syair Mari Menertawakan Dunia Persilatan) Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 7 Hina Kelana (Syair Mari Menertawakan Dunia Persilatan)
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 7 Hina Kelana (Syair Mari Menertawakan Dunia Persilatan)
Bab 51. Pil Penyambung Nyawa Menolong Lenghou Tiong
“Kalian yang berbau busuk,” sahut Coh Jian-jiu. “Tho-sit-sian jelas terbaring tak bisa berkutik karena terluka
sehingga tidak dapat ikut berebut minum arak enak ini, tapi kalian tidak ambil pusing dan berebut sendiri,
bukankah kalian sama sekali tidak memikirkan persaudaraan sendiri?”
Tho-kin-sian melengak, tapi segera ia berdebat, “Siapa bilang kami berebut arak sendiri? Kami justru hendak
merampas arak ini untuk diminumkan kepada Tho-sit-sian.”
“Ya, Lakte kami terluka, segala arak enak dan daharan lezat sudah tentu kami suruh dia mencicipi lebih dulu,”
timbrung Tho-ki-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tapi apakah kalian tahu bahwa kedelapan cawan arak bagus ini harus diminum satu per satu, dengan
demikian baru dapat dirasakan betapa enaknya, baru bisa tahu bahwa di dunia ini tiada arak rasa seenak ini,”
kata Coh Jian-jiu. “Tapi kalau cuma minum satu cawan saja bukannya rasa enak yang dirasakan, sebaliknya
rasanya akan pahit dan kecut. Sekarang kalian ingin rebut kedua cawan arak ini, mendingan bila kalian minum
sendiri, karena cuma kalian sendiri yang tertipu, namun katanya kalian merebutnya untuk diminumkan kepada
Tho-sit-sian, padahal dia dalam keadaan tak bisa berkutik dan kalian mencekoki arak yang rasanya pahit dan
kecut ini, apakah cara kalian ini bisa dikatakan cinta pada saudara?”
Kembali Tho-kok-ngo-sian melengak. Tho-hoa-sian lantas berkata, “Siapa yang bilang kami hendak rebut arak
ini? Kami hanya pura-pura hendak rebut arak untuk menguji sampai di mana tinggi kepandaianmu, tahu?”
“Benar, benar,” Tho-kan-sian menyambung. “Memangnya kau kira kami ini anak kecil dan tidak tahu kedelapan
cawan arak itu harus diminum sekaligus baru bisa tahu rasanya yang sejati.”
“Ayolah Lenghou-hengte, lekas minum habis arak-arak itu agar benar-benar merasakan enaknya.”
Di tengah cerewet Tho-kok-ngo-sian itulah Lenghou Tiong telah selesai menghabiskan isi kedua cawan tadi.
Arak kedua cawan ini tidak berbau lagi, tapi rasanya yang satu cawan sangat tajam, tenggorokan seperti diirisiris
pisau. Yang satu cawan lagi berbau obat, sama sekali tidak mirip arak, tapi baunya melebihi obat-obatan
waktu dimasak.
Melihat air muka Lenghou Tiong rada aneh, Tho-kok-lak-sian merasa heran dan ingin tahu, mereka lantas
tanya, “Bagaimana rasanya sesudah kedelapan cawan arak itu kau minum habis?”
“Sudah tentu enak sekali,” sela Coh Jian-jiu.
Di luar dugaan, entah cara bagaimana, sekonyong-konyong Tho-kan-sian berempat menubruk maju sekaligus,
masing-masing memegangi sebelah tangan dan kaki Coh Jian-jiu.
Biarpun ilmu silat Coh Jian-jiu amat tinggi, tapi caranya Tho-kok-lak-sian memegang kaki dan tangan orang
adalah sangat aneh dan terlalu cepat sehingga sukar baginya untuk menghindar. Maka tahu-tahu tangan dan
kaki Coh Jian-jiu sudah terpegang dan badan lantas terangkat ke atas.
Para anggota Hoa-san-pay sudah pernah menyaksikan adegan mengerikan cara Tho-kok-si-sian menyobek
tubuh manusia sehingga tanpa terasa mereka menjerit khawatir demi melihat Coh Jian-jiu kena dipegang
tangan dan kakinya.
Pikiran Coh Jian-jiu juga bekerja secepat kilat, ia tahu menyusul keempat orang itu pasti akan membetot
sekuat-kuatnya dan itu berarti tubuh akan robek menjadi empat potong. Cepat ia berteriak-teriak, “Di dalam
arak itu ada racunnya, obat penawarnya tersimpan dalam bajuku!”
Tho-kok-si-sian sendiri tadi sudah cukup banyak menenggak arak, demi mendengar bahwa di dalam arak itu
beracun mereka jadi melengak.
Dan yang diharapkan Coh Jian-jiu adalah sedetik keragu-raguan keempat orang itu. Mendadak ia berteriak
pula, “Lepas, keparat!”
Tahu-tahu Tho-kok-si-sian merasa tangan mereka tergetar dan memegang tempat kosong, menyusul
terdengarlah suara “blang” yang keras, wuwungan perahu itu telah jebol disundul menjadi sebuah lubang
besar, Coh Jian-jiu telah melarikan diri menembus wuwungan perahu itu.
Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian tidak berhasil menangkap apa-apa, sebaliknya tangan Tho-hoa-sian dan Tho-yapsian
masing-masing masih memegangi sebuah kaus kaki yang berbau bacin dan sebuah sepatu yang kotor dan
butut.
Gerakan Tho-kok-ngo-sian juga amat cepat serentak, mereka pun memburu ke dermaga, tapi bayangan Coh
Jian-jiu sudah lenyap.
Selagi mereka hendak menguber ke depan, tiba-tiba di ujung jalan sana ada suara teriakan orang, “Hai, Coh
Jian-jiu, kau kutu busuk ini lekas kembalikan obatku, jika kurang satu biji saja tentu akan kubetot ototmu dan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kubeset kulitmu.”
Sambil berteriak-teriak orang itu pun berlari mendatang dengan cepat.
Mendengar orang itu pun mencaci maki pada Coh Jian-jiu, jadi sepaham dengan mereka, maka Tho-kok-ngosian
menjadi ingin tahu tokoh macam apakah orang ini, segera mereka berhenti di situ dan memandang ke
depan.
Terlihatlah sebuah bola daging sedang “menggelinding” tiba, makin menggelinding makin dekat. Kemudian
barulah diketahui bahwa “bola daging” itu kiranya adalah seorang laki-laki yang sangat pendek dan sangat
gemuk.
Kepala orang buntak ini begitu rupa sehingga tampaknya gepeng, pipih, tapi sangat lebar. Melihat kepalanya
itu orang akan menduga mungkin pada waktu dia dilahirkan kepalanya telah dipalu sehingga buah kepalanya
menjadi gepeng lebar sampai muka dan hidung serta mulut pun berubah bentuk.
Melihat muka sedemikian anehnya, semua orang sama merasa geli. Pikir mereka, “Peng It-ci dan Yim Bu-kiang
itu sudah terhitung orang buntak tapi kalau dibandingkan orang ini boleh dikata si kerdil ketemu raksasa.”
Dan memang bedanya terlalu mencolok. Kalau Peng It-ci dan Yim Bu-kiang hanya pendek dengan pundak
lebar, sebaliknya orang ini jauh lebih pendek, bahkan punggung dan dada seakan-akan tergencet sehingga
menonjol keluar. Ditambah lagi kaki dan tangan juga sangat pendek, tangan seakan-akan cuma ada lengan
bawah tanpa lengan atas, kakinya juga seperti cuma ada betis tanpa paha.
Setiba di samping perahu, dengan menolak pinggang orang itu lantas tanya, “Bangsat keparat Coh Jian-jiu itu
sembunyi di mana?”
“Bangsat keparat itu sudah lari,” tukas Tho-kin-sian dengan tertawa. “Dia berkaki panjang dan berlangkah
lebar, caramu menggelinding demikian tentu saja tidak dapat menyusul dia!”
Orang itu mendengus, matanya yang bulat kecil itu mendelik. Sekonyong-konyong ia berteriak pula, “Obatku!
Obatku!”
Begitu kakinya bekerja, “bola daging” itu lantas membalik dan masuk ke dalam ruangan perahu.
Tiba-tiba hidungnya berkerut-kerut dan mengendus-endus, ia sambar sebuah cawan di atas meja, lalu dicium
baunya. Sekonyong-konyong air mukanya berubah hebat. Memangnya dia bertampang sangat jelek, perubahan
itu semakin menambah aneh dan lucu raut mukanya itu.
Tapi dari air muka orang dapatlah Lenghou Tiong melihat perasaan orang itu pasti sangat berduka. Orang
buntak itu berturut-turut memeriksa dan mencium ketujuh cawan.
“O, obatku!” keluhnya. Habis itu tak tertahankan lagi rasa sedihnya, ia duduk terkulai dan menangkis
tergerung-gerung.
Melihat si buntak menangis sedih, Tho-kok-ngo-sian semakin heran dan tertarik, beramai-ramai mereka
mengelilingi si buntak dan bertanya, “He, mengapa menangis? Eh, apakah kau diakali keparat Coh Jian-jiu itu?
Jangan menangis, nanti kalau kami menemukan bangsat itu pasti akan kami robek dia menjadi empat potong!”
Seru orang itu sambil menangis, “Obatku telah dimakan dia bersama arak, sekalipun dia dibunuh juga tiada
gunanya lagi.”
Tergerak hati Lenghou Tiong, cepat ia tanya, “Obat apa maksudmu?”
“Dengan susah payah selama 12 tahun aku mencari dan mengumpulkan bahan obat berharga seperti jinsom,
Hokleng, Siuho, Lengci, Siahio dan lain-lain, akhirnya dapatlah kubikin delapan biji ‘Siok-beng-wan’ (pil
penyambung nyawa), tapi sekarang obatku yang tiada terkira nilainya itu dicuri keparat Coh Jian-jiu dan telah
diminum bersama arak.”
Lenghou Tiong tambah terkejut, tanyanya pula, “Kedelapan biji pil itu apakah mempunyai rasa yang sama?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Sudah tentu tidak sama,” sahut si buntak. “Ada yang berbau bacin, ada yang rasanya sangat pahit, ada yang
rasanya panas seperti dibakar, ada yang tajam seperti pisau mengiris. Asal sudah minum kedelapan biji Siokbeng-
wan tersebut, biarpun luka dalam atau luka luar yang bagaimana parahnya juga pasti akan tertolong.”
“Wah, celaka!” seru Lenghou Tiong sambil tepuk paha. “Coh Jian-jiu itu telah mencuri obatmu Siok-beng-wan
itu, tapi dia tidak makan sendiri, sebaliknya di ....”
“Diapakan?” tanya orang itu.
“Di ... dicampur dalam arak dan menipu aku untuk meminumnya,” sahut Lenghou Tiong. “Sesungguhnya aku
tidak tahu bahwa di dalam arak teraduk obat sebaik itu, malahan aku menyangka dia hendak meracuni aku.”
“Racun? Racun kentutmu!” damprat orang itu dengan gusar. “Jadi kau yang telah minum aku punya Siok-bengwan
itu?”
Lenghou Tiong menjawab, “Coh Jian-jiu itu mengisi delapan cawan arak dan membujuk aku minum habis
seluruhnya. Memang benar ada yang rasanya panas, ada yang rasanya pahit, ada yang berbau bacin dan
macam-macam lagi. Tapi obat apa segala aku sendiri tidak melihatnya.”
Orang itu menatap Lenghou Tiong dengan mata mendelik, sekonyong-konyong ia berteriak, tubuhnya mencelat
ke atas terus menubruk ke arah Lenghou Tiong.
Sejak tadi Tho-kok-ngo-sian sudah berjaga-jaga, maka begitu tubuh si buntak membal ke atas, berbareng Thokok-
si-sian lantas turun tangan secepat kilat, mereka pegang kedua tangan dan kedua kaki si buntak.
“Jangan mencelakai jiwanya!” seru Lenghou Tiong.
Namun aneh juga, biarpun kaki tangan si buntak kena dipegang oleh Tho-kok-si-sian, tapi anggota badannya
itu malah mengkeret lebih pendek lagi sehingga badannya lebih menyerupai bola yang bulat.
Tho-kok-si-sian terheran-heran, mereka membentak bersama terus menarik. Terlihat kaki dan tangan si buntak
dapat dibetot keluar, makin ditarik makin panjang, lengan dan pahanya sampai ikut mulur keluar dari
tubuhnya. Sungguh mirip benar dengan seekor kura-kura yang keempat kakinya kena dibetot keluar dari
kulitnya.
“Jangan mencelakai jiwanya!” kembali Lenghou Tiong berseru.
Karena itu Tho-kok-si-sian sedikit mengendurkan daya tariknya sehingga anggota badan si buntak mengkeret
lagi, tubuhnya menjadi bulat pula.
Tho-sit-sian yang terbaring di atas usungnya ikut tertarik, ia berseru, “Wah, sungguh aneh dan hebat! Ilmu
apakah itu?”
Waktu Tho-kok-si-sian membetot lagi, kembali tangan dan kaki si buntak kena ditarik keluar.
Melihat adegan yang lucu itu Gak Leng-sian dan murid perempuan Hoa-san-pay yang lain sama tertawa geli.
“Hei, biar kami tarik panjang kaki dan tanganmu agar kau bertambah lebih cakap,” seru Tho-kin-sian.
“Ai, jangan!” teriak orang itu.
Tho-kok-si-sian melengak, tanya mereka, “Sebab apa?”
Di luar dugaan mereka, sedikit lena saja mendadak si buntak meronta sekerasnya dan memberosot keluar dari
pegangan Tho-kok-si-sian. “Blang”, tahu-tahu dasar perahu kena diterobos olehnya sehingga berlubang,
secepat belut si buntak telah melarikan diri melalui sungai.
Di tengah jerit kaget orang banyak terlihatlah air sungai terus memancur naik melalui lubang di dasar perahu
itu.
Lekas-lekas Gak Put-kun memberi perintah, “Masing-masing orang membawa barangnya sendiri-sendiri dan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
lekas melompat ke daratan.”
Lubang yang jebol di dasar perahu itu hampir satu meter persegi, merembesnya air sungai sangat cepat, hanya
sekejap saja air di ruangan perahu itu sudah setinggi dengkul. Untung mereka sempat melompat ke daratan
dengan selamat.
Juragan perahunya tampak muram durja dan bingung, Lenghou Tiong menghiburnya, “Kau tidak perlu
khawatir, berapa harganya perahumu akan kuganti lipat dua.”
Diam-diam Lenghou Tiong juga sangat heran, selamanya tidak kenal Coh Jian-jiu itu, tapi mengapa dia sengaja
mencuri obat itu untuk diminumkan padanya dengan segala tipu dayanya? Ia coba mengerahkan tenaga,
terasa di dalam perut panas seperti dibakar, tapi delapan arus hawa murni itu masih terus tumbuk sini dan
terjang sana, masih tetap tak bisa bergabung.
Sementara itu Lo Tek-nau telah dapat menyewa sebuah perahu lain, semua barang bawaan mereka telah
dipindah ke perahu itu.
Sebenarnya Gak Put-kun ingin lekas meninggalkan tempat yang tidak aman itu, terutama tokoh-tokoh aneh
yang susul-menyusul muncul itu. Cuma hari sudah mulai gelap, sungai di daerah itu juga berliku-liku dan tidak
leluasa untuk berlayar malam hari, terpaksa ia istirahat saja di dalam perahu.
Tho-kok-lak-sian juga merasa kesal, berturut-turut dua kali mereka gagal menangkap Coh Jian-jiu dan manusia
bola daging itu, hal ini benar-benar belum pernah terjadi selama hidup mereka, walaupun mereka coba
membual dan menutupi rasa malu kegagalan mereka, tapi sampai akhirnya mereka pun merasa kurang masuk
di akal alasan yang mereka kemukakan. Maka sesudah minum arak sekian banyak akhirnya mereka pun
tertidur.
Gak Put-kun berbaring di tempat tidurnya, tapi tak bisa pulas, pikirannya bergolak. Di tengah malam sunyi itu
terdengar suara air sungai yang mendampar tepian gili-gili. Pikirnya, “Coh Jian-jiu dan manusia yang mirip bola
daging itu benar-benar sangat aneh, ilmu silat mereka terang juga tidak lemah, entah mengapa mereka ikutikutan
mencari Tiong-ji ke sini?”
Segera teringat pertentangan antara sekte Khi dan Kiam dalam Hoa-san-pay sendiri, lain saat terpikir pula cara
Lenghou Tiong membutakan mata ke-15 tokoh lihai dengan ilmu pedang yang sakti dan aneh tempo hari itu.
Sampai lama sekali pikirannya terus bergolak. Tiba-tiba terdengar olehnya suara orang berjalan dari jauh dan
semakin mendekat. Indra pendengaran Gak Put-kun sangat peka, begitu didengarkan lebih cermat, tahulah dia
bahwa ada dua orang yang memiliki Ginkang tinggi sedang mendatang.
Segera ia bangkit duduk, ia coba mengintip keluar melalui celah-celah jendela, di bawah sinar bulan terlihatlah
dua sosok bayangan orang sedang mendatang dengan kecepatan luar biasa. Sekonyong-konyong seorang di
antaranya mengangkat tangannya memberi tanda, kedua orang lantas berhenti kira-kira beberapa meter
jauhnya dari perahu.
Gak Put-kun tahu jika kedua orang itu berbicara tentu juga dilakukan dengan bisik-bisik. Segera ia menarik
napas dalam-dalam, ia mengerahkan “Ci-he-sin-kang”. Begitu ilmu sakti Ci-he-sin-kang dikerahkan, bukan saja
setiap detik dapat digunakan untuk membela diri bilamana mendadak diserang, bahkan pancaindranya seketika
juga bertambah lebih tajam.
Maka terdengarlah seorang di antaranya sedang berkata dengan suara perlahan, “Pasti perahu ini. Di tiang
layar sudah terpancang sebuah bendera kecil, rasanya takkan salah.”
“Baiklah, Suko, marilah kita lekas pulang memberi lapor kepada Supek,” kata kawannya.
“Aneh, entah mengapa ‘Tok-seng-bun’ kita sampai mengikat permusuhan dengan Hoa-san-pay sehingga Supek
perlu mengerahkan segenap tenaga hendak mencegat mereka secara besar-besaran?” demikian kata orang
pertama tadi.
Mendengar nama “Tok-seng-bun”, Gak Put-kun terkejut. Dan karena sedikit lengah saja kekuatan Ci-he-sinkang
lantas menyurut sehingga suara percakapan kedua orang yang sangat lirih itu tidak terdengar. Waktu ia
mengerahkan ilmu sakti pula, yang terdengar adalah suara tindakan orang, nyata kedua orang tadi sudah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pergi.
Sudah lama Gak Put-kun mendengar nama Tok-seng-bun sebagai suatu aliran tersendiri di daerah perairan
Oulam. Ilmu silat anak murid Tok-seng-bun tidak dapat dikatakan tinggi, tapi mahir memakai racun sehingga
orang sukar menjaga diri. Sering orang terbunuh oleh mereka tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.
Ciangbunjin (ketua) Tok-seng-bun diketahui she Cu bernama Put-hoan dan punya julukan yang sangat aneh,
yaitu “Tok-put-su-jin” (tak bisa meracun orang sampai mati). Konon julukan itu diberikan orang lantaran
kepandaian Cu Put-hoan dalam hal menggunakan racun sudah terlalu hebat dan tiada bandingannya. Kalau
meracuni orang hingga mati adalah soal mudah, setiap orang juga mampu melakukannya, maka tidak
mengherankan, tapi cara Cu Put-hoan justru berbeda daripada orang lain.
Sesudah dia memberikan racun, yang kena racun takkan binasa seketika, hanya pada tubuh terasa seperti
disayat-sayat oleh senjata tajam atau seperti digigit-gigit oleh semut atau serangga lain, pendek kata rasanya
sangat menderita, bagi si penderita akan merasa lebih baik mati daripada hidup tersiksa, tapi untuk mati justru
sukar. Jadi mau tak mau harus pasrah nasib kepada Cu Put-hoan dan tiada pilihan lain.
Sebab itulah Gak Put-kun merasa ngeri demi mendengar nama Tok-seng-bun disebut. Pikirnya, “Mengapa Tokseng-
bun bisa memusuhi Hoa-san-pay kami? Apalagi katanya Supek mereka sengaja mengerahkan segenap
tenaganya untuk mencegat perahu ini, sebenarnya apakah sebabnya?”
Sesudah dipikir ia menarik kesimpulan hanya ada dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi mereka adalah bala
bantuan yang didatangkan oleh Hong Put-peng dan kawan-kawannya untuk mencari perkara pada dirinya.
Kedua, mungkin di antara ke-15 orang yang dibutakan oleh Lenghou Tiong itu terdapat anak murid Tok-sengbun.
Sedang Gak Put-kun menimbang-nimbang tak menentu, tiba-tiba didengarnya pula di daratan sana ada suara
seorang perempuan sedang berkata dengan suara tertahan, “Sesungguhnya di rumahmu apakah terdapat Pisia-
kiam-boh?”
Segera Put-kun mengenali suara itu adalah suara putrinya sendiri. Maka tanpa mendengarkan suara orang
kedua juga dia dapat menduga tentu orang itu adalah Lim Peng-ci. Entah sejak kapan kedua muda-mudi itu
telah berada di tepi dermaga.
Diam-diam Put-kun dapat memahami perasaan kedua muda-mudi itu, ia tahu hubungan putrinya dengan Pengci
makin hari makin erat, pada siang hari mereka tidak berani bergaul terlalu mencolok karena khawatir
ditertawai orang lain, sebab itulah mereka sengaja mengadakan pertemuan di tengah malam sunyi.
Orang persilatan seperti mereka mestinya tidak terlalu terikat oleh adat kuno, pergaulan muda-mudi yang
sedang pacaran dengan sendirinya lebih bebas daripada orang biasa. Cuma Gak Put-kun sendiri berjuluk “Kuncu-
kiam”, selamanya terkenal sopan dan tertib, jika putrinya sekarang ternyata berbuat sesuatu yang
melampaui garis kesusilaan dengan Peng-ci, bukankah akan ditertawai oleh kawan Bu-lim?
Coba kalau malam ini Put-kun tidak mengerahkan ilmu sakti Ci-he-sin-kang untuk mengikuti gerak-gerik
kedatangan musuh, tentu ia tidak tahu rahasia putrinya yang sedang “ada main” dengan Lim Peng-ci.
Dalam pada itu terdengar Peng-ci sedang berkata, “Keluargaku memang punya Pi-sia-kiam-hoat, aku pun
sudah sering perlihatkan padamu permainan ilmu pedang itu, tapi tentang Kiam-boh apa segala sesungguhnya
tidak ada.”
“Jika begitu mengapa Gwakong dan kedua pamanmu mencurigai Toasuko, katanya Toasuko telah
mengangkangi Kiam-bohmu?” tanya Leng-sian.
“Mereka yang curiga, aku sendiri kan tidak mencurigai Toasuko,” kata Peng-ci.
“O, baik juga kau ini, biar orang lain yang curiga, sebaliknya kau sendiri tidak menaruh curiga sedikit pun.”
Peng-ci menghela napas, katanya, “Jika keluargaku benar-benar memiliki Kiam-boh yang hebat itu, tentu Hokwi-
piaukiok kami tidak sampai hancur dan keluargaku berantakan atas perbuatan Jing-sia-pay itu.”
“Ucapanmu pun masuk di akal,” ujar Leng-sian. “Jika demikian, mengapa kau tidak membela Toasuko atas
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kecurigaan Gwakongmu dan paman-pamanmu itu kepada Toasuko.”
“Sebenarnya ucapan apa yang ditinggalkan ayah dan ibu, karena aku tidak mendengar dengan telinga sendiri,
hendak membelanya juga sukar,” kata Peng-ci.
“Jadi di dalam hatimu betapa pun kau merasa curiga juga bukan?” kata Leng-sian.
“Ah, jangan sekali-kali berkata demikian, kalau diketahui Toasuko bukankah akan memburukkan hubungan
baik sesama saudara seperguruannya?” ujar Peng-ci.
“Hm, bisa saja kau pura-pura?” jengek Leng-sian. “Kalau curiga ya curiga, kalau tidak ya tidak. Bila aku
menjadi dirimu tentu sudah lama aku menanyai Toasuko secara blakblakan.”
Setelah merandek sejenak lalu katanya pula, “Watakmu ternyata sangat mirip dengan ayah. Kedua orang
sama-sama menaruh curiga terhadap Toasuko dan menduga dia telah menggelapkan Kiam-bohmu itu ....”
“Suhu juga menaruh curiga?” Peng-ci memotong.
Leng-sian tertawa, katanya, “Jika kau sendiri tidak curiga mengapa kau pakai istilah ‘juga’? Aku bilang
watakmu serupa dengan ayah, ada apa-apa hanya disimpan dalam batin, tapi di mulut sama sekali tidak
menyinggungnya.”
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari dalam sebuah perahu di samping perahu yang ditumpangi
rombongan Hoa-san-pay itu berkumandang suara bentakan orang, “Binatang kecil yang tidak tahu malu, berani
sembarangan menuduh di belakang orang. Lenghou Tiong adalah seorang kesatria sejati, masakah kalian
berani memfitnahnya?”
Suaranya berkumandang dari dalam perahu yang jaraknya beberapa puluh meter jauhnya, bukan saja
membikin terkejut para penumpang perahu yang lain sehingga terjaga bangun, sampai-sampai burung yang
bersarang di pepohonan sekitar situ juga sama kaget dan bergemeresik riuh ramai.
Habis itu, dari atas perahu itu mendadak melesat sesosok bayangan raksasa terus menubruk ke tempat Peng-ci
dan Leng-sian dengan amat cepat. Di bawah cahaya bulan tampaknya seperti seekor burung raksasa yang
mendadak menyambar ke bawah.
Keruan Peng-ci dan Leng-sian terkejut. Waktu keluar mereka tidak membawa senjata, terpaksa mereka pasang
kuda-kuda dan siap melawan.
Ketika mendengar suara bentakan orang, Gak Put-kun sudah lantas tahu Lwekang orang sangat tinggi dan
pasti tidak di bawahnya. Sekarang melihat loncatan dan tubrukannya itu, jelas Gwakangnya juga amat lihai,
keruan ia menjadi gugup melihat putrinya terancam bahaya, cepat ia berteriak, “Tahan dulu!”
Segera ia pun meloncat ke tepi dermaga dengan menjebol jendela.
Tapi baru saja tubuhnya terapung di udara, dilihatnya tangan raksasa tadi sudah berhasil mencengkeram Pengci
dan Leng-sian terus dibawa lari ke depan sana.
Sungguh kejut Gak Put-kun tak terkatakan, begitu kaki menginjak tanah segera ia kerahkan segenap tenaga
untuk mengejar. Pedang yang sudah siap lantas menusuk punggung orang itu dengan jurus “Pek-hong-koanjit”
(pelangi putih menembus sinar matahari).
Karena perawakan orang itu sangat tinggi besar, dengan sendirinya langkahnya juga lebar, cukup ia melangkah
satu tindak ke depan dan tusukan Gak Put-kun lantas mengenai tempat kosong.
Waktu Put-kun meloncat maju dan menusuk pula, tapi lagi-lagi raksasa itu melangkah lebar ke depan sehingga
serangannya kembali luput.
Walaupun sangat terkejut dan cemas, tapi Put-kun dapat melihat setelah raksasa itu memegang Peng-ci dan
Leng-sian, karena beban yang cukup berat itu, biarpun memiliki tenaga sakti juga tidak dapat berlari cepat
dengan menggunakan Ginkang. Yang diandalkan hanya kakinya yang panjang dan langkah yang lebar, kalau
diburu terus akhirnya pasti dapat menyusulnya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Maka sekuatnya Put-kun menarik napas dalam-dalam, ia mengejar terlebih cepat. Benar juga, segera jaraknya
dengan raksasa itu jadi lebih dekat. Diam-diam ia berpikir, “Jika tidak kau lepaskan Peng-ci dan Sian-ji,
tusukanku ini pasti akan menembus tubuhmu!”
Mendadak ia bersuit nyaring dan berteriak, “Awas!”
Serangannya selalu dilakukan dengan terang-terangan, selama hidup dia tak sudi menyerang secara pengecut,
sebab itulah orang memberikan julukan “Kun-cu-kiam” padanya. Maka sebelum dia menusuk dengan jurus
“Jing-hong-san-song” (angin meniup semilir), lebih dulu ia memperingatkan lawannya agar awas dan siap.
Tak tersangka raksasa itu seakan-akan tidak mendengar dan tak menggubris padanya. Tampaknya ujung
pedang hanya tinggal belasan senti saja dari sasarannya, pada saat itu juga tiba-tiba angin berkesiur, dua jari
orang menyambar ke arah matanya. Keruan Put-kun terkejut.
Tempat itu adalah ujung jalan yang penuh rumah penduduk di kanan-kiri, cahaya rembulan teraling oleh
rumah-rumah itu. Namun reaksi Gak Put-kun cepat luar biasa, begitu mengetahui ada musuh lain bersembunyi
di situ dan menyergapnya, cepat ia mendak tubuh, sebelum melihat jelas siapa lawannya kontan ia balas
menusuk dengan pedang.
Musuh itu menggeser samping terus mendesak maju lagi, jari kembali menyambar tiba hendak menutuk
“Tiong-wan-hoat” di perut Gak Put-kun.
Tanpa ayal lagi Put-kun menendang, terpaksa orang itu berputar ke sebelah lain dan kembali menyerang
punggungnya.
Tanpa balik tubuh segera pedang Gak Put-kun menebas ke belakang dengan cepat lagi jitu. Tapi orang itu
kembali dapat menghindarkan diri, menyusul ia menubruk maju lagi hendak mengincar tenggorokan Gak Putkun.
Diam-diam Put-kun merasa gusar. Pikirnya, “Kurang ajar benar orang ini, berani dia lawan pedangku dengan
tangan kosong, bahkan terus-menerus melancarkan serangan. Jika malam ini aku kecundang lagi, lalu apakah
masih ada muka bagiku untuk berkecimpung di dunia persilatan?”
Segera ia kumpulkan semangat, setiap jurus dan setiap gerakan dilakukannya dengan sangat prihatin, belasan
jurus kemudian, sayup-sayup timbul suara mendengung. Nyata ia telah salurkan Lwekang ke dalam setiap
jurus serangan pedangnya.
Mendadak orang itu menyerang tiga kali sehingga Put-kun terdesak mundur, cepat orang itu melompat mundur
sambil berseru, “Sampai bertemu pula kelak!”
Segera ia putar tubuh terus hendak tinggal pergi.
“Tunggu, ingin kuminta penjelasan dahulu,” bentak Gak Put-kun dan pedang terus menebas musuh.
Tapi orang itu menundukkan kepala untuk menghindar. Tidak tersangka serangan Gak Put-kun ini hanya
pancingan belaka, pedang hanya menebas sampai setengah jalan lantas diputar balik dan berubah menusuk
dada orang dengan cepat.
Akan tetapi orang itu menggeser ke samping menyusul ia terus mendesak maju, kedua tangan mengincar
perut Gak Put-kun.
Dalam keadaan demikian terpaksa Gak Put-kun harus membela diri lebih dulu, pedang berputar terus menusuk
mata musuh pula. Namun orang itu pun sangat gesit, jari menyelentik pedang dan baru saja tangan lain
hendak meneruskan serangannya tadi, mendadak Gak Put-kun sedikit miringkan pedangnya, dari menusuk
berubah menjadi menebas.
“Cret”, kopiah orang itu kena ditebas jatuh sehingga kelihatan kepalanya yang gundul. Kiranya orang itu adalah
Hwesio.
Begitu Hwesio itu menggenjot kedua kakinya, dengan cepat luar biasa tubuhnya lantas melayang ke belakang.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Karena pedang kena diselentik tadi, Put-kun merasa tangannya linu kesemutan. Ketika ia hendak mengejar,
mendadak jari tangan terasa kaku, hampir saja pedang terlepas dari cekalan, cepat ia pegang dengan tangan
yang lain. Di bawah sinar bulan tertampaklah kelima jari tangan kanan itu sama bengkak, keruan kejutnya tak
terkatakan.
Dan sedikit merandek itulah Gak-hujin pun sudah menyusul tiba dengan senjata terhunus. “Bagaimana anak
Sian?” tanya kepada sang suami.
“Ke sana! Mari kejar!” sahut Put-kun sambil menuding ke depan dengan ujung pedang.
Suami istri lantas mengudak ke jurusan lari si raksasa tadi. Tidak lama kemudian sampailah mereka di suatu
persimpangan jalan, mereka menjadi bingung entah musuh lari ke arah mana. Tentu saja yang paling gelisah
adalah Gak-hujin.
“Orang yang menculik anak Sian itu adalah kawan Tiong-ji, rasanya mereka takkan membikin susah padanya,”
demikian Put-kun berusaha menghibur sang istri. “Marilah kita pulang menanyai Tiong-ji dan tentu akan tahu
perkaranya.”
“Benar, menurut orang itu tadi, katanya anak Sian dan Peng-ci sembarangan memfitnah Tiong-ji, entah apa
alasannya?”
“Tentu saja ada sangkut pautnya dengan Pi-sia-kiam-boh itu,” kata Put-kun.
Waktu mereka pulang kembali ke perahu, terlihat Lenghou Tiong dan para murid sedang menunggu di tepi
dermaga dengan rasa khawatir dan cemas.
Sesudah masuk ke dalam ruangan perahu, baru saja Gak Put-kun hendak panggil menghadap Lenghou Tiong,
tiba-tiba terlihat di atas meja ada secarik kertas putih yang ditindih dengan tatakan lilin, kertas itu ada tulisan
yang berbunyi, “Di Ngo-pah-kang putrimu akan dikembalikan, Ci-he-sin-kang ternyata sekian saja
kesaktiannya.”
Tulisan itu tampaknya digores hanya dengan arang sumbu lilin saja. Put-kun meremas kertas itu dan
dimasukkan ke dalam saku. Kemudian ia tanya tukang perahu di mana letak Ngo-pah-kang itu, terletak di
perbatasan antara Holam dan Soatang, kalau perahu berangkat besok pagi-pagi, pada petang harinya bisa
sampai di sana.
Diam-diam Put-kun berpikir, “Lawan menantang aku untuk bertemu di Ngo-pah-kang, pertemuan ini mau tak
mau harus dilakukan, tapi rasanya sudah pasti akan mengalami kekalahan dan tipis harapan untuk menang.”
Selagi ragu-ragu, tiba-tiba terdengar pula suara teriakan orang di daratan sana, “Keparat, di mana beradanya
Tho-kok-lak-kui (enam setan dari Tho-kok) itu? Inilah aku malaikat Ciong Siu (nama dewa penangkap setan)
datang hendak menangkap setan-setan itu!”
Mendengar itu, tentu saja Tho-kok-lak-sian sangat gusar. Kecuali Tho-sit-sian yang tak bisa berkutik, kelima
orang berbareng lantas melompat ke gili-gili. Cepat Put-kun dan lain-lain juga keluar ke tepi perahu untuk
melihat.
Ternyata orang yang berteriak tadi memakai kopiah tinggi lancip, tangan membawa sehelai bendera putih yang
berkibar-kibar, pada bendera itu jelas tertulis, “Khusus menangkap Tho-kok-lak-kui bernyali sekecil tikus, aku
berani bertaruh untuk menangkap Tho-kok-lak-kui.”
Tho-kin-sian berlima berjingkrak murka, secepat terbang mereka lantas mengejar. Ginkang orang berkopiah
lancip itu pun sangat hebat, hanya sekejap saja sudah di kejauhan sana.
“Sumoay,” kata Put-kun, “agaknya inilah tipu ‘memancing harimau meninggalkan gunung’, kita harus waspada,
marilah masuk saja ke dalam.”
Tapi baru saja Lo Tek-nau dan lain-lain hendak naik ke atas perahu, sekonyong-konyong dari samping sana
satu gulungan bayangan manusia telah menggelinding tiba. Sekali pegang dada Lenghou Tiong, orang itu
lantas berteriak, “Ikut pergi padaku!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kiranya bukan lain daripada si buntak yang mirip bola daging itu. Sekali kena dicengkeram, sama sekali
Lenghou Tiong tak mampu meronta, terpaksa ia membiarkan dirinya diseret pergi.
Tapi baru saja bola daging itu hendak lari, mendadak dari pojok rumah sana menerjang luar pula seorang terus
menendang si buntak. Kiranya penyerang ini adalah Tho-ki-sian.
Ilmu silat Tho-ki-sian sangat tinggi, tetapi nyalinya sangat kecil. Ketika melihat tulisan pada bendera putih
yang dibawa orang berkopiah lancip tadi, ia menjadi jeri dan tidak berani ikut mengejar bersama saudarasaudaranya,
ia sembunyi di pojok rumah sana. Baru kemudian waktu melihat si buntak membawa lari Lenghou
Tiong, terpaksa ia muncul untuk menolongnya.
Melihat Tho-ki-sian menubruk tiba, cepat manusia bola daging itu melepaskan Lenghou Tiong, sekali lompat ia
lantas mendekati Tho-sit-sian yang terbaring itu, sebelah kaki terangkat dengan gerakan hendak menginjak
dada Tho-sit-sian.
Keruan Tho-ki-sian terkejut, teriaknya, “Jangan mencelakai saudaraku!”
“Locu ingin mampuskan dia, peduli apa denganmu?” seru si buntak.
Tapi secepat terbang Tho-ki-sian telah memburu maju, tanpa ayal lagi ia terus rangkul Tho-sit-sian dan
diangkat bersama usungannya.
Sesungguhnya si buntak tidak sengaja hendak menyerang Tho-sit-sian, tujuannya hanya untuk memancing
Tho-ki-sian saja. Maka dengan cepat ia melompat balik, sekali cengkeram kembali ia bekuk Lenghou Tiong
terus dipanggul dan segera dibawa lari pergi.
Diam-diam Tho-ki-sian berpikir, “Wah, celaka. Peng-tayhu menyuruh kami menjaga Lenghou Tiong ini,
sekarang dia diculik orang, kelak cara bagaimana kami harus mempertanggungjawabkan?”
Tapi ia tidak tega meninggalkan Tho-sit-sian yang belum sembuh itu, terpaksa ia pun angkat Tho-sit-sian lalu
mengejar ke arah si buntak.
Gak Put-kun memberi isyarat kepada sang istri, katanya, “Kau jaga para murid, biar aku menyusul ke sana
untuk melihatnya.”
Gak-hujin mengangguk. Mereka sama-sama tahu bahwa di sekeliling mereka sekarang penuh musuh tangguh,
kalau mereka suami-istri pergi semua mungkin seluruh anak muridnya akan disergap musuh.
Dalam hal Ginkang boleh dikata si buntak dan Tho-ki-sian adalah sama tingginya, tapi kedua orang sama-sama
membawa beban seorang sehingga kecepatan lari mereka tidak secepat dalam keadaan bertangan kosong.
Maka dengan Ginkang Gak Put-kun yang cukup tinggi, lambat laun ia pun sudah dapat menyusulnya.
Didengarnya sepanjang jalan Tho-ki-sian terus berkaok-kaok menyuruh si buntak melepaskan Lenghou Tiong,
kalau tidak tentu dia akan mengudak terus biar sampai ujung langit sekalipun.
Bab 52. Hong-ho-lo-coh, Dua Tokoh Aneh Sungai Kuning
Meskipun tubuh Tho-sit-sian tak bisa berkutik, tapi mulutnya tetap tidak mau menganggur, terus-menerus ia
berdebat dengan Tho-ki-sian, katanya, “Toako dan lain-lain tidak ada di sini, biarpun kau dapat menyusul si
buntak juga tak bisa mengapa-apakan dia. Jika tak mampu mengapa-apakan dia, kau bilang akan mengudak
dia sampai ke mana pun kan hanya gertak sambal belaka?”
“Walaupun cuma gertak sambal juga ada faedahnya untuk menggertak musuh daripada tidak berbuat apaapa,”
ujar Tho-ki-sian.
Ginkang Tho-ki-sian benar-benar hebat, tenaga dalamnya juga sangat kuat, biarpun membawa beban satu
orang sambil mulut mencerocos, tapi kecepatan larinya tak pernah kendur.
Diam-diam Gak Put-kun terperanjat. Ia tidak tahu dari golongan manakah kepandaian keenam manusia kosen
itu? Untung mereka suka angin-anginan, tingkah lakunya rada dogol, kalau tidak tentu akan merupakan musuh
yang sukar dilayani.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Begitulah tiga orang itu kejar-mengejar dengan cepat menuju ke arah timur laut. Jalanan makin lama makin
terjal, nyata mereka sedang mendaki jalan pegunungan.
Mendadak Gak Put-kun teringat, “Jangan-jangan si buntak itu menyembunyikan bala bantuan lihai di lembah
pegunungan ini untuk memancing kedatanganku? Jika demikian sungguh teramat bahaya jika aku masuk
perangkapnya.”
Selagi ia merandek untuk memikir, tertampak si buntak yang membawa lari Lenghou Tiong itu telah menuju ke
suatu rumah genting di lereng gunung sana, sesudah dekat ia terus melompat masuk ke halaman rumah itu
dengan melintasi pagar tembok.
Kelihatan Tho-ki-sian yang memondong Tho-sit-sian itu juga lantas melompati pagar tembok. Tapi mendadak
terdengar suara jeritannya, nyata dia telah masuk perangkap yang terpasang di balik pagar tembok.
Gak Put-kun juga sudah mengejar sampai di tepi pagar tembok itu, tapi ia lantas berhenti dan pasang kuping.
Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, “Sudah lama kukatakan padamu agar hati-hati, coba sekarang kau
kena diringkus orang di dalam jaring sehingga mirip seekor ikan, sungguh sialan.”
“Pertama, bukan seekor, tapi dua ekor ikan. Kedua, kapan kau pernah menyuruh aku berhati-hati?” demikian
sahut Tho-ki-sian.
“Eh, dahulu waktu kecil, ketika kita pergi mencuri buah mangga orang yang pohonnya berada di halaman
rumah, bukankah pernah kusuruh kau berhati-hati? Masakah kau sudah lupa?”
“Itu kan dahulu, kejadian 40 tahun yang lalu ada sangkut paut apa dengan kejadian sekarang ini?” sahut Thoki-
sian.
“Sudah tentu ada sangkut pautnya,” Tho-sit-sian. “Karena dahulu kau kurang hati-hati sehingga terperosot
jatuh dan ditangkap orang dan dihajar. Untung Toako, Jiko dan lain-lain keburu datang menolong dan
membunuh habis keluarga orang itu. Sekarang kau kurang hati-hati lagi dan kembali tertangkap pula.”
“Kenapa mesti khawatir, paling-paling Toako dan lain-lain memburu tiba dan membunuh habis pula segenap
keluarga orang ini,” kata Tho-ki-sian.
“Hm,” terdengar si buntak mendengus. “Kematian kalian sudah di depan mata, masih berani mengigau akan
membunuh orang segala. Lebih baik tutup mulut kalian supaya telingaku tidak panas.”
Lalu terdengar Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian bersuara bertahan. Agaknya si buntak telah menyumbat sesuatu di
mulut kedua orang itu sehingga tidak mampu membuka suara.
Gak Put-kun pasang kuping pula sejenak, tapi tidak mendengar sesuatu suara. Ia coba mengitar ke belakang
sana, tertampak di luar pekarangan tumbuh satu pohon besar. Ia memanjat pohon itu dan memandang ke
dalam. Kiranya di dalam situ adalah sebuah rumah genting yang kecil, kira-kira dua-tiga meter jaraknya
dengan pagar tembok dan rumah itu tentu ada perangkapnya.
Maka ia sengaja sembunyi di atas pohon yang tertutup oleh daun lebat, ia kerahkan Ci-he-sin-kang untuk
mendengarkan. Terdengarlah suara si buntak sedang bertanya, “Sesungguhnya Coh Jian-jiu si tua bangka itu
ada hubungan apa dengan dirimu?”
“Baru pertama kali ini aku melihat orang seperti Coh Jian-jiu itu, maka tak dapat dikatakan ada hubungan apa,”
demikian suara Lenghou Tiong sedang menjawab.
“Urusan sudah begini dan kau masih berdusta,” seru si buntak dengan gusar, “Apa kau tidak tahu bahwa sekali
sudah jatuh dalam cengkeramanku, maka kau pasti akan mati dengan mengerikan.”
“Aku tahu engkau tentu sangat marah karena obatmu yang katanya mujarab itu telah kumakan tanpa
sengaja,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Tapi rasanya obatmu itu toh tiada tampak khasiatnya, sudah
sekian lamanya kuminum obatmu itu namun sedikit pun aku tidak merasakan apa-apa.”
“Memangnya kau kira begitu cepat akan tampak khasiatnya?” kata si buntak dengan gusar. “Datangnya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
penyakit biasanya mendadak, sembuhnya penyakit justru sedikit demi sedikit. Khasiatnya obat itu baru dapat
tampak sesudah tiga hari nanti.”
“Baiklah, jika kau mau membunuh aku boleh silakan, toh aku tak bertenaga dan tak mampu melawan,” kata
Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Hm, kau ingin mati dengan enak, jangan harap. Aku harus menanyai lebih dulu,” damprat si buntak. “Keparat,
Coh Jian-jiu adalah kawanku selama beberapa puluh tahun, sekarang ternyata mengkhianati kawan sendiri,
tentu dalam hal ini ada sebab-sebabnya. Hoa-san-pay kalian tidak laku sepeser pun bagi penilaian ‘Hongho Locoh’
kami, sudah tentu bukan lantaran kau adalah murid Hoa-san-pay sehingga dia perlu mencuri aku punya
Siok-beng-wan untuk diminumkan padamu. Ai, sungguh aneh bin ajaib, ajaib binti heran!”
“O, kiranya julukanmu adalah ‘Hongho Lo-coh’ maafkan kalau aku berlaku kurang hormat,” kata Lenghou
Tiong.
“Ngaco-belo,” semprot si buntak dengan marah. “Seorang diri mana aku dapat menjadi Hongho Lo-coh?”
“He, mengapa tidak dapat?” tanya Lenghou Tiong heran.
“Hongho Lo-coh terdiri dari dua orang, yang satu she Lo, yang lain she Coh, masakah begini saja tidak paham,
sungguh goblok,” omel si buntak. “Coh Cong, Coh Jian-jiu she Coh, aku Lo Ya, Lo Thau-cu she Lo, kami berdua
bersemayam di sepanjang lembah Hongho, maka kami disebut sebagai Hongho Lo-coh.”
“Aneh, mengapa yang seorang bernama Lo Ya (tuan besar) dan yang lain bernama Coh (kakek moyang)?”
tanya Lenghou Tiong.
“Kau sendiri masih hijau seperti katak dalam tempurung dan tidak tahu bahwa di dunia ini ada orang she Lo
dan she Coh,” kata si buntak. “Aku sendiri she Lo (tua) bernama Ya (tua) alias Thau-cu (kakek), atau Lo Thaucu
(kakek tua) ....”
Saking gelinya Lenghou Tiong mengakak tawa, katanya, “Jika demikian, Coh Jian-jiu itu she Coh bernama Cong
(nenek moyang)?”
“Memang begitulah,” sahut si buntak alias Lo Thau-cu. Setelah merandek sejenak lalu ia berkata pula, “Eh, kau
tidak kenal nama Coh Jian-jiu, jika begitu boleh jadi kau memang tiada hubungan keluarga apa-apa dengan
dia. Tapi, ai, salah. Apa kau bukan anaknya Coh Jian-jiu?”
Lenghou Tiong tambah geli, sahutnya, “Cara bagaimana aku bisa menjadi anaknya? Dia she Coh, aku she
Lenghou, mana dapat keduanya dihubung-hubungkan?”
“Sungguh aneh,” demikian Lo Thau-cu bergumam sendiri. “Dengan susah payah, dengan segala tipu daya
akhirnya baru dapat kuracik delapan biji Siok-beng-wan yang mestinya hendak kugunakan mengobati penyakit
putri mestikaku. Kau bukan anaknya Coh Jian-jiu, mengapa dia sengaja mencuri obat untukmu?”
Mendengar itu barulah Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Katanya, “Kiranya obat Lo-siansing ini akan
digunakan untuk menyembuhkan penyakit putrimu, tetapi keliru kumakan sekarang, sungguh aku merasa tidak
enak hati. Entah penyakit apakah yang diderita putrimu? Mengapa engkau tidak minta pertolongan kepada Satjin-
beng-ih Peng-tayhu untuk mengobatinya?”
“Cis, siapa yang tidak tahu bila sakit harus minta pertolongan kepada Peng It-ci?” semprot Lo Thau-cu. “Dia
menetapkan suatu peraturan setiap orang yang disembuhkan harus membunuh pula seorang sebagai
pengganti nyawa. Aku khawatir dia menolak mengobati putriku, lebih dulu telah kubunuh habis delapan jiwa
keluarga bininya, dengan demikian barulah dia merasa sungkan dan terpaksa memeriksa penyakit putriku.
Menurut kesimpulannya penyakit putriku yang aneh itu sudah ada ketika meninggalkan kandungan ibunya,
maka dia membuka resep obat Siok-beng-wan sebanyak delapan biji pil itu. Kalau tidak, aku sendiri bukan
tabib, dari mana aku paham cara meracik obat segala?”
Cerita si buntak mengherankan Lenghou Tiong, tanyanya pula, “Cianpwe telah minta pertolongan kepada Pengtayhu
untuk mengobati putrimu, tapi mengapa malah membunuh habis seluruh keluarga mertuanya?”
“Kau ini benar-benar sangat goblok, kalau tidak dijelaskan tidak paham,” omel Lo Thau-cu. “Musuh Peng It-ci
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sebenarnya tidak banyak, apa lagi beberapa tahun terakhir ini sudah habis dibunuh oleh pasien yang
disembuhkan olehnya. Tapi selama hidup Peng It-ci paling benci kepada ibu mertuanya, soalnya dia takut bini,
dia tidak berani membunuh ibu mertuanya itu, maka akulah yang mewakilkan dia turun tangan. Sesudah aku
membunuh segenap keluarga ibu mertuanya, Peng It-ci sangat senang dan baru mengobati putriku dengan
sesungguh hati.”
“O, kiranya demikian,” kata Lenghou Tiong. “Padahal obatmu yang katanya sangat mustajab itu tidak cocok
bagi penyakitku. Entah bagaimana keadaan penyakit putrimu? Apakah masih keburu bila mengulangi mencari
obat baru?”
Lo Thau-cu menjadi gusar, katanya, “Putriku paling lama hanya tahan hidup setengah atau setahun saja dan
pasti akan mati, masakah sempat untuk mencari obat yang sangat sukar ditemukan itu? Sekarang tiada jalan
lain, terpaksa aku mengobati dia dengan caraku sendiri.”
Segera ia tarik sebuah kursi, ia paksa Lenghou Tiong duduk di situ, ia ambil pula seutas tambang dan mengikat
kaki tangan Lenghou Tiong sekencangnya di kursi. Lalu ia robek baju bagian dada Lenghou Tiong sehingga
kelihatan kulit dadanya yang putih.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Lenghou Tiong.
“Jangan terburu-buru, sebentar lagi kau akan tahu sendiri,” sahut Lo Thau-cu dengan menyeringai. Habis itu ia
terus angkat Lenghou Tiong berikut kursinya dan dibawa ke belakang. Sesudah menyusuri serambi samping,
akhirnya ia menyingkap tirai dan masuk ke sebuah kamar.
Begitu berada dalam kamar itu, Lenghou Tiong lantas merasa sumpek luar biasa. Tertampak celah-celah
jendela kamar itu dilem rapat dengar kertas sehingga kamar itu benar-benar tak tembus angin sedikit pun.
Di dalam kamar ada dua anglo, arangnya tampak membara. Kelambu tempat tidur tampak menjulai. Seluruh
kamar hanya bau obat belaka.
Sesudah menaruh kursi bersama Lenghou Tiong yang terikat kencang di atasnya, si buntak lantas membuka
kelambu, katanya dengan suara lembut, “Anak Ih, bagaimana keadaanmu hari ini?”
Di atas bantal berwarna kuning telur itu tampak berbaring sebuah wajah yang pucat dengan rambut yang
panjang terurai di atas selimut sutra warna kuning gading. Usia nona itu kira-kira baru 17-18 tahun, kedua
matanya terpejam rapat, bulu matanya sangat panjang. Terdengar dia menyapa, “Ayah!” dengan mata tetap
tertutup.
“Anak Ih,” kata Lo Thau-cu, “Siok-beng-wan yang kubuatkan untukmu sudah selesai. Hari ini juga boleh
dimakan dan penyakitmu tentu akan segera sembuh, tidak lama kemudian kau pun dapat bangun dan bermain
lagi.”
Nona itu hanya bersuara perlahan sekali, agaknya tidak begitu tertarik akan ucapan sang ayah.
Lenghou Tiong merasa tidak tenteram demi melihat penyakit si nona yang payah itu. Ia dapat mengerti cinta
kasih si buntak terhadap putrinya itu, apa yang diucapkannya tadi agaknya sekadar untuk menghibur putrinya
saja.
Tapi Lo Thau-cu lantas memondong putrinya untuk didudukkan, katanya, “Kau duduk saja agar lebih leluasa
minum obatmu ini. Obat ini tidak mudah diperoleh, jangan kau meremehkannya.”
Perlahan nona itu bangun duduk, Lo Thau-cu mengambilkan dua buah bantal untuk mengganjal punggung
putrinya itu. Waktu nona itu membuka mata, ia menjadi heran demi melihat Lenghou Tiong.
“Ayah, sia ... siapakah dia?” tanyanya kemudian sambil memandang Lenghou Tiong dengan sepasang mata
bola yang hitam guram.
“Dia? O, dia bukan orang, dia adalah obat,” sahut Lo Thau-cu sambil tersenyum.
“Dia adalah obat?” si nona menegas dengan bingung.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ya, dia adalah obat,” kata pula Lo Thau-cu. “Pil Siok-beng-wan itu terlalu keras untuk dimakan begitu saja
olehmu, maka lebih dulu dimakan dia, lalu kuambil darahnya untuk diminumkan kepadamu, dengan demikian
barulah cocok.”
“Oo,” hanya sekian saja nona itu bersuara, lalu memejamkan mata pula.
Sudah tentu Lenghou Tiong terkejut dan gusar pula mendengar kata-kata Lo Thau-cu, segera ia bermaksud
memakinya, tapi lantas terpikir olehnya, “Aku telah makan obat mujarab yang mestinya akan digunakan untuk
menolong jiwa nona ini, walaupun tidak sengaja, tapi akulah yang telah membikin susah dia. Apalagi aku
sendiri sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi, jika sekarang darahku digunakan untuk menolong jiwanya
sebagai penebus dosaku, cara ini pun boleh juga.”
Karena itu ia hanya tersenyum pedih saja dan tidak membuka suara.
Lo Thou-cu berdiri di samping Lenghou Tiong, ia sudah siap, begitu Lenghou Tiong berteriak segera akan
menutuk Hiat-to bisunya. Siapa duga sikap Lenghou Tiong tetap tenang-tenang saja dan tak ambil peduli, hal
ini berbalik di luar dugaannya.
Segera Lo Thau-cu bertanya, “Aku akan menusuk ulu hatimu dan mengambil darahmu untuk mengobati
putriku, kau takut atau tidak?”
“Kenapa mesti takut?” sahut Lenghou Tiong dengan hambar saja.
Lo Thau-cu coba mengamat-amati Lenghou Tiong, benar juga dilihatnya sikapnya tenang saja tanpa gentar, ia
rada heran. Tanyanya pula, “Sekali kutusuk ulu hatimu, seketika jiwamu melayang. Sudah kukatakan di muka,
nanti jangan menyalahkan aku.”
Lenghou Tiong tersenyum pula, sahutnya, “Setiap orang akhirnya toh mesti mati, mati lebih cepat beberapa
tahun atau mati lebih lambat beberapa tahun apa sih bedanya? Jika darahku dapat menolong jiwa nona itulah
sangat bagus daripada aku mati percuma tanpa berfaedah bagi siapa pun.”
“Sungguh hebat!” puji Lo Thau-cu sambil mengacungkan jari jempolnya. “Kesatria yang tidak gentar mati
seperti dirimu jarang sekali kutemukan selama hidupku ini. Sayang putriku terpaksa harus minum darahmu
supaya bisa sembuh, kalau tidak sungguh aku ingin mengampunimu saja.”
Segera ia menuju ke dapur dan membawa datang sebuah baskom air panas yang masih mendidih. Tangan
kanannya lantas memegang sebilah belati, tangan kiri mengambil sepotong handuk kecil, ia basahi dengan air
panas itu, belati lantas ditempelkan di depan ulu hati Lenghou Tiong.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seruan Coh Jian-jiu di luar, “Lo Thau-cu! Lo Thau-cu! Lekas
membuka pintu lekas! Aku membawa suatu barang baik untuk nona Siau Ih.”
Lo Thau-cu tampak mengerut kening, sekali belatinya menggores, ia potong handuk kecil tadi menjadi dua,
satu potong dijejalkan ke mulut Lenghou Tiong agar tidak dapat bersuara, lalu serunya, “Barang baik apa yang
kau maksudkan?”
Sembari bicara ia lantas menaruh belatinya, kemudian lari keluar untuk membuka pintu dan menyilakan Coh
Jian-jiu masuk ke dalam rumah.
Terdengar Coh Jian-jiu berkata pula, “Lo Thau-cu, cara bagaimana kau akan berterima kasih padaku dalam
urusan ini? Karena urusannya terlalu mendesak, seketika aku tak bisa bertemu denganmu, terpaksa aku ambil
Siok-beng-wanmu tanpa permisi dan menipu dia untuk meminumnya semua. Jika kau sendiri mengetahui
persoalannya tentu kau pun akan mengantar sendiri obatmu kepadanya, tapi belum tentu dia mau
meminumnya begitu saja.”
Dengan gusar Lo Thau-cu mengomel, “Ngaco ....”
Tapi Coh Jian-jiu lantas menempelkan mulutnya ke tepi telinga Lo Thau-cu dan berbisik-bisik padanya beberapa
patah kata. Habis itu sekonyong-konyong Lo Thau-cu melonjak kaget, teriaknya, “Apa betul demikian? Kau ...
kau tidak mendustai aku?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Buat apa aku dusta?” sahut Coh Jian-jiu. “Sebelumnya aku sudah mencari tahu, setelah yakin dan pasti baru
kukerjakan. Lo Thau-cu, kita adalah sahabat berpuluh tahun, kita sama-sama tahu perasaan masing-masing.
Urusan yang telah kukerjakan ini cocok dengan perasaanmu atau tidak?”
“Betul, betul! Kurang ajar, kurang ajar!” sahut Lo Thau-cu.
“He, kenapa sudah betul kok kurang ajar lagi?” tanya Coh Jian-jiu terheran-heran.
“Kau yang betul dan aku yang kurang ajar!” sahut Lo Thau-cu.
Tanpa bicara Lo Thau-cu lantas menyeret Coh Jian-jiu masuk ke kamar putrinya, segera ia menjura dan
menyembah kepada Lenghou Tiong, katanya, “Lenghou-kongcu, Lenghou-tayjin, Lenghou-siauya, hamba telah
berbuat salah besar dan membikin susah padamu. Untung Thian Maha Pengasih, Coh Jian-jiu keburu tiba, kalau
tidak, bila aku telanjur menubles hulu hatimu, biarpun aku dihukum gantung juga belum cukup untuk menebus
dosaku ini.”
Mulut Lenghou Tiong masih tersumbat, maka dia tidak dapat membuka suara. Syukur Coh Jian-jiu cukup teliti,
segera ia mengorek keluar kain penyumbat mulut itu dan bertanya, “Lenghou-kongcu, mengapa engkau berada
di sini?”
“He, Locianpwe silakan lekas bangun, penghormatan setinggi ini aku tak berani menerimanya,” seru Lenghou
Tiong.
Lo Thau-cu berkata pula, “Aku tidak tahu kalau Lenghou-kongcu mempunyai hubungan serapat ini dengan tuan
penolongku yang paling berbudi sehingga telah banyak membikin susah padamu, ai, benar-benar kurang ajar
aku ini dan pantas dihukum mampus. Seumpama aku mempunyai seratus orang putri dan harus mati
semuanya juga aku tak berani minta pengaliran darah Lenghou-kongcu sedikit pun untuk menolong jiwa
mereka.”
Coh Jian-jiu masih belum paham duduknya perkara, dengan mata terbelalak ia tanya, “Lo Thau-cu, apa
maksudmu kau meringkus Lenghou-kongcu di atas kursi ini?”
“Ai, pendek kata akulah yang salah, harap saja kau jangan tanya lebih jauh,” sahut Lo Thau-cu dengan
menyesal.
“Dan belati ini serta air panas di dalam baskom ini akan digunakan untuk apa?” tanya pula Jian-jiu.
Mendadak terdengar suara “plak-plok” berulang-ulang, Lo Thau-cu telah menggampar pipinya sendiri beberapa
kali sehingga mukanya yang memang sudah gemuk bulat itu tambah bengkak melembung.
“Ya, aku pun tidak paham duduknya perkara dan masih bingung, diharap kedua Cianpwe sudi memberi
penjelasan,” kata Lenghou Tiong.
Lekas-lekas Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu melepaskan tali pengikatnya dan berkata, “Marilah kita sambil minum
arak sembari bicara.”
“Apakah penyakit putrimu takkan berubah gawat?” tanya Lenghou Tiong sambil memandang sekejap kepada si
nona yang terbaring di tempat tidurnya itu.
“Tidak, takkan berubah,” sahut Lo Thau-cu. “Seumpama akan berubah gawat juga ... ai, apa mau dikata lagi
....”
Begitulah Lo Thau-cu menyilakan Lenghou Tiong dan Coh Jian-jiu ke ruangan tamu, ia menuang tiga mangkuk
arak dan menyiapkan pula sedikit makanan sebangsa kacang goreng dan lain-lain sebagai teman arak. Dengan
penuh hormat ia angkat mangkuknya untuk ajak minum Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong coba menghirup seceguk, ia merasa arak itu kurang keras dan hambar, bedanya seperti langit
dan bumi dengan ke-16 guci arak di perahunya itu. Tapi kalau dibandingkan kedelapan cawan arak yang
disuguhkan Coh Jian-jiu itu rasanya jauh lebih sedap.
“Lenghou-kongcu, aku sudah tua bangka dan telah membikin susah padamu, ai, sungguh ... sungguh ....”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
begitulah Lo Thau-cu masih merasa menyesal, wajahnya tampak gugup dan entah apa yang harus
diucapkannya baru dapat menggambarkan rasa menyesalnya itu.
“Lenghou-kongcu yang berjiwa besar tentu takkan menyalahkan dirimu,” ujar Coh Jian-jiu. “Pula kau punya
Siok-beng-wan itu jika benar-benar ada khasiatnya dan berfaedah bagi kesehatan Lenghou-kongcu, tentu kau
berbalik akan berjasa malah.”
“Tentang ... tentang jasa segala aku tidak berani terima,” sahut Lo Thau-cu. “Coh-hiante, adalah jasamu yang
paling besar.”
“Aku telah mengambil obatmu, mungkin akan mengganggu kesehatan nona Siau Ih,” kata Coh Jian-jiu dengan
tertawa. “Ini ada sedikit jinsom, boleh minumkan padanya sekadar menguatkan badannya.”
Habis berkata ia lantas mengambil sebuah bakul bambu yang dibawanya, dari dalam bakul dikeluarkannya
beberapa batang jinsom yang beratnya ada sepuluhan kati.
“Wah, dari mana kau memperoleh jinsom sebanyak ini?” tanya Lo Thau-cu.
“Sudah tentu kupinjam dari toko obat,” sahut Coh Jian-jiu dengan tertawa.
Lo Thau-cu ikut terbahak-bahak, katanya, “Ada ubi ada talas, pinjaman ini entah kapan baru bisa dibalas.”
Walaupun si buntak tertawa-tawa, tapi di antara mata alisnya tertampak rasa sedih.
Lenghou Tiong lantas berkata, “Lo-siansing dan Coh-siansing, kalian masing-masing telah menipu aku,
kemudian menculik dan meringkus aku di sini, semuanya ini sesungguhnya terlalu memandang enteng
padaku.”
“Ya, ya, memang kami berdua tua bangka ini pantas dihukum mati, entah cara bagaimana Lenghou kongcu
akan menjatuhkan hukuman, sedikit pun kami tak berani mengelak,” sahut Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu
berbareng.
“Baik, ada sesuatu yang aku merasa tidak mengerti, kuharap kalian suka menjawab terus terang,” kata
Lenghou Tiong. “Aku ingin tanya, kalian segan kepada siapakah sehingga kalian demikian menghormat
padaku?”
Kedua kakek itu saling pandang sekejap, lalu Coh Jian-jiu menjawab, “Lenghou-kongcu tentu sudah tahu di
dalam batin, tentang nama tokoh itu, harap maaf, kami tak berani menyebutnya.”
“Tapi aku benar-benar tidak tahu,” kata Lenghou Tiong. Diam-diam ia pun menimbang-nimbang siapakah tokoh
yang dimaksudkan itu? Apakah Hong-thaysiokco? Atau Put-kay Taysu? Atau Dian Pek-kong? Atau Lik-tiok-ong?
Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam rasanya toh bukan.
“Lenghou-kongcu,” kata Coh Jian-jiu kemudian. “Pertanyaanmu ini sekali-kali kami tidak berani memberi
jawaban, biarpun kau bunuh kami juga takkan kami katakan. Toh di dalam batin Kongcuya sendiri sudah tahu,
buat apa mesti minta kami menyebut namanya?”
Melihat ucapan mereka sangat pasti, agaknya susah disuruh mengaku biarpun dipaksa, terpaksa Lenghou Tiong
berkata, “Baiklah, kalian tidak mau mengatakan, tentu rasa mendongkolku juga sukar dilenyapkan. Losiansing,
kau telah mengikat aku di atas kursi sehingga aku ketakutan setengah mati, sekarang aku pun ingin
balas mengikat kalian di kursi, boleh jadi aku masih belum puas dan akan mengorek keluar hati kalian dengan
belati.”
Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu saling pandang sekejap, kata mereka kemudian, “Jika Lenghou-kongcu ingin
meringkus kami, sudah tentu kami tidak berani melawan.”
Segera Lo Thau-cu mengambilkan dua buah kursi dan beberapa utas tambang. Di dalam batin mereka tidak
percaya Lenghou Tiong berniat meringkus mereka secara sungguh-sungguh, besar kemungkinan cuma
bergurau saja.
Tak terduga Lenghou Tiong benar-benar lantas mengambil tali terus mengikat tangan mereka dengan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menelikungnya ke belakang sandaran kursi. Lalu ia pegang belati milik Lo Thau-cu tadi, katanya, “Tenaga
dalamku sudah punah, aku tak bisa menutuk kalian dengan jari tangan, terpaksa aku menggunakan gagang
belati ini untuk menutuk Hiat-to kalian.”
Habis itu ia lantas membalik belati yang dipegangnya itu, dengan gagang belati ia ketuk beberapa Hiat-to
tertentu di atas tubuh kedua kakek itu sehingga tak bisa bergerak.
Keruan Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu saling pandang dengan heran, tanpa merasa timbul juga rasa khawatir
mereka karena tidak tahu apa maksud tujuan Lenghou Tiong yang sebenarnya.
“Hendaknya kalian tunggu sebentar di sini,” demikian Lenghou Tiong berkata, lalu putar tubuh dan melangkah
keluar ruangan tamu.
Dengan membawa belati Lenghou Tiong menuju ke kamar putri Lo Thau-cu, setiba di luar kamar, ia berdehem
dulu, lalu berkata, “Nona ... nona Siau Ih, bagaimana keadaanmu.”
Semula Lenghou Tiong bermaksud memanggilnya “nona Lo”, tapi ini berarti “nona tua” dan tidak pantas bagi
gadis yang masih muda belia, maka dia lantas memanggil namanya seperti apa yang didengarnya dari
panggilan Coh Jian-jiu tadi.
Maka terdengar nona Siau Ih hanya bersuara “Ehmmm” dan tidak menjawab.
Perlahan Lenghou Tiong menyingkap tirai pintu kamar dan melangkah masuk. Terlihat nona itu masih tetap
duduk bersandar di atas bantal, kedua mata sedikit terbuka dan seperti orang baru bangun tidur.
Lenghou Tiong melangkah lebih dekat, tertampak kulit muka si nona putih halus laksana kaca sehingga otototot
hijau di dalam daging kelihatan jelas. Keadaan nona itu agaknya sangat payah, tampaknya lebih banyak
mengembuskan napas daripada menyedot hawa segar.
“Nona ini mestinya dapat diselamatkan, tapi obatnya telah telanjur kumakan sehingga membikin susah
padanya. Aku sendiri toh sudah pasti akan mati, bisa hidup lebih lama beberapa hari atau tidak toh tiada
bedanya bagiku,” demikian pikir Lenghou Tiong sambil menghela napas panjang.
Segera ia ambil sebuah mangkuk porselen, ia taruh di atas meja, lalu belati digunakan untuk memotong nadi
pergelangan tangan kiri, seketika darah bercucuran dan mengalir ke dalam mangkuk. Ia lihat air mendidih yang
disiapkan Lo Thau-cu tadi masih mengepulkan asap panas, segera ia taruh belatinya, tangannya dicelup ke
dalam air panas itu, lalu diusapkan pada luka pergelangan tangan kiri agar darah di tempat luka itu tidak lekas
membeku. Maka hanya sebentar saja mangkuk porselen itu sudah hampir diisi dengan darah segar.
Dalam keadaan sadar tak sadar nona Siau Ih mencium bau anyirnya darah, ia membuka mata, melihat darah
mengucur dari pergelangan tangan Lenghou Tiong, sakit kagetnya ia sampai menjerit.
Mendengar suara jeritan Siau Ih itu, Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu yang terikat di ruang tamu sana saling
pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Lenghou Tiong atas diri gadis itu.
Di dalam hati kedua orang ada dugaan tertentu, tapi keduanya sama-sama tidak berani mengemukakan
perasaannya lebih dahulu.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah penuh mengisi mangkuk tadi dengan darahnya, segera ia membawa
darah itu ke hadapan Siau Ih dan berkata, “Lekas kau minum, di dalam darah ini mengandung obat mujarab
yang dapat menyembuhkan penyakitmu.”
“Ti ... tidak, aku ... aku takut, aku tidak mau minum,” sahut Siau Ih.
Sesudah mengalirkan darah semangkuk, rasa badan Lenghou Tiong menjadi enteng dan kaki tangannya lemas.
Jika si nona tak mau minum darah itu kan sia-sia saja pengorbanannya?
Maka ia coba menggertaknya, dengan belati terhunus ia membentaknya, “Kau mau minum tidak? Jika tidak,
segera kutikam mati kau?”
Menyusul ujung belatinya ia ancam di tenggorokan si nona.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Siau Ih menjadi takut, terpaksa membuka mulut dan menghirup darah di dalam mangkuk itu. Beberapa kali ia
merasa mual dan hendak muntah, tapi demi melihat ujung belati yang mengilap itu, dalam takutnya hilanglah
rasa mualnya.
Setelah habis darah semangkuk itu, Lenghou Tiong melihat luka pada pergelangan tangan sendiri itu sudah
membeku, darah tidak menetes keluar lagi. Ia pikir kadar obat Siok-beng-wan yang tercampur dalam darah
yang diminumkan kepada Siau Ih itu tentu terlalu sedikit dan tak berguna, rasanya harus mencekoki si nona
beberapa mangkuk lagi, sampai diri sendiri lemas dan tak bisa berkutik barulah jadi.
Segera Lenghou Tiong memotong pula nadi pergelangan kanan dan mencurahkan darahnya untuk mencekoki
Siau Ih.
“Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak ... tidak sanggup lagi,” kata Siau Ih sambil mengerut kening.
“Sanggup atau tidak sanggup harus kau minum lekas!” kata Lenghou Tiong.
“Ken ... kenapa engkau berbuat begini? Cara ... cara demikian kan merugikan badanmu sendiri?” ujar Siau Ih.
“Merugikan badanku tidak menjadi soal, aku hanya ingin kau sembuh,” sahut Lenghou Tiong sambil tersenyum
getir.
Di sebelah sana Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian yang kena dijaring oleh Lo Thau-cu tadi sudah kehabisan akal
karena semakin mereka meronta semakin kencang pula jaring itu menyurut, sampai akhirnya kedua orang tak
bisa berkutik lagi. Namun mata telinga mereka tetap tidak mau menganggur dan masih saling berdebat.
Waktu Lenghou Tiong mengikat Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu di kursi, semula Tho-ki-sian mengira pemuda itu
pasti akan membunuh kedua kakek itu, sedang Tho-sit-sian percaya dia pasti akan membebaskan mereka
berdua yang terjebak itu. Tak terduga percuma saja mereka berdebat setengah harian, sama sekali Lenghou
Tiong tidak urus mereka sebaliknya masuk ke kamar Siau Ih.
Karena kamar Siau Ih itu ditutup dengan rapat, sampai celah-celah jendela pun dilem dengan kertas sehingga
percakapan Lenghou Tiong dan Siau Ih sayup-sayup hanya dapat terdengar sebagian.
Tho-ki-sian, Tho-sit-sian, Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu serta Gak Put-kun yang sedang mengintip di luar itu
semuanya memiliki Lwekang sangat tinggi, tapi apa yang dilakukan Lenghou Tiong di dalam kamar Siau Ih,
mereka hanya dapat menduga-duga menurut jalan pikirannya masing-masing.
Ketika mendadak terdengar jeritan Siau Ih, wajah kelima orang itu sama berubah semua.
Tho-ki-sian berkata, “Seorang pemuda seperti Lenghou Tiong itu, untuk apa dia masuk ke kamar anak gadis
orang?”
“Coba dengar,” sahut Tho-sit-sian. “Nona itu agak sangat takut, dia sedang meratap, ‘Aku ... takut!’ Wah,
Lenghou Tiong lagi mengancam akan membunuhnya, katanya, ‘Jika kau tidak mau ....’ Tidak mau apa
maksudnya?”
“Apa lagi? Sudah tentu dia sedang memaksa nona itu menjadi istrinya,” ujar Tho-ki-sian.
“Hahaha! Sungguh menggelikan!” Tho-sit-sian terbahak-bahak. “Putri si buntak yang berpotongan buah
semangka itu dengan sendirinya juga pendek gemuk bulat seperti bola, mengapa Lenghou Tiong paksa
memperistrikan dia?”
“Ah, masakan apa pun, setiap orang mempunyai selera dan kesukaan sendiri-sendiri. Boleh jadi Lenghou Tiong
itu paling suka pada wanita gemuk buntak, maka begitu melihatnya semangatnya lantas terbang ke awangawang,”
demikian kata Tho-ki-sian.
“He, coba dengarkan!” bisik Tho-sit-sian. “Nona gemuk itu sedang minta ampun, katanya, ‘Janganlah kau
paksa aku, aku benar-benar tidak sanggup lagi.’”
“Ya, agaknya Lenghou Tiong itu benar-benar pemuda mahaperkasa, katanya, ‘Sanggup atau tidak sanggup
juga harus lekas, lekas!’”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Lekas? Apa maksudnya Lenghou Tiong suruh dia lekas?” tanya Tho-sit-sian.
“Kau tidak pernah beristri, masih jejaka, sudah tentu kau tidak paham,” kata Tho-ki-sian.
“Memangnya kau sendiri pernah beristri? Huh, tidak tahu malu!” jawab Tho-sit-sian. Habis itu ia lantas
berteriak-teriak, “He, hei! Lo Thau-cu. Lenghou Tiong sedang memaksa putrimu untuk menjadi istrinya,
mengapa kau diam-diam saja tanpa memberi pertolongan?”
Meskipun tubuh Tho-sit-sian tak bisa berkutik, tapi mulutnya tetap tidak mau menganggur, terus-menerus ia
berdebat dengan Tho-ki-sian, katanya, “Toako dan lain-lain tidak ada di sini, biarpun kau dapat menyusul si
buntak juga tak bisa mengapa-apakan dia. Jika tak mampu mengapa-apakan dia, kau bilang akan mengudak
dia sampai ke mana pun kan hanya gertak sambal belaka?”
“Walaupun cuma gertak sambal juga ada faedahnya untuk menggertak musuh daripada tidak berbuat apaapa,”
ujar Tho-ki-sian.
Ginkang Tho-ki-sian benar-benar hebat, tenaga dalamnya juga sangat kuat, biarpun membawa beban satu
orang sambil mulut mencerocos, tapi kecepatan larinya tak pernah kendur.
Diam-diam Gak Put-kun terperanjat. Ia tidak tahu dari golongan manakah kepandaian keenam manusia kosen
itu? Untung mereka suka angin-anginan, tingkah lakunya rada dogol, kalau tidak tentu akan merupakan musuh
yang sukar dilayani.
Begitulah tiga orang itu kejar-mengejar dengan cepat menuju ke arah timur laut. Jalanan makin lama makin
terjal, nyata mereka sedang mendaki jalan pegunungan.
Mendadak Gak Put-kun teringat, “Jangan-jangan si buntak itu menyembunyikan bala bantuan lihai di lembah
pegunungan ini untuk memancing kedatanganku? Jika demikian sungguh teramat bahaya jika aku masuk
perangkapnya.”
Selagi ia merandek untuk memikir, tertampak si buntak yang membawa lari Lenghou Tiong itu telah menuju ke
suatu rumah genting di lereng gunung sana, sesudah dekat ia terus melompat masuk ke halaman rumah itu
dengan melintasi pagar tembok.
Kelihatan Tho-ki-sian yang memondong Tho-sit-sian itu juga lantas melompati pagar tembok. Tapi mendadak
terdengar suara jeritannya, nyata dia telah masuk perangkap yang terpasang di balik pagar tembok.
Gak Put-kun juga sudah mengejar sampai di tepi pagar tembok itu, tapi ia lantas berhenti dan pasang kuping.
Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, “Sudah lama kukatakan padamu agar hati-hati, coba sekarang kau
kena diringkus orang di dalam jaring sehingga mirip seekor ikan, sungguh sialan.”
“Pertama, bukan seekor, tapi dua ekor ikan. Kedua, kapan kau pernah menyuruh aku berhati-hati?” demikian
sahut Tho-ki-sian.
“Eh, dahulu waktu kecil, ketika kita pergi mencuri buah mangga orang yang pohonnya berada di halaman
rumah, bukankah pernah kusuruh kau berhati-hati? Masakah kau sudah lupa?”
“Itu kan dahulu, kejadian 40 tahun yang lalu ada sangkut paut apa dengan kejadian sekarang ini?” sahut Thoki-
sian.
“Sudah tentu ada sangkut pautnya,” Tho-sit-sian. “Karena dahulu kau kurang hati-hati sehingga terperosot
jatuh dan ditangkap orang dan dihajar. Untung Toako, Jiko dan lain-lain keburu datang menolong dan
membunuh habis keluarga orang itu. Sekarang kau kurang hati-hati lagi dan kembali tertangkap pula.”
“Kenapa mesti khawatir, paling-paling Toako dan lain-lain memburu tiba dan membunuh habis pula segenap
keluarga orang ini,” kata Tho-ki-sian.
“Hm,” terdengar si buntak mendengus. “Kematian kalian sudah di depan mata, masih berani mengigau akan
membunuh orang segala. Lebih baik tutup mulut kalian supaya telingaku tidak panas.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lalu terdengar Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian bersuara bertahan. Agaknya si buntak telah menyumbat sesuatu di
mulut kedua orang itu sehingga tidak mampu membuka suara.
Gak Put-kun pasang kuping pula sejenak, tapi tidak mendengar sesuatu suara. Ia coba mengitar ke belakang
sana, tertampak di luar pekarangan tumbuh satu pohon besar. Ia memanjat pohon itu dan memandang ke
dalam. Kiranya di dalam situ adalah sebuah rumah genting yang kecil, kira-kira dua-tiga meter jaraknya
dengan pagar tembok dan rumah itu tentu ada perangkapnya.
Maka ia sengaja sembunyi di atas pohon yang tertutup oleh daun lebat, ia kerahkan Ci-he-sin-kang untuk
mendengarkan. Terdengarlah suara si buntak sedang bertanya, “Sesungguhnya Coh Jian-jiu si tua bangka itu
ada hubungan apa dengan dirimu?”
“Baru pertama kali ini aku melihat orang seperti Coh Jian-jiu itu, maka tak dapat dikatakan ada hubungan apa,”
demikian suara Lenghou Tiong sedang menjawab.
“Urusan sudah begini dan kau masih berdusta,” seru si buntak dengan gusar, “Apa kau tidak tahu bahwa sekali
sudah jatuh dalam cengkeramanku, maka kau pasti akan mati dengan mengerikan.”
“Aku tahu engkau tentu sangat marah karena obatmu yang katanya mujarab itu telah kumakan tanpa
sengaja,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Tapi rasanya obatmu itu toh tiada tampak khasiatnya, sudah
sekian lamanya kuminum obatmu itu namun sedikit pun aku tidak merasakan apa-apa.”
“Memangnya kau kira begitu cepat akan tampak khasiatnya?” kata si buntak dengan gusar. “Datangnya
penyakit biasanya mendadak, sembuhnya penyakit justru sedikit demi sedikit. Khasiatnya obat itu baru dapat
tampak sesudah tiga hari nanti.”
“Baiklah, jika kau mau membunuh aku boleh silakan, toh aku tak bertenaga dan tak mampu melawan,” kata
Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Hm, kau ingin mati dengan enak, jangan harap. Aku harus menanyai lebih dulu,” damprat si buntak. “Keparat,
Coh Jian-jiu adalah kawanku selama beberapa puluh tahun, sekarang ternyata mengkhianati kawan sendiri,
tentu dalam hal ini ada sebab-sebabnya. Hoa-san-pay kalian tidak laku sepeser pun bagi penilaian ‘Hongho Locoh’
kami, sudah tentu bukan lantaran kau adalah murid Hoa-san-pay sehingga dia perlu mencuri aku punya
Siok-beng-wan untuk diminumkan padamu. Ai, sungguh aneh bin ajaib, ajaib binti heran!”
“O, kiranya julukanmu adalah ‘Hongho Lo-coh’ maafkan kalau aku berlaku kurang hormat,” kata Lenghou
Tiong.
“Ngaco-belo,” semprot si buntak dengan marah. “Seorang diri mana aku dapat menjadi Hongho Lo-coh?”
“He, mengapa tidak dapat?” tanya Lenghou Tiong heran.
“Hongho Lo-coh terdiri dari dua orang, yang satu she Lo, yang lain she Coh, masakah begini saja tidak paham,
sungguh goblok,” omel si buntak. “Coh Cong, Coh Jian-jiu she Coh, aku Lo Ya, Lo Thau-cu she Lo, kami berdua
bersemayam di sepanjang lembah Hongho, maka kami disebut sebagai Hongho Lo-coh.”
“Aneh, mengapa yang seorang bernama Lo Ya (tuan besar) dan yang lain bernama Coh (kakek moyang)?”
tanya Lenghou Tiong.
“Kau sendiri masih hijau seperti katak dalam tempurung dan tidak tahu bahwa di dunia ini ada orang she Lo
dan she Coh,” kata si buntak. “Aku sendiri she Lo (tua) bernama Ya (tua) alias Thau-cu (kakek), atau Lo Thaucu
(kakek tua) ....”
Saking gelinya Lenghou Tiong mengakak tawa, katanya, “Jika demikian, Coh Jian-jiu itu she Coh bernama Cong
(nenek moyang)?”
“Memang begitulah,” sahut si buntak alias Lo Thau-cu. Setelah merandek sejenak lalu ia berkata pula, “Eh, kau
tidak kenal nama Coh Jian-jiu, jika begitu boleh jadi kau memang tiada hubungan keluarga apa-apa dengan
dia. Tapi, ai, salah. Apa kau bukan anaknya Coh Jian-jiu?”
Lenghou Tiong tambah geli, sahutnya, “Cara bagaimana aku bisa menjadi anaknya? Dia she Coh, aku she
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou, mana dapat keduanya dihubung-hubungkan?”
“Sungguh aneh,” demikian Lo Thau-cu bergumam sendiri. “Dengan susah payah, dengan segala tipu daya
akhirnya baru dapat kuracik delapan biji Siok-beng-wan yang mestinya hendak kugunakan mengobati penyakit
putri mestikaku. Kau bukan anaknya Coh Jian-jiu, mengapa dia sengaja mencuri obat untukmu?”
Mendengar itu barulah Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Katanya, “Kiranya obat Lo-siansing ini akan
digunakan untuk menyembuhkan penyakit putrimu, tetapi keliru kumakan sekarang, sungguh aku merasa tidak
enak hati. Entah penyakit apakah yang diderita putrimu? Mengapa engkau tidak minta pertolongan kepada Satjin-
beng-ih Peng-tayhu untuk mengobatinya?”
“Cis, siapa yang tidak tahu bila sakit harus minta pertolongan kepada Peng It-ci?” semprot Lo Thau-cu. “Dia
menetapkan suatu peraturan setiap orang yang disembuhkan harus membunuh pula seorang sebagai
pengganti nyawa. Aku khawatir dia menolak mengobati putriku, lebih dulu telah kubunuh habis delapan jiwa
keluarga bininya, dengan demikian barulah dia merasa sungkan dan terpaksa memeriksa penyakit putriku.
Menurut kesimpulannya penyakit putriku yang aneh itu sudah ada ketika meninggalkan kandungan ibunya,
maka dia membuka resep obat Siok-beng-wan sebanyak delapan biji pil itu. Kalau tidak, aku sendiri bukan
tabib, dari mana aku paham cara meracik obat segala?”
Cerita si buntak mengherankan Lenghou Tiong, tanyanya pula, “Cianpwe telah minta pertolongan kepada Pengtayhu
untuk mengobati putrimu, tapi mengapa malah membunuh habis seluruh keluarga mertuanya?”
“Kau ini benar-benar sangat goblok, kalau tidak dijelaskan tidak paham,” omel Lo Thau-cu. “Musuh Peng It-ci
sebenarnya tidak banyak, apa lagi beberapa tahun terakhir ini sudah habis dibunuh oleh pasien yang
disembuhkan olehnya. Tapi selama hidup Peng It-ci paling benci kepada ibu mertuanya, soalnya dia takut bini,
dia tidak berani membunuh ibu mertuanya itu, maka akulah yang mewakilkan dia turun tangan. Sesudah aku
membunuh segenap keluarga ibu mertuanya, Peng It-ci sangat senang dan baru mengobati putriku dengan
sesungguh hati.”
“O, kiranya demikian,” kata Lenghou Tiong. “Padahal obatmu yang katanya sangat mustajab itu tidak cocok
bagi penyakitku. Entah bagaimana keadaan penyakit putrimu? Apakah masih keburu bila mengulangi mencari
obat baru?”
Lo Thau-cu menjadi gusar, katanya, “Putriku paling lama hanya tahan hidup setengah atau setahun saja dan
pasti akan mati, masakah sempat untuk mencari obat yang sangat sukar ditemukan itu? Sekarang tiada jalan
lain, terpaksa aku mengobati dia dengan caraku sendiri.”
Segera ia tarik sebuah kursi, ia paksa Lenghou Tiong duduk di situ, ia ambil pula seutas tambang dan mengikat
kaki tangan Lenghou Tiong sekencangnya di kursi. Lalu ia robek baju bagian dada Lenghou Tiong sehingga
kelihatan kulit dadanya yang putih.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Lenghou Tiong.
“Jangan terburu-buru, sebentar lagi kau akan tahu sendiri,” sahut Lo Thau-cu dengan menyeringai. Habis itu ia
terus angkat Lenghou Tiong berikut kursinya dan dibawa ke belakang. Sesudah menyusuri serambi samping,
akhirnya ia menyingkap tirai dan masuk ke sebuah kamar.
Begitu berada dalam kamar itu, Lenghou Tiong lantas merasa sumpek luar biasa. Tertampak celah-celah
jendela kamar itu dilem rapat dengar kertas sehingga kamar itu benar-benar tak tembus angin sedikit pun.
Di dalam kamar ada dua anglo, arangnya tampak membara. Kelambu tempat tidur tampak menjulai. Seluruh
kamar hanya bau obat belaka.
Sesudah menaruh kursi bersama Lenghou Tiong yang terikat kencang di atasnya, si buntak lantas membuka
kelambu, katanya dengan suara lembut, “Anak Ih, bagaimana keadaanmu hari ini?”
Di atas bantal berwarna kuning telur itu tampak berbaring sebuah wajah yang pucat dengan rambut yang
panjang terurai di atas selimut sutra warna kuning gading. Usia nona itu kira-kira baru 17-18 tahun, kedua
matanya terpejam rapat, bulu matanya sangat panjang. Terdengar dia menyapa, “Ayah!” dengan mata tetap
tertutup.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Anak Ih,” kata Lo Thau-cu, “Siok-beng-wan yang kubuatkan untukmu sudah selesai. Hari ini juga boleh
dimakan dan penyakitmu tentu akan segera sembuh, tidak lama kemudian kau pun dapat bangun dan bermain
lagi.”
Nona itu hanya bersuara perlahan sekali, agaknya tidak begitu tertarik akan ucapan sang ayah.
Lenghou Tiong merasa tidak tenteram demi melihat penyakit si nona yang payah itu. Ia dapat mengerti cinta
kasih si buntak terhadap putrinya itu, apa yang diucapkannya tadi agaknya sekadar untuk menghibur putrinya
saja.
Tapi Lo Thau-cu lantas memondong putrinya untuk didudukkan, katanya, “Kau duduk saja agar lebih leluasa
minum obatmu ini. Obat ini tidak mudah diperoleh, jangan kau meremehkannya.”
Perlahan nona itu bangun duduk, Lo Thau-cu mengambilkan dua buah bantal untuk mengganjal punggung
putrinya itu. Waktu nona itu membuka mata, ia menjadi heran demi melihat Lenghou Tiong.
“Ayah, sia ... siapakah dia?” tanyanya kemudian sambil memandang Lenghou Tiong dengan sepasang mata
bola yang hitam guram.
“Dia? O, dia bukan orang, dia adalah obat,” sahut Lo Thau-cu sambil tersenyum.
“Dia adalah obat?” si nona menegas dengan bingung.
“Ya, dia adalah obat,” kata pula Lo Thau-cu. “Pil Siok-beng-wan itu terlalu keras untuk dimakan begitu saja
olehmu, maka lebih dulu dimakan dia, lalu kuambil darahnya untuk diminumkan kepadamu, dengan demikian
barulah cocok.”
“Oo,” hanya sekian saja nona itu bersuara, lalu memejamkan mata pula.
Sudah tentu Lenghou Tiong terkejut dan gusar pula mendengar kata-kata Lo Thau-cu, segera ia bermaksud
memakinya, tapi lantas terpikir olehnya, “Aku telah makan obat mujarab yang mestinya akan digunakan untuk
menolong jiwa nona ini, walaupun tidak sengaja, tapi akulah yang telah membikin susah dia. Apalagi aku
sendiri sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi, jika sekarang darahku digunakan untuk menolong jiwanya
sebagai penebus dosaku, cara ini pun boleh juga.”
Karena itu ia hanya tersenyum pedih saja dan tidak membuka suara.
Lo Thou-cu berdiri di samping Lenghou Tiong, ia sudah siap, begitu Lenghou Tiong berteriak segera akan
menutuk Hiat-to bisunya. Siapa duga sikap Lenghou Tiong tetap tenang-tenang saja dan tak ambil peduli, hal
ini berbalik di luar dugaannya.
Segera Lo Thau-cu bertanya, “Aku akan menusuk ulu hatimu dan mengambil darahmu untuk mengobati
putriku, kau takut atau tidak?”
“Kenapa mesti takut?” sahut Lenghou Tiong dengan hambar saja.
Lo Thau-cu coba mengamat-amati Lenghou Tiong, benar juga dilihatnya sikapnya tenang saja tanpa gentar, ia
rada heran. Tanyanya pula, “Sekali kutusuk ulu hatimu, seketika jiwamu melayang. Sudah kukatakan di muka,
nanti jangan menyalahkan aku.”
Lenghou Tiong tersenyum pula, sahutnya, “Setiap orang akhirnya toh mesti mati, mati lebih cepat beberapa
tahun atau mati lebih lambat beberapa tahun apa sih bedanya? Jika darahku dapat menolong jiwa nona itulah
sangat bagus daripada aku mati percuma tanpa berfaedah bagi siapa pun.”
“Sungguh hebat!” puji Lo Thau-cu sambil mengacungkan jari jempolnya. “Kesatria yang tidak gentar mati
seperti dirimu jarang sekali kutemukan selama hidupku ini. Sayang putriku terpaksa harus minum darahmu
supaya bisa sembuh, kalau tidak sungguh aku ingin mengampunimu saja.”
Segera ia menuju ke dapur dan membawa datang sebuah baskom air panas yang masih mendidih. Tangan
kanannya lantas memegang sebilah belati, tangan kiri mengambil sepotong handuk kecil, ia basahi dengan air
panas itu, belati lantas ditempelkan di depan ulu hati Lenghou Tiong.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seruan Coh Jian-jiu di luar, “Lo Thau-cu! Lo Thau-cu! Lekas
membuka pintu lekas! Aku membawa suatu barang baik untuk nona Siau Ih.”
Lo Thau-cu tampak mengerut kening, sekali belatinya menggores, ia potong handuk kecil tadi menjadi dua,
satu potong dijejalkan ke mulut Lenghou Tiong agar tidak dapat bersuara, lalu serunya, “Barang baik apa yang
kau maksudkan?”
Sembari bicara ia lantas menaruh belatinya, kemudian lari keluar untuk membuka pintu dan menyilakan Coh
Jian-jiu masuk ke dalam rumah.
Terdengar Coh Jian-jiu berkata pula, “Lo Thau-cu, cara bagaimana kau akan berterima kasih padaku dalam
urusan ini? Karena urusannya terlalu mendesak, seketika aku tak bisa bertemu denganmu, terpaksa aku ambil
Siok-beng-wanmu tanpa permisi dan menipu dia untuk meminumnya semua. Jika kau sendiri mengetahui
persoalannya tentu kau pun akan mengantar sendiri obatmu kepadanya, tapi belum tentu dia mau
meminumnya begitu saja.”
Dengan gusar Lo Thau-cu mengomel, “Ngaco ....”
Tapi Coh Jian-jiu lantas menempelkan mulutnya ke tepi telinga Lo Thau-cu dan berbisik-bisik padanya beberapa
patah kata. Habis itu sekonyong-konyong Lo Thau-cu melonjak kaget, teriaknya, “Apa betul demikian? Kau ...
kau tidak mendustai aku?”
“Buat apa aku dusta?” sahut Coh Jian-jiu. “Sebelumnya aku sudah mencari tahu, setelah yakin dan pasti baru
kukerjakan. Lo Thau-cu, kita adalah sahabat berpuluh tahun, kita sama-sama tahu perasaan masing-masing.
Urusan yang telah kukerjakan ini cocok dengan perasaanmu atau tidak?”
“Betul, betul! Kurang ajar, kurang ajar!” sahut Lo Thau-cu.
“He, kenapa sudah betul kok kurang ajar lagi?” tanya Coh Jian-jiu terheran-heran.
“Kau yang betul dan aku yang kurang ajar!” sahut Lo Thau-cu.
Tanpa bicara Lo Thau-cu lantas menyeret Coh Jian-jiu masuk ke kamar putrinya, segera ia menjura dan
menyembah kepada Lenghou Tiong, katanya, “Lenghou-kongcu, Lenghou-tayjin, Lenghou-siauya, hamba telah
berbuat salah besar dan membikin susah padamu. Untung Thian Maha Pengasih, Coh Jian-jiu keburu tiba, kalau
tidak, bila aku telanjur menubles hulu hatimu, biarpun aku dihukum gantung juga belum cukup untuk menebus
dosaku ini.”
Mulut Lenghou Tiong masih tersumbat, maka dia tidak dapat membuka suara. Syukur Coh Jian-jiu cukup teliti,
segera ia mengorek keluar kain penyumbat mulut itu dan bertanya, “Lenghou-kongcu, mengapa engkau berada
di sini?”
“He, Locianpwe silakan lekas bangun, penghormatan setinggi ini aku tak berani menerimanya,” seru Lenghou
Tiong.
Lo Thau-cu berkata pula, “Aku tidak tahu kalau Lenghou-kongcu mempunyai hubungan serapat ini dengan tuan
penolongku yang paling berbudi sehingga telah banyak membikin susah padamu, ai, benar-benar kurang ajar
aku ini dan pantas dihukum mampus. Seumpama aku mempunyai seratus orang putri dan harus mati
semuanya juga aku tak berani minta pengaliran darah Lenghou-kongcu sedikit pun untuk menolong jiwa
mereka.”
Coh Jian-jiu masih belum paham duduknya perkara, dengan mata terbelalak ia tanya, “Lo Thau-cu, apa
maksudmu kau meringkus Lenghou-kongcu di atas kursi ini?”
“Ai, pendek kata akulah yang salah, harap saja kau jangan tanya lebih jauh,” sahut Lo Thau-cu dengan
menyesal.
“Dan belati ini serta air panas di dalam baskom ini akan digunakan untuk apa?” tanya pula Jian-jiu.
Mendadak terdengar suara “plak-plok” berulang-ulang, Lo Thau-cu telah menggampar pipinya sendiri beberapa
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kali sehingga mukanya yang memang sudah gemuk bulat itu tambah bengkak melembung.
“Ya, aku pun tidak paham duduknya perkara dan masih bingung, diharap kedua Cianpwe sudi memberi
penjelasan,” kata Lenghou Tiong.
Lekas-lekas Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu melepaskan tali pengikatnya dan berkata, “Marilah kita sambil minum
arak sembari bicara.”
“Apakah penyakit putrimu takkan berubah gawat?” tanya Lenghou Tiong sambil memandang sekejap kepada si
nona yang terbaring di tempat tidurnya itu.
“Tidak, takkan berubah,” sahut Lo Thau-cu. “Seumpama akan berubah gawat juga ... ai, apa mau dikata lagi
....”
Begitulah Lo Thau-cu menyilakan Lenghou Tiong dan Coh Jian-jiu ke ruangan tamu, ia menuang tiga mangkuk
arak dan menyiapkan pula sedikit makanan sebangsa kacang goreng dan lain-lain sebagai teman arak. Dengan
penuh hormat ia angkat mangkuknya untuk ajak minum Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong coba menghirup seceguk, ia merasa arak itu kurang keras dan hambar, bedanya seperti langit
dan bumi dengan ke-16 guci arak di perahunya itu. Tapi kalau dibandingkan kedelapan cawan arak yang
disuguhkan Coh Jian-jiu itu rasanya jauh lebih sedap.
“Lenghou-kongcu, aku sudah tua bangka dan telah membikin susah padamu, ai, sungguh ... sungguh ....”
begitulah Lo Thau-cu masih merasa menyesal, wajahnya tampak gugup dan entah apa yang harus
diucapkannya baru dapat menggambarkan rasa menyesalnya itu.
“Lenghou-kongcu yang berjiwa besar tentu takkan menyalahkan dirimu,” ujar Coh Jian-jiu. “Pula kau punya
Siok-beng-wan itu jika benar-benar ada khasiatnya dan berfaedah bagi kesehatan Lenghou-kongcu, tentu kau
berbalik akan berjasa malah.”
“Tentang ... tentang jasa segala aku tidak berani terima,” sahut Lo Thau-cu. “Coh-hiante, adalah jasamu yang
paling besar.”
“Aku telah mengambil obatmu, mungkin akan mengganggu kesehatan nona Siau Ih,” kata Coh Jian-jiu dengan
tertawa. “Ini ada sedikit jinsom, boleh minumkan padanya sekadar menguatkan badannya.”
Habis berkata ia lantas mengambil sebuah bakul bambu yang dibawanya, dari dalam bakul dikeluarkannya
beberapa batang jinsom yang beratnya ada sepuluhan kati.
“Wah, dari mana kau memperoleh jinsom sebanyak ini?” tanya Lo Thau-cu.
“Sudah tentu kupinjam dari toko obat,” sahut Coh Jian-jiu dengan tertawa.
Lo Thau-cu ikut terbahak-bahak, katanya, “Ada ubi ada talas, pinjaman ini entah kapan baru bisa dibalas.”
Walaupun si buntak tertawa-tawa, tapi di antara mata alisnya tertampak rasa sedih.
Lenghou Tiong lantas berkata, “Lo-siansing dan Coh-siansing, kalian masing-masing telah menipu aku,
kemudian menculik dan meringkus aku di sini, semuanya ini sesungguhnya terlalu memandang enteng
padaku.”
“Ya, ya, memang kami berdua tua bangka ini pantas dihukum mati, entah cara bagaimana Lenghou kongcu
akan menjatuhkan hukuman, sedikit pun kami tak berani mengelak,” sahut Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu
berbareng.
“Baik, ada sesuatu yang aku merasa tidak mengerti, kuharap kalian suka menjawab terus terang,” kata
Lenghou Tiong. “Aku ingin tanya, kalian segan kepada siapakah sehingga kalian demikian menghormat
padaku?”
Kedua kakek itu saling pandang sekejap, lalu Coh Jian-jiu menjawab, “Lenghou-kongcu tentu sudah tahu di
dalam batin, tentang nama tokoh itu, harap maaf, kami tak berani menyebutnya.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tapi aku benar-benar tidak tahu,” kata Lenghou Tiong. Diam-diam ia pun menimbang-nimbang siapakah tokoh
yang dimaksudkan itu? Apakah Hong-thaysiokco? Atau Put-kay Taysu? Atau Dian Pek-kong? Atau Lik-tiok-ong?
Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam rasanya toh bukan.
“Lenghou-kongcu,” kata Coh Jian-jiu kemudian. “Pertanyaanmu ini sekali-kali kami tidak berani memberi
jawaban, biarpun kau bunuh kami juga takkan kami katakan. Toh di dalam batin Kongcuya sendiri sudah tahu,
buat apa mesti minta kami menyebut namanya?”
Melihat ucapan mereka sangat pasti, agaknya susah disuruh mengaku biarpun dipaksa, terpaksa Lenghou Tiong
berkata, “Baiklah, kalian tidak mau mengatakan, tentu rasa mendongkolku juga sukar dilenyapkan. Losiansing,
kau telah mengikat aku di atas kursi sehingga aku ketakutan setengah mati, sekarang aku pun ingin
balas mengikat kalian di kursi, boleh jadi aku masih belum puas dan akan mengorek keluar hati kalian dengan
belati.”
Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu saling pandang sekejap, kata mereka kemudian, “Jika Lenghou-kongcu ingin
meringkus kami, sudah tentu kami tidak berani melawan.”
Segera Lo Thau-cu mengambilkan dua buah kursi dan beberapa utas tambang. Di dalam batin mereka tidak
percaya Lenghou Tiong berniat meringkus mereka secara sungguh-sungguh, besar kemungkinan cuma
bergurau saja.
Tak terduga Lenghou Tiong benar-benar lantas mengambil tali terus mengikat tangan mereka dengan
menelikungnya ke belakang sandaran kursi. Lalu ia pegang belati milik Lo Thau-cu tadi, katanya, “Tenaga
dalamku sudah punah, aku tak bisa menutuk kalian dengan jari tangan, terpaksa aku menggunakan gagang
belati ini untuk menutuk Hiat-to kalian.”
Habis itu ia lantas membalik belati yang dipegangnya itu, dengan gagang belati ia ketuk beberapa Hiat-to
tertentu di atas tubuh kedua kakek itu sehingga tak bisa bergerak.
Keruan Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu saling pandang dengan heran, tanpa merasa timbul juga rasa khawatir
mereka karena tidak tahu apa maksud tujuan Lenghou Tiong yang sebenarnya.
“Hendaknya kalian tunggu sebentar di sini,” demikian Lenghou Tiong berkata, lalu putar tubuh dan melangkah
keluar ruangan tamu.
Dengan membawa belati Lenghou Tiong menuju ke kamar putri Lo Thau-cu, setiba di luar kamar, ia berdehem
dulu, lalu berkata, “Nona ... nona Siau Ih, bagaimana keadaanmu.”
Semula Lenghou Tiong bermaksud memanggilnya “nona Lo”, tapi ini berarti “nona tua” dan tidak pantas bagi
gadis yang masih muda belia, maka dia lantas memanggil namanya seperti apa yang didengarnya dari
panggilan Coh Jian-jiu tadi.
Maka terdengar nona Siau Ih hanya bersuara “Ehmmm” dan tidak menjawab.
Perlahan Lenghou Tiong menyingkap tirai pintu kamar dan melangkah masuk. Terlihat nona itu masih tetap
duduk bersandar di atas bantal, kedua mata sedikit terbuka dan seperti orang baru bangun tidur.
Lenghou Tiong melangkah lebih dekat, tertampak kulit muka si nona putih halus laksana kaca sehingga otototot
hijau di dalam daging kelihatan jelas. Keadaan nona itu agaknya sangat payah, tampaknya lebih banyak
mengembuskan napas daripada menyedot hawa segar.
“Nona ini mestinya dapat diselamatkan, tapi obatnya telah telanjur kumakan sehingga membikin susah
padanya. Aku sendiri toh sudah pasti akan mati, bisa hidup lebih lama beberapa hari atau tidak toh tiada
bedanya bagiku,” demikian pikir Lenghou Tiong sambil menghela napas panjang.
Segera ia ambil sebuah mangkuk porselen, ia taruh di atas meja, lalu belati digunakan untuk memotong nadi
pergelangan tangan kiri, seketika darah bercucuran dan mengalir ke dalam mangkuk. Ia lihat air mendidih yang
disiapkan Lo Thau-cu tadi masih mengepulkan asap panas, segera ia taruh belatinya, tangannya dicelup ke
dalam air panas itu, lalu diusapkan pada luka pergelangan tangan kiri agar darah di tempat luka itu tidak lekas
membeku. Maka hanya sebentar saja mangkuk porselen itu sudah hampir diisi dengan darah segar.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam keadaan sadar tak sadar nona Siau Ih mencium bau anyirnya darah, ia membuka mata, melihat darah
mengucur dari pergelangan tangan Lenghou Tiong, sakit kagetnya ia sampai menjerit.
Mendengar suara jeritan Siau Ih itu, Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu yang terikat di ruang tamu sana saling
pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Lenghou Tiong atas diri gadis itu.
Di dalam hati kedua orang ada dugaan tertentu, tapi keduanya sama-sama tidak berani mengemukakan
perasaannya lebih dahulu.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah penuh mengisi mangkuk tadi dengan darahnya, segera ia membawa
darah itu ke hadapan Siau Ih dan berkata, “Lekas kau minum, di dalam darah ini mengandung obat mujarab
yang dapat menyembuhkan penyakitmu.”
“Ti ... tidak, aku ... aku takut, aku tidak mau minum,” sahut Siau Ih.
Sesudah mengalirkan darah semangkuk, rasa badan Lenghou Tiong menjadi enteng dan kaki tangannya lemas.
Jika si nona tak mau minum darah itu kan sia-sia saja pengorbanannya?
Maka ia coba menggertaknya, dengan belati terhunus ia membentaknya, “Kau mau minum tidak? Jika tidak,
segera kutikam mati kau?”
Menyusul ujung belatinya ia ancam di tenggorokan si nona.
Siau Ih menjadi takut, terpaksa membuka mulut dan menghirup darah di dalam mangkuk itu. Beberapa kali ia
merasa mual dan hendak muntah, tapi demi melihat ujung belati yang mengilap itu, dalam takutnya hilanglah
rasa mualnya.
Setelah habis darah semangkuk itu, Lenghou Tiong melihat luka pada pergelangan tangan sendiri itu sudah
membeku, darah tidak menetes keluar lagi. Ia pikir kadar obat Siok-beng-wan yang tercampur dalam darah
yang diminumkan kepada Siau Ih itu tentu terlalu sedikit dan tak berguna, rasanya harus mencekoki si nona
beberapa mangkuk lagi, sampai diri sendiri lemas dan tak bisa berkutik barulah jadi.
Segera Lenghou Tiong memotong pula nadi pergelangan kanan dan mencurahkan darahnya untuk mencekoki
Siau Ih.
“Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak ... tidak sanggup lagi,” kata Siau Ih sambil mengerut kening.
“Sanggup atau tidak sanggup harus kau minum lekas!” kata Lenghou Tiong.
“Ken ... kenapa engkau berbuat begini? Cara ... cara demikian kan merugikan badanmu sendiri?” ujar Siau Ih.
“Merugikan badanku tidak menjadi soal, aku hanya ingin kau sembuh,” sahut Lenghou Tiong sambil tersenyum
getir.
Di sebelah sana Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian yang kena dijaring oleh Lo Thau-cu tadi sudah kehabisan akal
karena semakin mereka meronta semakin kencang pula jaring itu menyurut, sampai akhirnya kedua orang tak
bisa berkutik lagi. Namun mata telinga mereka tetap tidak mau menganggur dan masih saling berdebat.
Waktu Lenghou Tiong mengikat Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu di kursi, semula Tho-ki-sian mengira pemuda itu
pasti akan membunuh kedua kakek itu, sedang Tho-sit-sian percaya dia pasti akan membebaskan mereka
berdua yang terjebak itu. Tak terduga percuma saja mereka berdebat setengah harian, sama sekali Lenghou
Tiong tidak urus mereka sebaliknya masuk ke kamar Siau Ih.
Karena kamar Siau Ih itu ditutup dengan rapat, sampai celah-celah jendela pun dilem dengan kertas sehingga
percakapan Lenghou Tiong dan Siau Ih sayup-sayup hanya dapat terdengar sebagian.
Tho-ki-sian, Tho-sit-sian, Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu serta Gak Put-kun yang sedang mengintip di luar itu
semuanya memiliki Lwekang sangat tinggi, tapi apa yang dilakukan Lenghou Tiong di dalam kamar Siau Ih,
mereka hanya dapat menduga-duga menurut jalan pikirannya masing-masing.
Ketika mendadak terdengar jeritan Siau Ih, wajah kelima orang itu sama berubah semua.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tho-ki-sian berkata, “Seorang pemuda seperti Lenghou Tiong itu, untuk apa dia masuk ke kamar anak gadis
orang?”
“Coba dengar,” sahut Tho-sit-sian. “Nona itu agak sangat takut, dia sedang meratap, ‘Aku ... takut!’ Wah,
Lenghou Tiong lagi mengancam akan membunuhnya, katanya, ‘Jika kau tidak mau ....’ Tidak mau apa
maksudnya?”
“Apa lagi? Sudah tentu dia sedang memaksa nona itu menjadi istrinya,” ujar Tho-ki-sian.
“Hahaha! Sungguh menggelikan!” Tho-sit-sian terbahak-bahak. “Putri si buntak yang berpotongan buah
semangka itu dengan sendirinya juga pendek gemuk bulat seperti bola, mengapa Lenghou Tiong paksa
memperistrikan dia?”
“Ah, masakan apa pun, setiap orang mempunyai selera dan kesukaan sendiri-sendiri. Boleh jadi Lenghou Tiong
itu paling suka pada wanita gemuk buntak, maka begitu melihatnya semangatnya lantas terbang ke awangawang,”
demikian kata Tho-ki-sian.
“He, coba dengarkan!” bisik Tho-sit-sian. “Nona gemuk itu sedang minta ampun, katanya, ‘Janganlah kau
paksa aku, aku benar-benar tidak sanggup lagi.’”
“Ya, agaknya Lenghou Tiong itu benar-benar pemuda mahaperkasa, katanya, ‘Sanggup atau tidak sanggup
juga harus lekas, lekas!’”
“Lekas? Apa maksudnya Lenghou Tiong suruh dia lekas?” tanya Tho-sit-sian.
“Kau tidak pernah beristri, masih jejaka, sudah tentu kau tidak paham,” kata Tho-ki-sian.
“Memangnya kau sendiri pernah beristri? Huh, tidak tahu malu!” jawab Tho-sit-sian. Habis itu ia lantas
berteriak-teriak, “He, hei! Lo Thau-cu. Lenghou Tiong sedang memaksa putrimu untuk menjadi istrinya,
mengapa kau diam-diam saja tanpa memberi pertolongan?”
Bab 53. Ya-niau-cu Keh Bu-si si Kokokbeluk
Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu yang diikat di atas kursi, pula hiat-to mereka tertutuk sehingga tak bisa bergerak,
mereka hanya dapat mendengar suara jeritan dan permohonan Siau Ih di dalam kamar, keruan mereka saling
pandang dengan bingung.
Memangnya mereka sudah sangsi, sekarang mendengar pula percakapan Tho-kok-ji-sian itu, Coh Jian-jiu
berulang-ulang geleng-geleng kepala dan Lo Thau-cu merasa malu dan gusar.
“Lo-heng, perbuatan itu harus dicegah, sungguh tidak nyana Lenghou Tiong itu ternyata pemuda bajul, janganjangan
akan menimbulkan gara-gara,” demikian kata Coh Jian-jiu.
“Ai, kalau aku punya Siau Ih yang menjadi korban tidaklah menjadi soal, tapi ... tapi bagaimana harus
bertanggung jawab kepada orang,” kata Lo Thau-cu.
“Coba dengar, agaknya Siau Ih juga telah mencintainya, dia mengatakan, ‘Perbuatanmu ini kan merugikan
kesehatanmu sendiri.’ Dan apa yang dikatakan Lenghou Tiong? Kau dengar tidak?”
“Dia bilang, ‘Kesehatanku tidak menjadi soal asal untuk kebaikanmu!’. Setan alas, kedua bocah itu benar-benar
....”
“Hahahaha!” Coh Jian-jiu bergelak tertawa. “Selamat, selamat!”
“Selamat apa? Selamat nenekmu!” damprat Lo Thau-cu.
“Kenapa kau marah? Aku memberi selamat kepadamu karena mendapat seorang menantu yang baik!” ujar Coh
Jian-jiu.
“Ngaco-belo!” bentak Lo Thau-cu. “Kau jangan sembarangan omong lagi, kalau peristiwa ini sampai tersiar,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
apakah kau kira jiwa kita dapat diselamatkan?”
Ucapan si buntak penuh mengandung nada khawatir dan sangat takut. Cepat Coh Jian-jiu mengiakan juga
dengan suara rada gemetar.
Gak Put-kun yang bersembunyi rada jauh, biarpun ia telah mengerahkan Ci-he-sin-kang juga yang dapat
didengarnya hanya samar-samar saja, maka diam-diam ia pun menyangka Lenghou Tiong benar-benar
melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap si nona. Semula ia bermaksud menerjang ke dalam kamar
untuk mencegah perbuatan muridnya itu, tapi ketika terpikir lagi bahwa orang-orang itu termasuk juga
Lenghou Tiong semuanya penuh rahasia dan mencurigakan, entah tipu muslihat apa yang teratur di balik
kejadian-kejadian selama ini, maka ia merasa lebih baik jangan bertindak secara gegabah. Sedapat mungkin ia
menahan perasaannya dan terus mendengarkan pula.
Tiba-tiba terdengar nona Siau Ih menjerit pula, “Ja ... jangan ... o, darah ... o, kumohon ....”
Pada saat itu pula di luar sana ada orang berseru, “Lo Thau-cu, Tho-kok-si-kui telah kupancing dan
kutinggalkan!”
“Bluk”, tahu-tahu laki-laki yang membawa bendera putih yang menggoda dan dikejar Tho-kok-si-sian itu telah
berdiri di tengah ruangan.
Ketika melihat Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu terikat di atas kursi, orang itu terkejut dan berseru, “He, ken ...
kenapakah kalian?”
Berbareng ia mengeluarkan sebilah belati yang mengilap, hanya beberapa kali gerakan saja ia sudah
memotong putus tali-tali yang mengikat kaki dan tangan kedua kakek itu.
Dalam pada itu terdengar pula jeritan melengking Siau Ih di dalam kamar, “O, kumohon kau jang ... jangan
begitu ....”
Mendengar suara jeritan Siau Ih yang agaknya dalam keadaan gawat, laki-laki itu kaget. “Nona Siau Ih!”
teriaknya sambil berlari ke arah kamar.
Tapi gerak tangan Lo Thau-cu teramat cepat, ia telah pegang lengan laki-laki itu dan membentak, “Jangan
masuk ke sana!”
Laki-laki itu tampak tercengang dan menghentikan langkahnya.
Lalu terdengar Tho-ki-sian mengoceh pula di luar, “Kupikir si buntak tentu girang setengah mati karena bisa
memperoleh menantu setampan Lenghou Tiong itu.”
“Lenghou Tiong sudah hampir mati, apa yang perlu digirangkan kalau mendapatkan menantu dalam keadaan
sudah setengah mati?” ujar Tho-sit-sian.
“Putri si buntak itu pun dalam keadaan sekarat, sepasang suami istri itu menjadi sama-sama setengah mati
dan setengah hidup,” sahut Tho-ki-sian.
“Blung”, mendadak terdengar suara bergedebuk di dalam kamar, suara jatuhnya sesuatu benda berat.
Menyusul Siau Ih menjerit pula, meski lemah suaranya, tapi penuh rasa cemas dan khawatir, “Ayah lekas
kemari, ayah!”
Segera Lo Thau-cu memburu ke dalam kamar, dilihatnya Lenghou Tiong sudah menggeletak di lantai, sebuah
mangkuk tengkurap di atas dadanya, badannya penuh berlumuran darah, Siau Ih sendiri duduk bersandar di
atas ranjang, mulutnya juga berlepotan darah.
Coh Jian-jiu dan laki-laki tadi pun menyusul ke dalam kamar, mereka sebentar-sebentar memandang Lenghou
Tiong dan lain saat memandang Siau Ih dengan rasa heran dan bingung.
“Ayah,” kata Siau Di dengan suara lemah, “orang ini telah memotong nadi sendiri dan mengambil darah, aku di
... dipaksa minum dua mangkuk darahnya dan dia masih ... masih akan ....”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kejut Lo Thau-cu tidak kepalang, cepat ia memayang bangun Lenghou Tiong, dilihatnya nadi pergelangan
tangan kanan pemuda itu masih mengucurkan darah. Segera ia berlari keluar kamar untuk mengambil obat
luka. Walaupun di dalam rumah sendiri, rupanya saking gugupnya sehingga batok kepalanya benjut terbentur
kosen pintu.
Melihat Lo Thau-cu dan lain-lain berlari ke dalam kamar, Tho-ki-sian mengira mereka hendak menghajar
Lenghou Tiong. Segera ia berteriak, “Hei, Lo Thau-cu! Lenghou Tiong adalah sobat baik Tho-kok-lak-sian,
jangan sekali-kali kau memukul dia. Jika terjadi apa-apa atas dirinya tentu kami Tho-kok-lak-sian akan
merobek badanmu seperti membeset daging ayam.”
“Salah, salah besar!” kata Tho-sit-sian.
“Apakah yang salah?” tanya Tho-ki-sian heran.
“Jika dia berbadan kurus, maka dagingnya akan mudah kau robek, tapi jelas dia berbadan gemuk, cara
bagaimana badan yang padat gemuk itu dapat dirobek?” ujar Tho-sit-sian.
Lo Thau-cu tidak ambil pusing terhadap ocehan mereka yang tak keruan juntrungannya itu. Tapi cepat ia
membubuhkan obat di atas luka Lenghou Tiong, lalu mengurut-urut pula beberapa tempat hiat-to di dada dan
di perutnya, tidak lama kemudian mulailah Lenghou Tiong siuman.
“Lenghou-kongcu,” kata Lo Thau-cu dengan perasaan lega, “sungguh kami merasa tidak ... tidak .... Ai, benarbenar
susah untuk kukatakan.”
Segera Coh Jian-jiu ikut bicara, “Lenghou-kongcu, tadi Lo Thau-cu telah mengikat kau, hal ini terjadi karena
salah paham, mengapa engkau anggap sungguh-sungguh sehingga membikin dia merasa berdosa.”
Lenghou Tiong tersenyum, sahutnya, “Penyakitku sesungguhnya tak bisa disembuhkan dengan obat mukjizat
apa pun, maksud baik Coh-locianpwe yang telah mengambil obat Lo-cianpwe untukku, sesungguhnya sangat
sayang obat mujarab itu terbuang sia-sia.”
Bicara sampai di sini, karena terlalu banyak kehilangan darah, ia merasa pusing dan kembali jatuh pingsan
pula.
Cepat Lo Thau-cu memondongnya keluar dan direbahkan di atas tempat tidur di kamarnya sendiri, dengan
sedih ia menggumam, “Wah, bagaimana ini?”
“Lenghou-kongcu terlalu banyak kehilangan darah, mungkin jiwanya terancam bahaya, marilah dengan
sepenuh tenaga kita bertiga lekas kita curahkan tenaga dalam masing-masing ke dalam tubuhnya,” demikian
ajak Coh Jian-jiu.
“Ya, harus begitu,” sahut Lo Thau-cu.
Segera ia mengangkat bangun Lenghou Tiong dengan perlahan, telapak tangan kanan ditempelkan ke
punggung pemuda itu. Tapi baru saja ia mengerahkan tenaga, seketika badannya tergetar. “Krak”, kursi yang
dia duduki itu sampai tergetar hancur.
Rupanya tenaga yang dia kerahkan itu telah menimbulkan daya lawan dari hawa murni Put-kay Hwesio dan
Tho-kok-lak-sian yang mengeram di dalam tubuh Lenghou Tiong itu, keruan Lo Thau-cu tidak sanggup
melawan gabungan tenaga murni ketujuh tokoh.
Terdengar Tho-ki-sian terbahak-bahak di luar, serunya, “Penyakitnya Lenghou Tiong justru timbul karena kami
berenam saudara hendak menyembuhkan dia dengan tenaga murni kami. Sekarang si buntak itu hendak
menirukan cara kita tentu saja penyakit Lenghou Tiong akan tambah parah!”
“Coba dengarkan, suara ‘krak’ tadi pasti hancurnya sesuatu benda karena benturan si buntak yang terpental
oleh getaran tenaga dalam yang mengeram di tubuh Lenghou Tiong itu,” kata Tho-sit-sian. “Aha, si buntak
kembali kecundang lagi oleh Tho-kok-lak-sian kita. Haha, sungguh menggelikan.”
Percakapan Tho-kok-ji-sian itu sangat keras sehingga dapat didengar dengan jelas oleh kedua kakek dari
Hongho dan si lelaki tadi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ah, jika Lenghou-kongcu masih tidak siuman, tiada jalan lain terpaksa aku harus membunuh diri,” kata Lo
Thau-cu dengan menghela napas.
“Nanti dulu,” ujar lelaki itu. Mendadak ia berteriak, “Itu orang yang menongkrong di atas pohon di luar pagar
tembok itu apakah ketua Hoa-san-pay, Gak-siansing adanya?”
Keruan Gak Put-kun terperanjat, hampir-hampir saja ia jatuh terjungkal dari tempat sembunyinya. Jadi
jejaknya sebenarnya sejak tadi sudah diketahui orang.
Terdengar lelaki itu berseru pula, “Gak-siansing adalah tamu yang datang dari tempat jauh, mengapa tidak
masuk kemari untuk beramah tamah?”
Gak Put-kun menjadi serbasusah, kalau masuk ke rumah itu terang tidak menguntungkan, tapi dirinya juga
tidak dapat menongkrong terus di atas pohon.
“Muridmu Lenghou-kongcu dalam keadaan pingsan, silakan Gak-siansing masuk kemari untuk ikut
menjaganya,” seru pula si lelaki.
Terpaksa Gak Put-kun melompat turun, sekali loncat ia tancapkan kakinya di serambi sana. Sementara itu Lo
Thau-cu sudah memapak keluar. Katanya sambil memberi hormat, “Silakan masuk, Gak-siansing.”
“Cayhe mengkhawatirkan keselamatan muridku sehingga kedatanganku ini sangat sembrono,” kata Gak Putkun.
“Ah, semuanya adalah salahku,” ujar Lo Thau-cu. “Jika ... jika ....”
“Kau tidak perlu khawatir,” tiba-tiba Tho-ki-sian berseru, “tidak nanti Lenghou Tiong bisa mati!”
Lo Thau-cu menjadi girang. “Dari mana kau bisa tahu dia takkan mati?” tanyanya.
“Dia jauh lebih muda daripada kau dan juga lebih muda daripadaku, bukan?”
“Benar. Lantas kenapa?” Lo Thau-cu menegas.
“Umumnya orang tua mati lebih dulu atau orang muda mati lebih dulu?” sahut Tho-ki-sian. “Sudah tentu yang
tua mati lebih dulu. Jika demikian, sebelum kau mati dan aku pun belum mati, mengapa Lenghou Tiong bisa
mati?”
Tadinya Lo Thau-cu mengira Tho-ki-sian mempunyai sesuatu resep yang dapat menolong Lenghou Tiong, tak
tahunya hanya ocehan yang tak keruan. Maka dengan menyengir ia tidak gubris orang pula.
Waktu masuk ke dalam kamar Gak Put-kun melihat Lenghou Tiong menggeletak di atas ranjang dan tak
sadarkan diri. Ia membatin, “Jika aku tidak perlihatkan keampuhan Ci-he-sin-kang tentu Hoa-san-pay akan
dipandang rendah oleh orang-orang ini.”
Maka diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti, mukanya menghadap bagian dalam tempat tidur agar warna
ungu yang timbul di wajahnya tidak dilihat orang. Perlahan-lahan ia julurkan telapak tangan ke Tay-cui-hiat di
punggung Lenghou Tiong. Ia sudah mengetahui keadaan hawa murni yang bergolak di dalam tubuh sang
murid, maka ia tidak mengerahkan tenaga sekuatnya, tapi menyalurkan tenaga dengan sedikit demi sedikit,
bila terasa timbul daya lawan dari tubuh Lenghou Tiong segera ia menarik sedikit tangannya, sejenak kemudian
tangannya lantas ditempelkan pula.
Benar juga, tidak lama kemudian Lenghou Tiong tampak mulai siuman. Segera ia berseru, “Suhu, engkau juga
... juga datang kemari!”
Melihat Gak Put-kun dapat menyadarkan Lenghou Tiong dengan sangat gampang, tentu saja Lo Thau-cu sangat
kagum.
Diam-diam Gak Put-kun merasa ada lebih baik cepat meninggalkan tempat yang misteri ini, apalagi ia pun
mengkhawatirkan keadaan sang istri dan para murid yang tertinggal di atas perahu itu. Segera ia memberi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
hormat dan berkata, “Banyak terima kasih atas segala pelayanan kalian terhadap kami guru dan murid.
Sekarang juga biarlah kami mohon diri saja.”
“Ya, ya, kesehatan Lenghou-kongcu terganggu dan kami tak dapat memberi perawatan yang baik, sungguh
kami sangat tidak sopan, harap kalian suka memberi maaf,” kata Lo Thau-cu.
“Jangan sungkan,” sahut Gak Put-kun. Mendadak dilihatnya sepasang mata lelaki tadi bercahaya mengilap.
Tergerak pikirannya. Segera ia bertanya, “Tolong tanya siapakah nama sobat ini yang terhormat.”
“Kiranya Gak-siansing tidak kenal kawan kita Ya-niau-cu Keh Bu-si, si Kucing Malam,” sela Coh Jian-jiu dengan
tertawa.
Terkesiap juga Gak Put-kun. Katanya di dalam hati, “Kiranya orang inilah Ya-niau-cu Keh Bu-si. Nama orang ini
sudah menggetarkan kalangan Kangouw pada 30 tahun yang lalu. Konon dia mempunyai keajaiban
pembawaan, yaitu matanya dapat memandang sesuatu di malam hari sejelas keadaan di siang hari. Tindak
tanduknya tidak menentu, kadang-kadang baik, sering kali juga jahat, dia terkenal sebagai seorang tokoh yang
mahalihai, mengapa bisa berada bersama dengan Lo Thau-cu ini?”
Cepat ia pun memberi hormat dan menyapa, “Sudah lama kudengar nama besar Keh-suhu, sungguh beruntung
hari ini bisa berjumpa di sini.”
Keh Bu-si tersenyum, sahutnya, “Hari ini kita berjumpa di sini, besok kita masih harus bertemu pula di Ngopah-
kang.”
Kembali Gak Put-kun terkesiap. Walaupun orang baru dikenalnya dan tidak pantas mencari tahu sesuatu
kepadanya, tapi diculiknya anak perempuannya yang merupakan darah dagingnya itu mendorongnya dia
membuka suara, “Cayhe tidak tahu di manakah pernah berbuat salah terhadap kawan-kawan Bu-lim di sini.
Boleh jadi lantaran perjalananku ini tidak berkunjung kepada para sobat di wilayah sini dan dianggap kurang
adat, maka putriku dan seorang muridku she Lim telah dibawa oleh salah seorang sobat, untuk ini apakah Kehsiansing
dapat memberi sesuatu petunjuk?”
“O, tentang ini aku tidak jelas,” sahut Keh Bu-si dengan tersenyum.
Sebenarnya Gak Put-kun sudah merasa merendahkan derajatnya sebagai seorang ketua suatu aliran ternama,
sekarang jawaban Keh Bu-si itu ternyata acuh tak acuh, meski ia merasa mendongkol dan cemas pula, tapi
rasanya tak bisa tanya lebih lanjut. Segera ia mohon diri pula, “Sudah lama mengganggu, biarlah sekarang
kami minta diri.”
Ketika hendak memondong Lenghou Tiong, tiba-tiba Lo Thau-cu menyusup ke tengah, ia mendahului Lenghou
Tiong dan berkata, “Akulah yang mengundang Lenghou-kongcu ke sini, sudah seharusnya aku pula yang
mengantarnya pulang.”
Sembari berkata ia pun mengambil sehelai selimut dan ditutupkan di atas badan Lenghou Tiong, habis itu
barulah ia bertindak keluar dengan langkah lebar.
“Hei, hei! Lalu bagaimana dengan kedua ekor ikan besar kami ini? Apakah ditinggalkan begini saja?” teriak
Tho-ki-sian.
Lo Thau-cu merandek. “Tentang kalian ... kukira ....” ia tahu menangkap harimau adalah lebih gampang
daripada melepaskan harimau, jika kedua saudara itu dibebaskan, tentu Tho-kok-lak-sian akan mencari balas
lagi ke tempatnya ini dan tentu akan banyak menimbulkan kesukaran.
Lenghou Tiong tahu pikirannya, katanya, “Lo-cianpwe, silakan kau membebaskan mereka berdua. Dan kalian
Tho-kok-lak-sian selanjutnya janganlah mencari perkara lagi kepada Lo dan Coh berdua Cianpwe, biarlah kedua
pihak dari lawan berubah menjadi kawan.”
“Tidak mencari perkara kepada mereka sih boleh saja,” sahut Tho-sit-sian, “Tapi bicara tentang dari lawan
berubah menjadi kawan, inilah yang tidak bisa jadi, sekali lagi tidak bisa jadi!”
Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu sama mendengus, pikir mereka, “Hm, hanya mengingat kehormatan Lenghoukongcu
maka kami tidak sudi merecoki kalian, memangnya kalian sangka kami takut kepada Tho-kok-lak-sian
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
segala?”
Dalam pada itu Lenghou Tiong telah bertanya, “Apa sebabnya?”
“Habis Tho-kok-lak-sian memangnya tiada punya rasa dendam dan permusuhan apa-apa dengan Hongho Locoh
mereka, hakikatnya kedua pihak bukan musuh dan bukan lawan, dan kalau bukan lawan dari mana bisa
dikatakan mengubah lawan menjadi kawan?”
Mendengar jawaban seenaknya itu bergelak tertawalah semua orang. Segera Coh Jian-jiu membuka ikatan jala
dan melepaskan Tho-ki-sian berdua. Jala itu terbuat dari campuran rambut manusia, sutra pilihan serta benang
emas murni, uletnya luar biasa, senjata yang betapa tajam pun sukar merusaknya, jika orang terjaring,
semakin meronta semakin teringkus kencang.
Sesudah bebas, tanpa bicara lagi Tho-ki-sian terus membuka celana dan mengencingi jala ikan itu.
“He, apa-apaan kau?” tanya Coh Jian-jiu terkesiap.
“Kalau tidak mengencingi jala busuk ini tak terlampias rasa dongkolku,” sahut Tho-ki-sian.
Begitulah beramai-ramai mereka lantas menuju ke tepi sungai. Dari jauh Gak Put-kun melihat Lo Tek-nau dan
Ko Kin-beng berdua dengan senjata terhunus masih menjaga di haluan kapal. Legalah hatinya karena tahu
tidak terjadi apa-apa di atas kapalnya.
Sesudah mengantar Lenghou Tiong sampai di dalam kapal, dengan penuh hormat Lo Thau-cu lalu mohon diri,
“Budi luhur Lenghou-kongcu sudah aku merasa terima kasih tak terhingga. Sementara ini aku mohon diri, tidak
lama lagi tentu dapat berjumpa pula.”
Karena guncangan dalam perjalanan, Lenghou Tiong masih dalam keadaan samar-samar dan hampir-hampir
pingsan pula, maka ia hanya mengiakan dengan suara lemah.
Yang terheran-heran adalah Gak-hujin, sungguh ia tidak mengerti mengapa “si bola daging” yang semula
sangat garang itu ternyata sedemikian hormat dan segan terhadap Lenghou Tiong.
Rupanya khawatir kalau Tho-kin-sian dan lain-lain selekasnya akan pulang, maka Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu
tidak berani tinggal lebih lama di situ, cepat-cepat ia memberi salam kepada Gak Put-kun dan lain-lain, lalu
hendak melangkah pergi.
“Tunggu dulu, Coh-heng!” tiba-tiba Tho-ki-sian berseru.
“Mau apa?” tanya Coh Jian-jiu.
“Mau ini!” sahut Tho-ki-sian. Berbareng dengan badan miring ia terus menyeruduk maju.
Cara menyeruduknya ini teramat aneh dan cepat, jarak kedua orang rada dekat pula dan dilakukan dengan tak
tersangka-sangka, karena tak bisa menghindar lagi, terpaksa Coh Jian-jiu mengerahkan tenaga untuk
menerima serudukan itu. Dalam sekejap saja kekuatan sudah memenuhi pusarnya, perutnya sudah sekeras
baja. Maka terdengarlah suara “brak, brek” yang ramai, suara hancurnya benda-benda pecah belah.
Sedangkan Tho-ki-sian lantas melompat mundur beberapa kaki jauhnya sembari bergelak tertawa.
“Aduh, celaka!” teriak Coh Jian-jiu sambil memasukkan tangan ke dalam bajunya, berbagai potong pecahan
sebangsa porselen, kemala dan sebagainya telah dirogoh keluar. Kiranya puluhan buah cawan arak yang terdiri
dari macam-macam jenis itu telah hancur lebur semua. Keruan rasa sedihnya tak terlukiskan ditambah rasa
murka yang tidak kepalang. Serentak ia menghamburkan pecahan-pecahan beling itu ke arah Tho-ki-sian.
Akan tetapi Tho-ki-sian sudah siap sedia dan dapat mengelakkan serangan itu. Teriaknya, “Lenghou Tiong
suruh kita dari lawan berubah menjadi kawan, apa yang dia katakan harus kita turut. Maka kita harus menjadi
musuh atau lawan dulu baru kemudian dapat berubah menjadi kawan.”
Berbagai jenis cawan arak mestika yang telah dikumpulkannya dengan susah payah selama hidupnya ini
sekaligus telah dihancurkan oleh Tho-ki-sian, keruan gusar Coh Jian-jiu sukar dilukiskan. Sebenarnya dia akan
menyerang lebih lanjut, tapi demi mendengar ucapan Tho-ki-sian itu segera ia menghentikan tindakannya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Terpaksa ia menjawab dengan menyeringai, “Ya, benar dari lawan berubah menjadi kawan!”
Habis itu bersama Lo Thau-cu dan Keh Bu-si mereka pun bertindak pergi.
Dalam keadaan sadar tak sadar Lenghou Tiong masih mengkhawatirkan keselamatannya Gak Leng-sian, ia
masih sempat berkata, “Tho-ki-sian, harap kau minta mereka jangan ... jangan mengganggu Sumoayku.”
“Baik,” sahut Tho-ki-sian. Lalu ia berseru keras-keras, “Hai, hai! Sobat-sobat Lo Thau-cu, Ya-niau-cu dan Coh
Jian-jiu, dengarkan pesan Lenghou Tiong ini, dia suruh kalian jangan mengganggu sumoaynya.”
Sebenarnya Lo Thau-cu bertiga sudah rada jauh jaraknya, tapi demi mendengar seruan Tho-ki-sian itu seketika
mereka berhenti dan tampaknya berunding sejenak, habis itu baru bertindak pergi pula.
Baru saja Gak Put-kun mulai menceritakan pengalamannya kepada sang istri, tiba-tiba terdengar suara orang
ribut di daratan sana. Kiranya Tho-kin-sian berempat sudah pulang.
Mereka berempat terus membual, katanya orang yang membawa bendera putih itu telah kena ditangkap dan
sudah mereka robek menjadi empat potong.
Tho-sit-sian lantas terbahak-bahak, katanya, “Lihai, sungguh kalian sangat lihai!”
Tho-ki-sian juga bicara, “Kalian telah merobek orang itu menjadi empat potong, apakah kalian mengetahui dia
bernama siapa?”
“Dia sudah mati, peduli dia bernama siapa? Memangnya kau sendiri tahu?” sahut Tho-kan-sian.
“Sudah tentu aku tahu,” sahut Tho-ki-sian. “Dia she Keh, bernama Bu-si, dia punya julukan pula, yaitu Ya-niaucu.”
“Wah, jadi dia bernama Keh Bu-si (tak berdaya), rupanya dia sudah tahu sebelumnya bahwa kelak pasti akan
ditangkap oleh Tho-kok-lak-sian dan pasti tak berdaya sama sekali, karena itulah dia memakai nama demikian
itu,” seru Tho-yap-sian.
“Ilmu Ya-niau-cu Keh Bu-si itu benar-benar lain daripada yang lain dan tiada bandingannya di dunia ini,” kata
Tho-sit-sian.
“Memang betul, kepandaiannya yang lihai itu kalau bukan ketemukan Tho-kok-lak-sian, cukup dengan
ginkangnya saja sudah merupakan tokoh kelas satu di dunia persilatan,” timbrung Tho-kin-sian.
“Kalau cukup ginkang saja masih belum apa-apa, yang hebat adalah caranya dia hidup kembali sesudah
badannya dirobek menjadi empat potong, dia dapat menggabungkan kembali potongan-potongan badannya
dan berjalan seperti biasa. Bahkan barusan saja dia masih datang kemari untuk bicara dengan aku,” demikian
kata Tho-sit-sian.
Baru sekarang Tho-kin-sian berempat tahu bahwa obrolan mereka telah terbongkar. Tapi mereka pun tidak
ambil pusing, bahkan pura-pura memperlihatkan air muka terkejut, Tho-hoa-sian malah bertanya, “Hah, jadi
Keh Bu-si itu mempunyai ilmu selihai itu, ini benar-benar luar biasa, makanya menilai orang jangan dilihat dari
mukanya saja.”
Di sebelah sana Gak Put-kun dan istrinya diam-diam sedang bersedih. Putri kesayangan mereka diculik orang,
sampai-sampai siapa pihak lawan pun tidak tahu. Sungguh tidak nyana bahwa nama Hoa-san-pay yang
termasyhur selama beberapa ratus tahun sekarang telah terjungkal habis-habisan di lembah Hongho ini. Tapi
khawatir kalau para muridnya ikut sedih dan takut, maka lahirnya mereka tidak memperlihatkan sesuatu tanda
apa-apa.
Selang agak lama, ketika fajar hampir menyingsing, tiba-tiba terdengar suara ramai orang berjalan di daratan.
Sejenak kemudian tertampak dua buah joli telah diusung sampai di tepi sungai. Tukang joli yang pertama
lantas berseru, “Lenghou-kongcu memberi pesan agar jangan mengganggu nona Gak, tapi majikan kami telah
telanjur berbuat, maka diharap Lenghou-kongcu sudi memberi maaf.”
Dan setelah memberi hormat ke arah perahu, segera empat tukang joli itu meninggalkan kedua buah joli itu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dan melangkah pergi dengan cepat.
“Ayah, ibu!” demikian terdengar suara Leng-sian di dalam joli.
Kejut dan girang pula Gak Put-kun dan istrinya. Cepat ia melompat ke gili-gili dan membuka kerai joli, benar
juga putri kesayangannya duduk dengan baik-baik di dalam joli, hanya hiat-to bagian kakinya tertutuk, maka
tak bisa berjalan. Orang yang duduk di dalam joli lain adalah Lim Peng-ci.
Segera Gak Put-kun menepuk beberapa hiat-to tertentu di kaki putrinya. Tapi Leng-sian malah menjerit,
tampaknya menahan rasa sakit dan hiat-to yang tertutuk itu tetap tak terbuka.
“Ayah, dia mengatakan Tiam-hiat-hoat yang dia gunakan adalah ilmu tunggalnya, katanya ayah tidak mampu
membukanya,” kata Leng-sian kemudian dengan suara tertahan.
“Siapakah orang yang kau maksudkan?” tanya Put-kun.
“Yaitu orang yang tinggi besar tadi. Dia ... dia ....” hanya sampai di sini saja dia lantas mewek-mewek ingin
menangis.
Perlahan-lahan Gak-hujin membelai rambut putrinya. Lalu memondongnya ke dalam perahu. Dengan suara
perlahan ia bertanya, “Apakah kau diperlakukan dengan kasar?”
Karena pertanyaan ibundanya itu benar-benar Leng-sian lantas menangis.
Gak-hujin menjadi khawatir, pikirnya, “Tindak tanduk orang-orang itu tidak beres, sedangkan anak Sian telah
diculik mereka selama beberapa jam, jangan-jangan telah mengalami perlakuan yang tidak senonoh?”
Maka cepat ia bertanya pula, “Apa yang telah terjadi. Tak apa-apa, katakanlah kepada ibu.”
Tapi Leng-sian hanya menangis saja. Keruan hal ini membuat Gak-hujin tambah cemas. Karena banyak orang,
Gak-hujin tidak berani tanya lebih jauh. Segera ia merebahkan putrinya di atas dipan dan menutupinya dengan
selimut.
Mendadak Leng-sian berkata sambil menangis, “Ibu, orang besar itu telah mencaci maki aku.”
Ucapan Leng-sian ini membuat perasaan Gak-hujin merasa lega. Katanya dengan tersenyum, “Hanya dimaki
orang saja masakan mesti begini sedih?”
“Tapi ... tapi dia mengancam dan menggertak hendak memukul aku pula,” gerutu Leng-sian.
“Sudahlah, lain kali kalau ketemu dia biar kita balas memaki dan menggertak dia,” ujar Gak-hujin dengan
tertawa.
“Padahal aku pun tidak mengucapkan apa-apa yang menjelekkan Toasuko, Siau-lim-cu juga tidak. Tapi si gede
itu tetap mencak-mencak, katanya selama hidupnya paling tidak senang bila mendengar orang menjelekjelekkan
Lenghou Tiong. Katanya bila dia marah bisa jadi orang yang tak disukainya akan disembelih dan
dimakan olehnya,” demikian tutur Leng-sian sambil terguguk-guguk.
“Orang itu memang jahat,” ujar Gak-hujin. “Tiong-ji siapakah orang tinggi besar itu?”
Pikiran Lenghou Tiong masih belum sadar benar-benar, ketika mendengar panggilan ibu gurunya ia lantas
menjawab, “Yang tinggi besar itu? O, aku ... aku ....”
Saat itu Lim Peng-ci juga sudah dipondong masuk ke ruangan kapal oleh Ko Kin-beng, segera ia menyela,
“Sunio, orang tinggi besar dan hwesio itu memang benar-benar makan daging manusia, hal ini bukan omong
kosong atau gertakan saja.”
Gak-hujin terkesiap, “Mereka berdua benar-benar makan daging manusia? Da ... dari mana kau mendapat
tahu?”
“Hwesio itu telah menanyai aku tentang Pi-sia-kiam-boh, sambil bertanya tiba-tiba ia mengeluarkan sepotong
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
makanan terus digerogoti dengan lahapnya,” tutur Peng-ci. “Bahkan jelas terlihat yang dia gerogoti itu adalah
sepotong telapak tangan. Malahan aku pun disuruh mencicipi.”
“Hah, mengapa tidak ... tidak kau ceritakan sejak tadi-tadi?” teriak Gak Leng-sian.
“Aku khawatir kau terkejut, maka tidak berani menceritakan padamu,” sahut Peng-ci.
“Ah, ingatlah aku,” tiba-tiba Gak Put-kun menyela. “Mereka ialah ‘Boh-pak-siang-him’. Yang tinggi besar itu
berkulit sangat putih dan si hwesio berkulit hitam, betul tidak?”
“Betul,” sahut Leng-sian. “Kau kenal mereka, ayah?”
Put-kun menggeleng, “Tidak, aku tidak kenal mereka. Hanya kudengar cerita orang bahwa di padang pasir
utara ada dua begal besar yang satu bernama Pek-him (Beruang Putih) dan yang lain bernama Oh-him
(Beruang Hitam). Sering kali mereka membegal harta benda dan melepaskan pemiliknya. Tapi bila pemilik
barang mendapat pengawalan, maka Siang-him (Sepasang Beruang) itu sering menangkap pengawalnya dan
makan dagingnya. Katanya orang yang melatih silat otot dagingnya jauh lebih keras dan lebih gurih kalau
dimakan.”
Kembali Leng-sian menjerit mendengar cerita sang ayah.
“Suko, mengapa kau bercerita hal-hal yang memuakkan itu?” ujar Gak-hujin.
Gak Put-kun tersenyum. Sejenak kemudian baru ia menyambung, “Selamanya tak pernah mendengar Boh-paksiang-
him melintasi Tiongsia (tembok besar), mengapa sekarang telah berada di lembah Hongho? Tiong-ji, dari
mana kau bisa kenal Boh-pak-siang-him itu?”
“Boh-pak-siang-hiong?” Lenghou Tiong menegas. Dia mengira yang diucapkan sang guru adalah “Siang-hiong”
(kedua kesatria), tak tahunya adalah Siang-him (sepasang beruang). Maka setelah termenung sejenak,
akhirnya ia menjawab, “Entah, aku tidak kenal.”
Tiba-tiba Leng-sian berseru, “Siau-lim-cu, hwesio itu suruh kau mencicipi daging manusia itu, kau mencicipi
atau tidak?”
Bab 54. Ih Jong-hay, Ketua Jing-sia-pay Terkepung Musuh
“Sudah tentu tidak,” sahut Peng-ci.
“Tak apalah jika tidak, kalau sudah, hm, masakah selanjutnya aku mau gubris lagi padamu?” kata Leng-sian.
Mendadak terdengar Tho-kan-sian menimbrung dari luar, “Daharan yang paling lezat di dunia ini tidak lain
adalah daging manusia. Siau-lim-cu diam-diam tentu sudah mencicipinya, hanya saja ia tidak mau mengaku.”
“Ya, kalau tidak mencicipi mengapa tidak bilang sejak tadi-tadi, kok baru sekarang menyangkal mati-matian,”
demikian Tho-yap-sian menambahkan.
Sejak mengalami berbagai kejadian-kejadian, setiap tindak tanduk Lim Peng-ci selalu sangat hati-hati. Ia
menjadi tercengang demi mendengar ucapan Tho-kan-sian dan Tho-yap-sian itu dan sukar menjawab.
“Nah, betul tidak,” Tho-hoa-sian ikut menimpali. “Dia tidak bersuara pula. Kalau diam berarti mengaku. Nona
Gak, manusia yang tidak jujur begini, sudah makan daging manusia tapi tidak mengaku, orang demikian mana
boleh diajak hidup bersama.”
“Ya, bila kau kawin dengan dia, kelak dia tentu main gila pula dengan perempuan lain dan bila kau tanya dia
pasti dia akan menyangkal,” timbrung Tho-kin-sian.
“Malahan ada yang lebih celaka lagi,” tambah Tho-yap-sian. “Bila kau tidur bersama dia, di tengah malam
mendadak ia ketagihan makan daging manusia. Jangan-jangan kau sendirilah yang akan dimakan olehnya.”
Kiranya sesudah Tho-kok-lak-sian diberi tugas oleh Peng It-ci agar menjaga Lenghou Tiong, biarpun aneh
tingkah laku mereka berenam, tapi sebenarnya mereka bukan orang bodoh. Seluk-beluk antara Lenghou Tiong
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang mencintai Gak Leng-sian tapi tak terbalas itu diam-diam sudah dapat dilihat oleh mereka. Kini sedikit
kelemahan Lim Peng-ci itu segera digunakan oleh mereka untuk memecah belah hubungan pemuda itu dengan
Gak Leng-sian.
“Kalian ngaco-belo belaka, aku tidak mau dengar!” teriak Leng-sian sambil menutupi telinganya.
Di tengah ocehan Tho-kok-lak-sian itu perahu sudah mengangkat sauh dan mulai berlayar ke hilir. Fajar baru
menyingsing, kabut pagi belum buyar seluruhnya, di permukaan sungai kabut pulih masih bergumpal-gumpal
menyesakkan pandangan mata.
Tidak lama perahu berlayar mendadak berjangkit gelombang ombak, perahu besar itu berguncang dengan
hebat sekali. Para penumpangnya tidak biasa hidup di atas air, maka tidak sedikit yang mulai pening kepala
dan tumpah-tumpah.
Melihat juru mudi perahu sendiri juga ikut tumpah-tumpah dan perahu itu masih miring ke sana dan doyong ke
sini, tampaknya sangat berbahaya, segera Gak Put-kun melompat ke buritan untuk memegang kemudi dan
mengarahkan perahu ke tepian selatan.
Betapa pun lwekangnya memang sangat tinggi, sesudah mengatur napas beberapa kali rasa muaknya sudah
mulai lenyap. Ketika perahu itu perlahan-lahan menepi, segera ia melompat ke haluan perahu, ia mengangkat
jangkar dan dilemparkan ke tepian.
Beramai-ramai semua orang sama melompat ke daratan dan berebut berjongkok di tepi sungai untuk minum
air sebanyak-banyaknya, lalu menumpahkannya keluar. Setelah tumpah-minum beberapa kali, akhirnya rasa
muak mereka barulah mereda.
Lembah sungai itu ternyata suatu tempat terpencil dan sunyi, rumput alang-alang tumbuh dengan suburnya.
Hanya di kejauhan sana kelihatan ada deretan rumah, tampaknya adalah sebuah kota kecil.
“Agaknya di dalam perahu masih terdapat sisa-sisa racun, terpaksa kita tak bisa menumpang perahu lagi,
marilah kita menuju ke kota itu,” kata Put-kun.
Segera Tho-kan-sian menggendong Lenghou Tiong dan Tho-ki-sian menggendong Tho-sit-sian terus
mendahului jalan di depan.
Para murid Hoa-san-pay juga sama menggendong Li Peng-ci dan Gak Leng-sian menuju ke arah kota tadi.
Sampai di dalam kota, tanpa disuruh lagi Tho-kan-sian dan Tho-ki-sian lantas memasuki sebuah rumah makan,
mereka menaruh Lenghou Tiong dan Tho-sit-sian di atas kursi, habis itu lantas berteriak-teriak, “Hai, pelayan!
Sediakan arak, buatkan daharan yang paling lezat!”
Sekilas Lenghou Tiong melihat di dalam rumah makan itu berduduk satu orang, ia tercengang sebab orang itu
adalah tojin yang berperawakan pendek kecil dan dikenalnya dengan baik sebagai ketua Jing-sia-pay, Ih Jonghay
adanya.
Jika dalam keadaan biasa, kepergoknya dia dengan Ih Jong-hay pasti akan menimbulkan suatu pertarungan
sengit. Tapi sekarang keadaan agaknya tidak mengizinkan sebab ketua Jing-sia-pay itu sendiri tampaknya
sudah berada di tengah kepungan musuh.
Ih Jong-hay duduk menyanding sebuah meja kecil, di atas meja tersedia arak dan beberapa piring masakan,
selain itu sebatang pedang yang mengilap sudah tertaruh di atas meja pula. Di sekeliling meja itu adalah tujuh
buah bangku panjang, setiap bangku diduduki satu orang.
Orang-orang itu terdiri dari macam-macam jenis, ada lelaki ada perempuan, rata-rata berwajah bengis dan
jahat. Di atas bangku masing-masing juga tertaruh senjata, tujuh macam senjata pun dalam bentuk yang
aneh-aneh, tiada satu pun yang terdiri dari golok atau pedang biasa.
Ketujuh orang itu sama sekali tidak bersuara, semuanya menatap tajam kepada Ih Jong-hay. Sebaliknya ketua
Jing-sia-pay itu tenang-tenang saja, tangan kirinya tampak memegang cawan arak terus menenggak, ternyata
sedikit pun tidak keder.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tojin kerdil ini sebenarnya ketakutan setengah mati di dalam hati, dia hanya berlagak tidak gentar,” ujar Thokin-
sian.
“Sudah tentu dia takut, satu orang dikeroyok tujuh orang, pasti dia akan kalah,” kata Tho-ki-sian.
“Ya, jika dia tidak takut, kenapa tangan kiri yang dipakai memegang cawan arak dan tidak menggunakan
tangan kanan? Tentunya tangan kanannya siap sedia menyambar pedangnya bila perlu,” timbrung Tho-kansian.
Mendadak Ih Jong-hay mendengus, cawan arak dipindahkan dari tangan kiri ke tangan kanan.
“Ha, dia sudah mendengar ucapan Jiko,” kata Tho-hoa-sian. “Tapi matanya sama sekali tak berani memandang
ke arah Jiko, itu berarti dia memang takut. Bukannya takut kepada Jiko, tapi takut sedikit lengahnya itu akan
diserang serentak oleh ketujuh orang musuh.”
Meski Lenghou Tiong bermusuhan dengan Ih Jong-hay, tapi demi menyaksikan ketua Jing-sia-pay itu sedang
dikepung musuh-musuh tangguh, maka ia pun tidak sudi menggunakan kesempatan bagus itu untuk menuntut
balas kepada Ih Jong-hay. Bahkan ia lantas berkata, “Keenam Tho-heng, Totiang ini adalah ketua Jing-siapay.”
“Kenapa sih kalau ketua Jing-sia-pay? Apakah dia sahabatmu?” sahut Tho-kin-sian.
“Ah mana aku berani mengikat persahabatan dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti dia,” kata Lenghou Tiong.
“Jika dia bukan sahabatmu, maka kita dapat menyaksikan tontonan yang menarik,” ujar Tho-kan-sian.
“Benar,” seru Tho-yap-sian sambil bertepuk tangan. “Pelayan, mana daharannya dan araknya? Aku akan
minum arak sambil menyaksikan orang-orang itu mencacah tosu kerdil itu menjadi delapan potong.”
“Aku berani bertaruh dengan kau bahwa dia akan terpotong menjadi sembilan dan bukan delapan,” seru Thosit-
sian, walaupun masih dalam keadaan terluka dia tidak lupa ikut bicara.
“Sebab apa?” tanya Tho-yap-sian.
“Habis mereka kan tujuh orang, tapi thauto (hwesio berambut) itu membawa dua batang golok, tentu dia akan
membacok dua kali.”
“Sudahlah, kalian jangan bicara lagi. Kita takkan membantu pihak mana pun, tapi juga jangan memencarkan
perhatian Ih-koancu dari Jing-sia-pay yang sedang menghadapi lawan-lawannya,” demikian sela Lenghou
Tiong.
Maka Tho-kok-lak-sian tidak bicara lagi, dengan cengar-cengir mereka memandangi Ih Jong-hay. Sebaliknya
satu per satu Lenghou Tiong mengamat-amati ketujuh orang pengepung itu.
Dilihatnya thauto itu rambutnya menjulai sampai di pundak, kepalanya memakai ikat tembaga yang bercahaya
mengilap, di sampingnya tertaruh sepasang golok melengkung berbentuk sabit. Di sebelahnya adalah seorang
wanita berusia 50-an, rambut sudah beruban, air mukanya suram, senjata yang terletak di sampingnya adalah
sebatang tongkat besi pendek.
Sebelahnya lagi berturut-turut adalah seorang hwesio dan seorang tosu. Si hwesio memakai kasa (jubah padri)
warna merah marun, di sampingnya tertaruh sebuah kecer dan sebuah mangkuk, tampaknya semua terbuat
dari baja. Tepian kecer itu tampak sangat tajam, terang itulah sejenis senjata yang lihai. Sedangkan
perawakan si tojin tampak tinggi besar, senjata yang terletak di atas bangkunya adalah sebuah gandin segi
delapan, tampaknya sangat berat.
Di sebelah si tojin berduduk seorang pengemis setengah umur, bajunya kotor dan compang-camping, di atas
pundaknya melingkar dua ekor ular hijau yang melilit di seputar lehernya. Dari bentuk kepala ular-ular yang
bersegitiga itu terang adalah sejenis ular-ular berbisa. Dia tidak membawa senjata tajam, agaknya kedua ekor
ular itu adalah gegamannya.
Dua orang lagi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Yang lelaki mata kirinya buta, sedangkan yang perempuan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
buta mata kanan. Ini masih belum, yang lebih aneh adalah si lelaki kaki kirinya buntung dan yang perempuan
buntung juga kaki sebelah kanan. Kedua orang sama-sama memakai tongkat penyangga, warna tongkat yang
kuning gilap itu bentuknya serupa, sama-sama besar dan kasar, jika terbuat dari emas tulen tentu bobotnya
tidaklah ringan. Dilihat dari usia mereka agaknya baru 40-an tahun, badan mereka begitu lemah, tapi justru
membawa tongkat yang begitu berat sehingga semakin menambah keseraman mereka.
Dalam pada itu kelihatan si thauto mulai meraba gagang sepasang goloknya, si pengemis juga sudah
memegang seekor ularnya dengan kepala ular menjulur ke arah Ih Jong-hay. Begitu pula yang lain-lain telah
sama, memegangi senjata masing-masing, tampaknya, segera mereka akan menyerang secara serentak.
“Hahaha!” mendadak Ih Jong-hay bergelak tertawa. “Main kerubut memangnya adalah kebiasaan golongan
keroco dan kaum penjahat. Kenapa aku Ih Jong-hay harus merasa gentar?”
Tiba-tiba si lelaki pecak tadi berkata, “Orang she Ih, kami tidak bermaksud membunuh kau.”
“Benar,” sambung si wanita pecak. “Asal kau menyerahkan Pi-sia-kiam-boh itu secara baik-baik, maka dengan
baik-baik pula kami akan membiarkan kau pergi.”
Gak Put-kun, Lenghou Tiong, Lim Peng-ci dan lain-lain menjadi tercengang demi mendengar “Pi-sia-kiam-boh”
tiba-tiba disebut. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa sebabnya ketujuh orang itu mengepung Ih Jonghay
tujuannya ialah ingin merebut Pi-sia-kiam-boh dari ketua Jing-sia-pay itu.
Begitulah Lenghou Tiong menjadi saling pandang dengan Gak Put-kun dan Lim Peng-ci. Mereka sama-sama
membatin, “Apakah Pi-sia-kiam-boh itu benar-benar telah jatuh di tangan Ih Jong-hay?”
Dalam pada itu terdengar si wanita beruban sedang bicara, “Buat apa banyak omong dengan orang kerdil ini?
Bunuh saja dia, lalu kita menggeledah badannya.”
“Boleh jadi dia telah menyembunyikan kitab pusaka itu di suatu tempat rahasia, kalau kita bunuh dia kan
urusan bisa runyam malah?” ujar si wanita pecak.
Si wanita beruban tampak mencibir. Sahutnya, “Tidak ketemukan kitab itu pun tak apa, masakah urusan mesti
runyam segala?”
Ucapannya itu kedengarannya kurang jelas seperti angin bocor keluar dari mulutnya. Kiranya giginya telah
banyak yang rontok dan hampir ompong seluruhnya.
“Orang she Ih,” seru si wanita pecak, “aku kira lebih baik kau menyerahkan kitab itu secara baik-baik. Kitab itu
toh bukan milikmu, kau sudah mengangkangi kitab itu sekian lamanya, isinya tentu juga sudah kau hafalkan di
luar kepala. Buat apa kau mengangkanginya mati-matian pula?”
Ih Jong-hay tetap bungkam saja. Ia tahu ketujuh lawan itu semuanya sangat lihai, diam-diam ia telah
menghimpun tenaga dan mencurahkan segenap perhatian untuk menghadapi segala kemungkinan, maka apa
yang dibicarakan ketiga orang tadi sama sekali tak tertangkap olehnya.
Mendadak si hwesio membentak satu kali, lalu komat-kamit entah apa yang dia katakan. Tertampak dia
berbangkit, tangan kiri memegang mangkuk dan tangan kanan mengangkat kecer, tampaknya setiap saat siap
untuk menerjang Ih Jong-hay.
Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar sana ada suara gelak tertawa orang, menyusul masuklah seorang
yang bermuka berseri-seri. Orang ini memakai jubah sutra, kepalanya setengah botak, kelihatannya sangat
ramah tamah. Tangan kanan orang ini membawa sebuah pipa tembakau warna hijau zamrud. Tangan kiri
membawa kipas lempit, pakaiannya perlente, dandanannya ini jelas adalah seorang saudagar kaya raya.
Begitu melangkah masuk ke dalam restoran dan melihat orang sebanyak itu, ia menjadi tercengang dan lenyap
seketika air mukanya yang berseri-seri tadi. Tapi sejenak kemudian ia lantas bergelak tertawa pula sambil
memberi salam dan berseru, “Aha, selamat bertemu, selamat bertemu! Sungguh tidak nyana bahwa para
kesatria yang terkenal pada zaman ini ternyata berkumpul semua di sini. Sungguh aku sangat beruntung sekali
dapat ikut hadir.”
Lalu orang itu mengangkat tangannya memberi salam kepada Ih Jong-hay, sapanya, “Wah, angin apakah yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
membawa Ih-koancu dari Jing-sia-pay sampai ke Holam sini? Sudah lama kudengar ‘Kiu-siau-sin-kang’ Jingsia-
pay merupakan salah satu ilmu tunggal di dunia persilatan, bukan mustahil hari ini aku akan dapat
menyaksikannya untuk menambah pengalaman.”
Ih Jong-hay sendiri sedang menghimpun tenaga, maka dia tidak melihat kedatangan orang itu, lebih tidak
ambil pusing terhadap apa yang diucapkannya.
Kemudian orang itu menyapa kedua laki dan wanita tadi dengan tertawa, “Eh, sudah lama tidak berjumpa
dengan ‘Tong-pek-siang-ki’ (Dua Manusia Aneh Pohon Tong dan Pek), apakah selama ini banyak mendapat
rezeki?”
Si lelaki pecak menjawab dengan tersenyum, “Rezeki kami mana bisa lebih besar daripada rezeki Yu-taylopan
(juragan besar Yu).”
Rupanya orang yang berdandan seperti saudagar ini she Yu.
Orang itu bergelak tertawa beberapa kali dan berkata pula, “Sesungguhnya diriku cuma nama kosong belaka,
tangan kiri masuk tangan kanan keluar. Cukup dari julukanku saja sudah diketahui bahwa hanya tampaknya
saja diriku ini hebat, tapi dalamnya sebenarnya keropos.”
“Siapa sih julukanmu?” tiba-tiba Tho-ki-sian bertanya.
Orang itu memandang ke arah Tho-ki-sian, ia bersuara heran karena melihat wajah Tho-kok-lak-sian yang
aneh itu, tapi tidak kenal asal usul mereka. Mendadak ia berseru pula, “Wah, sungguh hebat, sungguh luar
biasa, sampai-sampai ketua Hoa-san-pay Gak-siansing dan nyonya juga berada di sini. Akhir-akhir ini Gaksiansing
sekali tusuk membutakan 15 orang lawan tangguh, kejadian ini benar-benar mengguncangkan
Kangouw, setiap orang merasa kagum. Benar-benar ilmu pedang yang hebat!”
Gak Put-kun hanya mendengus sekali saja, ia merasa tidak pernah kenal orang ini, maka ia pun tidak memberi
penjelasan.
Orang itu tertawa pula dan berkata, “Julukanku sebenarnya tidak enak didengar, yaitu ‘Kut-put-liu-jiu’ (Licin
Susah Dipegang). Para kawan mengatakan diriku suka bersahabat. Demi sahabat sedikit pun aku tidak sayang
mengeluarkan uang. Meski aku pandai mencari uang, tapi uang itu selamanya susah dipegang dan selalu
memberosot dengan licin meninggalkan tangan.”
Mendengar itu mendadak Gak Put-kun teringat kepada seorang. Katanya, “Ah, kiranya adalah ‘Kut-put-liu-jiu’
Yu Siok, Yu-heng. Sudah lama kudengar namamu, kagum, sungguh kagum!”
“Wah, sampai-sampai ketua Hoa-san-pay juga kenal namaku yang tak berarti ini, sungguh aku merasa sangat
bangga,” sahut orang itu.
“Sobat she Yu ini agaknya masih mempunyai suatu nama julukan yang lain,” tiba-tiba Gak-hujin ikut bicara.
“Apa ya? Wah, aku sendiri malah tidak tahu,” kata orang yang bernama Yu Siok itu.
“Julukannya yang lain adalah ‘belut berminyak’,” terdengar suara seorang menyela, kiranya si wanita beruban
dan ompong itu.
“Wah, luar biasa!” teriak Tho-hoa-sian. “Belut saja sudah licin sekali, berminyak pula, lalu siapa yang mampu
memegangnya.”
“Ah, itu kan cuma poyokan yang diberikan oleh kawan-kawan Kangouw kepada sedikit ginkangku yang
lumayan ini, katanya segesit belut, padahal sedikit kepandaian yang tak berarti ini sebenarnya tidak ada
harganya untuk dibicarakan. Eh, Thio-hujin, apakah engkau baik-baik saja selama ini, terimalah salamku ini,”
habis berkata Yu Siok terus memberi hormat.
Wanita beruban yang dipanggil Thio-hujin itu melototinya sekali dan menjawab, “Ah, mulut usil, lekas enyah
sana!”
Tapi perangai Yu Siok ini ternyata sangat sabar, sedikit pun ia tidak marah. Ia lantas berkata pula terhadap si
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pengemis, “Siang-liong-sin-kay (Pengemis Sakti Berpasangan Naga) Giam-heng, kedua ekor naga hijau
piaraanmu itu tampaknya makin lama makin gemuk dan lincah.”
Pengemis itu bernama Giam Sam-seng, sebenarnya berjuluk “Siang-coa-ok-kay” (Pengemis Jahat Berpasangan
Ular), tapi Yu Siok sekenanya telah menyebut dia sebagai Siang-liong-sin-kay, bahkan kedua ekor ularnya
disebut sebagai sepasang naga, istilah “ok” yang berarti jahat di ganti pula dengan kata-kata “sin” yang berarti
sakti, keruan Giam Sam-seng merasa syur juga dan mengunjuk senyuman meski wataknya sebenarnya sangat
bengis.
Thauto berambut panjang itu bernama Siu Siong-lian dan si hwesio bergelar Say-po, tojin itu bergelar Giokleng,
asal usul ketiga orang ini pun diketahui semua oleh Yu Siok, maka kepada masing-masing ia pun
memberi pujian beberapa patah kata. Begitulah dengan cengar-cengir ke sana dan ke sini, dalam sekejap saja
Yu Siok telah membikin suasana yang tegang tadi menjadi damai.
Diam-diam Gak Put-kun membatin, “Sudah lama kudengar di daerah Soatang ada seorang tokoh ajaib yang
berjuluk ‘belut berminyak’, kiranya beginilah macamnya.”
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Tho-yap-sian berseru, “He, belut berminyak, kenapa kau tidak memuji
kepandaian kami berenam saudara yang hebat ini.”
“O, sudah ... sudah tentu akan kupuji ....” sahut Yu Siok dengan tertawa. Tak tersangka belum habis
ucapannya, kedua kaki dan kedua tangannya tahu-tahu sudah kena dipegang oleh Tho-kin-sian, Tho-kan-sian,
Tho-ki-sian dan Tho-yap-sian berempat dan terus diangkat ke atas, tapi seketika mereka tidak lantas
membetot tubuh Yu Siok.
Keruan Yu Siok terkejut, cepat ia memuji, “Hebat, sungguh kepandaian yang hebat! Ilmu silat setinggi ini
sungguh selama ini jarang terdapat.”
Pada umumnya manusia memang suka disanjung puji, sedangkan Tho-kok-lak-sian justru paling senang kalau
diumpak orang. Kini demi mendengar pujian Yu Siok itu dengan sendirinya mereka tidak ingin lekas-lekas
membetot dan merobek badan pecundangnya itu. Berbareng Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian bertanya, “Apa
dasarnya kau mengatakan ilmu silat kami jarang terdapat di dunia ini?”
“Seperti sudah kukatakan, julukanku adalah Kut-put-liu-jiu, licin susah dipegang, selama ini siapa pun tidak
mampu memegang diriku,” sahut Yu Siok. “Tapi sekali bergerak saja kalian berempat sudah dapat menangkap
aku, sedikit pun tidak merasa licin dan sama sekali tak terlepas. Nyata kepandaian kalian memang jarang ada
selama ini. Selanjutnya ke mana kupergi tentu aku akan menyiarkan nama kebesaran kalian berenam agar
segenap kawan Bu-lim mengenal bahwa di dunia ini ada tokoh-tokoh sedemikian lihainya.”
Sungguh girang sekali Tho-kin-sian dan kawan-kawannya, segera mereka melepaskan Yu Siok.
“Hm, benar-benar licin seperti belut, memang tidak beromong kosong. Sekali ini kau bisa lolos pula dari
pegangan orang,” jengek Thio-hujin.
“Ah, memang kepandaian keenam Cianpwe ini terlampau hebat sehingga membikin setiap orang merasa segan
dan hormat,” kata Yu Siok pula. “Cuma sayang pengalamanku terlalu cetek dan belum kenal siapakah gelaran
keenam Cianpwe yang mulia?”
“Kami berenam saudara bernama ‘Tho-kok-lak-sian’. Aku sendiri bernama Tho-kin-sian, yang ini Tho-kan-sian,
yang itu Tho-ki-sian ....” begitulah Tho-kin-sian memperkenalkan kawan-kawannya itu satu per satu.
“Bagus, benar-benar bagus!” sorak Yu Siok. “Nama ‘Sian’ itu sungguh cocok dan sesuai dengan ilmu silat kalian
berenam. Memang kepandaian kalian sudah mendekati kesaktian dewa, maka kalian sudah seharusnya
bernama ‘Tho-kok-lak-sian’.”
Keruan Tho-ki-sian berenam bertambah senang, seru mereka, “Pikiranmu memang tajam, pandanganmu
memang tepat, kau benar-benar seorang yang mahabaik.”
Di sebelah sana Thio-hujin sedang melotot kepada Ih Jong-hay sambil berkata, “Orang she Ih, Pi-sia-kiam-boh
itu akan kau serahkan atau tidak?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Namun Ih Jong-hay sedikit pun tidak menggubrisnya, ia asyik menghimpun tenaga.
“Ai, ai! Apa yang sedang kalian ributkan?” sela Yu Siok tiba-tiba. “Pi-sia-kiam-boh kata kalian? Setahuku kitab
pusaka itu tidaklah berada di tangannya Ih-koancu.”
“Setahumu kitab itu berada di tangan siapa?” tukas Thio-hujin.
“Orang itu sangat ternama, kalau kusebutkan mungkin kau akan ketakutan,” sahut Yu Siok.
“Lekas katakan,” bentak Siu Siong-lian, si thauto. “Tapi kalau tidak tahu ada lebih baik lekas enyah dari sini!”
“Wah, watak Suhu ini ternyata sedemikian gampang terbakar,” sahut Yu Siok dengan tertawa. “Dalam hal ilmu
silat memang aku tidak seberapa, tapi tentang berita kalian boleh tanya padaku. Setiap kabar hangat dan
berita rahasia di dunia Kangouw rasanya tidak mudah lolos dari intaian mata dari telingaku.”
Tong-pek-siang-ki, Thio-hujin dan lain-lain cukup kenal Yu Siok, mereka tahu apa yang dikatakannya itu
memang bukan bualan belaka. Yu Siok itu paling suka ikut campur urusan tetek bengek, dia tidak punya
pekerjaan, segala apa ingin tahu, maka segala kejadian di dunia persilatan memang hampir semuanya
diketahui olehnya.
Berbareng Thio-hujin dan lain-lain membentak, “Tidak perlu kau jual mahal. Sebenarnya Pi-sia-kiam-boh itu
berada di tangan siapa, lekas katakan!”
“Kalian kan kenal julukanku ‘licin susah dipegang’, harta benda yang datang padaku selalu memberosot keluar
lagi,” sahut Yu Siok dengan tertawa. “Sungguh sial, beberapa hari terakhir ini aku benar-benar lagi miskin,
pasaran sepi, dagangan macet. Kalian adalah hartawan-hartawan semua, seujung rambut kalian saja sudah
lebih bernilai daripada segala milikku. Untung aku telah memperoleh berita yang berharga ini. Ya, sudah tentu,
berita baik ini sudah sepantasnya kupersembahkan kepada pihak yang berkepentingan. Jadi yang kujual ini
tidaklah mahal, tapi dengan harga pantas.”
“Baik, kau tidak mau bilang bolehlah kau tunggu dulu. Nanti sesudah kami bunuh keparat she Ih itu lalu
membekuk si belut she Yu ini, coba nanti kau mengaku atau tidak,” demikian kata Thio-hujin. Mendadak ia
memberi komando, “Maju!”
Serentak terdengarlah suara “crang-cring” yang ramai, berbagai macam senjata telah saling bentur. Thio-hujin
bertujuh telah meninggalkan tempat duduk masing-masing dan saling gebrak beberapa jurus dengan Ih Jonghay.
Habis menyerang serentak mereka lantas melompat mundur pula. Tapi posisi mereka masih tetap dalam
keadaan mengepung.
Maka tertampaklah kaki Say-po Hwesio dan si thauto Si Siong-lian mencucurkan darah. Sebaliknya Ih Jong-hay
telah memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri, jubah di bagian pundak kanan hancur, entah
kena dipukul oleh siapa.
“Coba lagi!” teriak pula Thio-hujin dan kembali mereka bertujuh mengerubut maju pula. Setelah suara “trangtring”
berbunyi riuh pula, lalu mereka melompat mundur lagi dalam keadaan masih mengepung.
Kini kelihatan muka Thio-hujin sendiri terluka, dari tengah alis miring ke kiri bawah hingga sampai di dagu
telah tergores suatu luka panjang. Sebaliknya lengan kiri Ih Jong-hay telah kena terbacok oleh golok, agaknya
kena serangan golok melengkung si thauto.
Karena tangan kiri tak bisa memainkan pedang pula, terpaksa senjata dipindahkan kembali ke tangan kanan.
Cuma pundak kanannya juga sudah terluka, kalau ketujuh lawan menyerang pula untuk ketiga kalinya pasti dia
akan binasa di bawah hujan senjata mereka.
“Ih-koancu,” seru Giok-leng Tojin sambil mengacungkan senjatanya, “kita adalah seagama, lebih baik kau
menyerah saja.”
Ih Jong-hay mendengus sekali, tangan kanan hendak mengangkat pedangnya. Tapi baru terangkat sedikit saja
lengannya sudah terasa lemas.
Thio-hujin itu tampaknya adalah seorang wanita tua yang sudah loyo, tapi ternyata sangat garang dan tangkas.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ia pun tidak mengusap darah yang mengalir dari luka di mukanya itu, tongkat diangkat dan mengincar ke arah
Ih Jong-hay, lalu berteriak pula, “Maju ....”
Belum selesai teriakannya, tiba-tiba ada orang membentak, “Nanti dulu!”
Menyusul seorang telah melangkah ke tengah kalangan dan berdiri di samping Ih Jong-hay, lalu katanya,
“Kalian bertujuh mengeroyok satu orang, cara ini terlalu tidak adil. Apalagi Yu-lopan itu sudah mengatakan
bahwa Pi-sia-kiam-boh sesungguhnya tidak berada di tangan Ih-koancu, mengapa kalian masih menyerangnya
terus?”
Orang yang menengahi ternyata bukan lain adalah Lenghou Tiong.
Namun Siu Siong-lian bertujuh tiada seorang pun yang kenal pemuda yang berwajah pucat ini. Dengan suara
berat Thio-hujin mendamprat, “Siapakah kau? Apakah kau ingin mampus bersama dia?”
“Mampus bersama dia sih bukan keinginanku,” sahut Lenghou Tiong. “Soalnya aku merasa urusan ini terlalu
tidak adil, maka aku ingin bicara sebagai orang tengah. Lebih baik kalian jangan bertempur saja.”
“Marilah kita bunuh sekalian bocah ini,” seru Siu Siong-lian.
“Siapa kau? Besar amat nyalimu sehingga kau berani menjadi tameng orang?” bentak Giok-leng Tojin.
“Aku bernama Lenghou Tiong, aku tidak bermaksud menjadi ....” belum habis Lenghou Tiong bicara,
terdengarlah Tong-pek-siang-ki, Siang-coa-ok-kay dan lain-lain sama berseru kaget, “Hei, jadi ... jadi kau
inilah Lenghou-kongcu?”
“Cayhe adalah pemuda desa, aku tidak berani dipanggil sebagai ‘Kongcu’ segala,” sahut Lenghou Tiong. “Apa
barangkali kalian pun kenal seorang sahabatku?”
Sepanjang jalan Lenghou Tiong telah mendapat perlakuan sangat hormat dari berbagai tokoh dan orang kosen,
semuanya mengatakan perbuatan mereka itu disebabkan seorang sahabat Lenghou Tiong yang paling mereka
hormati. Untuk ini Lenghou Tiong sampai pusing kepala juga tidak tahu siapakah sahabatnya yang
dimaksudkan itu, ia tidak tahu bilakah dia mengikat seorang sahabat yang berwibawa sedemikian besar? Kini
demi melihat sikap Siu Siong-lian bertujuh, segera ia menduga pasti sahabat aneh yang belum diketahuinya
itulah yang menyebabkan segannya Siu Siong-lian bertujuh.
Benar juga, tertampak Giok-leng Tojin lantas menurunkan senjatanya dan membungkuk tubuh memberi
hormat, katanya, “Ketika mendapat kabar segera kami bertujuh memburu kemari siang dan malam dengan
harapan akan bertemu dengan Lenghou-kongcu. Barusan kami bersikap tidak sopan, mohon dimaafkan.”
Thio-hujin juga lantas menyimpan kembali tongkatnya yang pendek itu, katanya, “Kami tidak tahu Ih-koancu
adalah sahabat Lenghou-kongcu sehingga tadi telah bersikap kasar padanya, untung kedua pihak hanya terluka
ringan saja.”
Ih Jong-hay mendengus, “trang”, mendadak pedangnya jatuh ke lantai. Kiranya pundaknya tadi telah kena
diketok sekali oleh gandin Giok-leng Tojin sehingga tulang pundaknya retak, lukanya tidaklah ringan, setelah
bertahan sekuatnya kini benar-benar tidak sanggup memegangi pedang lagi.
Ia menjadi heran pula ketika mengetahui orang yang membantunya itu adalah Lenghou Tiong. Tapi dasar
wataknya memang kepala batu, segera ia berkata, “Bocah she Lenghou ini bukanlah sahabatku.”
“Lenghou-kongcu bukan sahabatmu, inilah sangat kebetulan, memangnya kami bermaksud sembelih kau,” ujar
Siang-coa-ok-kay. Walaupun demikian ucapannya, tapi dia tahu Lenghou Tiong tidak ingin mereka membunuh
Ih Jong-hay, maka hanya mulut saja bicara, tapi tidak turun tangan sungguh-sungguh.
Si belut berminyak Yu Siok lantas mendekati Lenghou Tiong, ia terbahak-bahak dan berkata, “Aku datang dari
sebelah timur, sepanjang jalan banyak sekali kawan Kangouw menyebut nama Lenghou-kongcu yang mulia,
sungguh hatiku sangat kagum. Menurut berita yang kuperoleh bahwa ada beberapa puluh orang pangcu,
kaucu, tongcu, dan tocu, semuanya bermaksud menemui Lenghou-kongcu di atas Ngo-pah-kang. Maka buruburu
aku pun datang kemari ingin melihat keramaian. Sungguh tidak nyana rezekiku sangat besar dan dapat
berjumpa lebih dulu dengan Lenghou-kongcu di sini. Tidak apa-apa, jangan khawatir, sekali ini obat-obat
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mujarab yang dibawa ke Ngo-pah-kang kalau tidak ada 100 macam sedikitnya juga ada 99 macam. Sedikit
penyakit Kongcu yang tak berarti itu pasti gampang disembuhkan. Hahaha, bagus, bagus!”
Lenghou Tiong menjadi terkejut malah. “Kau bilang beberapa puluh orang pangcu, kaucu, tongcu, tocu dan
seratus macam obat mujarab apa segala, sungguh Cayhe tidak paham?” demikian ia menegas.
Kembali Yu Siok mengakak beberapa kali, katanya, “Lenghou-kongcu jangan khawatir, seluk-beluk urusan ini
betapa pun besar nyaliku juga tidak berani sembarangan omong. Hendaklah Kongcu jangan khawatir, hahaha,
seumpama aku sembarangan omong dan Lenghou-kongcu tidak marah padaku, tapi bila diketahui orang lain,
biarpun aku mempunyai 10 buah kepala juga akan dibetot semua oleh orang itu.”
“Kau bilang tidak berani sembarangan omong, tapi mengapa terus mengoceh tentang urusan ini?” omel Thiohujin.
“Soal Ngo-pah-kang sebentar lagi Lenghou-kongcu akan dapat menyaksikan sendiri, buat apa kau mesti
cerewet lebih dulu? Coba jawab, Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya berada di tangan siapa?”
“Berikan 100 tahil perak padaku dan segera aku memberitahukan padamu,” kata Yu Siok dengan tertawa
sambil menjulurkan sebelah tangannya.
“Buset, barangkali hidupmu di jelmaan yang dulu tidak pernah melihat duit, maka sekarang kau mata duitan,
segala apa pakai uang, uang, uang melulu!” damprat Thio-hujin.
Mendadak si lelaki pecak mengeluarkan serenceng perak dan dilemparkan kepada Yu Siok, katanya, “Itu, 100
tahil perak tanggung lebih. Nah, lekas bicara, lekas!”
Yu Siok sambuti rencengan perak itu dan menimbang-nimbangnya dengan tangan, lalu menjawab, “Banyak
terima kasih. Marilah kita keluar sana, biar kukatakan padamu.”
“Buat apa keluar? Bicara saja di sini agar didengar semua orang,” kata si lelaki pecak.
“Ya, benar, kenapa mesti dirahasiakan?” seru orang banyak.
Tapi Yu Siok telah menggeleng-geleng. Katanya, “Tidak, tidak bisa. Aku minta 100 tahil perak, maksudku
setiap orang membayar 100 tahil dan bukan menjual berita sepenting ini dengan cuma 100 tahil perak saja.
Memangnya kalian kira aku menjual obral?”
Mendadak lelaki pecak itu memberi tanda, serentak Siu Siong-lian, Thio-hujin, Siang-coa-ok-kay, Say-po
Hwesio dan lain-lain-lain mengepung maju, seketika Yu Siok terjepit di tengah seperti Ih Jong-hay yang
terkepung tadi.
“Dia berjuluk licin susah dipegang, terhadap dia kita jangan memakai tangan, tapi gunakan senjata, biar dia
mampus,” kata Thio-hujin.
“Benar,” seru Giok-leng Tojin sambil putar gandinnya, “biar dia rasakan gandinku ini, ingin kulihat apakah
kepalanya benar-benar licin atau tidak?”
Gandin andalan Giok-leng Tojin itu bergigi tajam dan mengilap. Kalau kepala Yu Siok yang setengah botak itu
benar-benar berkenalan dengan gandin itu tentu bisa konyol.
Tak terduga mendadak Yu Siok berkata kepada Lenghou Tiong, “Lenghou-kongcu, tadi kau menolong Ihkoancu
dari kerubutan mereka, mengapa kau pilih kasih dan anggap sepi diriku yang terancam bahaya ini?”
“Haha, jika kau tidak menerangkan di mana beradanya Pi-sia-kiam-boh, bahkan aku pun akan ikut membantu
Thio-hujin dan kawan-kawannya,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Bagus, bagus! Harap Lenghou-kongcu turun tangan sekalian!” seru Thio-hujin bertujuh.
“Ai!” Yu Siok menghela napas. “Baiklah, biar kukatakan saja, silakan kalian kembali ke tempat masing-masing,
buat apa mengelilingi diriku?”
“Terhadap belut yang licin terpaksa kami harus lebih waspada,” ujar Thio-hujin..
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Wah, ini namanya cari penyakit, ular mencari gebuk,” gumam Yu Siok. “Sebenarnya aku bisa melihat ramairamai
ke Ngo-pah-kang, tapi malah mengantarkan kematian ke sini.”
“Sudahlah, tak perlu cerewet lagi. Kau mau bicara atau tidak?” ancam Thio-hujin.
“Baik, baik, akan kukatakan, mengapa tidak?” sahut Yu Siok. “Eh Tonghong-kaucu, kiranya engkau orang tua
juga berkunjung kemari?”
Kedua kalimatnya yang terakhir itu diucapkan dengan cukup keras, berbareng itu matanya memandang keluar
restoran itu dengan air muka penuh heran dan segan. Keruan semua orang ikut terperanjat dan beramai-ramai
menoleh ke arah yang dipandang Yu Siok itu. Tapi yang tertampak di jalan raya sana adalah seorang tukang
sayur dan sekali-kali bukan Tonghong Put-pay, itu ketua Mo-kau yang namanya menggetarkan dunia.
Bab 55. Pertemuan di Atas Ngo-pah-kang
Waktu semua orang berpaling kembali, ternyata Yu Siok mudah menghilang entah ke mana. Baru sekarang
mereka sadar telah tertipu. Siu Siong-lian, Giok-leng Tojin, dan lain-lain lantas mencaci maki. Mereka tahu
ginkang si belut itu sangat hebat, pula orangnya memang cerdik, sekali sudah lolos terang sukar
menangkapnya pula.
Tiba-tiba Lenghou Tiong berseru keras, “Aha, kiranya Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya dipegang oleh Yu Siok,
Yu-heng sendiri. Sungguh tidak nyana bahwa dia yang menemukannya.”
“Apa betul?” tanya orang banyak. “Kitab pusaka itu benar-benar di tangan Yu Siok?”
“Sudah tentu berada di tangannya,” sahut Lenghou Tiong. “Kalau tidak mengapa dia tidak mau mengaku
sejujurnya, sebaliknya lari terbirit-birit.”
Dia sengaja bicara dengan suara keras, keruan napasnya megap-megap dan badan lemas.
Mendadak terdengar suara Yu Siok berteriak di luar pintu, “Lenghou-kongcu, mengapa kau sengaja memfitnah
diriku?”
Menyusul orangnya telah melangkah masuk kembali ke dalam restoran itu.
Dengan sebat luar biasa Thio-hujin, Giok-leng Tojin dan lain-lain lantas melompat maju dan mengepungnya di
tengah-tengah pula. “Haha, kau telah masuk perangkapnya Lenghou-kongcu!” seru Giok-leng dengan tertawa.
Yu Siok tampak bersungut dan sedih, katanya, “Benar, benar, aku pun tahu perangkap Lenghou-kongcu ini.
Tapi kalau ucapannya tadi tersiar di Kangouw, maka selanjutnya hidupku pasti tiada satu detik pun bisa berlalu
dengan tenang, setiap orang Kangouw tentu mengira aku benar-benar telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh dan
semua orang pasti akan mencari perkara padaku. Ai, Lenghou-kongcu, kau sungguh lihai, hanya satu
ucapanmu saja sudah dapat menangkap kembali diriku yang licin susah dipegang ini.”
Lenghou Tiong hanya tersenyum. Pikirnya, “Apaku yang lihai? Aku justru pernah juga difitnah orang dengan
cara demikian.”
Tanpa merasa pandangnya mengarah Gak Leng-sian. Ternyata nona itu juga sedang memandang padanya,
sinar mata kedua orang kebentrok, wajah keduanya sama-sama merah dan cepat-cepat berpaling kembali.
“Yu-loheng,” kata Thio-hujin, “tadi kau telah menyembunyikan Pi-sia-kiam-boh agar tidak kena digeledah kami,
betul tidak?”
“Wah, celaka, celaka! Ucapan Thio-hujin ini benar-benar bisa membikin kapiran diriku ini,” sahut Yu Siok.
“Coba kalian pikir, jika Pi-sia-kiam-boh itu berada padaku, tentu senjata yang kupakai adalah pedang, bahkan
ilmu pedangku pasti mahatinggi, paling sedikit juga selihai Ih-koancu dari Jing-sia-pay ini, tapi mengapa
sekarang aku tidak membawa pedang dan juga tidak mengeluarkan ilmu pedang, malahan ilmu silatku
tergolong nomor buncit?”
Semua orang pikir beralasan juga ucapannya itu, bahkan kata-katanya itu seakan-akan mengalihkan
persoalannya kepada Ih Jong-hay pula. Maka tanpa merasa pandangan semua orang kembali berpindah kepada
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
si tojin kerdil yang sudah terluka parah itu.
Mendadak Tho-kin-sian menimbrung pula, “Biarpun Pi-sia-kiam-boh berada padamu juga belum tentu kau
mampu mempelajarinya. Seumpama mempelajarinya juga belum tentu mahir. Kau bilang tidak membawa
pedang, bisa jadi pedangmu jatuh hilang atau telah dirampas orang.”
“Ya, seperti kipas yang kau bawa itu pun mirip dengan pedang pendek, tadi sekali bergerak kipasmu itu juga
mirip dengan satu diurus ilmu pedang dari Pi-sia-kiam-hoat,” demikian Tho-kan-sian menambahkan.
“Tepat,” seru Tho-ki-sian. “Coba lihat, sekarang kipasnya itu menuding miring ke depan, terang itu adalah
jurus ‘Ki-tah-kan-sia’ (menuding dan menghantam penjahat), yaitu jurus ke-59 dari Pi-sia-kiam-hoat. Ke mana
ujung kipasnya menuding, ke situlah sasarannya akan dibinasakan.”
Tatkala itu yang kebetulan berhadapan dengan ujung kipas Yu Siok itu adalah Siu Siong-lian. Dasar thauto ini
orang yang berangasan, tanpa pikir lagi segera ia menggeram terus menerjang maju dengan sepasang
goloknya.
“He, he. Jangan kau anggap sungguh-sungguh, dia hanya bergurau saja,” seru Yu Siok sambil menghindar.
Maka terdengarlah suara nyaring empat kali, sepasang golok Siu Siong-lian telah membacok empat kali, tapi
semuanya kena ditangkis oleh Yu Siok. Dari suara beradunya senjata itu memang benar kipas lempitnya itu
terbuat dari baja murni. Jangan menyangka badan Yu Siok itu kelihatannya gemuk putih seperti lazimnya kaum
hartawan, tapi gerak-geriknya ternyata sangat gesit. Bahkan ketika kipasnya menutuk perlahan segera golok
Siu Siong-lian itu tergetar ke samping. Dari gebrakan ini saja sudah jelas bahwa ilmu silatnya sesungguhnya
masih lebih tinggi daripada si thauto yang menyerangnya itu. Hanya saja ia terkepung oleh tujuh lawan maka
tidak berani sembarangan melakukan serangan balasan.
Dalam pada itu Tho-hoa-sian telah berseru, “Nah, nah, jurus itu adalah diurus ke-32 dari Pi-sia-kiam-hoat yang
bernama ‘Oh-kui-pang-bui’ (kura-kura kentut) dan jurus tangkisannya ini adalah jurus ke-25 yang bernama
‘Ka-hi-hoan-sin’ (bulus membalik tubuh)!”
Semua orang sudah tahu Tho-kok-lak-sian itu suka membual, maka tiada seorang pun yang menggubris lagi
kepada ocehannya.
Segera Lenghou Tiong berkata, “Yu-siansing, jika Pi-sia-kiam-boh itu benar-benar tidak berada padamu, lalu
berada di tangan siapa?”
“Ya, sesungguhnya berada di tangan siapa?” demikian Giok-leng Tojin dan Thio-hujin ikut bertanya.
“Hahaha, sebabnya aku tidak mau bilang adalah karena aku ingin menjual cerita rahasia ini dengan harga lebih
bagus, tapi kalian terlalu kikir, pelit,” demikian jawab Yu Siok dengan tertawa. “Tapi baiklah, akan kukatakan.
Cuma biarpun kalian kuberi tahu juga tiada gunanya, sebab Pi-sia-kiam-boh itu berada di tangan tokoh dunia
persilatan yang terpuja, itu Locianpwe yang ilmu silatnya paling tinggi dan paling disegani.”
“Siapa? Siapa dia?” tanya orang banyak.
“Jika kusebut orang ini tentu akan membikin kalian melonjak kaget, boleh jadi kalian nanti akan menyesal tak
terhingga,” ujar Yu Siok.
“Kenapa mesti menyesal?” ujar Thio-hujin. “Hanya tanya Pi-sia-kiam-boh itu berada di tangan siapa, apakah
hal ini berarti suatu dosa besar dan harus masuk neraka?”
“Masuk neraka sih rasanya tidak sampai,” sahut Yu Siok sambil menghela napas. “Cuma sesudah kalian
mengetahui kitab pusaka berada di tangan tokoh itu, kukira kalian tentu tak bisa berbuat apa-apa, tapi rasa
kalian tetap akan penasaran, pertentangan batin demikian bukankah akan membikin kalian menyesal? Tentang
tokoh itu, justru beliau ada hubungan rapat dengan ketua Hoa-san-pay Gak-siansing yang juga hadir di sini
ini.”
Seketika pandangan semua orang lantas beralih kepada Gak Put-kun. Tapi ketua Hoa-san-pay itu tersenyum
saja, katanya di dalam hati, “Biarkan kau mengoceh sesukamu.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dalam pada itu Yu Siok tengah mengoceh pula, “Ya, celakanya Pi-sia-kiam-boh itu justru jatuh di tangan
seorang tokoh demikian, ini sungguh ... sungguh ....”
Semua orang sampai menahan napas karena ingin mendengar nama tokoh yang akan disebutkan itu. Pada saat
itulah tiba-tiba dari jauh ada suara derapan kaki kuda diseling suara nyaring menggelindingnya roda kereta.
Agaknya kereta itu sedang mendatangi dengan cepat, hal ini seketika memutuskan ucapan Yu Siok tadi.
Giok-leng Tojin menjadi aseran. “Lekas katakan, siapa yang memperoleh kiam-boh itu?” desaknya.
“Sudah tentu akan kukatakan, kenapa buru-buru?” sahut Yu Siok.
Sementara itu suara kereta kuda tadi sudah sampai di depan restoran itu dan lantas berhenti. Terdengar suara
seorang tua serak sedang bertanya, “Apakah Lenghou-kongcu berada di sini? Pang kami sengaja mengirimkan
kereta untuk menyambut kedatanganmu!”
Karena ingin lekas-lekas mengetahui di mana beradanya Pi-sia-kiam-boh untuk membersihkan rasa curiga sang
guru serta ibu-guru dan lain-lain atas dirinya, maka ia tidak lantas menjawab seruan orang di luar itu, tapi
tetap tanya kepada Yu Siok, “Di luar ada orang datang, lekas-lekas kau menerangkan!”
“Hendaklah Kongcu maklum, dengan datangnya orang luar menjadi tidak leluasa untuk kuterangkan urusan
ini,” sahut Yu Siok.
Mendadak terdengar ringkikan kuda yang ramai, kembali datang pula beberapa penunggang kuda dan segera
berhenti di luar restoran. Lalu suara seorang yang nyaring keras berseru, “Ui-lopangcu, apakah engkau juga
datang kemari untuk menyambut Lenghou-kongcu?”
Lalu suara seorang tua sedang menjawab, “Betul, kiranya Suma-tocu sendiri juga datang kemari!”
Orang yang bersuara nyaring keras itu menjengek sekali, menyusul terdengar suara tindakan yang kedengaran
sangat berat. Seorang yang berperawakan tinggi besar telah melangkah masuk ke dalam restoran.
Perawakan si thauto Siu Siong-lian sesungguhnya sudah sangat tinggi besar, tapi kalau dibandingkan
pendatang baru ini ternyata masih kalah jauh.
“Suma-tocu, kiranya engkau juga datang?” segera Giok-leng Tojin menyapa.
Orang tinggi besar yang dipanggil sebagai Suma-tocu itu hanya mendengus sekali saja, ia lantas berseru,
“Yang manakah Lenghou-kongcu adanya? Silakan berkunjung ke Ngo-pah-kang untuk bertemu dengan para
kesatria.”
Terpaksa Lenghou Tiong memberi salam dan berkata, “Cayhe Lenghou Tiong berada di sini, aku tidak berani
membikin capek Suma-tocu.”
“Siaujin (hamba) bernama Suma Toa,” sahut Suma-tocu itu. “Soalnya hamba dilahirkan dengan badan tinggi
besar, maka orang tua telah memberi nama Toa (besar) kepadaku. Selanjutnya harap Lenghou-kongcu
memanggil aku Suma Toa saja, atau boleh juga saja si A Toa dan tidak perlu pakai Tocu apa segala.”
“Ah, mana boleh,” ujar Lenghou Tiong. Lalu memperkenalkan Gak Put-kun dan istrinya. “Kedua orang ini
adalah guru dan ibu-guruku.”
“Sudah lama aku mengagumi,” sahut Suma Toa sambil memberi hormat. Lalu ia berpaling pula dan berkata,
“Penyambutan hamba ini agak terlambat, mohon Kongcu sudi memberi maaf.”
Sebenarnya nama Gak Put-kun cukup menggetarkan Bu-lim, siapa pun yang mendengar namanya biasanya
tentu bersikap hormat dan segan padanya, apalagi kalau bertemu muka, kebanyakan akan tergetar
perasaannya. Akan tetapi Suma Toa beserta Thio-hujin, Siu Siong-lian dan lain-lain itu semuanya hanya
menaruh hormat terhadap Lenghou Tiong saja, terhadap Gak Put-kun jelas mereka merasa acuh tak acuh, jika
ada rasa hormat mereka juga timbul lantaran mereka menghormati Lenghou Tiong.
Gak Put-kun sudah menjabat ketua Hoa-san-pay selama lebih 20 tahun, selamanya ia sangat dihormati orangorang
Kangouw. Tapi orang-orang di hadapannya sekarang ini ternyata tidak memandang sebelah mata
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
padanya, ini jauh lebih menyinggung perasaan daripada orang mencaci maki terang-terangan padanya. Untung
“Kun-cu-kiam” Gak Put-kun memang seorang sangat sabar dan bisa mengekang perasaan lahirnya, sama
sekali ia tidak memperlihatkan rasa gusar dan mendongkol.
Sementara itu pangcu yang she Ui tadi pun sudah melangkah masuk. Orang ini usianya sudah ada 80-an
tahun, jenggotnya yang putih panjang menjulai sampai di depan dada. Tapi semangatnya tampak masih
menyala. Dia membungkuk tubuh sedikit kepada Lenghou Tiong, lalu berkata, “Lenghou-kongcu, hamba Ui
Pek-liu, banyak anggota pang kami mencari makan di sekitar wilayah sini, tapi tidak sempat menyambut
kedatangan Kongcu, sungguh dosa kami pantas dihukum mati.”
“Ah, Pangcu terlalu sungkan,” sahut Lenghou Tiong sambil membalas hormat.
“Harap Kongcu panggil namaku Ui Pek-liu saja dan tidak perlu pakai Pangcu segala,” kata kakek she Ui itu.
“Ah, mana boleh,” kata Lenghou Tiong.
“Lenghou-kongcu,” Ui Pek-liu bicara pula, “para kesatria sudah berkumpul di Ngo-pah-kang dan sangat ingin
menemui Kongcu, maka silakan sekarang juga Kongcu berkunjung ke sana.”
Habis ini ia lantas berpaling dan memberi salam kepada Gak Put-kun suami-istri, Thio-hujin, Yu Siok dan lainlain,
katanya, “Silakan para hadirin juga ikut Lenghou-kongcu ke Ngo-pah-kang sana.”
Habis berkata ia terus mendahului jalan di depan sebagai penunjuk jalan diikuti orang banyak. Ternyata di luar
restoran sudah tersedia beberapa buah kereta kuda. Suma Toa dan Ui Pek-liu mengiringi Lenghou Tiong naik di
suatu kereta, beramai-ramai Gak Put-kun suami-istri serta Thio-hujin dan lain-lain juga menumpang kereta
yang sudah siap itu dan berangkat.
Tidak terlalu lama, iring-iringan kereta kuda itu berhenti di kaki suatu bukit, mereka turun dari kereta dan
berjalan mendaki ke atas bukit itu. Sampai di atas bukit, ternyata di situ adalah suatu tanah datar yang cukup
luas, di tengahnya terbangun sebuah rumah gedek bambu, keadaan sunyi senyap tiada seorang pun.
Pada saat itulah tiba-tiba dari dalam rumah gedek itu terdengar suara “creng” satu kali, menyusul bergemalah
suara kecapi yang nyaring.
Suma Toa, Ui Pek-liu, Thio-hujin dan lain-lain sama bersuara heran dengan air muka mengunjuk rasa kejut dan
tercengang.
Pada saat lain tiba-tiba di luar bukit ada suara seruan orang, “Kaum setan iblis macam apa yang berada di atas
bukit itu?”
Suara orang ini begitu keras berkumandang sehingga anak telinga para jago di atas bukit itu sampai
mendengung-dengung.
Suma Toa, Ui Pek-liu, Thio-hujin dan lain-lain segera mengundurkan diri dan menghilang di balik bukit sana.
Melihat begitu gugupnya jago-jago itu, Gak Put-kun menduga orang yang berada di bawah bukit itu pasti lawan
yang tangguh. Agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka segera ia pun membawa anak
muridnya mengundurkan diri ke belakang bukit.
Maka yang tertinggal hanya Lenghou Tiong seorang yang masih asyik mendengarkan suara kecapi yang
berkumandang dari dalam rumah gedek itu. Pikirnya, “Bukankah ini adalah suara kecapi yang dipetik oleh si
nenek di kota Lokyang itu?”
Sementara itu di bawah bukit ada suara seorang yang sangat keras sedang berkata, “Kaum setan iblis itu
ternyata berani main gila ke Holam sini dan anggap sepi kepada kita.”
Habis berkata demikian segera ia perkeras suaranya dan membentak, “Kawanan bangsat keparat dari manakah
yang berani main gila di atas Ngo-pah-kang? Hayo, semuanya laporkan nama kalian!”
Begitu kuat lwekangnya sehingga suaranya berkumandang dan menggetar lembah sekeliling bukit.
Mendengar itu diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Pantas Suma Toa dan lain-lain merasa ketakutan dan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
melarikan diri seketika, agaknya ada tokoh terkemuka dari kaum Cing-pay (aliran baik) yang telah datang
mencari perkara.”
Diam-diam ia merasa Suma Toa dan lain-lain terlalu penakut, masakan belum ketemu lawan sudah lantas
kabur. Tapi bila pendatang ini sedemikian ditakuti, tentulah kaum cianpwe yang memiliki ilmu silat luar biasa.
Jika sebentar dirinya ditanyai rasanya akan serbasusah juga untuk menjawabnya. Maka ia pikir ada lebih baik
dirinya juga menghindari saja.
Segera ia menggeser ke belakang rumah gedek. Ia percaya si nenek loyo yang berada di dalam rumah gedek
itu pasti takkan dibikin susah oleh pendatang-pendatang itu. Dalam pada itu suara di dalam rumah gedek itu
pun sudah berhenti.
Terdengarlah suara tindakan orang, muncullah tiga orang. Dua orang di antaranya berjalan dengan tindakan
berat, sedangkan seorang lagi sangat enteng. Kalau tidak diperhatikan dengan cermat jalan orang ketiga ini
seakan-akan tidak menimbulkan suara.
Setelah sampai di atas bukit, ketiga orang itu sama bersuara heran. Agaknya mereka merasa aneh terhadap
suasana yang sunyi senyap di atas bukit itu.
Orang yang bersuara nyaring keras tadi telah berkata, “Kawanan keparat tadi itu sudah pergi ke mana?”
Lalu suara seorang yang lemah lembut menanggapi, “Tentu karena mereka mendengar kedua tokoh Siau-limpay
hendak datang ke sini untuk menumpas kawanan setan iblis itu, maka siang-siang mereka sudah
melarikan diri dengan mencawat ekor.”
“Aha, kukira tidak demikian,” ujar seorang lagi sambil tertawa. “Besar kemungkinan kaburnya mereka, adalah
karena jeri kepada wibawa Tam-heng dari Kun-lun-pay.”
Begitulah ketiga orang itu lantas bergelak tertawa senang. Dari suara tertawa mereka yang nyaring memekak
telinga itu Lenghou Tiong tahu tenaga dalam ketiga orang itu benar-benar jarang ada bandingannya di dunia
persilatan. Katanya di dalam hati, “Kiranya dua orang di antara mereka adalah tokoh Siau-lim-pay dan yang
satu jago dari Kun-lun-pay. Selama beberapa ratus tahun Siau-lim-pay selalu menjagoi dunia persilatan. Melulu
Siau-lim-pay saja namanya sudah jauh lebih tinggi daripada Ngo-gak-kiam-pay kami, kekuatan yang
sesungguhnya tentunya juga lebih hebat. Suhu sering mengatakan juga bahwa Kun-lun-pay memiliki ilmu
pedang yang tersendiri dan mengutamakan kelincahan serta ketangkasan. Sekarang tokoh-tokoh Siau-lim dan
Kun-lun ini bergabung sudah tentu sangat lihai. Boleh jadi mereka bertiga ini adalah pembuka jalan dan di
belakang mereka masih akan tiba pula bala bantuan yang lebih kuat. Akan tetapi, lalu mengapa Suhu dan
Sunio ikut-ikut menyingkir pergi?”
Tapi sesudah dipikir pula ia lantas paham maksud gurunya itu, Hoa-san-pay tergolong Cing-pay juga, sebagai
ketua suatu aliran baik adalah tidak pantas dan akan merasa malu kalau sampai tokoh-tokoh Siau-lim dan Kunlun
melihat gurunya itu bergaul bersama Suma Toa, Ui Pek-liu dan lain-lain yang namanya kurang terhormat.
Maka terdengar tokoh she Tam dari Kun-lun-pay itu sedang berkata pula, “Tadi kita baru saja mendengar ada
suara kecapi di atas bukit ini. Sekarang pemetik kecapi itu sembunyi ke mana lagi? Sin-heng dan Ih-heng,
kukira di dalam kejadian ini ada sesuatu yang tidak beres.”
Orang she Sin yang bersuara nyaring tadi menjawab, “Ya, benar, Tam-heng memang sangat cermat. Marilah
kita coba menggeledah sekitar sini dan menyeretnya keluar.”
“Coba kuperiksa di dalam rumah gedek itu,” kata orang she Ih.
Tapi baru saja ia berjalan beberapa langkah ke arah rumah gedek segera terdengar suara seorang wanita yang
nyaring merdu sedang berkata, “Aku hanya tinggal sendirian di sini, di tengah malam tidaklah pantas laki-laki
dan perempuan mengadakan pertemuan.”
Perasaan Lenghou Tiong tergetar seketika mendengar suara itu. Pikirnya, “Ternyata, benar si nenek dari kota
Lokyang itu.”
“Eh, kiranya seorang wanita,” demikian orang she Sin tadi berkata.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Si orang she Ih lantas bertanya, “Apakah tadi kau yang memetik kecapi?”
“Benar,” sahut si nenek.
“Coba kau memetiknya beberapa kali lagi?” kata orang she Ih.
“Selamanya tidak saling kenal, mana boleh sembarangan memetik kecapi bagimu,” sahut nenek itu.
“Hm, apa dikira kami kepingin? Banyak alasan saja,” jengek orang she Sin. “Di dalam rumah gedek itu pasti
ada apa-apa yang ganjil, coba kita masuk memeriksanya.”
“Katanya wanita seorang diri, tapi mengapa di tengah malam buta berada di atas Ngo-pah-kang ini? Besar
kemungkinan dia adalah begundal kawanan setan iblis itu. Mari kita menggeledah ke dalam,” orang she Ih
berkata. Habis itu dengan langkah lebar ia terus berjalan ke pintu rumah gedek.
Mendengar kata-kata mereka itu Lenghou Tiong menjadi naik pitam, tanpa pikir lagi ia lantas menyelinap
keluar dari tempat sembunyinya dan merintangi di depan pintu. Bentaknya, “Berhenti!”
Sama sekali ketiga orang itu tidak menduga bahwa mendadak bisa muncul seorang dari tempat gelap. Mereka
rada terkejut, namun mereka adalah tokoh-tokoh yang berpengalaman dan terkemuka, sudah tentu mereka
anggap sepele sesudah melihat orang yang dihadapi adalah seorang pemuda saja.
“Anak muda, siapa kau? Kerja apa kau main sembunyi-sembunyi di sini?” segera orang she Sin balas
membentak.
“Cayhe Lenghou Tiong dari Hoa-san-pay menyampaikan salam hormat kepada para Cianpwe dari Siau-lim dan
Kun-lun-pay,” sahut Lenghou Tiong dengan memberi hormat.
“Apa kau orang Hoa-san-pay?” orang she Sin itu mendengus. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Waktu Lenghou Tiong berdiri setegaknya, ia merasa perawakan orang she Sin itu juga tidak terlalu besar,
hanya dadanya membusung, pantas suaranya begitu keras.
Laki-laki setengah umur yang lain juga memakai jubah kuning yang serupa dengan orang she Sin, terang inilah
orang she Ih yang seperguruan dengan dia. Orang she Tam dari Kun-lun-pay itu punggungnya menyandang
pedang, jubahnya longgar dan lengan bajunya lebar, sikapnya gagah ramah.
“Jadi kau adalah murid Hoa-san-pay yang tergolong Cing-pay, mengapa kau berada di Ngo-pah-kang sini?”
demikian orang she Ih tadi menegas pula.
Memangnya Lenghou Tiong sudah naik pitam ketika mendengar caci maki mereka tadi, maka jawabnya ketus,
“Cianpwe bertiga bukankah juga dari golongan Cing-pay dan bukankah sekarang juga berada di Ngo-pah-kang
sini?”
Orang she Tam dari Kun-lun-pay tertawa, katanya, “Jawaban yang bagus. Tapi apakah kau tahu siapakah
wanita yang memetik kecapi di dalam rumah gedek itu?”
“Beliau adalah seorang nenek yang berusia lanjut dan berbudi luhur, seorang tua yang tiada punya
persengketaan dengan siapa pun di dunia ini,” sahut Lenghou Tiong.
“Ngaco-belo,” semprot si orang she Ih. “Jelas suara wanita itu nyaring dan lembut, terang usianya masih
sangat muda. Mengapa kau bilang nenek tua apa segala?”
“Suara nenek ini memang merdu dan enak didengar, kenapa mesti diherankan?” ujar Lenghou Tiong dengan
tertawa. “Padahal keponakannya saja juga lebih tua dua-tiga puluh tahun daripada kalian jangankan lagi si
nenek sendiri.”
“Minggir, biar kami masuk untuk melihatnya sendiri,” bentak orang she Ih.
Tapi Lenghou Tiong menjulurkan kedua tangannya untuk mengadang malah, katanya, “Popo (nenek) tadi
sudah mengatakan bahwa di malam hari tidaklah leluasa kaum lelaki dan wanita mengadakan pertemuan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Apalagi beliau juga tidak pernah kenal kalian, tanpa alasan apa gunanya kalian melihatnya.”
Mendadak orang she Ih mengebaskan lengan bajunya, suatu tenaga mahakuat segera menyambar tiba. Saat
itu Lenghou Tiong dalam keadaan lemah, sedikit pun tidak bertenaga lagi, keruan ia tidak sanggup bertahan,
kontan ia terdorong jatuh terguling.
Rupanya orang she Ih itu sama sekali tidak menyangka akan kelemahan Lenghou Tiong, ia menjadi tertegun
dan berkata, “Kau benar-benar murid Hoa-san-pay? Huh, kukira kau omong kosong saja!”
Habis berkata segera ia hendak melangkah lagi ke pintu gubuk.
Cepat Lenghou Tiong merangkak bangun, ternyata pipinya sudah babak dan lecet sedikit. Segera ia berseru,
“Popo tidak ingin bertemu dengan kalian, mengapa kalian tidak tahu aturan? Aku sendiri sudah pernah bicara
cukup lama dengan Popo di kota Lokyang tempo hari, tapi sampai saat ini pun aku belum melihat mukanya.”
“Bocah ini bicara tak keruan,” semprot orang she Ih. “Lekas minggir! Apa kau ingin dibanting lagi?”
Namun Lenghou Tiong lantas menjawab, “Siau-lim-pay adalah suatu aliran besar dan paling dihormati di dunia
persilatan, kedua Cianpwe juga tokoh terkemuka. Cianpwe yang itu tentu pula jago ternama dari Kun-lun-pay,
tapi sekarang di tengah malam buta kalian bertiga hendak merecoki seorang nenek yang tak bersenjata apa
pun, perbuatan kalian apakah takkan dibuat buah tertawaan orang-orang Kangouw?”
“Dasar cerewet, enyah sana!” bentak orang she Ih. Mendadak tangan kirinya menampar, “plok”, dengan telak
pipi kiri Lenghou Tiong kena digampar dengan keras.
Walaupun tenaga dalam Lenghou Tiong sudah lenyap, tapi dari gerak-gerik orang ia pun tahu dirinya akan
diserang. Cepat ia pun berusaha berkelit, celakanya badannya terasa lemas, kaki tidak menurut perintah lagi,
pukulan orang she Ih sukar dihindarkan. Keruan tubuhnya sampai berputar dua kali, matanya berkunangkunang
dan kepala pusing tujuh keliling, akhirnya ia jatuh terduduk pula.
“Ih-sute, bocah ini tidak becus ilmu silat, tak perlu buang tempo dengan dia,” kata orang she Sin. “Rupanya
kawanan setan iblis tadi sudah kabur semua, marilah kita pergi saja!”
Tetapi orang she Ih menjawab, “Kawanan setan iblis Sia-pay dari wilayah beberapa provinsi mendadak
berkumpul di Ngo-pah-kang sini, dalam sekejapan saja mereka menghilang pula secara cepat. Berkumpulnya
aneh, bubarnya juga mencurigakan. Urusan ini harus kita selidiki sejelasnya. Di dalam gubuk ini boleh jadi kita
akan menemukan sesuatu.”
Sembari berkata tangannya lantas bermaksud mendorong pintu rumah gedek.
Saat itu Lenghou Tiong sudah berbangkit kembali, tangannya sudah menghunus pedang, serunya, “Ih-cianpwe,
nenek di dalam gubuk itu pernah menanam budi padaku, maka kau harus menghadapi aku lebih dulu sebelum
mengganggu beliau, asal aku masih bernapas jangan harap kau bisa bertindak sesukamu terhadap beliau.”
Orang she Ih bergelak tertawa. Katanya, “Berdasarkan apa kau berani merintangi aku? Apakah mengandalkan
pedang yang kau pegang itu?”
“Kepandaian Wanpwe terlalu rendah, mana bisa menandingi tokoh pilihan Siau-lim-pay?” sahut Lenghou Tiong.
“Cuma segala urusan harus berdasarkan keadilan dan kebenaran. Untuk bisa memasuki rumah gedek ini kau
harus melangkah mayatku lebih dulu.”
“Ih-sute, bocah ini ternyata gagah perwira, boleh dikata seorang laki-laki, biarkan dia, mari kita pergi saja,”
kata pula si orang she Sin.
Tapi orang she Ih itu tertawa dan berkata pula terhadap Lenghou Tiong, “Kabarnya ilmu pedang Hoa-san-pay
mempunyai ciri-ciri keistimewaan tersendiri. Malahan terbagi menjadi Kiam-cong dan Khi-cong segala. Kau
sendiri dari Kiam-cong atau Khi-cong? Atau Cong kentut apa lagi? Hahahaha!”
Karena ucapannya itu, orang sute Sin dan tokoh Kun-lun-pay yang she Tam menjadi ikut tertawa geli.
“Huh, mentang-mentang lebih kuat, lalu main menang-menangan, apakah beginilah yang disebut kaum CingDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pay?” jawab Lenghou Tiong dengan suara lantang. “Apakah kau benar-benar murid Siau-lim-pay? Kukira,
omong kosong belaka!”
Keruan orang she Ih itu sangat gusar. Tangan kanan diangkat, segera ia hendak menghantam ke dada Lenghou
Tiong. Tampaknya bila serangannya dilancarkan, seketika juga Lenghou Tiong pasti akan binasa.
“Nanti dulu!” seru si orang she Sin. “Lenghou Tiong, menurut jalan pikiranmu, apakah orang dari Cing-pay
lantas tidak boleh bergebrak dengan orang?”
“Setiap orang dari Cing-pay, setiap kali turun tangan harus dapat memberikan alasannya,” jawab Lenghou
Tiong tegas.
“Baik,” kata orang she Ih sambil perlahan-lahan menjulurkan telapak tangannya. “Aku akan menghitung satu
sampai tiga. Bila aku menghitung sampai tiga kali kau masih tetap tidak mau menyingkir, maka tiga batang
tulang rusukmu akan kupatahkan.”
“Hanya tiga batang tulang rusuk saja apa artinya?” sahut Lenghou Tiong sambil tersenyum.
Segera orang she Ih mulai menghitung, “Satu ... dua ....”
“Sobat kecil,” sela si orang she Sin. “Ih-suteku ini selalu melaksanakan apa yang pernah diucapkannya. Lebih
baik kau lekas menyingkir saja.”
Lenghou Tiong tersenyum. Katanya, “Mulutku ini pun selalu menepati apa yang pernah diucapkan. Selama
Lenghou Tiong masih hidup takkan membiarkan kalian berlaku kurang ajar terhadap Popo.”
Habis berkata ia tahu pukulan orang she Ih sewaktu-waktu dapat dilontarkan. Maka diam ia menarik napas
dalam-dalam, ia himpun tenaga seadanya ke lengan kanan, tapi dada lantas terasa sakit, mata berkunangkunang.
“Tiga!” bentak orang she Ih, berbareng ia terus melangkah maju. Dilihatnya Lenghou Tiong tersenyum-senyum
dingin saja membelakangi pintu, sedikit pun tidak bermaksud menyingkir. Maka tanpa pikir lagi pukulannya,
terus dilontarkan.
Seketika Lenghou Tiong merasa napasnya menjadi sesak, tenaga pukulan lawan telah menyambar tiba.
Sekuatnya ia angkat pedangnya terus menusuk, yang diincar adalah titik tengah telapak tangan musuh.
Gerak pedangnya ini baik tempat yang diincar maupun waktunya boleh dikata sangat tepat, sedikit pun tidak
meleset. Ternyata pukulan orang she Ih yang telanjur dilontarkan itu tidak sempat ditarik kembali lagi. Maka
terdengarlah suara “cret”, menyusul suara jeritan keras, “Auuh!”
Nyata ujung pedang Lenghou Tiong telah menusuk tembus telapak tangan orang she Ih itu. Lekas-lekas orang
itu menarik kembali tangannya sehingga terlepas dari sundukan ujung pedang. Lukanya ini benar-benar amat
parah. Cepat ia melompat mundur, “sret” segera ia melolos keluar pedangnya dan berteriak, “Anak keparat,
kiranya kau hanya berlagak bodoh, tak tahunya ilmu silatmu sangat hebat. Biar ... biar kuadu jiwa saja dengan
kau.”
Hendaklah dimaklumi bahwa orang she Ih ini adalah tokoh pilihan angkatan kedua Siau-lim-pay pada masa itu.
Baik ilmu pukulan (dengan kepalan maupun telapak tangan) maupun ilmu pedang sudah memperoleh pelajaran
murni perguruannya. Gerak pedang Lenghou Tiong tadi toh tidak kelihatan ada sesuatu yang luar biasa, yang
hebat hanya arah yang jitu serta waktunya yang tepat sehingga telapak tangannya itu seakan-akan dijulurkan
sendiri untuk ditusuk dan untuk menghindar pun tidak sempat. Nyata dalam hal ilmu pedang pemuda yang
mengaku murid Hoa-san-pay ini sudah mencapai tingkatan yang sukar diukur.
Sesungguhnya Sin, Ih dan Tam bertiga adalah ahli pedang semua, sudah tentu mereka dapat menilai kejadian
itu.
Karena tangan kanan terluka, orang she Ih memindahkan pedang ke tangan kiri. Meski hatinya amat gusar,
tapi sekarang ia tidak berani pandang enteng lagi terhadap Lenghou Tiong. “Sret-sret-sret”, kembali ia
melancarkan tiga kali serangan, tapi semuanya hanya serangan pancingan belaka, sampai di tengah jalan
segera serangannya ditarik kembali.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dahulu di kelenteng Yok-ong-bio pernah sekaligus Lenghou Tiong membutakan mata 15 orang jago tangguh,
walaupun waktu itu tenaga dalamnya juga sudah punah, tapi kalau dibandingkan masih lebih mendingan
daripada sekarang, secara beruntun telah mengalami tiga kali cedera pula sehingga untuk mengangkat pedang
saja hampir-hampir tidak mampu. Tampaknya tiga kali serangan orang she Ih itu adalah ilmu pedang kelas
wahid Siau-lim-pay, maka cepat ia berseru, “Sesungguhnya Cayhe tidak bermaksud memusuhi ketiga Cianpwe,
asalkan kalian sudi meninggalkan tempat ini, maka Cayhe bersedia meminta maaf dengan setulus hati.”
“Hm,” orang she Ih itu mendengus. “Sekarang hendak minta ampun rasanya sudah terlambat!”
“Sret”, dengan cepat pedangnya menusuk ke arah leher Lenghou Tiong.
Beruntun-runtun Lenghou Tiong telah kena digampar, ia sadar gerak-geriknya sendiri teramat lamban.
Serangan lawan ini terang sukar dihindarkan. Tanpa pikir lagi ia pun membarengi menusuk dengan pedangnya.
Menyerang belakangan tapi sampai lebih dulu, “ces”, dengan tepat hiat-to penting di pergelangan tangan orang
she Ih telah tertusuk.
Tanpa kuasa lagi orang she Ih membuka jarinya sehingga pedangnya jatuh ke tanah.
Tatkala itu sang surya sudah mulai mengintip di ufuk timur. Dengan jelas orang she Ih dapat melihat darah
segar menetes keluar dari pergelangan tangan sendiri, rumput hijau menjadi merah tersiram oleh darahnya.
Untuk sejenak ia termangu-mangu, sungguh ia tidak percaya bahwa di dunia ini bisa terjadi demikian. Selang
agak lama barulah ia menghela napas panjang, tanpa bicara lagi ia terus putar tubuh dan melangkah pergi.
“Ih-sute!” seru si orang she Sin, segera ia pun menyusul pergi dengan cepat.
Orang she Tam mengamat-amati Lenghou Tiong dengan lirikan ragu-ragu. Tanyanya kemudian, “Apakah
saudara benar-benar murid Hoa-san-pay?”
Tubuh Lenghou Tiong terasa sangat lemas dan terhuyung-huyung hendak roboh, sekuatnya ia menjawab, “Ya,
benar.”
Keadaan Lenghou Tiong yang parah itu dapat dilihat dengan jelas oleh orang she Tam. Ia. pikir biarpun ilmu
pedang pemuda ini sangat hebat, asal menunggu lagi sebentar, tanpa diserang juga pemuda itu akan ambruk
sendiri. Jadi di depan matanya sekarang adalah suatu kesempatan bagus yang dapat dipergunakan.
Pikir orang she Tam, “Tadi kedua tokoh Siau-lim-pay telah dikalahkan oleh pemuda dari Hoa-san-pay ini. Jika
sekarang aku dapat merobohkan dia, kutangkap dia dan membawanya ke Siau-lim-si untuk diserahkan kepada
Hongtiang, jalan demikian bukan saja berarti Siau-lim-si utang budi padaku, bahkan pamor Kun-lun-pay juga
dapat dijunjung lebih tinggi di daerah Tionggoan.”
Bab 56. Si Nenek Aneh dan Ketua Siau-lim-si
Sesudah ambil keputusan licik itu, segera ia melangkah maju, katanya sambil tersenyum, “Anak muda, ilmu
pedangmu sungguh hebat. Marilah kita coba-coba ilmu pukulan saja.”
Melihat sikap orang she Tam itu segera Lenghou Tiong dapat meraba apa maksud tujuannya. Diam-diam ia
menggerutu akan kelicikan jahanam Kun-lun-pay ini, perbuatannya ini bahkan lebih jahat daripada orang she
Ih dari Siau-lim-pay tadi. Tanpa pikir lagi segera ia angkat pedang terus menusuk ke bahu lawan.
Tak tersangka, baru saja pedangnya terangkat atau lengannya sudah terasa lemas, sedikit pun tidak
bertenaga. “Trang”, pedang lantas jatuh ke tanah.
Keruan orang she Tam itu sangat girang, “Brak”, kontan ia melancarkan pukulan, dengan tepat dada Lenghou
Tiong kena disodok oleh telapak tangannya. “Huekk”, tanpa ampun lagi darah segar lantas menyembur keluar
dari mulut Lenghou Tiong.
Jarak kedua orang itu sangat dekat, darah segar yang ditumpahkan Lenghou Tiong itu tepat menyembur ke
arah muka orang she Tam. Lekas-lekas orang she Tam itu mengegos kepala untuk menghindar, tapi tidak
urung ada sebagian kecil menciprat di atas mukanya, bahkan ada beberapa titik jatuh ke dalam mulutnya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ia pun tidak ambil pusing walaupun mulutnya merasakan anyirnya darah. Ia khawatir Lenghou Tiong
menjemput pedang kembali melancarkan serangan balasan, maka cepat telapak tangannya diangkat, kembali
ia hendak menghantam pula. Tapi mendadak kepalanya terasa pening dan mata berkunang-kunang, seketika ia
pun roboh terguling.
Tentu saja Lenghou Tiong terheran-heran. Ia tidak habis mengerti mengapa musuh yang sudah menang itu kok
mendadak roboh sendiri malah.
Ia tidak tahu bahwa ia pernah minum arak beracun “Ngo-hoa-lo-tek-ciu” antaran dari Ngo-tok-kau (agama
pancabisa/racun), di dalam darahnya telah mengandung racun yang keras, untung dia telah minum Siok-bengpat-
wan (delapan biji pil penyambung nyawa) milik Lo Thau-cu, kadar racun di dalam darahnya telah
diperlunak oleh obat mujarab itu sehingga jiwanya tidak berbahaya. Tapi darahnya yang berbisa itu sekarang
menciprat ke dalam mulut orang she Tam, keruan ia tidak tahan. Masih untung baginya darah yang menciprat
ke dalam mulutnya itu hanya beberapa titik kecil saja sehingga jiwanya tidak sampai melayang seketika.
Dalam pada itu sang surya telah mulai memancarkan sinarnya, wajah orang she Tam itu tampak jelas bersemu
hitam kebiru-biruan, kulit mukanya tiada hentinya berkejang, berkerut-kerut, keadaannya sangat aneh dan
menyeramkan.
“Kau bermaksud membinasakan diriku, tapi kau sendiri ketularan,” kata Lenghou Tiong.
Waktu ia memandang sekelilingnya, ternyata di atas Ngo-pah-kang itu tiada bayangan seorang pun. Yang ada
hanya suara kicauan burung, di atas tanah banyak tersebar macam-macam senjata dan cawan arak serta
macam-macam perabot lain, keadaannya rada ganjil.
Sesudah mengusap mulutnya yang berdarah, lalu Lenghou Tiong berkata, “Popo, apakah baik-baik saja selama
berpisah?”
“Saat ini Kongcu jangan banyak buang tenaga lagi, silakan duduk mengaso saja,” kata si nenek di dalam rumah
gedek.
Lenghou Tiong memang merasa seluruh badannya sudah lemas lunglai, segera ia menurut dan berduduk.
Lalu terdengar suara kecapi berkumandang pula dari dalam rumah gedek itu, suaranya ulem, bening dan
merdu, badannya terasa segar seakan-akan disaluri oleh suatu hawa hangat, hawa hangat ini terus mengalir
pula ke sekeliling anggota badannya.
Selang agak lama, suara kecapi itu makin lama makin rendah, sampai akhirnya hampir-hampir tak terdengar
dan entah mulai berhenti sejak kapan. Ketika mendadak Lenghou Tiong merasa semangatnya terbangkit,
segera ia berdiri, ia memberi hormat dalam-dalam dan berkata, “Banyak terima kasih atas tabuhan sakti Popo
sehingga banyak memberi manfaat bagi Wanpwe.”
“Tanpa kenal bahaya kau telah menghalaukan musuh bagiku sehingga aku tidak sampai dihina kawanan
bangsat itu, akulah yang harus berterima kasih padamu,” kata si nenek.
“Mana boleh berkata demikian, apa yang kulakukan adalah kewajiban yang layak,” ujar Lenghou Tiong.
Nenek itu tidak bicara lagi untuk sejenak, kecapinya mengeluarkan suara “cring-creng, cring-creng” yang
perlahan, agaknya tangan si nenek tetap memetik kecapinya, tapi pikirannya sedang melayang-layang seakanakan
ada sesuatu persoalan yang susah diambil keputusan. Selang agak lama barulah ia bertanya, “Sekarang
kau akan ... akan ke mana?”
Pertanyaannya ini membikin darah Lenghou Tiong seketika bergolak memenuhi dadanya, ia merasa dunia
seluas ini seakan-akan tiada tempat berpijak baginya. Tanpa merasa ia terbatuk-batuk, sampai lama baru ia
dapat menghentikan batuknya itu, lalu menjawab, “Aku ... aku tidak tahu harus ke mana?”
“Apa kau tidak pergi mencari guru dan ibu-gurumu? Tidak pergi mencari Sute dan ... dan Sumoaymu?” tanya si
nenek.
“Mereka ... mereka entah sudah pergi ke mana, lukaku rada parah, aku tidak sanggup mencari mereka.
Seumpama dapat menemukan mereka juga ... juga, aiii!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong menghela napas panjang dan membatin, “Ya, seumpama sudah ketemukan mereka, lalu mau
apa? Mereka toh tidak suka padaku lagi.”
“Jika lukamu tidak ringan, mengapa kau tidak mencari suatu tempat yang baik, yang cocok untuk menghibur
hatimu yang lara daripada kau berduka dan menyesal percuma.”
“Hahaha! Ucapan Popo memang benar juga. Soal mati-hidupku sebenarnya tidak kupikirkan. Tapi biarlah
sekarang juga Wanpwe mohon diri untuk pergi pesiar dan mencari suatu tempat yang indah,” sembari berkata
ia terus memberi hormat ke arah rumah gedek, lalu putar tubuh dan melangkah pergi.
Baru dia berjalan beberapa tindak, mendadak terdengar seruan si nenek, “Apakah kau ... sekarang juga lantas
pergi?”
Lenghou Tiong menghentikan langkahnya dan mengiakan.
Kata pula si nenek, “Tapi lukamu tidak ringan, kau mengadakan perjalanan seorang diri, di tengah jalan tak
ada orang yang menjaga kau, hal ini tentu akan menyusahkan kau.”
Hati Lenghou Tiong menjadi terharu demi mendengar ucapan si nenek yang simpatik itu. Jawabnya, “Banyak
terima kasih atas perhatian Popo. Penyakitku ini terang tak bisa disembuhkan lagi. Mati lebih cepat atau lambat
dan mati di mana saja bagiku tiada banyak bedanya.”
“O, kiranya demikian,” kata si nenek. “Cuma ... cuma, kalau kau sudah pergi, lalu orang jahat dari Siau-lim-pay
itu putar balik ke sini, lantas bagaimana? Tam Tik-jin, orang Kun-lun-pay ini hanya jatuh pingsan saja, sesudah
siuman boleh jadi ia pun akan mencari perkara padaku.”
“Kau hendak ke mana Popo? Biar aku mengantarkan kau,” kata Lenghou Tiong.
“Baik sekali maksudmu ini. Cuma untuk ini rasanya ada suatu kesukaran dan mungkin akan membikin susah
padamu.”
“Membikin susah padaku? Sedangkan jiwaku ini saja adalah Popo yang menyelamatkan, kenapa pakai
membikin susah padaku atau tidak?”
Nenek itu menghela, napas, katanya, “Aku ada seorang musuh yang sangat lihai, dia telah mencari aku ke kota
Lokyang sana, terpaksa aku menyingkir ke sini, tapi rasanya tidak lama lagi ia pun akan menyusul kemari,
dalam keadaan payah sehingga tidak mampu bergebrak dengan dia. Aku hanya ingin mencari suatu tempat
yang baik untuk menghindarinya sementara waktu. Kelak aku sudah mengumpulkan bala bantuan baru aku
akan membikin perhitungan dengan dia. Namun untuk minta kau mengantar dan mengawal aku, pertama, kau
sendiri terluka, kedua, kau adalah seorang pemuda yang lincah dan gagah, bila mengiringi seorang nenek
apakah kau takkan merasa kesal?”
“Hahaha, kukira Popo ada apa-apa yang sukar dilakukan, tak tahunya hanya soal sepele ini,” seru Lenghou
Tiong dengan tertawa. “Popo hendak ke mana biarlah aku mengantarmu, ke ujung langit sekalipun asalkan aku
masih belum mati pasti akan kukawal juga ke sana.”
“Jika demikian harus membikin capek padamu,” kata si nenek, agaknya merasa sangat senang. “Apakah betul
ke ujung langit sekalipun juga, kau akan mengantar aku ke sana?”
“Benar, tak peduli ke ujung langit atau ke pojok samudra pasti Lenghou Tiong akan mengantar Popo ke sana.”
“Tapi ada lagi suatu kesukaran yang lain.”
“Kesukaran apa lagi?”
“Wajahku ini sangat jelek, siapa pun yang melihat mukaku pasti akan kaget setengah mati, sebab itulah aku
tidak ingin memperlihatkan muka asliku kepada orang. Untuk ini kau harus menerima suatu syaratku bahwa di
mana pun dan dalam keadaan apa pun juga kau tak boleh memandang sekejap saja padaku. Tidak boleh
memandang mukaku, dilarang melihat perawakan dan kaki atau tanganku, juga dilarang memandang bajuku
atau sepatuku.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Hati Wanpwe sepenuhnya menghormati Popo, aku merasa terima kasih atas perhatian Popo terhadap diriku.
Adapun mengenai keadaan wajah Popo apa sih sangkut pautnya?”
“Jika kau tidak dapat menerima syaratku ini, maka bolehlah kau pergi saja sesukamu.”
“Baik, baik, kuterima baik, tak peduli di mana dan dalam keadaan apa pun juga aku pasti takkan memandang
berhadapan kepada Popo.”
“Bayangan ke belakangku pun tidak boleh dipandang,” si nenek menambahkan.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Masakah sampai bayangan belakangmu juga amat buruk untuk
dipandang? Bayangan belakang yang paling jelek di dunia ini tidak lebih dari manusia bungkuk, orang kerdil.
Tapi ini pun tidak menjadi soal bagiku. Namun sepanjang jalan sampai-sampai bayangan belakang pun aku
dilarang memandangnya, lalu cara bagaimana aku harus mengawal kau, kan runyam?”
Melihat Lenghou Tiong merasa ragu-ragu dan tidak menjawab, segera si nenek menegas, “Apakah kau tidak
sanggup?”
“Sanggup, pasti sanggup. Bila aku sampai memandang sekejap saja kepada Popo, biarlah nanti aku mengorek
biji mataku sendiri.”
“Asal kau ingat baik-baik saja janjimu ini. Nah, sekarang kau jalan di depan, biar aku mengintil dari belakang.”
“Baik,” sahut Lenghou Tiong terus mulai berjalan ke bawah bukit. Terdengar suara tindakan halus di
belakangnya, nyata nenek itu telah menyusulnya.
Belasan meter jauhnya, tiba-tiba si nenek mengangsurkan sebatang ranting kayu, katanya, “Kau gunakan ini
sebagai tongkat, jalan perlahan-lahan saja.”
Lenghou Tiong mengiakan pula. Dengan tongkat darurat itu ia menuruni bukit itu dan ternyata tidak begitu
payah langkahnya.
Sesudah sekian jauhnya, tiba-tiba ia ingat sesuatu, tanyanya, “Popo, orang she Tam dari Kun-lun-pay itu kok
kau kenal namanya?”
“Ya,” sahut si nenek. “Tam Tik-jin itu adalah jago nomor tiga di antara anak murid angkatan kedua Kun-lunpay,
dalam hal ilmu pedang ia sudah memperoleh enam atau bagian dari kepandaian gurunya. Dibandingkan
toasuheng dan jisuhengnya juga masih selisih jauh. Sedangkan ilmu pedang orang Siau-lim-pay yang tinggi
besar yang bernama Sin Kok-liong itu pun jauh lebih tinggi daripada dia.”
“O, kiranya si gede itu bernama Sin Kok-liong. Masih kenal aturan juga dia daripada orang she Ih itu.”
“Sutenya itu bernama Ih Kok-cu, orang ini memang lebih kurang ajar. Tadi sekali tusuk kau menembus telapak
tangannya, lalu pedangmu melukai pergelangannya pula. Kedua kali serangan itu sungguh sangat bagus.”
“Ah, itu hanya karena terpaksa saja,” ujar Lenghou Tiong. “Kini aku menjadi mengikat permusuhan dengan
Siau-lim-pay, bahaya di kemudian hari tentu takkan habis-habis.”
“Apanya yang hebat hanya Siau-lim-pay saja?” jengek si nenek. “Kita pun belum tentu kalah dengan mereka.
Tadi aku sama sekali tidak menduga bahwa Tam Tik-jin itu bisa menghantam kau, lebih-lebih tidak nyana kau
akan muntah darah.”
“Eh, jadi Popo telah mengikuti semua kejadian tadi? Aku pun tidak tahu mengapa Tam Tik-jin itu mendadak
bisa jatuh tak sadarkan diri?”
“Masakah kau sendiri pun tidak tahu?” si nenek menegas. “Di dalam darahmu banyak terserap racun jahat dari
Ngo-tok-kau, yaitu gara-gara perbuatan wanita siluman Na Hong-hong, itu Kaucu dari Ngo-tok-kau. Rupanya
darahmu menciprat ke dalam mulutnya Tam Tik-jin, keruan ia tidak tahan.”
Baru sekarang Lenghou Tiong paham duduknya perkara, “O, kiranya demikian. Tapi aku sendiri mengapa
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
malah tapi aku sendiri mengapa malah tahan, sungguh aneh. Selamanya aku tiada punya permusuhan apa-apa
dengan Na-kaucu dari Ngo-tok-kau itu, entah sebab apa dia sengaja meracuni aku?”
“Siapa bilang dia sengaja meracuni kau?” sahut si nenek. “Dia justru bermaksud baik terhadapmu. Hm, dia
berkhayal akan menyembuhkan penyakitmu yang aneh. Dia sengaja menyalurkan racun ke dalam darahmu
agar jiwamu tidak berbahaya. Cara demikian adalah cara kesukaan Ngo-tok-kau mereka.”
“Ya, makanya. Memang aku pun tiada punya permusuhan apa-apa dengan Na-kaucu, masakan tanpa sebab dia
hendak membikin celaka padaku.”
“Sudah tentu dia tidak bermaksud membikin celaka padamu. Bahkan ia justru ingin memberikan kebaikan
padamu sebisanya.”
Lenghou Tiong tersenyum. Lalu tanya pula, “Entah Tam Tik-jin itu bisa mati atau tidak?”
“Ini harus tergantung kepada kekuatan lwekangnya. Entah darah berbisa yang menciprat ke dalam mulutnya
itu sedikit atau banyak?”
Bila membayangkan muka Tam Tik-jin yang kejang dan berkerut-kerut sesudah terkena racun tadi, tanpa
merasa Lenghou Tiong bergidik sendiri.
Kira-kira beberapa li jauhnya, sampailah mereka di tempat yang datar.
Tiba-tiba si nenek berkata, “Coba pentang telapak tanganmu!”
Lenghou Tiong mengiakan dengan heran karena tidak tahu permainan apa yang hendak dilakukan nenek itu.
Tapi segera ia pun membuka tangannya, “pluk”, mendadak terdengar suara perlahan, ada sesuatu benda kecil
tertimpuk ke tengah telapak tangannya dari arah belakang. Waktu diperiksa, kiranya adalah sebutir obat pil
sebesar biji lengkeng.
“Telanlah obat itu dan duduk mengaso di bawah pohon besar sana,” kata si nenek.
Sesudah mengiakan pula, segera Lenghou Tiong masukkan pil itu ke dalam mulut dan ditelannya tanpa pikir.
“Aku ingin memperoleh perlindungan ilmu pedangmu yang sakti untuk menjaga keselamatanku, makanya aku
mau memberikan obatku ini untuk mempertahankan jiwamu supaya kau tidak mati mendadak dan aku
kehilangan pengawal yang kuandalkan,” demikian kata si nenek. “Jadi bukan maksudku hendak ... hendak
berbaik hati kepadamu, lebih-lebih aku tidak bermaksud menolong jiwamu. Untuk ini hendaklah kau ingat
betul-betul.”
Kembali Lenghou Tiong mengiakan saja, sampai di bawah pohon, segera ia duduk mengaso bersandar di
batang pohon. Di dalam perut tiba-tiba terasa ada suatu hawa hangat perlahan-lahan menyongsong ke atas,
seakan-akan timbul tenaga baru yang tak terbatas menyusup ke berbagai isi perut serta urat-urat nadinya.
Diam-diam ia, merenung, “Obat pil tadi jelas banyak memberi manfaat kepada kesehatan badanku, tapi si
nenek justru tidak mau mengaku telah memberi kebaikan padaku, katanya pula aku hanya hendak diperalat
sebagai pengawalnya saja. Sungguh aneh, padahal di dunia ini umumnya orang justru tidak mau mengaku
bahwa dia telah memperalat orang lain, masakah kini dia justru sengaja menyatakan hendak memperalat
diriku, padahal tidak?”
Lalu terpikir pula olehnya, “Tadi waktu dia melemparkan pil itu ke dalam tanganku, pil itu jatuh di telapak
tangannya tanpa mencelat jatuh, caranya melemparkan tadi terang menggunakan semacam tenaga lunak yang
sangat tinggi dalam ilmu lwekang. Jadi jelas ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripadaku, mengapa dia
menghendaki pengawalanku? Tapi, ai, biarlah, apa yang dia inginkan biar aku menurutkan saja.”
Hanya duduk sebentar saja Lenghou Tiong lantas berbangkit, katanya, “Marilah kita melanjutkan perjalanan.
Apakah Popo masih lelah?”
“Ya, aku sangat letih, biarlah kita mengaso sebentar lagi,” sahut si nenek.
“Baik,” Lenghou Tiong pikir usia si nenek tentu sudah amat lanjut, sekalipun ilmu silatnya sangat tinggi dalam
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
hal tenaga tentu tak bisa sama dengan orang muda. Maka kembali ia duduk pula di tempatnya.
Selang sejenak pula barulah si nenek berkata, “Marilah berangkat!”
Lenghou Tiong mengiakan dan segera mendahului berjalan di depan dan si nenek tetap mengintil dari
belakang. Sesudah makan obat tadi, seketika Lenghou Tiong merasa langkahnya menjadi jauh lebih enteng dan
cepat daripada sebelumnya. Ia menurut petunjuk si nenek, yang dipilih selalu adalah jalan kecil yang sepi.
Kira-kira belasan li jauhnya, mereka telah memasuki jalan pegunungan yang berliku-liku dan berbatu. Setelah
membelok suatu lereng, tiba-tiba terdengar suara seorang sedang berkata, “Lekas kita makan dan secepatnya
meninggalkan tempat berbahaya ini.”
Lalu terdengar suara beberapa puluh orang sama mengiakan.
Lenghou Tiong menghentikan langkahnya, dilihatnya di tanah rumput di tepi tebing sana ada beberapa puluh
orang laki-laki sedang duduk makan minum. Pada saat itulah orang-orang itu pun juga sudah melihat Lenghou
Tiong, seorang di antaranya lantas mendesis, “Itulah Lenghou-kongcu!”
Samar-samar Lenghou Tiong juga masih dapat mengenal orang-orang itu yang beramai-ramai ikut datang ke
atas Ngo-pah-kang tadi malam. Baru saja ia bermaksud menyapa, sekonyong-konyong beberapa puluh orang
itu tiada satu pun yang bersuara pula, semuanya diam sebagai bisu, pandang mereka sama terbelalak ke
belakang Lenghou Tiong.
Air muka orang-orang itu sangat aneh, ada yang sangat ketakutan, ada yang kaget dan gugup sekali seakanakan
mendadak ketemukan sesuatu yang sukar dilukiskan, sesuatu yang sukar dihadapi.
Melihat keadaan demikian seketika Lenghou Tiong bermaksud menoleh untuk melihat apa yang berada di
belakangnya sehingga membuat beberapa puluh orang itu sesaat itu termangu seperti patung? Tapi segera ia
lantas sadar bahwa sebabnya orang-orang itu bersikap demikian tentu karena mendadak melihat si nenek yang
ikut di belakangnya itu. Padahal dirinya sendiri telah berjanji takkan memandang sekejap pun kepadanya. Maka
cepat ia tarik kembali lehernya sendiri yang sudah setengah tergeser itu.
Sungguh tidak habis herannya, mengapa orang-orang itu lantas sedemikian kaget dan takut demi melihat si
nenek? Apakah benar-benar muka si nenek sangat aneh, lain daripada manusia, yang lain?
Tiba-tiba seorang laki-laki di antaranya berbangkit, belati diangkat terus ditikamkan ke arah sepasang matanya
sendiri, seketika darah segar bercucuran.
Keruan kaget Lenghou Tiong tak terperikan. “Kenapa kau berbuat demikian?” teriaknya.
“Mata hamba ini sudah buta sejak tiga hari yang lalu dan tidak dapat melihat apa-apa lagi!” teriak orang itu.
Menyusul dua orang lagi lantas mencabut goloknya masing-masing untuk membutakan matanya sendiri,
semuanya berseru, “Mata hamba sudah lama buta, segala apa tidak bisa lihat lagi!”
Sungguh kejut dan heran Lenghou Tiong tak terkatakan. Dilihatnya laki-laki yang lain beramai-ramai juga
melolos senjata masing-masing dan bermaksud membutakan matanya sendiri-sendiri. Cepat ia berseru, “Hei,
hei! Nanti dulu! Ada urusan apa dapat dibicarakan dengan baik-baik, tapi jangan membutakan matanya sendiri.
Sebenarnya apa ... apakah sebabnya?”
Seorang di antaranya menjawab dengan sedih, “Sebenarnya hamba berani bersumpah bahwa sekali-kali hamba
takkan banyak mulut, cuma hamba khawatir tak dipercayai.”
“Popo,” seru Lenghou Tiong, “harap engkau menolong mereka dan suruh mereka jangan membutakan matanya
sendiri.”
“Baik, aku dapat memercayai kalian,” tiba-tiba si nenek bersuara. “Di lautan timur ada sebuah Boan-liong-to
(pulau naga melingkar), apakah di antara kalian ada yang tahu?”
“Ya, pernah kudengar cerita orang bahwa kira-kira 500 li di tenggara Coanciu di provinsi Hokkian ada sebuah
pulau Boan-liong-to yang tak pernah dijejaki manusia, keadaan pulau itu sunyi senyap dan terpencil,” demikian
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sahut seorang tua.
“Nah, memang pulau itulah yang kumaksudkan,” kata si nenek. “Sekarang juga kalian segera berangkat
pesiarlah ke pulau itu, selama hidup ini tak perlu lagi pulang ke Tionggoan sini.”
Serentak puluhan orang itu mengiakan dengan rasa kegirangan. Seru mereka, “Baik, segera kami akan
berangkat.”
“Sepanjang jalan kami pasti takkan bicara apa pun juga dengan orang lain!”
“Kalian akan bicara atau tidak peduli apa dengan aku?” kata si nenek.
“Ya, benar! Memang hamba yang ngaco-belo tak keruan!” seru orang itu sembari angkat tangan dan
menempeleng mukanya sendiri.
“Enyahlah!” kata si nenek.
Tanpa bersuara lagi puluhan laki-laki itu lantas berlari-lari pergi seperti kesetanan. Tiga orang di antaranya
yang matanya buta telah diusung oleh teman-temannya, dalam sekejap saja mereka sudah menghilang di
kejauhan.
Diam-diam Lenghou Tiong terkesiap. Pikirnya, “Hanya sepatah kata si nenek saja orang-orang itu sudah
digebah mengasingkan diri ke pulau terpencil di lautan timur dan dilarang pulang untuk selama hidup. Tapi
orang-orang itu tidak bersusah, sebaliknya kegirangan setengah mati seperti mendapat pengampunan saja.
Seluk-beluk urusan ini benar-benar membikin aku tidak habis mengerti.”
Tanpa bersuara Lenghou Tiong meneruskan perjalanan ke depan, pikirannya bergolak dengan hebat, ia merasa
nenek yang mengikut di belakangnya itu benar-benar manusia aneh yang selamanya belum pernah didengar
dan dilihatnya. Pikirnya, “Semoga sepanjang jalan nanti jangan bertemu pula dengan kawan-kawan yang
pernah berkumpul di Ngo-pah-kang itu. Padahal dengan penuh simpatik mereka datang dengan maksud
hendak menyembuhkan penyakitku, tapi kalau mereka kepergok dengan nenek, tentu mereka akan
membutakan matanya sendiri atau dihukum buang ke pulau terpencil, jika demikian bukankah mereka sangat
penasaran?”
Setelah beberapa li lagi, jalanan makin berliku dan makin terjal. Tiba-tiba terdengar di belakang mereka ada
orang berteriak, “Hah, yang berjalan di depan itulah Lenghou Tiong.”
Suara orang itu sangat nyaring dan keras, sekali dengar lantas dikenal adalah suaranya Sin Kok-liong dari
Siau-lim-pay itu.
“Aku tidak ingin bertemu dengan dia, boleh kau melayani sekadarnya,” kata si nenek.
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu terdengar suara gemeresik disertai berguncangnya semak-semak rumput di
tepi jalan. Agaknya si nenek telah menyusup ke dalam semak-semak.
Maka terdengar suaranya Sin Kok-liong sedang berkata pula, “Susiok, Lenghou Tiong itu terluka, tentu dia tak
bisa berjalan cepat.”
Jaraknya waktu itu sebenarnya masih cukup jauh, tapi suara Sin Kok-liong betul-betul teramat keras, hanya
bicara biasanya saja suaranya sudah dapat didengar dengan jelas oleh Lenghou Tiong.
“Kiranya dia tidak sendirian, tapi membawa pula seorang susioknya,” demikian Lenghou Tiong membatin. Ia
pikir akhirnya toh akan tersusul, buat apa capek-capek berjalan lebih jauh. Segera ia berduduk di tepi jalan
untuk menunggu.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara tindakan orang. Beberapa orang telah muncul. Sin Kok-liong dan Ih
Kok-cu termasuk di antaranya. Selain mereka ada pula dua orang hwesio dan seorang laki-laki setengah umur.
Laki-laki itu dan Ih Kok-cu berjalan paling belakang, kedua hwesio itu yang seorang usianya sudah sangat
lanjut, mukanya, penuh berkeriput. Hwesio yang lain baru berumur 40-an, tangannya membawa Hong-pian-jan
(tongkat kaum hwesio).
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Segera Lenghou Tiong berbangkit dan memberi hormat, sapanya, “Wanpwe Lenghou Tiong dari Hoa-san-pay
menyampaikan salam hormat kepada para Cianpwe dari Siau-lim-pay. Numpang tanya siapakah gelaran
Cianpwe yang mulia?”
“Anak ....” baru Ih Kok-cu hendak mendamprat, tiba-tiba si hwesio tua sudah membuka suara, “Gelar Lolap
adalah Hong-sing.”
Karena si padri tua membuka suara, terpaksa Ih Kok-cu tutup mulut seketika. Tapi wajahnya masih mengunjuk
rasa murka, agaknya dia masih keki karena kecundangnya tadi.
“Terimalah hormatku, Taysu,” Lenghou Tiong menjalankan penghormatan pula.
Hong-sing manggut-manggut, katanya dengan ramah tamah, “Siauhiap tidak perlu banyak adat. Apakah
gurumu Gak-siansing baik-baik saja?”
Semula waktu dirinya dikejar sebenarnya hati Lenghou Tiong rada khawatir dan kebat-kebit. Tapi kini sesudah
melihat sikap Hong-sing yang ramah, terang seorang padri yang saleh dan beragama tinggi. Ia tahu padri Siaulim-
si yang pakai gelaran “Hong” adalah angkatan tertua pada zaman ini, Hong-sing ini pastilah saudara
seperguruan dengan Hong-ting, ketua Siau-lim-si yang sekarang. Maka ia menduga padri tua ini pasti tidak
kasar seperti Ih Kok-cu. Seketika legalah hati Lenghou Tiong. Dengan penuh hormat ia lantas menjawab,
“Berkat doa restu Taysu, guru baik-baik saja.”
“Keempat orang ini adalah Sutitku,” Hong-sing memperkenalkan. “Padri ini bergelar Kat-gwe, yang ini adalah
Ui Kok-pek Sutit dan yang itu adalah Sin Kok-liong dan Ih Kok-cu Sutit. Kedua Sutitku yang tersebut
belakangan ini sudah kau kenal bukan?”
“Ya, keempat Cianpwe terimalah hormatku,” sahut Lenghou Tiong. “Wanpwe dalam keadaan terluka sehingga
tak bisa menjalankan peradatan yang sempurna, diharap para Cianpwe sudi memberi maaf.”
“Hm, kau terluka?” jengek Ih Kok-cu.
“Apa kau benar-benar terluka?” Hong-sing menegas. “Kok-cu, apakah kau yang melukai dia?”
“Ah, hanya sedikit salah paham saja tidak menjadi soal,” ujar Lenghou Tiong. “Dengan angin kebasan lengan
baju Ih-cianpwe telah membanting jatuh Wanpwe ditambah lagi pukulan satu kali. Untungnya tidak sampai
mati maka Taysu tak perlu mengomeli Ih-cianpwe.”
Dasar Lenghou Tiong memang pintar putar lidah, datang-datang ia lantas menyatakan dirinya terluka parah
dan menimpakan segala tanggung jawab kepada Ih Kok-cu, ia menduga Hong-sing pasti tidak dapat
membiarkan keempat sutitnya membikin susah lagi padanya. Maka segera ia menambahkan pula, “Apa yang
terjadi telah disaksikan juga oleh Sin-cianpwe. Namun dengan kesudian Taysu berkunjung kemari, betapa pun
Wanpwe sudah merasa mendapat kehormatan besar dan pasti takkan memberi lapor kepada guruku. Taysu
boleh tak usah khawatir, biarpun lukaku cukup parah juga pasti takkan menimbulkan persengketaan antara
Ngo-gak-kiam-pay dengan Siau-lim-pay.”
Dengan kata-katanya ini menjadi seperti lukanya yang parah dan sukar sembuh itu adalah karena kesalahan Ih
Kok-cu.
Keruan Ih Kok-cu sangat gemas, “Kau ... kau ngaco-belo belaka. Memangnya kau sudah terluka parah
sebelumnya.”
“Eh, hal ini jangan sekali-kali Ih-cianpwe menyinggungnya,” ujar Lenghou Tiong pura-pura gegetun. “Jika
ucapanmu ini sampai tersiar bukankah akan sangat merugikan nama baik Siau-lim-si?”
Diam-diam Sin Kok-liong, Ui Kok-pek dan Kat-gwe bertiga mengangguk. Mereka tahu padri Siau-lim-si dari
angkatan “Hong” adalah tingkatan yang tertinggi, walaupun berbeda dari golongan-golongan yang tergabung
dalam Ngo-gak-kiam-pay, tapi kalau diurutkan menurut tingkatan masing-masing, maka angkatan “Hong” dari
Siau-lim-si masih lebih tua satu angkatan daripada para ketua Ngo-gak-kiam-pay. Sebab itulah Sin Kok-liong,
Ih Kok-cu dan lain-lain juga jauh lebih tinggi kedudukannya daripada angkatannya Lenghou Tiong.
Pertarungan antara Ih Kok-cu dan Lenghou Tiong sudah merendahkan diri Ih Kok-cu, karena dia lebih tua dan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
lebih tinggi angkatannya, apalagi waktu itu dari pihak Siau-lim-pay mereka hadir dua orang, sebaliknya
Lenghou Tiong cuma seorang diri, lebih-lebih sebelum bergebrak Lenghou Tiong sudah terluka.
Kalau menurut peraturan tata tertib Siau-lim-pay yang keras, jika Ih Kok-cu benar-benar memukul mati
seorang anak muda dari Hoa-san-pay, sekalipun tidak sampai mengganti nyawa, paling sedikit juga akan
dijatuhi hukuman memunahkan ilmu silatnya dan dipecat dari perguruan. Karena itulah wajah Ih Kok-cu
seketika menjadi pucat.
“Coba kau kemari, Siauhiap, biar kuperiksa keadaan lukamu,” kata Hong-sing pula.
Lenghou Tiong mendekatinya. Segera Hong-sing menggunakan tangan kanan untuk memegang pergelangan
tangan Lenghou Tiong, jarinya menekan di tempat “Tay-yan-hiat” dan “Keng-ki-hiat”. Tapi mendadak terasa
dari tubuh Lenghou Tiong timbul semacam tenaga dalam yang aneh, sekali getar jarinya lantas terpental buka.
Berdetak juga perasaan Hong-sing. Dia adalah tokoh terkemuka yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari
dari angkatan tua Siau-lim-pay pada zaman ini, tapi jarinya sekarang ternyata bisa terpental balik oleh tenaga
dalam seorang pemuda, hal ini benar-benar tak pernah terpikirkan olehnya. Ia tidak tahu bahwa di dalam
tubuh Lenghou Tiong sudah tercakup tenaga murni tujuh jago lihai, yaitu dari Tho-kok-lak-sian dan Put-kay
Hwesio. Betapa pun tinggi ilmu silat Hong-sing, dalam keadaan tak tersangka-sangka juga tidak dapat tahan
getaran tenaga gabungan dari ketujuh jago kelas tinggi itu.
Begitulah Hong-sing telah bersuara heran. Dengan terbelalak ia menatap tajam kepada Lenghou Tiong, katanya
kemudian, dengan perlahan, “Siauhiap, kau bukan orang Hoa-san-pay.”
“Wanpwe benar-benar murid Hoa-san-pay dan adalah murid pertama guruku,” sahut Lenghou Tiong.
“Tapi kenapa kau masuk ke perguruan Sia-pay pula dan belajar ilmu dari golongan sesat dan liar itu?” kata
Hong-sing.
Tiba-tiba Ih Kok-cu menimbrung, “Susiok, apa yang digunakan bocah ini memang benar adalah ilmu silat dari
Sia-pay, buktinya memang demikian, betapa pun dia tidak bisa menyangkal lagi. Malahan tadi kita juga melihat
di belakangnya ada mengikut seorang perempuan, mengapa sekarang menghilang dan main sembunyisembunyi,
terang bukan manusia baik-baik.”
Mendengar kata-katanya menghina si nenek, Lenghou Tiong menjadi gusar, bentaknya, “Kau adalah murid
golongan Cing-pay, kenapa ucapanmu tidak kenal sopan santun? Tentang Popo itu, memang beliau tidak sudi
melihat kau agar beliau tidak gusar.”
“Boleh kau suruh dia keluar, apakah dia Cing atau Sia dengan sekali pandang saja, Susiok kami dapat
mengetahuinya,” kata Ih Kok-cu.
“Timbulnya pertengkaran kau dan aku justru disebabkan kekurangajaranmu terhadap Popoku, sekarang kau
berani ngaco-belo tak keruan lagi?” semprot Lenghou Tiong.
Sejak tadi Kat-gwe Hwesio hanya diam saja, sekarang ia telah menyela, “Lenghou-siauhiap, dari atas bukit tadi
kulihat perempuan yang ikut di belakangmu itu langkahnya sangat enteng dan gesit, tidak mirip seorang nenek
seperti ucapanmu.”
“Popoku adalah orang persilatan, sudah tentu langkahnya enteng dan gesit, kenapa mesti heran?” sahut
Lenghou Tiong.
“Kat-gwe,” kata Hong-sing sambil menggeleng, “kita adalah cut-keh-lang (orang yang sudah meninggalkan
keluarga), mana boleh berkeras hendak melihat famili perempuan orang lain. Baiklah Lenghou-siauhiap,
memang banyak hal-hal yang mencurigakan di dalam urusan ini, Lolap seketika juga tidak paham. Tampak
badanmu yang kau katakan itu juga bukan disebabkan serangan Ih-sutitku. Pertemuan kita ini boleh dikata ada
jodoh juga, semoga kesehatanmu lekas pulih, sampai berjumpa pula.”
Diam-diam Lenghou Tiong kagum terhadap padri agung Siau-lim-si yang memang berbeda jauh dengan para
sutitnya itu. Segera ia memberi hormat dan mengucapkan kata-kata merendah hati. Tapi belum habis
ucapannya, sekonyong-konyong Ih Kok-cu telah melolos pedang dan membentak, “Itu dia di sini!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Berbareng itu dia lantas menubruk ke tengah semak-semak tempat sembunyi si nenek tadi.
Lekas-lekas Hong-sing berseru, “Jangan, Ih-sutit!”
Tapi apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. “Bluk” tahu-tahu Ih Kok-cu mencelat kembali dari tengah
semak-semak rumput itu terus terbanting kaku telentang di atas tanah. Tertampak kaki dan tangannya
berkelojotan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.
Keruan Hong-sing dan lain-lain sangat terkejut. Terlihat muka Ih Kok-cu sudah hancur, besar kemungkinan
kena diketok oleh benda-benda berat sebangsa palu dan sebagainya. Tangan Ih Kok-cu bahkan masih kencang
memegangi pedangnya, namun jiwanya sudah melayang.
Bab 57. Si Nenek Ternyata adalah Gadis yang Cantik
Dengan membentak gusar Sin Kok-liong, Ui Kok-pek dan Kat-gwe bertiga berbareng menubruk ke tengah
semak-semak bersama senjata mereka. Akan tetapi Hong-sing keburu mengebaskan lengan bajunya sehingga
ketiga orang itu kena dicegah oleh suatu kekuatan angin yang lunak. Habis itu Hong-sing lantas berseru
lantang ke tengah semak-semak, “Toyu (kawan agama) dari Hek-bok-keh manakah yang berada di sini?”
Tapi keadaan semak-semak sana ternyata sunyi senyap tiada bergerak sedikit pun.
Segera Hong-sing berseru pula, “Siau-lim-pay kami selamanya tiada permusuhan apa-apa dengan para Toyu
dari Hek-bok-keh, mengapa Toheng menggunakan cara sedemikian kejam atas diri Ih-sutit kami?”
Namun di tengah semak-semak itu tetap tiada suara apa-apa juga tiada seorang pun yang menjawab.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, “Berulang-ulang Hong-sing Taysu menyebut nama ‘Hek-bok-keh’, golongan
orang macam apakah itu? Nama ini belum pernah kudengar selama ini.”
Terdengar Hong-sing Taysu sedang berkata pula, “Dahulu Lolap pernah bertemu sekali dengan Tonghongkaucu.
Karena Toyu sudah turun tangan membunuh orang, maka pihak mana yang benar dan pihak mana yang
salah sekarang juga harus ditentukan. Kenapa Toyu tidak tampil ke sini untuk bertemu saja?”
Hati Lenghou Tiong tergetar mendengar “Tonghong-kaucu” disebut. Bukankah yang dimaksudkan adalah
Tonghong Hing, itu Kaucu dari Mo-kau yang termasyhur? Orang itu dianggap sebagai tokoh nomor satu pada
zaman ini, jangan-jangan si nenek ini adalah orang dari Mo-kau?”
Akan tetapi si nenek yang sembunyi di tengah semak-semak itu tetap diam-diam saja tanpa menggubris
ucapan Hong-sing Taysu.
“Jika Toyu tetap tidak sudi tampil ke muka, maafkan saja jika Lolap terpaksa berlaku kasar!” seru Hong-sing
pula.
Habis berkata, kedua tangannya sedikit menjulur ke belakang, kedua lengan bajunya seketika melembung,
menyusul terus disodok ke depan. Maka terdengarlah suara berderak yang keras, puluhan batang pohon sama
patah dan roboh.
Pada saat itulah sekonyong-konyong sesosok bayangan orang meloncat keluar dari tengah semak-semak.
Lekas-lekas Lenghou Tiong putar tubuh ke arah lain. Didengarnya Sin Kok-liong dan Kat-gwe telah membentak
berbareng disertai suara nyaring benturan senjata yang ramai dan cepat, jelas si nenek sudah mulai bertempur
dengan Hong-sing dan kawan-kawannya.
Waktu itu sudah lewat tengah hari, cahaya matahari menyorot miring dari samping. Untuk pegang teguh
janjinya sendiri, biarpun di dalam hati sesungguhnya sangat gelisah, tapi Lenghou Tiong tidak berani menoleh
untuk menyaksikan keadaan pertempuran keempat orang itu. Mendadak terlihat bayangan-bayangan orang
berseliweran di atas tanah, teranglah Hong-sing berempat telah mengepung rapat si nenek.
Hong-sing Taysu tidak memakai senjata, sedangkan senjata Kat-gwe adalah Hong-pian-san, tongkat padri. Ui
Kok-pek menggunakan golok dan Sin Kok-liong memakai pedang. Sebaliknya senjata si nenek adalah sepasang
senjata pendek, bentuknya mirip belati dan menyerupai cundrik pula, pendek sekali senjata-senjata itu dan
tipis seakan-akan bening tembus, hanya dari berkelebatnya bayangan sukar untuk diketahui macam senjata
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
apa sesungguhnya.
Si nenek dan Hong-sing sama-sama tidak bersuara, sedangkan Sin Kok-liong bertiga yang terus membentakbentak,
perbawa mereka sangat menakutkan orang.
“Segala urusan dapat dibicarakan secara baik-baik, kalian empat orang laki-laki mengerubut seorang nenek
reyot, kesatria macam apakah kalian ini?” demikian teriak Lenghou Tiong.
“Nenek reyot? Hehe, rupanya bocah ini mimpi di siang bolong,” jengek Ui Kok-pek.
Belum habis suaranya, mendadak Hong-sing berseru, “Awas, Ui ....”
Namun sudah terlambat terdengar Ui Kok-pek menjerit, “Aaaah!” agaknya sudah terluka parah.
Sungguh tidak kepalang kejut Lenghou Tiong, “Betapa lihai ilmu silat si nenek. Dari kebutan lengan baju Hongsing
Taysu tadi, jelas tenaga dalamnya jarang ada bandingannya di dunia persilatan pada zaman ini. Tapi
dengan satu lawan empat toh si nenek masih berada di atas angin dan dapat menjatuhkan salah seorang
pengeroyoknya.”
Bahkan menyusul lantas terdengar jeritan Kat-gwe pula, “blang”, tongkat yang bobotnya puluhan kati itu
terlepas dari cekalan dan melayang lewat di atas kepala Lenghou Tiong terus jatuh ke tempat belasan meter
jauhnya sebelah sana, “trang”, tongkat itu menghantam sepotong batu besar sehingga memercikkan lelatu api,
batu pecah berhamburan, gagang tongkat itu pun bengkok.
Bayangan orang yang berseliweran itu kini sudah berkurang dua sosok, Ui Kok-pek dan Kat-gwe Hwesio sudah
menggeletak di atas tanah, tinggal Hong-sing dan Sin Kok-liong saja yang masih bertempur dengan sengit.
“Siancay, Siancay! Begini keji kau, beruntun-runtun tiga orang Sutitku telah kau bunuh, terpaksa Lolap harus
melayani kau sepenuh tenaga,” terdengar Hong-sing berkata. Menyusul terdengarlah “trang-trang-trang”
beberapa kali, agaknya Hong-sing Taysu juga sudah menggunakan senjata.
Lenghou Tiong merasa sambaran angin yang kuat di belakangnya makin lama makin keras sehingga selangkah
demi selangkah ia terdesak ke depan.
Sesudah menggunakan senjata, nyata padri sakti dari Siau-lim-pay memang bukan main hebatnya, seketika
keadaan kalangan pertempuran berubah. Lenghou Tiong mulai mendengar suara napas si nenek yang
memburu, agaknya tenaganya mulai payah.
“Buang senjatamu dan aku pun takkan membikin susah padamu,” demikian seru Hong-sing. “Kau boleh ikut
aku ke Siau-lim-si untuk memberi lapor kepada Suheng ketua dan terserah kepada kebijaksanaannya.”
Namun si nenek tidak menjawab, ia menyerang beberapa kali dengan gencar kepada Sin Kok-liong sehingga
murid Siau-lim-pay ini rada kelabakan dan terpaksa melompat mundur agar Hong-sing yang menyambut
serangan musuh.
Sesudah tenang kembali, Sin Kok-liong mencaci maki, “Perempuan keparat, hari ini kalau kau tidak dicincang
hingga hancur lebur takkan terlampias rasa dendamku!”
Segera ia putar pedang dan menerjang maju pula.
Tidak lama berselang, suara benturan senjata mulai mereda, tapi deru angin pukulan semakin keras.
Berkatalah Hong-sing Taysu, “Tenaga dalammu bukan tandinganku, lebih baik kau membuang senjatamu dan
ikut aku ke Siau-lim-si saja, kalau tidak, sebentar lagi kau pasti akan terluka dalam dengan parah.”
Terdengar si nenek hanya mendengus sekali saja, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri, Lenghou
Tiong merasa lehernya terciprat beberapa titik air, waktu ia meraba dengan tangan, terlihat telapak tangannya
berwarna merah. Kiranya titik-titik air yang menciprat ke lehernya itu adalah air darah.
“Siancay, Siancay! Kau sudah terluka sekarang, kau lebih-lebih tidak mampu melawan aku lagi!” kata Hongsing
pula.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Perempuan keparat ini adalah iblis dari agama sesat, lekas Susiok membinasakan dia untuk membalaskan
sakit hati kematian tiga orang sute, terhadap kaum iblis mana boleh pakai welas asih segala?” seru Sin Kokliong.
Dalam pada itu suara napas si nenek terdengar semakin terengah-engah, langkahnya juga mulai sempoyongan
seakan-akan setiap saat bisa roboh. Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Nenek suruh aku mengawalnya,
tujuannya aku diminta melindungi dia. Kini beliau menghadapi bahaya, mana boleh aku tinggal diam saja?
Meski Hong-sing Taysu adalah seorang padri agung yang saleh, orang she Sin itu pun laki-laki yang jujur,
namun aku tidak dapat membiarkan nenek dibunuh oleh mereka.”
Karena pikiran itu, “sret”, segera ia melolos pedang dan berseru, “Hong-sing Taysu dan Sin-cianpwe, mohon
kalian suka bermurah hati dan pulang ke Siau-lim-si saja. Kalau tidak, terpaksa Wanpwe akan berlaku kurang
adat kepada kalian.”
Sin Kok-liong menjadi gusar, bentaknya, “Kawanan iblis, bunuh saja sekalian!” kontan pedangnya terus
menusuk ke punggung Lenghou Tiong yang berdiri mungkur itu.
Lenghou Tiong tetap pegang janjinya dan tidak berani berpaling agar tidak sampai memandang muka si nenek,
maka ia hanya berusaha menghindar ke samping.
Mendadak terdengar si nenek berseru, “Awas!”
Namun Sin Kok-liong adalah jago pilihan di antara angkatan kedua di dalam Siau-lim-si, mana bisa
membiarkan Lenghou Tiong menghindar dengan begitu saja. Maka ketika Lenghou Tiong menghindar ke
samping, tahu-tahu pedang Sin Kok-liong juga sudah menyusul tiba.
“Siancay!” seru Hong-sing. Disangkanya tusukan murid keponakannya itu pasti akan menembus punggung
Lenghou Tiong hingga ke dada.
Tak terduga, tiba-tiba terdengar Sin Kok-liong sendiri yang menjerit, tubuhnya terus mencelat ke atas dan
melayang lewat di samping kiri Lenghou Tiong serta terbanting di atas tanah, sesudah berkelejatan beberapa
kali, lalu binasa. Entah cara bagaimana dia juga telah kena dibunuh secara kejam oleh si nenek.
Pada saat yang hampir bersamaan itu juga lantas terdengar suara “bluk” yang keras, tubuh si nenek ternyata
sudah kena pukulan Hong-sing Taysu dan roboh terjungkal.
Kejut sekali Lenghou Tiong, cepat ia miringkan tubuh dan pedangnya segera menusuk ke arah Hong-sing.
Karena serangan Lenghou Tiong yang tepat pada waktunya serta jitu arahnya, Hong-sing terpaksa harus
melompat mundur.
Menyusul Lenghou Tiong menusuk pula. Cepat Hong-sing menangkis dengan senjatanya. Kini Lenghou Tiong
sudah berhadapan muka dengan Hong-sing Taysu, dapat dilihatnya bahwa senjata yang dipakai padri sakti
Siau-lim-si itu kiranya adalah sepotong pentungan kayu yang panjangnya cuma setengahan meter saja.
Keruan Lenghou Tiong terkesiap. Pikirnya, “Sungguh tidak nyana bahwa senjatanya adalah sepotong kayu
sependek ini. Tenaga dalam hwesio Siau-lim-si ini terlalu kuat, jika aku tidak dapat mengalahkan dia dengan
ilmu pedangku, tentu si nenek sukar diselamatkan.”
Tanpa ayal lagi pedangnya lantas menusuk ke atas dan menusuk ke bawah, menyusul menusuk lagi dua kali ke
atas, ilmu pedang yang dilontarkan adalah ciptaan mendiang Tokko Kiu-pay yang diajarkan Hong Jing-yang itu.
Setelah Lenghou Tiong memainkan ilmu pedangnya ini, seketika air muka Hong-sing Taysu berubah hebat.
Serunya, “Kau ... kau ... kau ....”
Namun sedikit pun Lenghou Tiong tidak merandek. Ia sadar tenaga dalamnya sendiri sudah punah, asal pihak
lawan diberi kelonggaran sedikit tentu akan segera melancarkan serangan balasan dan tenaga dalam yang
kuat, jika demikian jadinya, maka dirinya pasti akan binasa seketika dan si nenek juga pasti akan celaka.
Lantaran pikiran demikian, maka beratus-ratus macam gerakan pedang “Tokko-kiu-kiam” yang ajaib itu secara
berantai terus dimainkan sekaligus tanpa berhenti.
Dahulu Tokko Kiu-pay pernah malang melintang di dunia Kangouw tiada ketemukan tandingan, senantiasa ia
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
mengharapkan ada orang yang mampu mengalahkan dia dan selama itu harapannya itu belum pernah
terkabul, maka betapa tinggi ilmu pedangnya itu dapatlah dibayangkan. Coba kalau tidak secara kebetulan
Lenghou Tiong sudah kehilangan tenaga dalam, pula banyak di antara inti-inti keajaiban ilmu pedang itu
memang belum dipahami dengan masak, kalau tidak, biarpun kepandaian Hong-sing Taysu berlipat ganda,
lebih tinggi juga tidak mampu bertahan sampai lebih dari sepuluh jurus.
Begitulah Hong-sing terus terdesak mundur, sebaliknya Lenghou Tiong merasa darah terus bergolak di rongga
dadanya, lengan terasa lemas linu, jurus pedang yang dilancarkan makin lama semakin lemah.
“Lepas pedang!” mendadak Hong-sing membentak, telapak tangan kiri terus menyodok ke dada Lenghou
Tiong, sedang pentungan pendek di tangan kanan berbareng menghantam lengan pemuda itu.
Memangnya lengan Lenghou Tiong sudah lemas, waktu pedangnya menusuk ke depan pula, belum mencapai
sasarannya, baru di tengah jalan lengannya sudah mendelung ke bawah. Bagi orang lain, serangannya ini pasti
memberi lubang bagi musuh dan berarti menyerahkan nyawa kepada lawan. Tapi ilmu pedang yang
dimainkannya memangnya tiada gerakan tertentu, tiada perbedaan antara benar dan keliru, yang dia lancarkan
adalah serangan menurut keinginan setiap saat. Maka biarpun pedangnya sudah mendelung ke bawah toh
tusukannya masih tetap diteruskan, namun demikian jalannya serangan ini menjadi rada merandek.
Sudah tentu Hong-sing tidak sia-siakan kesempatan bagus itu, telapak tangan kiri bergerak dan sekejap saja
sudah menjamah di atas dada Lenghou Tiong. Namun dasarnya memang welas asih, tenaga serangannya itu
tidak terus dikerahkan, sebaliknya ia bertanya lebih dulu, “Kau murid siapa ....” pada saat itu juga ujung
pedang Lenghou Tiong juga sudah menusuk masuk ke dalam dadanya.
Terhadap padri sakti dari Siau-lim-si ini Lenghou Tiong benar-benar sangat kagum, ketika merasa ujung
pedangnya menyentuh kulit daging pihak lawan, lekas-lekas ia berusaha menariknya kembali sekuatnya.
Saking nafsunya menarik senjatanya itu, tubuhnya sendiri menjadi terjengkang ke belakang dan jatuh
terduduk, darah segar lantas mengalir keluar dari mulutnya.
Sambil mendekap luka di dadanya, Hong-sing berkata dengan tersenyum, “Ilmu pedang yang bagus! Kalau
pedang Siauhiap tidak mengenal kasihan, tentu jiwa Lolap sudah melayang.”
Ia hanya memuji lawan, sebaliknya terhadap pukulannya sendiri yang tidak diteruskan tadi sama sekali tak
disinggung. Habis berkata ia lantas terbatuk-batuk.
Kiranya pedang Lenghou Tiong yang ditarik kembali sekuatnya tadi tidak urung sudah menusuk masuk ke dada
Hong-sing hingga beberapa senti dalamnya, jadi lukanya sesungguhnya tidaklah ringan.
Dengan penuh menyesal Lenghou Tiong berkata, “Ma ... maafkan Wanpwe telah berlaku kasar terhadap ...
terhadap Cianpwe.”
“Sungguh tidak nyana bahwa ilmu pedang sakti Hong Jing-yang Locianpwe dari Hoa-san ternyata ada ahli
warisnya sekarang,” kata Hong-sing dengan tersenyum. “Lolap dahulu pernah menerima budi dari Honglocianpwe,
urusan hari ini Lolap menjadi tidak berani mengambil keputusan sendiri.”
Perlahan-lahan ia mengeluarkan suatu bungkusan kertas, di dalamnya berisi dua butir obat pil sebesar biji buah
lengkeng. Lalu katanya pula, “Ini adalah obat luka mujarab dari Siau-lim-si. Boleh kau minum satu butir ini.”
Dan setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ditambahkannya, “Dan yang satu butir lagi boleh diminumkan kepada
wanita itu.”
“Lukaku sudah terang sukar disembuhkan, buat apa minum obat lagi?” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Obat yang satu biji itu silakan Taysu meminumnya sendiri saja.”
Hong-sing menggeleng-geleng, katanya, “Tidak usah!”
Lalu ia meletakkan kedua biji obat itu di depan Lenghou Tiong. Dipandangnya mayat-mayat Kat-gwe, Sin Kokliong
dan lain-lain dengan wajah sedih. Segera ia mengangkat tangannya di depan dada dan mulai membaca
doa. Lambat laun air mukanya berubah tenang kembali, sampai akhirnya wajahnya seakan-akan terselubung
oleh selapis sinar suci.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Selesai berdoa, kemudian Hong-sing berkata pula kepada Lenghou Tiong, “Siauhiap, ahli waris dari ilmu pedang
Hong-locianpwe sekali-kali bukanlah aliran dari kaum iblis. Kau berjiwa kesatria dan berbudi luhur, layaknya
kau tidak seharusnya mati begini saja. Cuma luka yang kau derita memang aneh luar biasa dan sukar
disembuhkan dengan obat biasa, kau harus belajar lwekang yang paling tinggi baru dapat menyelamatkan
jiwamu. Menurut pendapatku, sebaiknya kau ikut aku ke Siau-lim-si, Lolap akan lapor kepada Ciangbun
Hongtiang dan mohon beliau mengajar inti lwekang paling tinggi dari Siau-lim-si kepadamu, dengan demikian
luka dalam yang kau derita itu akan dapat disembuhkan.”
Sesudah terbatuk-batuk beberapa kali, kemudian Hong-sing melanjutkan, “Untuk bisa belajar intisari lwekang
Siau-lim-si ini perlu juga diutamakan ‘jodoh’. Seperti Lolap sendiri adalah tidak punya jodoh untuk belajar
lwekang itu. Ciangbun Hongtiang biasanya sangat bijaksana, boleh jadi beliau ada jodoh dengan Siauhiap dan
suka mengajarkan inti lwekang itu kepadamu.”
“Banyak terima kasih atas maksud baik Taysu,” sahut Lenghou Tiong, “biarlah nanti sesudah Wanpwe
mengantar nenek ke suatu tempat yang aman, bilamana Wanpwe beruntung belum mati, tentu Wanpwe akan
datang ke Siau-lim-si untuk menyampaikan sembah kepada Ciangbun Hongtiang dan Taysu.”
“Kau ... kau memanggilnya ‘nenek’?” Hong-sing menegas. “Siauhiap, kau adalah anak dari golongan Beng-buncing-
pay, jangan kau bergaul dengan kaum Sia-pay. Lolap memberi nasihat dengan tujuan baik, harap
Siauhiap suka camkan dengan baik-baik.”
“Seorang laki-laki sejati sekali sudah berjanji mana boleh kehilangan kepercayaan orang?” ujar Lenghou Tiong.
Hong-sing menghela napas, katanya pula, “Baiklah! Lolap akan menunggu kedatangan Siauhiap di Siau-lim-si.”
Lalu ia pandang keempat jenazah Kat-gwe dan lain-lain serta mengucapkan beberapa kalimat sabda Buddha,
habis itu baru melangkah pergi.
Sesudah Hong-sing melangkah pergi beberapa tindak, si nenek lantas berkata, “Lenghou Tiong, boleh kau ikut
pergi bersama hwesio tua itu. Dia bilang lukamu akan dapat disembuhkan, inti lwekang dari Siau-lim-si tiada
bandingannya di dunia ini kenapa kau tidak ikut pergi saja?”
“Aku sudah berjanji akan mengawal nenek, sudah seharusnya akan mengawal sampai tempat tujuan,” sahut
Lenghou Tiong.
“Kau sendiri menderita penyakit, masih bicara tentang mengawal segala?” ujar si nenek.
“Tapi engkau sendiri juga terluka, biarlah kita tinggal bersama saja,” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Aku adalah kaum Sia-pay dan kau adalah murid Beng-bun-cing-pay, lebih baik kau jangan bergaul dengan aku
agar tidak merusak nama baik golongan Cing-paymu,” kata si nenek.
“Memangnya aku tidak punya nama baik apa-apa, peduli apa dengan orang lain?” jawab Lenghou Tiong. “Kau
sangat baik kepadaku, nenek, Lenghou Tiong sekali-kali bukan manusia yang tidak kenal kebaikan. Saat ini
engkau dalam keadaan terluka parah, jika aku tinggal pergi begini saja apakah aku masih dapat dianggap
sebagai manusia?”
“Dan kalau saat ini aku tidak terluka parah tentu kau akan tinggal pergi bukan?” tanya si nenek.
Lenghou Tiong melengak. Katanya dengan tertawa, “Jika nenek tidak pikirkan kebodohanku dan ingin ditemani
oleh diriku, maka boleh saja aku selalu berada di sampingmu untuk mengobrol. Cuma watakku memang kasar
dan suka berbuat menurut keinginanku, jangan-jangan hanya beberapa hari saja nenek sudah merasa bosan
dan tidak suka bicara lagi dengan aku.”
Si nenek hanya mendengus saja sekali. Segera Lenghou Tiong mengangsurkan tangannya ke belakang, ia
menyodorkan obat pemberian Hong-sing Taysu tadi, katanya, “Padri agung Siau-lim-si itu memang sangat
hebat, nenek sudah membunuh empat orang muridnya, tapi dia malah memberikan obat mujarab ini kepadamu
dan dia sendiri sebaliknya tidak minum obat.”
“Huh, orang-orang ini selalu mengagulkan diri sebagai Beng-bun-cing-pay segala dan pura-pura menjadi orang
baik hati, aku justru tidak pandang sebelah mata kepada mereka,” jengek si nenek.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Nenek, silakan kau minum saja obat ini,” pinta Lenghou Tiong. “Sesudah kuminum satu biji obat ini, badanku
memang terasa jauh lebih segar.”
Si nenek hanya menjengek sekali saja dan masih tidak mau terima obat itu.
“Nenek ....”
Belum lanjut ucapan Lenghou Tiong, mendadak si nenek menyela, “Sekarang hanya terdapat kita berdua,
mengapa masih terus memanggil “nenek-nenek” tidak habis-habis, maukah kau mengurangi panggilanmu itu?”
“Baiklah, tentu saja dapat kukurangi,” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. “Silakan kau minum obat ini.”
“Jika kau bilang obat mujarab Siau-lim-pay ini sangat bagus dan anggap obat yang kuberikan kepadamu itu
kurang baik, kenapa kau tidak makan sekalian obat pemberian hwesio tua itu?” ujar si nenek.
“Ai, bilakah aku anggap obatmu kurang baik? Janganlah kau mencemoohkan diriku!” sahut Lenghou Tiong.
“Lagi pula obat Siau-lim-si yang baik ini justru hendak diminumkan padamu agar tenagamu lekas pulih supaya
dapat melanjutkan perjalanan.”
“O, jadi kau merasa sebal menemani aku di sini, ya?” tanya si nenek. “Jika, demikian bolehlah lekas kau pergi
saja, aku toh tidak paksa kau tinggal di sini.”
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Mengapa si nenek mendadak muring-muring padaku? Ah, barangkali
karena lukanya tidak ringan, badanku sakit, dengan sendirinya sifatnya menjadi ketus dan suka naik pitam.”
Maka dengan tertawa ia menjawab, “Saat ini setindak pun aku tidak sanggup berjalan, sekalipun mau pergi
juga tidak dapat. Apalagi ... apalagi .... Hahaha ....”
“Ada apa lagi? Kenapa hahaha segala? Apa yang kau tertawakan?” damprat si nenek dengan gusar-gusar
kaget.
“Hahaha ialah tertawa, apalagi ... seumpama aku dapat berjalan juga aku tidak ingin pergi, kecuali kalau kau
pergi bersama aku,” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
Sebenarnya tutur katanya terhadap si nenek sangat sopan dan hormat, tapi lantaran si nenek muring-muring
sesukanya, maka Lenghou Tiong menjadi ikut ugal-ugalan juga bicaranya. Tak terduga si nenek malah tidak
marah, mendadak menjublek diam saja entah apa yang sedang direnungkan.
Maka berkatalah Lenghou Tiong, “Nenek ....”
“Nenek lagi?” potong si nenek. “Apa barangkali selama hidupmu ini tidak pernah memanggil ‘nenek’ kepada
orang, makanya tidak bosan-bosannya kau memanggil saja?”
“Ya, sudah, selanjutnya aku takkan memanggil nenek pula padamu,” ujar Lenghou Tiong tertawa. “Tapi lantas
memanggil apa kepadamu?”
Si nenek diam saja. Selang sejenak baru berkata, “Di sini hanya terdapat kita berdua saja, kenapa mesti pakai
panggilan segala? Asal kau membuka mulut tentunya aku yang kau ajak bicara, masakan ada orang ketiga lagi
yang berada di sini?”
“Tetapi terkadang aku suka menggumam bicara sendiri dan janganlah kau salah paham lho,” kata Lenghou
Tiong dengan tertawa.
“Huh, bicara saja angin-anginan, pantas saja Siausumoaymu tidak suka padamu lagi,” jengek si nenek.
Ucapan ini benar-benar mengenai lubuk hati Lenghou Tiong yang terluka itu. Perasaannya menjadi pilu.
Pikirnya, “Siausumoay tidak suka padaku, tapi lebih suka kepada Lim-sute, jangan-jangan memang betul
disebabkan bicara dan tingkah lakuku yang suka angin-anginan. Ya, Lim-sute memang lebih sopan dan tahu
aturan, dia benar-benar memper seorang laki-laki baik dan lemah lembut serupa dengan Suhu, jangankan
Siausumoay, jika aku menjadi wanita juga aku akan suka padanya dan tidak sudi kepada pemuda bambungan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
semacam Lenghou Tiong ini. Wahai Lenghou Tiong, selamanya kau suka mabuk-mabukan dan gila-gilaan, tidak
patuh kepada ajaran perguruan, benar-benar pemuda yang sukar ditolong lagi. Aku pernah bergaul dengan
maling cabul Dian Pek-kong, pernah tidur pula di rumah pelacuran di kota Lokyang, semuanya ini tentu
membikin Siausumoay merasa tidak senang.”
Melihat Lenghou Tiong termenung, si nenek lantas berkata, pula, “Bagaimana? Ucapanku tadi melukai
perasaanmu ya? Kau menjadi marah bukan?”
“Tidak, aku tidak marah. Ucapanmu memang tepat, bicaraku memang suka angin-anginan, tingkah lakuku juga
gila-gilaan, pantas saja Siausumoay tidak senang padaku, Suhu dan Sunio juga tidak suka padaku.”
“Kau tidak perlu sedih. Biarpun Suhu, Sunio dan Siausumoaymu tidak suka kepadamu, masakah di dunia ini ...
di dunia ini tiada orang lain lagi yang suka padamu?”
Sungguh hati Lenghou Tiong sangat terharu dan berterima kasih, saking terharunya sampai tenggorokannya
seakan-akan tersumbat, katanya dengan terputus-putus, “Nenek sungguh-sungguh sangat baik kepadaku,
sekalipun di dunia ini tiada orang lain lagi yang suka kepadaku juga ... juga tidak menjadi soal.”
“Kau hanya punya sebuah mulut yang manis, bicaramu saja yang membikin senang orang, pantas saja tokoh
semacam Na Hong-hong dari Ngo-tok-kau itu sampai tergila-gila kepadamu,” kata si nenek. “Sudahlah,
sekarang kau tak dapat berjalan dan aku pun tidak dapat berkutik, hari ini terpaksa kita harus bermalam di
bawah tebing sana, entah hari ini kita akan mati atau tidak?”
“Hari ini entah mati atau tidak dan entah besok akan mati atau tidak, atau mungkin lusa baru akan mati,” kata
Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Sudahlah, jangan bicara yang tak keruan,” kata si nenek. “Boleh kau merangkak ke sana dengan perlahanlahan,
biar aku menyusul dari belakang.”
“Jika kau tidak minum obat pemberian hwesio tua itu, mungkin satu langkah saja aku tidak sanggup
merangkak,” kata Lenghou Tiong.
“Kembali kau bicara tak keruan lagi. Aku tidak minum obatnya, mengapa kau yang tidak sanggup merangkak.”
“Aku tidak bicara tak keruan. Sebab kalau kau tidak mau minum obat, tentu lukamu sukar disembuhkan, tentu
pula kau tidak punya semangat untuk memetik kecapi. Dan karena rasa cemasku, dari mana aku mempunyai
tenaga untuk merangkak ke sana? Mungkin tenaga untuk merebah di sini saja tidak kuat lagi.”
Si nenek mengikik tawa, “Merebah di sini saja tidak punya tenaga?”
“Ya. Bukankah di sini adalah tanah yang miring, jika aku tidak bertenaga, seketika juga aku akan
menggelinding ke bawah dan terjerumus ke dalam sungai pegunungan di bawah itu. Coba bayangkan,
andaikan aku tidak mati terbanting bukankah akan mati kelelap juga?”
Si nenek menghela napas, katanya, “Kau terluka parah, jiwamu setiap saat bisa melayang, tapi kau masih
sempat berkelakar segala. Sungguh jarang diketemukan orang malas semacam kau ini.”
Perlahan-lahan Lenghou Tiong melemparkan pil pemberian Hong-sing itu ke belakang, katanya, “Silakan lekas
minum obat ini.”
“Hm, setiap orang yang menganggap dirinya dari golongan Beng-bun-cing-pay tentu bukanlah manusia baikbaik,”
omel si nenek. “Jika aku makan obat Siau-lim-si ini kan cuma membikin kotor mulutku saja.”
Sekonyong-konyong Lenghou Tiong menjerit, tubuhnya sekuatnya mendoyong ke samping dan terus
menggelinding ke bawah mengikut tanah tebing yang miring itu.
Keruan si nenek terkejut, serunya khawatir, “He, hati-hati!”
Akan tetapi Lenghou Tiong masih terus menggelinding ke bawah. Tanah miring itu tidak terlalu terjal, tapi rada
panjang jaraknya. Sesudah menggelinding sekian lamanya barulah Lenghou Tiong mencapai tepi sungai kecil di
bawahnya. Waktu tangan dan kakinya menahan sekuatnya segera terhenti daya gelindingnya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“He, he, ba ... bagaimana kau?” tanya si nenek.
Muka dan tangan Lenghou Tiong terlecet kena batu kerikil yang tajam di sepanjang tanjakan itu. Dengan
menahan rasa sakit ia diam saja tak memberi jawaban.
“Baiklah, aku akan minum obat busuk si hwesio tua ini, lekas kau ... kau naik kemari,” seru si nenek.
“Ucapan yang sudah dikeluarkan harus dipatuhi,” kata Lenghou Tiong.
Tapi karena jarak kedua orang sekarang sudah rada jauh, sedangkan keadaan Lenghou Tiong sudah lemas,
suaranya tak bisa mencapai jauh.
Sayup-sayup si nenek hanya mendengar suara ucapannya, tapi tidak tahu apa yang dikatakan, maka ia tanya
pula, “Kau bilang apa?”
“Aku ... aku ....” napas Lenghou Tiong terengah-engah dan tidak sanggup melanjutkan.
“Lekas naik kemari, aku berjanji padamu akan minum obatnya,” kata si nenek.
Lenghou Tiong berbangkit dengan terhuyung-huyung, ia bermaksud merangkak ke atas, tapi menggelinding ke
bawah adalah sangat mudah, sekarang hendak merangkak ke atas boleh dikata sesukar hendak memanjat ke
langit. Hanya dua langkah saja ia merangkak kakinya sudah terasa lemas dan terbanting jatuh, bahkan terus
menggelinding masuk ke tepi sungai kecil itu.
Dari atas si nenek dapat melihat jatuhnya Lenghou Tiong itu dengan jelas, ia menjadi khawatir, tanpa pikir ia
terus ikut menjatuhkan diri dan membiarkannya menggelinding juga ke bawah sehingga sampai di samping
Lenghou Tiong. Cepat sebelah tangannya memegangi pergelangan kaki kiri Lenghou Tiong agar tidak
terperosot lebih jauh ke dalam sungai kecil itu.
Sesudah bernapas terengah-engah beberapa kali, tangan si nenek yang lain dijulurkan untuk mencengkeram
punggung Lenghou Tiong dan sekuatnya diangkatnya ke atas.
Keadaan Lenghou Tiong sudah basah kuyup dan telah minum beberapa ceguk air, matanya sudah berkunangkunang.
Setelah tenangkan diri, tiba-tiba dilihatnya di dalam air sungai yang jernih itu terbayang dua sosok
bayangan orang, nyata seorang nona jelita sedang mencengkeram punggungnya.
Lenghou Tiong melengak. Mendadak terdengar suara si nona yang telah muntah darah. Darah segar yang
masih hangat-hangat itu menyiram di atas kuduknya, berbareng itu si nona terus mendekam di atas
punggungnya dalam keadaan lemas lunglai seperti lumpuh.
Sudah tentu Lenghou Tiong dapat merasakan dada si nona yang halus dan lunak yang menempel di atas
tubuhnya itu, terasa pula rambut si nona yang panjang itu mengusap-usap mukanya, keruan pikirannya
menjadi kabur dan melayang-layang jauh.
Bab 58. Si Nona adalah Putri Suci, Tokoh Ketiga dari Hek-bok-keh
Waktu ia pandang pula bayangan di muka air, terlihat sebagian wajah si nona dengan mata tertutup, bulu
matanya sangat panjang. Walaupun tidak jelas bayangan di muka air itu, namun dapatlah dipastikan wajah si
nona pasti sangat cantik molek, umurnya paling banyak baru 17-18 tahun saja. Keruan Lenghou Tiong
terheran-heran, “Siapakah nona ini? Mengapa mendadak datang seorang nona secantik ini untuk menolong
diriku?”
Dari bayangan yang dilihatnya di muka air serta sentuhan punggung dengan badan si nona dapat diketahui
bahwa si nona dalam keadaan pingsan. Lenghou Tiong bermaksud memutar tubuh untuk memayang si nona,
tapi sekujur badan sendiri terasa lemas lunglai sampai satu jari pun susah bergerak. Tapi rasanya seperti di
alam mimpi pula, apalagi wajah yang cantik molek yang terbayang di muka air itu benar-benar dirinya terasa
seperti berada di surgaloka.
Selang agak lama, terdengar si nona yang mendekap di atas punggung bersuara perlahan dan lambat-lambat
membuka matanya. Kemudian terdengar ucapannya, “Kau sengaja menakut-nakuti aku atau benar-benar tidak
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ingin hidup lagi?”
Mendengar suaranya itu, kejut Lenghou Tiong tak terkatakan. Suara si nona ternyata tiada bedanya dengan
suara “si nenek”. Saking kejutnya sampai tubuhnya rada menggigil, serunya terputus-putus, “Kau ... kau ....”
“Kau apa? Aku justru tidak mau makan obat busuk pemberian hwesio tua itu, boleh kau cari mati lagi, coba!”
kata si nona.
“Hah, nenek, kiranya kau adalah ... adalah seorang nona cilik yang sangat cantik,” ujar Lenghou Tiong.
“Da ... dari mana kau tahu?” seru nona itu terperanjat. “Bocah yang tidak bisa pegang janji, jadi diam-diam
kau telah ... telah mengintip mukaku?”
Tapi waktu ia menunduk dan melihat bayangannya sendiri tercermin sangat jelas di permukaan air sungai,
ternyata dirinya sedang menggelendot di punggung Lenghou Tiong, seketika ia menjadi malu, sekuatnya ia
meronta bangun, namun kakinya terasa lemas dan kembali jatuh terkulai pula. Lekas-lekas Lenghou Tiong
menjulurkan kedua tangannya untuk memegangnya dan tepat si nona jatuh ke dalam pangkuannya.
Tatkala itu kedua orang sama-sama tiada punya tenaga lagi, sesudah berkutatan sekian lamanya, mereka
hendak jatuh pingsan pula, terpaksa mereka berbaring di tepi kali itu dan tidak bergerak lagi.
Di dalam hati Lenghou Tiong merasa sangat heran. Tanyanya kemudian, “Mengapa kau pura-pura menjadi
seorang nenek untuk menipu aku? Kau pura-pura sebagai orang tua, sehingga membikin aku ... membikin aku
sampai ....”
“Membikin kau sampai bagaimana?” si nona menegas.
Kini pandangan Lenghou Tiong jaraknya hanya belasan senti jauhnya dari muka si nona. Dilihatnya kulit pipinya
putih bersih bersemu kemerah-merahan, sejenak kemudian baru, ia melanjutkan, “Membikin aku berulangulang
memanggil nenek padamu. Huh, tidak malu, padahal kau menjadi adik perempuanku saja masih lebih
kecil, tapi kau justru ingin menjadi nenek orang. Kalau ingin menjadi nenek kan mesti tunggu delapan puluh
tahun lagi.”
Si nona mengikik geli, jawabnya, “Bilakah aku mengatakan diriku adalah seorang nenek? Adalah kau sendiri
yang memanggil demikian padaku. Kau yang terus-menerus memanggil nenek, bukankah tadi aku pun marah
dan suruh kau jangan memanggil lagi. Kau yang sengaja panggil demikian padaku bukan?”
Diam-diam Lenghou Tiong merasa ucapan si nona memang juga benar. Tapi dirinya telah tertipu sampai sekian
lamanya dan dianggap sebagai orang tolol, betapa pun rasanya masih penasaran. Maka katanya, pula, “Kau
melarang aku memandang wajahmu, bukankah kau sengaja hendak mengakali aku? Jika aku berhadapan
muka dengan kau masakah aku akan memanggil nenek padamu? Ketika di kota Lokyang kau pun sudah
menipu diriku, kau telah sekongkol dengan si tua Lik-tiok-ong itu dan suruh dia memanggil kau sebagai bibi.
Jika kakek seumur dia saja masih pernah keponakanmu, lantas apa panggilan kepadamu kalau bukan panggil
nenek?”
“Kakek-guru Lik-tiok-ong itu adalah kakak ayahku, lalu kalau diurutkan Lik-tiok-ong mesti panggil apa
kepadaku?” tanya si nona dengan tertawa.
Lenghou Tiong melengak, jawabnya kemudian dengan ragu-ragu, “Jika begitu kau memang pernah bibinya Liktiok-
ong?”
“Bocah Lik-tiok-ong itu toh bukan sesuatu tokoh yang luar biasa, kenapa aku mesti memalsukan diri sebagai
bibinya?” ujar si nona dengan tertawa.
“Ya, aku benar-benar bodoh, padahal aku sudah harus tahu sejak dulu-dulu,” sahut Lenghou Tiong sembari
menghela napas.
“Apa yang harus kau ketahui sejak dulu-dulu?” si nona menegas dengan tertawa.
“Habis suaramu sedemikian enak didengar, di dunia ini masakah ada nenek-nenek reyot yang bersuara
sedemikian nyaring dan merdu?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Aku punya suara sudah kasap lagi serak mirip suara burung gagak, pantas saja kau menyangka aku sebagai
nenek-nenek reyot,” si nona tertawa.
“Suaramu seperti suara burung gagak, katamu? Ai, jika begitu rupanya zamannya sudah berubah, burung
gagak pada zaman ini kiranya suaranya jauh lebih merdu daripada suara burung kenari.”
Mendengar dirinya dipuji, muka si nona menjadi merah, tapi hatinya amat senang. Katanya dengan tertawa,
“Baiklah, Engkong Lenghou Tiong, Kakek Lenghou Tiong, sudah sekian lamanya kau memanggil nenek padaku,
biar sekarang aku pun membayar panggilan kakek padamu. Dengan demikian kau tidak merasa dirugikan dan
bolehlah tidak marah lagi?”
“Kau adalah nenek dan aku adalah kakek, kita adalah si kakek dan si nenek, bukankah ....” dasar sifat Lenghou
Tiong memang suka ugal-ugalan, mulutnya bicara tanpa aling-aling, mestinya ia hendak berkata “bukankah
kita adalah satu pasangan”, tapi mendadak dilihatnya alis si nona menegak dan air mukanya berubah merah,
maka cepat-cepat ia telan kembali kata-katanya itu.
“Kau hendak sembarangan mengoceh apa?” omel si nona marah.
“O, aku maksudkan bila kita adalah kakek dan nenek, bukankah ... bukankah kita telah menjadi tokoh kosen
angkatan tua di kalangan Bu-lim?” demikian Lenghou Tiong ganti haluan.
Sudah tentu si nona tahu Lenghou Tiong sengaja mengubah ucapannya tadi, maka ia pun tidak
mengungkatnya lebih lanjut agar tidak telanjur keluar kata-kata yang membikin kikuk. Sambil menggelendot di
pangkuan Lenghou Tiong dan dapat mengendus bau kelaki-lakian yang keras dari tubuhnya, seketika
pikirannya menjadi kacau. Ia bermaksud meronta bangun, tapi betapa pun sukar mengumpulkan tenaga.
Akhirnya dengan wajah merah ia berkata, “Eh, coba kau dorong aku!”
“Dorong kau? Buat apa?” tanya Lenghou Tiong.
“Kita ... kita begini, apa ... apa macam ini?” kata si nona malu-malu.
“Kakek dan nenek memangnya harus begini,” ujar Lenghou Tiong tertawa.
“Hm, kau sembarangan mengoceh, coba nanti kalau aku tidak membunuh kau,” semprot si nona.
Terkesiap juga hati Lenghou Tiong. Teringat olehnya peristiwa dia memerintahkan berpuluh orang laki-laki agar
mencukil biji matanya sendiri hingga buta, lalu disuruh enyah ke pulau terpencil di lautan timur. Maka ia tidak
berani bergurau lagi dengan si nona. Pikirnya, “Usianya masih begini muda, tapi sekali bergebrak saja sudah
membunuh empat orang murid Siau-lim-pay, ilmu silatnya terang sangat tinggi, tindak tanduknya begini ganas
pula, sungguh orang sukar memercayai bahwa semua itu diperbuat oleh seorang nona secantik ini.”
Melihat Lenghou Tiong diam saja, segera si nona bicara pula, “Kau marah lagi ya? Seorang laki-laki sejati
mengapa begini sempit jalan pikiranmu?”
“Aku tidak marah, tapi aku merasa takut kalau-kalau akan dibunuh olehmu,” sahut Lenghou Tiong.
“Asal selanjutnya kau bicara menurut aturan, siapa yang akan membunuh kau?”
“Ya, dasar sifatku memang suka ugal-ugalan begini, ini namanya apa mau dikata? Tampaknya sudah suratan
nasib bahwa aku pasti akan kau bunuh.”
“Tadinya kau panggil nenek padaku dan sangat patuh serta hormat padaku, maka selanjutnya kau pun
bersikap hormat dan patuh seperti itu saja,” ujar si nona dengan tertawa.
“Tidak bisa!” sahut Lenghou Tiong. “Aku sudah tahu engkau adalah seorang nona cilik, maka aku tak bisa
menganggap kau sebagai nenek lagi.”
“Kau ... kau ....” baru sekian ucapannya, mendadak wajah si nona menjadi merah. Entah tiba-tiba teringat
sesuatu apa sehingga dia tidak melanjutkan pula kata-katanya.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Waktu menunduk dan melihat wajah ayu yang kemalu-maluan dan menggiurkan itu, seketika perasaan
Lenghou Tiong terguncang. “Ngok”, tanpa merasa ia mencium sekali di pipi yang bersemu merah itu.
Keruan si nona terperanjat. Sekonyong-konyong timbul suatu arus tenaga, tangannya membalik, “plok”, ia
gampar muka Lenghou Tiong dengan cukup keras, menyusul ia terus melompat bangun.
Akan tetapi loncatannya itu terbatas sekali tenaganya, selagi tubuhnya terapung di atas tenaganya sudah habis
dan segera terbanting jatuh pula ke dalam pangkuan Lenghou Tiong dengan lemas dan tidak sanggup bergerak
lagi.
Ia takut kalau-kalau Lenghou Tiong berbuat bangor lagi, maka hatinya sangat cemas, katanya terputus-putus,
“Jika ... jika kau berani berbuat kurang ajar lagi, segera ... segera aku akan menyembelih kau.”
“Kau akan menyembelih aku atau tidak bukan soal bagiku, toh jiwaku sudah tidak lama lagi akan tamat. Aku
justru akan berbuat kurang ajar pula.”
Keruan si nona tambah khawatir, katanya, “Aku ... aku ....” namun apa yang dapat diperbuatnya?
Lenghou Tiong mengerahkan tenaga sebisanya dan perlahan-lahan mengangkat bahu si nona, tapi segera ia
miringkan tubuhnya sendiri terus menggelinding ke pinggir. Katanya dengan tertawa, “Kau ... kau akan apa?”
Habis ucapannya ini berulang-ulang ia terbatuk-batuk, bahkan darah segar pun terbatuk keluar.
Hendaklah maklum bahwa sifat Lenghou Tiong sebenarnya cuma suka ugal-ugalan dan sembrono, tapi
sesungguhnya bukanlah bajul buntung, bukan pemuda yang suka merusak kaum wanita. Tadi hanya
berguncang seketika perasaannya sehingga pipi si nona dikecupnya satu kali, namun segera ia merasa
menyesal juga, sesudah digampar satu kali ia lebih-lebih menyesalkan perbuatannya sendiri itu. Walaupun
mulutnya masih tetap keras, tapi ia tidak berani lagi berpeluk-pelukan dengan si nona.
Menyingkirnya Lenghou Tiong dengan sukarela itu sebaliknya di luar dugaan si nona. Bahkan diam-diam si
nona merasa menyesal ketika melihat Lenghou Tiong menumpahkan darah. Cuma dia merasa malu untuk
mengucapkan beberapa patah kata permintaan maaf, maka dengan suara halus ia hanya berkata, “Apakah ...
apakah dadamu sakit sekali?”
“Dada sih tidak sakit, tapi tempat lainlah yang terasa sakit,” sahut Lenghou Tiong.
“Tempat mana yang sakit?” tanya si nona. Betapa rasa perhatiannya tampak sekali dari air mukanya.
“Tempat ini!” jawab Lenghou Tiong sambil meraba-raba pipinya yang kena digampar tadi.
Si nona tersenyum. “Kau ingin aku minta maaf padamu bukan? Bolehkah sekarang juga aku ... aku minta maaf
padamu.”
“Aku sendirilah yang salah, harap nenek jangan marah!”
Mendengar dirinya dipanggil lagi sebagai nenek, tanpa merasa si nona mengikik geli.
“Bagaimana dengan obat busuk pemberian si hwesio tua? Kau masih belum meminumnya bukan?” tanya
Lenghou Tiong.
“Tidak sempat dijemput lagi,” sahut si nona sambil menuding ke atas tebing sana. “Masih ketinggalan.”
Dan sesudah berhenti sejenak, lalu sambungnya pula, “Aku akan menurut padamu. Sebentar akan kunaik ke
atas untuk menjemputnya kembali dan akan kuminum tanpa peduli apakah obat busuk atau bukan?”
Begitulah kedua orang duduk bersama di tanah tanjakan yang miring itu. Jika dalam keadaan biasa, cukup
sekali loncat saja mereka sudah dapat melayang ke atas. Tapi sekarang tebing itu dirasakan seperti puncak
terjal yang beribu-ribu meter tingginya dan sukar dicapai.
Kedua orang sama-sama memandang sekejap ke atas tebing, lalu menunduk kembali untuk kemudian saling
pandang dan sama-sama menghela napas.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Aku akan duduk tenang sebentar, jangan kau mengganggu aku,” kata si nona.
Lenghou Tiong mengiakan. Dilihatnya si nona lantas duduk bersandar di tanah yang miring itu sambil pejamkan
kedua mata, tiga jarinya, yaitu jempol, jari-jari telunjuk dan tengah menahan di atas tanah dengan gaya yang
aneh.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Umumnya orang bersemadi dengan duduk bersila, tapi cara duduknya
ini benar-benar lain daripada yang lain.”
Mestinya Lenghou Tiong juga ingin mengaso sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Tapi perasaannya ternyata
bergolak terus, betapa pun sukar dibikin tenang.
Tiba-tiba terdengar suara “kok-kok-kok”, seekor swike (kodok hijau) mendadak melompat keluar dari dalam
sungai. Keruan Lenghou Tiong sangat girang. Sesudah menderita sekian lamanya, memangnya ia sudah
kelaparan, makanan yang disodorkan kepadanya ini benar-benar sangat kebetulan baginya. Tanpa pikir lagi
tangannya terus mencengkeram kodok kesasar itu.
Tak terduga tangannya masih sangat lemas, cengkeramannya itu ternyata menubruk tempat kosong. “Kok”,
kodok itu sempat melompat pergi sambil berkokok seakan-akan sangat senang dan seperti sedang menyindir
ketidakbecusan Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong menghela napas. Yang lebih membikinnya mendongkol adalah di tepi sungai kecil itu ternyata
amat banyak kodok-kodok hijau yang gemuk-gemuk lagi, seekor melompat pergi segera melompat datang pula
dua ekor yang lain, tapi Lenghou Tiong tetap tidak mampu menangkapnya meski tangannya sudah tubruk sini
dan sambar ke sana.
Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang menjulur tiba sebuah tangan yang putih dan halus, sekali dekap dengan
perlahan tahu-tahu seekor kodok hijau itu sudah tertangkap. Waktu Lenghou Tiong menoleh, kiranya adalah si
nona. Hanya duduk tenang sebentar saja kini ia sudah bisa bergerak, walaupun masih kurang tenaga, tapi
untuk menangkap beberapa ekor kodok adalah terlalu gampang baginya.
“Bagus!” seru Lenghou Tiong girang. “Kita akan dapat menikmati daging swike.”
Nona itu tersenyum, sekali tangannya menjulur kembali seekor kodok kena ditangkapnya pula. Hanya sekejap
saja sudah lebih 20 ekor kodok hijau tertangkap.
“Sudah cukup!” seru Lenghou Tiong. “Kau pergi mencari kayu dan membuat api, aku yang menyembelih
kodok-kodok ini.”
Si nona menurut dan pergi mencari kayu bakar. Lenghou Tiong sendiri lantas melolos pedang dan mulai
memotong kepala dan membuang cakar kodok, lalu membelek dan membeset kulitnya.
Dengan tertawa si nona berkata, “Orang kuno menyembelih ayam pakai golok jagal kerbau, tapi sekarang
Lenghou-tayhiap menyembelih kodok hijau dengan ilmu pedang Tokko-kiu-kiam.”
Lenghou Tiong terbahak-bahak, sahutnya, “Hahaha, jika Tokko-tayhiap mengetahui di alam baka bahwa ahli
warisnya ternyata begini tak becus, ilmu pedangnya yang hebat telah disalahgunakan untuk menyembelih
kodok, wah, saking marahnya mungkin beliau bisa ....” mestinya ia hendak mengatakan “bisa mati kaku”, tapi
segera ia urungkan ucapannya itu.
Dengan tertawa si nona lantas berkata pula, “Lenghou-tayhiap ....”
Sambil memegangi kodok yang telah disembelihnya dan digoyang-goyangkan, Lenghou Tiong berkata,
“Sebutan ‘tayhiap’ sama sekali aku tidak berani terima. Di dunia ini mana ada pendekar besar tukang sembelih
kodok?”
“Di zaman dahulu ada kesatria penjagal anjing, di zaman ini sudah tentu ada pendekar tukang sembelih
kodok,” ujar si nona dengan tertawa. “Eh, kau punya Tokko-kiam-hoat itu benar-benar amat hebat, sampaisampai
hwesio tua dari Siau-lim-pay itu pun tak mampu melawan kau. Dia bilang orang yang mengajarkan
ilmu pedang padamu itu adalah tuan penolongnya, sebenarnya bagaimana duduknya perkara?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Orang yang mengajarkan ilmu pedang padaku ini adalah kaum angkatan tua dari Hoa-san-pay kami sendiri,”
jawab Lenghou Tiong.
“Begitu sakti ilmu pedang locianpwe itu, mengapa di dunia Kangouw tidak pernah terdengar namanya?”
“Ini ... ini ... aku sudah berjanji kepada beliau untuk tidak membocorkan jejaknya, maka ... maka ....”
“Huh, memangnya aku kepingin tahu?” dengus si nona. “Biarpun kau mau memberi tahu kepadaku juga aku
tidak sudi mendengarkan. Apakah kau tahu siapakah aku ini dan bagaimana asal usulku?”
“Aku tidak tahu,” jawab Lenghou Tiong sambil menggeleng. “Sampai-sampai nama nona juga aku belum
mengetahui.”
“Kau sengaja merahasiakan urusanmu, maka aku pun tidak mau menerangkan padamu,” kata si nona.
“Meski aku tidak tahu, tapi aku pun dapat menerka sampai delapan atau sembilan bagian,” kata Lenghou
Tiong.
Air muka si nona rada berubah, katanya, “Kau dapat menerka? Cara bagaimana kau bisa menerka?”
“Sekarang masih belum tahu, sebentar kalau sudah malam tentu aku bisa tahu jelas,” kata Lenghou Tiong.
Si nona tambah heran dan terkejut, tanyanya, “Mengapa setelah malam tiba nanti kau bisa tahu dengan jelas?”
“Aku akan menengadah ke langit untuk memeriksa bintang-bintang, bila diketahui bintang mana yang kurang
di langit, maka tahulah perbintangan apa yang telah menjelma sebagai nona. Nona secantik bidadari seperti
kau, di dunia fana ini mana ada wanita demikian?”
Wajah si nona menjadi merah. “Cis!” semprotnya. Tapi batinnya amat senang. Katanya, “Kembali kau
mengoceh tak keruan lagi.”
Dalam pada itu ia sudah menyatakan api, segera ia menyunduk swike-swike yang telah dibersihkan itu di
batangan kayu, lalu dipanggang di atas unggun api. Ketika minyak kodok menetes di atas api, terdengarlah
suara mencicit yang ramai, bau sedap lantas teruar juga.
Sambil memandangi asap yang mengepul dari unggun api, perlahan-lahan si nona berkata pula, “Aku bernama
Ing-ing. Biar kukatakan, entah kelak kau akan terus ingat atau tidak?”
“Ing-ing! Ehm, bagus amat nama ini,” ujar Lenghou Tiong. “Bila sejak dulu-dulu aku mengetahui kau bernama
Ing-ing tentu aku takkan memanggil nenek padamu.”
“Sebab apa?”
“Sebab Ing-ing terang adalah nama seorang nona cilik, dengan sendirinya bukanlah nenek-nenek reyot.”
“Kelak jika aku benar-benar sudah nenek-nenek reyot, aku toh takkan ganti nama dan akan tetap bernama
Ing-ing,” kata si nona alias Ing-ing dengan tertawa.
“Kau takkan pernah menjadi nenek-nenek. Kau begini cantik, sampai berumur 80 tahun juga masih tetap
seorang nona cilik yang amat cantik.”
“Wah, kan bisa menjadi siluman nanti?” sahut Ing-ing dengan tertawa. Selang sejenak, lalu sambungnya
dengan sungguh-sungguh, “Aku sudah beri tahukan namaku, selanjutnya kau tidak boleh sembarangan
memanggil lagi.”
“Mengapa?”
“Tidak boleh ya tidak boleh.”
Lenghou Tiong menjulurkan lidah. “Wah, ini tidak boleh, itu dilarang, kelak orang yang menjadi sua ....” sampai
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
di sini ia tidak berani melanjutkan lagi ketika dilihatnya muka si nona merengut marah.
“Hmm!” demikian Ing-ing mendengus.
“Kenapa kau marah? Aku maksudkan: kelak orang yang menjadi muridmu tentu akan tahu rasa,” mestinya ia
akan bilang “suamimu”, tapi demi melihat gelagat jelek segera ia ganti haluan.
Sudah tentu Ing-ing tahu maksudnya. Katanya, “Kau ini memang angin-anginan, tidak jujur pula. Di dalam tiga
kalimat ucapanmu lebih dari dua kalimat selalu kau putar balik. Tapi aku pun tidak akan memaksa kepada
orang lain. Orang lain boleh mendengarkan kata-kataku, kalau tidak suka boleh jangan mendengarkan dan
terserah kepadanya.”
“Tapi aku suka mendengarkan ucapanmu kok,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. Ucapannya ini
mengandung nada menggoda. Alis Ing-ing tampak berkerut seperti hendak marah, tapi mukanya lantas merah
jengah dan terus berpaling.
Untuk sejenak siapa pun tidak bersuara lagi. Tiba-tiba tercium bau hangus. “Aiiii!” Ing-ing menjerit. Kiranya
sundukan satai kodoknya telah terpanggang hangus.
“Gara-garamu!” omel Ing-ing.
“Kau mesti bilang gara-garaku membikin kau marah sehingga dapat menghasilkan satai kodok hangus sebaik
ini,” sahut Lenghou Tiong tertawa.
Segera ia mendahului mencomot sepotong paha swike yang hangus dan dimasukkan ke dalam mulut.
“Ehmmm, alangkah lezatnya! Satai hangus beginilah barulah sedap. Di tengah rasa sangit mengandung pahit
dan di tengah rasa pahit timbullah manis. Rasa selezat ini boleh dikata nomor satu di dunia ini.”
Ing-ing merasa geli oleh ucapan Lenghou Tiong, sambil mengikik tawa ia pun ikut makan satai kodok itu.
Lenghou Tiong selalu pilih bagian yang hangus untuk dimakan sendiri dan memberikan paha kodok yang tidak
hangus untuk Ing-ing. Sesudah kenyang makan, cahaya sang surya menghangati badan mereka, saking
lelahnya tanpa merasa mereka sama berbaring dan tertidur.
Lantaran semalam suntuk tidak tidur, pula sama-sama terluka, maka tidur mereka itu sangat nyenyak. Di
tengah impiannya Lenghou Tiong merasa dirinya sedang berlatih pedang bersama Gak Leng-sian di tengah
gemerojoknya air terjun. Tiba-tiba di tengah mereka bertambah satu orang dan ternyata Lim Peng-ci adanya.
Menyusul dirinya lantas berkelahi dengan Peng-ci di tengah air terjun itu. Tapi kedua tangannya sendiri sama
sekali tak bertenaga, dengan mati-matian ada maksud mengeluarkan Tokko-kiu-kiam ajaran Hong Jing-yang
itu, tapi satu jurus pun sukar dikeluarkan, sebaliknya serangan-serangan Lim Peng-ci semakin menggencar dan
berulang-ulang mengenai ulu hati, perut, kepala dan bahunya, sedangkan Gak Leng-sian tampak bergelak
tertawa. Saking khawatir dan gusarnya ia berteriak-teriak, “Siausumoay, Siausumoay!”
Setelah berteriak beberapa kali, akhirnya ia terjaga bangun sendiri. Didengarnya suatu suara yang lembut
berkata di sampingnya, “Kau telah mimpi siausumoaymu, apa yang dia lakukan terhadapmu?”
“Ada orang hendak membunuh aku, tapi Siausumoay tidak ambil pusing kepadaku,” sahut Lenghou Tiong
dengan perasaan belum tenteram.
Ing-ing menghela napas, katanya, “Dahimu penuh air keringat.”
Segera Lenghou Tiong mengusapnya dengan lengan baju, tiba-tiba angin berkesiur sehingga terasa menggigil.
Waktu menengadah, dilihatnya langit penuh dengan bintang-bintang, nyata hari sudah jauh malam, kiranya
tidurnya benar-benar sangat nyenyak dan marem.
Setelah jernih kembali pikirannya, segera lapanglah perasaan Lenghou Tiong. Ia tertawa dan baru hendak
bicara, mendadak Ing-ing mendekap mulutnya dan mendesis, “Ssst, ada orang datang.”
Segera Lenghou Tiong tutup mulut, tapi tidak mendengar sesuatu. Selang sebentar lagi barulah didengarnya
ada suara tindakan orang dari kejauhan. Selang sejenak pula, terdengar seorang sedang berkata, “Di sini ada
lagi dua sosok mayat.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekali ini Lenghou Tiong dapat mengenali suara orang itu, terang Coh Jian-jiu adanya.
“Ini ada bekas-bekas darah,” terdengar seorang lagi berkata. Lalu yang seorang lain berseru, “Ah, ini kan
hwesio dari Siau-lim-pay?!”
Lenghou Tiong lantas ingat pembicara yang duluan itu adalah Ya-niau-cu Keh Bu-si dan yang terakhir adalah Lo
Thau-cu, mungkin dia melihat mayatnya Kat-gwe.
Perlahan-lahan Ing-ing menarik kembali tangannya yang mendekapi mulut Lenghou Tiong tadi.
Dalam pada itu terdengar Keh Bu-si telah berkata pula, “Ketiga orang yang mati ini adalah murid Siau-lim-pay
dari kalangan preman, mengapa bisa terbinasa di sini? Eh, orang ini bernama Sin Kok-liong, aku kenal dia.
Sungguh mengerikan matinya ini, padahal dia adalah jago gwakang dari Siau-lim-pay.”
“Ya, siapakah yang punya kemampuan sehebat ini sehingga dapat membunuh empat jago Siau-lim-pay
sekaligus?” kata Coh Jian-jiu.
“Jangan-jangan ... jangan-jangan adalah perbuatan tokoh dari Hek-bok-keh?” ujar Lo Thau-cu dengan raguragu.
“Bahkan bisa jadi adalah ... adalah Tonghong-kaucu sendiri?”
“Ya, kalau melihat keadaan luka parah korban ini memang rada-rada mirip,” kata Keh Bu-si. “Marilah kita lekas
mengubur keempat rangka jenazah ini agar jejaknya tidak diketahui oleh orang dari Siau-lim-pay.”
“Jika memang benar tokoh Hek-bok-keh yang melakukannya, tentu mereka pun tidak takut diketahui oleh
pihak Siau-lim-pay,” ujar Coh Jian-jiu. “Malahan bukan mustahil mayat-mayat ini memang sengaja ditinggalkan
begini saja di sini secara demonstratif agar diketahui oleh orang-orang Siau-lim-pay.”
“Kukira kalau mau unjuk wibawa begini rasanya takkan meninggalkan mayat-mayat ini di tempat pegunungan
yang sunyi begini,” ujar Keh Bu-si. “Coba pikir, jika kita tidak lewat di sini secara kebetulan, tentu mayatmayat
ini akan dimakan oleh burung-burung dan binatang-binatang buas dan tentu takkan ketahuan orang
lagi. Jika aku, lebih tepat kalau mayat-mayat ini digantung di tengah jalan besar dan diberi tanda pula sebagai
anak murid Siau-lim-pay, dengan demikian pamor Siau-lim-pay pasti akan runtuh habis-habisan.”
“Uraian Ya-niau-cu ini memang tidak salah,” kata Coh Jian-jiu. “Besar kemungkinan setelah tokoh Hek-bok-keh
membunuh keempat orang ini lalu buru-buru pergi mengejar musuh lagi dan tidak sempat mengubur mayatmayat
ini.”
Habis itu lantas terdengar suara tanah digali, ketiga orang itu mulai menggali liang untuk mengubur mayat Sin
Kok-liong berempat.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Ketiga orang ini tentu mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan
Tonghong-kaucu dari Hek-bok-keh, kalau tidak rasanya mereka takkan susah payah mencapekkan diri seperti
ini.”
Sejenak kemudian, tiba-tiba terdengar suara “crat-cret” berulang-ulang, lalu terdengar Lo Thau-cu bertanya,
“Ya-niau-cu, orangnya sudah mati, buat apa lagi kau membacoki badan mereka?”
“Coba saja kau menerkanya,” sahut Keh Bu-si dengan tertawa.
Sebelum Lo Thau-cu menjawab, tiba-tiba Coh Jian-jiu menyela dengan tertawa, “Pikiran Ya-niau-cu memang
sangat rapi, untuk menjaga pencarian orang Siau-lim-pay yang mungkin akan menggali keluar mayat-mayat ini
dan dari keadaan luka-luka di atas mayat ini tentu akan dapat diselidiki siapakah pembunuhnya.”
Bab 59. Ing-ing Memerintahkan Bunuh Lenghou Tiong
Terdengar Keh Bu-si berkata pula, “Saudara Sin Kok-liong, jelek-jelek kita pernah bertemu satu kali, Ya-niaucu
sangat mengagumi jiwa kesatriamu yang luhur, tapi hari ini terpaksa aku harus mencacah jenazahmu, harap
engkau sudi memaafkan. Ai sungguh sayang, sayang!”
“Ya, betul juga,” kata Lo Thau-cu. “Kalau begitu bacok saja lebih banyak, semakin luluh semakin baik.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sembari omong dan menghela napas gegetun ia pun terus membacok dengan goloknya. Tiga orang mencacah
empat jenazah itu hingga menjadi berpuluh potong kecil-kecil, habis itu barulah dimasukkan ke dalam liang dan
diuruk dengan tanah.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Orang-orang ini benar-benar bertangan gapah dan berhati kejam. Yaniau-
cu itu katanya mengagumi Sin Kok-liong sebagai kesatria berjiwa luhur, tidak seharusnya dia merusak
jenazahnya sedemikian rupa.”
Waktu ia menoleh, di tengah remang-remang kegelapan malam dilihatnya Ing-ing sedang tersenyum-senyum.
Wajah yang tersenyum itu benar-benar teramat menggiurkan, padahal jelas terdengar orang membacoki mayat
sehingga senyuman yang manis itu tidak sesuai dengan suasananya.
Tiba-tiba terdengar Coh Jian-jiu bersuara, “He, apakah ini? Ada sebutir obat.”
Terdengar pula Keh Bu-si sedang mengendus-endus beberapa kali, lalu berkata, “Ini adalah obat mujarab Siaulim-
pay yang mempunyai khasiat menghidupkan orang mati, tentulah obat ini tercecer dari saku anak murid
Siau-lim-pay ini.”
“Dari mana kau mengetahui ini adalah obat Siau-lim-pay?” tanya Coh Jian-jiu.
“Kira-kira dua puluh tahun yang lalu aku pernah melihat obat semacam ini di tempat seorang hwesio tua Siaulim-
si,” sahut Keh Bu-si.
“Jika benar obat mujarab, inilah sangat kebetulan. Lo-heng, boleh kau ambil untuk diminumkan kepada Nona
Siau Ih agar dia lekas sembuh,” ujar Coh Jian-jiu.
“Banyak-banyak terima kasih,” sahut Lo Thau-cu. “Tentang penyakit putriku sih aku tidak terlalu pikirkan, yang
penting sekarang juga kita lekas pergi mencari Lenghou-kongcu dan mempersembahkan obat ini kepadanya.”
Sungguh tak terkatakan rasa terima kasih dan terharu demi mendengar ucapan Lo Thau-cu itu. Pikirnya, “Obat
itu terang adalah kepunyaan Ing-ing yang jatuh itu. Bagaimana caranya aku harus memintanya kembali dari Lo
Thau-cu untuk diminumkan kepada Ing-ing?”
Ia lihat Ing-ing sedang tersenyum pula dan mencibir padanya dengan sikap jenaka dan kekanak-kanakan,
sungguh sukar untuk dipercaya bahwa nona cilik yang cantik dan lincah demikian adalah iblis perempuan yang
sekaligus telah membunuh empat jago pilihan Siau-lim-pay.
Menyusul terdengarlah suara urukan batu dan tanah, ketiga orang telah mengubur jenazah-jenazah itu. Lalu Lo
Thau-cu berkata pula, “Sekarang kita menghadapi suatu persoalan sulit. Coba kau ikut memikirkan bagiku, Yaniau-
cu.”
“Soal apa?” tanya Keh Bu-si.
“Saat ini Lenghou-kongcu tentu berada bersama ... bersama Seng-koh (putri suci),” kata Lo Thau-cu. “Jika aku
mengantarkan obat ini kepadanya tentu akan pergoki Seng-koh pula. Dan kalau Seng-koh marah sehingga aku
dibunuh, hal ini tidak menjadi soal. Cuma dengan demikian berarti aku telah mengetahui keadaannya, hal
inilah yang bisa bikin runyam.”
Lenghou Tiong memandang sekilas kepada Ing-ing, katanya dalam hati, “Kiranya mereka memanggil kau
sebagai Seng-koh dan begitu pula takutnya padamu. Memangnya mengapa sedikit-sedikit kau suka membunuh
orang?”
Dalam pada itu terdengar Keh Bu-si telah berkata, “Ketiga orang buta yang kita jumpai di tengah jalan tadi ada
juga gunanya bagi kita. Lo-heng, besok kita tentu akan dapat menyusul ketiga orang buta itu dan suruh
mereka mengantarkan obat ini kepada Lenghou-kongcu. Mata mereka buta, seumpama menghadapi Seng-koh
yang berada bersama Lenghou-kongcu juga takkan mengakibatkan kematian bagi mereka.”
“Tapi aku justru sangsi jangan-jangan butanya ketiga orang itu justru disebabkan mereka memergoki Seng-koh
sedang berada bersama Lenghou-kongcu,” timbrung Coh Jian-jiu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mendadak Lo Thau-cu menepuk paha dan berseru, “Benar! Jika tidak, mengapa mereka buta semua tanpa
sebab? Malahan keempat murid Siau-lim-pay ini mungkin juga tanpa sengaja telah memergoki beradanya
Seng-koh bersama Lenghou-kongcu sehingga mendatangkan malapetaka bagi mereka.”
Untuk sejenak ketiga orang itu terdiam. Sebaliknya rasa heran dan ragu-ragu semakin berkecamuk di dalam
benak Lenghou Tiong.
Terdengar Coh Jian-jiu membuka suara lagi sambil menghela napas, “Kuharap semoga penyakit Lenghoukongcu
lekas sembuh dan Seng-koh akan bisa lekas-lekas terjalin sebagai pasangan yang bahagia dengan dia.
Selama mereka berdua tidak lekas-lekas menikah selama itu pula suasana di dunia Kangouw takkan bisa
tenteram.”
Lenghou Tiong terkesiap. Ia coba melirik si Ing-ing. Remang-remang wajah si nona tampak bersemu merah,
tapi sorot matanya memancarkan sinar kemarahan.
Khawatir kalau-kalau mendadak Ing-ing mencelakai Lo Thau-cu bertiga, Lenghou Tiong sengaja menjulurkan
tangan kanan untuk memegangi tangan kiri si nona. Terasa badan Ing-ing rada gemetar, entah disebabkan
marah atau karena malu.
“Lo-heng dan Coh-heng,” terdengar Keh Bu-si berkata, “waktu Seng-koh mendengar kita akan berkumpul di
atas Ngo-pah-kang, beliau menjadi begitu marah. Padahal cinta kasih antara muda-mudi adalah soal yang
jamak. Pemuda ganteng dan cakap seperti Lenghou-kongcu itu hanya setimpal mendapatkan jodoh nona cantik
seperti Seng-koh, mengapa tokoh hebat sebagai Seng-koh juga bisa kikuk-kikuk seperti perempuan desa saja.
Sudah terang beliau menyukai Lenghou-kongcu, tapi beliau justru melarang orang lain mengungkat hal ini,
lebih-lebih tidak suka dipergoki orang. Bukankah ini rada ... rada-rada janggal?”
Sampai di sini barulah Lenghou Tiong tahu duduknya perkara. Cuma tidak tahu apa yang dikatakan Keh Bu-si
itu benar atau tidak. Sekonyong-konyong ia merasa tangan Ing-ing yang digenggamnya itu bergerak seakanakan
hendak melepaskannya dari pegangan. Lekas-lekas ia menggenggam lebih kuat, ia khawatir dalam
gusarnya Ing-ing bisa jadi akan membunuh Keh Bu-si.
Terdengar Coh Jian-jiu berkata, “Sekalipun Seng-koh adalah satu di antara ketiga murid utama Hek-bok-keh,
ilmu silatnya kuat dan agamanya tinggi, tapi apa pun juga dia adalah seorang nona muda belia. Setiap nona
muda di dunia ini ketika untuk pertama kalinya menyukai seorang laki-laki, biarpun betapa hatinya jatuh cinta
tetap juga tak berani diutarakannya. Kali ini kita bermaksud menyanjung Seng-koh, tapi malah kena batunya.
Memang salah kita sendiri, kita adalah lelaki kasar semua dan tidak paham perasaan anak perempuan sehingga
bukannya membikin senang hati Seng-koh, sebaliknya membuatnya marah malah. Kalau kejadian ini sampai
tersiar tentu akan ditertawai oleh kawanan anjing dari kalangan yang menamakan dirinya beng-bun-cing-pay
segala.”
Lo Thau-cu lantas berseru lantang, “Kita sama utang budi kepada Seng-koh, selama ini kita berharap dapat
membalas kebaikannya dan bermaksud menyembuhkan penyakit kekasih jantung hatinya. Seorang laki-laki
sejati harus dapat membedakan secara tegas antara dendam dan budi, ada budi harus dibalas, ada dendam
harus dituntut, kenapa kau merasa berbuat salah? Hm, kawanan anjing mana yang berani menertawai kita biar
aku membetot ususnya dan membeset kulitnya.”
Baru sekarang Lenghou Tiong merasa terang seluk-beluk pengalamannya selama ini, jadi sepanjang jalan
dirinya sedemikian disanjung puji oleh orang-orang gagah itu adalah berkat seorang “putri suci” dari Hek-bokkeh
yang bernama Ing-ing ini. Sebabnya para jago yang sudah berkumpul di atas Ngo-pah-kang dan
mendadak bubar pula mungkin karena Seng-koh tidak ingin orang luar mengetahui isi hatinya dan
menyiarkannya di dunia Kangouw.
Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Seng-koh adalah seorang nona muda jelita, namun dia sudah dapat
mengerahkan sekian banyak jago-jago dan tokoh-tokoh ternama untuk menyanjung dirinya, dengan sendirinya
si nona sendiri bukanlah tokoh sembarangan. Sedangkan perkenalanku sendiri dengan si nona hanya terjadi di
suatu gang sunyi di kota Lokyang melalui suara kecapi dari balik kerai sehingga boleh dikatakan belum ada
peresmian kasih segala, apa barangkali ada orang luar yang telah salah paham dan menyiarkan kejadian itu
sehingga membikin Seng-koh sangat marah?”
Dalam pada itu terdengar Coh Jian-jiu sedang berkata, “Ucapan Lo Thau-cu memang tidak salah. Kita banyak
berutang budi kepada Seng-koh, asalkan kita dapat menjalinkan perjodohan ini sehingga selama hidup ini
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Seng-koh dapat hidup bahagia, maka biarpun badan kita hancur lebur juga takkan menyesal. Tentang sedikit
dampratan yang kita alami di atas Ngo-pah-kang tidaklah menjadi soal. Hanya saja ... hanya saja Lenghoukongcu
adalah murid utama Hoa-san-pay yang selamanya tidak dapat hidup berdampingan dengan pihak Hekbok-
keh, untuk merangkapkan perjodohan ini rasanya tidak sedikit kesulitan-kesulitan yang masih harus
dihadapi.”
“Aku ada suatu akal,” kata Keh Bu-si. “Kita kan dapat menangkap ketua Hoa-san-pay, yaitu si Gak Put-kun,
lalu mengancam akan membunuhnya agar dia mau menjadi wali perjodohan ini.”
“Akal Ya-niau-cu ini sungguh sangat bagus,” seru Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu berbareng. “Urusan jangan
terlambat, sekarang juga kita lantas berangkat untuk menangkap Gak Put-kun.”
“Nanti dulu,” ujar Keh Bu-si. “Perlu dipikirkan bahwa Gak Put-kun adalah ketua dari suatu aliran terkemuka,
lwekang dan kiam-hoatnya mempunyai peyakinan yang mendalam dan sempurna. Kalau kita main kasar
padanya, pertama kita belum pasti akan dapat menang, kedua, seumpama dapat menawan dia, kalau dia nanti
tetap berkepala batu dan tak mau menurut, lalu bagaimana?”
“Jika begitu terpaksa kita harus menculik pula istri dan putrinya dengan segala ancaman-ancaman lain,” ujar Lo
Thau-cu.
“Betul,” sokong Coh Jian-jiu. “Cuma urusan ini harus dikerjakan serahasia mungkin, sekali-kali tak boleh
diketahui orang luar sehingga membikin malu pihak Hoa-san-pay. Sebab Lenghou-kongcu adalah murid
pertama Hoa-san-pay, jika kita membikin susah gurunya tentu dia akan merasa tidak senang.”
Begitulah ketiga orang itu terus berunding pula cara bagaimana akan menangkap Gak-hujin serta Gak Lengsian.
Sekonyong-konyong Ing-ing berseru dengan suara lantang, “Hei, ketiga orang yang berani mati itu, lekas
enyah yang jauh dan jangan membikin marah nonamu melulu.”
Lenghou Tiong sampai kaget karena mendadak Ing-ing membuka suara. Sekuatnya ia pegang tangan si nona.
Sudah tentu Keh Bu-si bertiga lebih-lebih kaget.
Dengan suara gemetar Lo Thau-cu telah menjawab, “Ya, ya, hamba ... hamba ....” rupanya saking khawatirnya
sehingga ia tidak sanggup meneruskan ucapannya.
Keh Bu-si juga lantas berkata, “Ya, kami memang telah sembarangan mengoceh, harap Seng-koh jangan
anggap sungguh-sungguh. Biarlah besok juga kami lantas menyingkir ke Se-ek (benua barat) dan takkan
kembali ke Tionggoan lagi.”
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, “Wah, dengan demikian berarti ketiga orang ini telah diasingkan pula ke
tempat terpencil jauh.”
Tapi Ing-ing lantas berkata pula, “Siapa yang suruh kalian menyingkir pergi ke Se-ek. Aku ada suatu urusan,
hendaklah kalian melaksanakannya untukku.”
Seakan-akan mendapat pengampunan besar, dengan girang luar biasa Keh Bu-si bertiga serentak berkata,
“Silakan Seng-koh memberi perintah saja, sudah pasti kami akan berbuat sepenuh tenaga.”
“Aku ingin membunuh satu orang, tapi seketika sukar menemukan orangnya,” kata Ing-ing. “Maka bolehlah
kalian menyiarkan keinginanku ini, siapa saja dan setiap kawan Kangouw yang dapat membunuh orang ini pasti
akan kuberi balas jasa yang baik.”
“Balas jasa sih tidak berani kami harapkan,” ujar Coh Jian-jiu. “Tentang jiwa orang itu, biarpun kami bertiga
mengubernya sampai di ujung langit pun akan kami bekuk dia. Cuma saja tidak tahu siapakah keparat yang
berani membikin marah kepada Seng-koh itu?”
“Melulu kalian bertiga saja rasanya kurang mampu membunuhnya, maka kalian harus lekas menyebarkan
perintahku ini,” kata Ing-ing pula.
“Baik, baik,” sahut Coh Jian-jiu. “Mohon tanya bangsat keparat siapakah yang Seng-koh ingin membunuhnya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
itu?”
“Hm,” Ing-ing mendengus. “Orang itu she Lenghou dan bernama Tiong, dia adalah murid utama dari Hoa-sanpay.”
Ucapan ini membikin terkejut empat orang, yaitu Lo Thau-cu bertiga ditambah Lenghou Tiong sendiri. Seketika
tiada seorang pun yang berani membuka suara. Sampai agak lama barulah Lo Thau-cu berkata, “Hal ini ... hal
ini ....”
“Hal apa?” omel Ing-ing. “Apakah kalian takut kepada Ngo-gak-kiam-pay?”
“Sekalipun naik ke langit dan turun ke akhirat juga kami berani,” sahut Lo Thau-cu. “Kami akan segera pergi
menangkap Lenghou Tiong untuk diserahkan kepada Seng-koh agar dihukum yang setimpal. Marilah Ya-niaucu
dan Coh Jian-jiu, kita berangkat sekarang juga.”
Tapi diam-diam ia membatin, “Tentu dalam bicaranya Lenghou Tiong telah menyinggung perasaan Seng-koh.
Memang jamak pergaulan di antara anak muda, semakin rapat dan baik semakin gampang cekcok pula. Ya,
apa boleh buat, terpaksa kami harus pergi mencari dan mengundang Lenghou-kongcu ke sini, biarkan Sengkoh
sendiri yang melayani dia.”
Di luar dugaan Ing-ing lantas berseru dengan marah, “Siapa yang suruh kalian pergi menangkap dia? Selama
Lenghou Tiong itu hidup di dunia ini hanya akan merusak nama baikku yang suci bersih ini, lekas dia dibunuh
lekas pula rasa dongkolku akan terlampias.”
Coh Jian-jiu hendak berkata pula, “Seng-koh ....”
Tapi Ing-ing telah menyela, “Sudahlah, tentu kalian mempunyai hubungan baik dengan Lenghou Tiong dan
tidak mau melaksanakan perintahku tadi. Tidak apalah, biar aku menugaskan kepada orang lain saja.”
Mendengar ucapan Ing-ing itu sangat serius, Keh Bu-si bertiga tidak berani ragu-ragu lagi, terpaksa mereka
memberi hormat dan berkata, “Baiklah, dengan taat kami akan melaksanakan perintah Seng-koh.”
Diam-diam Lo Thau-cu membatin pula, “Lenghou-kongcu adalah seorang yang luhur budinya, hari ini aku
terpaksa melaksanakan perintah Seng-koh dan mau tak mau harus ikut membunuh Lenghou-kongcu, tapi
sesudah kubunuh dia, nanti aku pun akan membunuh diri untuk mengiringinya.”
Begitulah ketiga orang itu lantas bertindak pergi.
Waktu Lenghou Tiong memandang ke arah Ing-ing, tertampak nona itu sedang menunduk dan termenungmenung.
Pikirnya, “Kiranya demi untuk menjaga nama baiknya sendiri dia harus mencabut nyawaku. Tapi apa
sih sulitnya jika hal ini dikehendaki?”
Maka berkatalah Lenghou Tiong, “Kau ingin membunuh aku boleh silakan lakukan sendiri saja, buat apa mesti
mengerahkan orang begitu banyak?” perlahan-lahan ia lantas melolos pedangnya sendiri dan menyodorkan
gagang pedang kepada Ing-ing.
Ing-ing lantas memegangi pedang itu, kepalanya sendiri miring sambil menatapi Lenghou Tiong.
Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas membusungkan dada.
“Kematianmu sudah di depan mata, apa yang kau tertawakan?” omel Ing-ing.
“Justru karena kematianku sudah di depan mata, makanya aku ingin tertawa,” sahut Lenghou Tiong.
Ing-ing angkat pedangnya dengan gerakan seakan-akan hendak menusuk. Tapi mendadak ia putar tubuh,
tangannya mengayun sekuatnya, pedang itu dibuang jauh-jauh. “Trang”, pedang itu jatuh di atas tanah.
“Semuanya gara-garamu, gara-garamu!” demikian si nona berseru sambil banting-banting kaki. “Karena garagaramu
maka orang-orang Kangouw sama menertawakan diriku seolah-olah selamanya aku tidak ... tidak laku,
seperti tidak ada orang yang mau padaku lagi, dianggapnya dengan segala daya upaya aku sengaja memikat
kau. Padahal apamu yang ... yang hebat sehingga selanjutnya aku tidak punya muka untuk bertemu dengan
orang lagi.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiba-tiba Lenghou Tiong bergelak tertawa malah.
Ing-ing menjadi gusar. Dampratnya, “Kau malah menertawai aku, kau mengejek aku?”
Mendadak ia terus menangis tergerung-gerung.
Karena tangis si nona, seketika timbul juga rasa penyesalan Lenghou Tiong, mendadak ia menjadi sadar juga,
“Ah, dia mempunyai kedudukan dan nama yang tinggi serta terhormat, sedemikian banyak orang-orang gagah
sama sangat segan kepadanya, dengan sendirinya dia sudah biasa dipuji, dia adalah anak perempuan, tentu
juga punya rasa harga diri yang tinggi. Ketika mendadak semua orang mengatakan dia suka padaku, tentu saja
hal ini membuatnya merasa direndahkan. Sebabnya dia menyuruh Lo Thau-cu bertiga menyiarkan perintahnya
untuk membunuh aku besar kemungkinan tidak sungguh-sungguh hendak membunuh aku, tapi tujuannya
hanya sebagai sangkalan saja tentang sukanya padaku. Dengan perintahnya itu tentu siapa pun takkan curiga
bahwa aku justru berada bersama dia.”
Segera Lenghou Tiong berbangkit, katanya dengan suara halus, “Ya, memang akulah yang bersalah sehingga
membikin nama baik nona tercemar. Biarlah sekarang juga aku mohon diri saja.”
Ing-ing mengusap air matanya, katanya, “Kau hendak ke mana?”
“Tiada tempat tujuan, ke mana pun jadi,” sahut Lenghou. Tiong.
“Kau telah berjanji akan mengantar aku, mengapa sekarang hendak tinggal pergi sendirian?”
“Ah, sesungguhnya aku tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit sehingga sembarang omong, ucapanku
itu tentu akan ditertawai nona saja,” ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum. “Padahal ilmu silat nona
sedemikian tinggi, masakah perlu pengawalanku segala. Biarpun ada seratus orang Lenghou Tiong juga tidak
mampu membandingi nona seorang.”
Habis berkata ia terus putar tubuh hendak melangkah pergi.
“Kau tidak boleh pergi,” seru Ing-ing gugup.
“Kenapa?” tanya Lenghou Tiong.
“Coh Jian-jiu bertiga sudah menyiarkan perintahku tadi, dalam waktu beberapa hari saja setiap orang Kangouw
pasti akan tahu semua. Dalam keadaan begitu setiap orang tentu ingin membunuh kau. Jangankan kau dalam
keadaan terluka, sekalipun sehat juga kau sukar untuk menghindarkan diri dari kematian.”
Lenghou Tiong tersenyum hambar, katanya, “Jika aku dapat mati di bawah perintah nona, rasanya masih baik
juga.”
Habis berkata ia terus menjemput pedangnya dan dimasukkan ke dalam sarungnya. Ia menduga dirinya masih
lemah dan tidak sanggup mendaki tanah tanjakan itu, maka langkahnya lantas diarahkan ke sepanjang tepi
sungai kecil itu.
Melihat Lenghou Tiong benar-benar mau pergi dan semakin jauh, Ing-ing lantas mengejarnya dan berseru, “He,
he! Kau jangan pergi.”
“Jika aku tetap tinggal di sini kan cuma membikin susah pada nona, maka lebih baik aku pergi saja,” ujar
Lenghou Tiong.
“Tidak, kau ... kau ....” hanya sekian ucapannya dan segera Ing-ing menggigit bibir dengan perasaan risau dan
cemas. Ketika dilihatnya Lenghou Tiong masih melangkah terus, cepat ia memburu maju pula sambil berkata,
“Lenghou Tiong, apakah kau sengaja memaksa aku mengucapkannya secara terus terang baru kau merasa
puas ya?”
“Ai, ada apakah? Sungguh aku tidak paham?” sahut Lenghou Tiong heran.
Kembali Ing-ing menggigit bibir, kemudian berkata, “Aku telah suruh Coh Jian-jiu bertiga menyiarkan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
perintahku, hal itu supaya ... supaya kau bisa senantiasa berada di sampingku dan tidak boleh meninggalkan
aku barang selangkah pun.”
Habis mengucapkan demikian tubuhnya menjadi gemetar, berdiri pun sempoyongan.
Lenghou Tiong terheran-heran, tanyanya, “Kau ... kau ingin didampingi aku senantiasa?”
“Benar,” sahut Ing-ing. “Setelah Coh Jian-jiu bertiga menyiarkan perintahku, mau tak mau kau harus
mendampingi aku barulah dapat menyelamatkan jiwamu. Tak tersangka kau ternyata tidak tahu apa artinya
kematian, sedikit pun kau tidak takut. Bukankah jadinya akulah ... akulah yang membikin celaka kau?”
Hati Lenghou Tiong menjadi terharu, pikirnya, “Kiranya kau benar-benar sedemikian baik kepadaku, tapi di
depan orang-orang itu mati pun kau tidak mau mengaku.”
Segera ia putar tubuh dan mendekati Ing-ing, ia pegang kedua tangan si nona dan terasa amat dingin kedua
telapak tangannya itu. Dengan suara lirih dibikinnya, “Buat apa engkau berbuat demikian?”
“Aku takut,” sahut Ing-ing.
“Takut apa?”
“Aku takut kau yang tolol ini tidak mau turut kepada omonganku dan benar-benar akan pergi mengembara
Kangouw lagi dan mungkin tidak sampai besok kau sudah akan mati di tangan manusia-manusia busuk yang
tidak laku sepeser itu.”
“Mereka itu adalah laki-laki gagah perkasa semua, mereka pun sangat baik padamu, mengapa kau begini
memandang hina kepada mereka?”
“Di belakangku mereka menertawai diriku, mereka ingin membunuh kau pula, bukankah mereka itu adalah
manusia-manusia busuk yang pantas mampus?”
Hampir-hampir Lenghou Tiong tertawa, katanya, “Kau sendirilah yang menyuruh mereka mencari dan
membunuh aku, mengapa kau malah salahkan mereka? Lagi pula mereka pun tidak menertawai kau. Bukankah
kau mendengar pembicaraan Lo Thau-cu bertiga tadi tentang dirimu, betapa segan dan hormat mereka
kepadamu, masakan mereka ada maksud menertawai kau?”
“Di mulut mereka tidak menertawai aku, tapi di dalam hati mereka tertawa,” kata Ing-ing.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa si nona ingin menang sendiri, ia pun tidak mau berdebat lagi dengan dia,
terpaksa berkata, “Baiklah, kau melarang aku pergi, biar aku mendampingi kau di sini saja. Ai, jika benarbenar
dibacok orang sehingga terpotong-potong rasanya tentu tidaklah enak.”
Ing-ing menjadi girang karena Lenghou Tiong berjanji takkan pergi. Katanya, “Rasanya tidak enak apa,
hakikatnya memang konyol.”
Waktu bicara muka si nona rada dimiringkan ke sebelah sini sehingga di bawah cahaya bintang-bintang yang
remang-remang dapat terlihat mukanya yang putih halus. Seketika tergerak perasaan Lenghou Tiong, pikirnya,
“Sesungguhnya nona ini jauh lebih cantik daripada Siausumoay, akan tetapi ... akan tetapi, entah mengapa
hatiku masih selalu terkenang kepada Siausumoay saja.”
Sudah tentu Ing-ing tidak tahu di dalam hati Lenghou Tiong sedang memikirkan Gak Leng-sian, ia bertanya
pula, “Di mana kecapi pemberianku tempo hari? Sudah kau hilangkan ya?”
“Ya,” sahut Lenghou Tiong. “Aku kehabisan sangu di tengah jalan dan terpaksa kecapi itu kugadaikan.”
Sembari berkata ia pun menanggalkan buntelan yang menyandang di bahunya, lalu dibuka dan dikeluarkannya
khim (kecapi) pemberian si nona dahulu itu.
Melihat buntelan kecapi itu sangat rapi, suatu tanda betapa cermat dan sayang terhadap benda pemberiannya
itu, diam-diam Ing-ing sangat senang. Omelnya kemudian, “Setiap hari kau mesti berdusta, baru hatimu
merasa, puas bukan?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lalu ia ambil kecapi itu dan mulai dipetiknya perlahan-lahan, dibawakannya lagu “Jing-sim-boh-sian-ciu” itu
sambil bertanya, “Lagu ini sudah kau pelajari dengan baik belum?”
“Wah, masih jauh daripada baik,” sahut Lenghou Tiong sambil mendengarkan suara kecapi yang merdu dan
menyegarkan itu. Ia merasa suara kecapi sekarang rada berbeda daripada apa yang dibawakannya di Lokyang
dahulu, bunyi kecapi sekarang lebih lincah, seperti kicauan burung, seperti gemerciknya mata air. Baru
sekarang ia tahu bahwa lagunya meski sama, tapi iramanya berbeda, kiranya lagu Jing-sim-boh-sian-ciu itu
masih mempunyai perubahan sebanyak ini.
Tiba-tiba terdengar “creng” satu kali, senar kecapi yang paling pendek itu telah putus. Ing-ing tampak
mengerut dahi, tapi masih terus memetik kecapinya. Selang tidak lama, “cring”, kembali senarnya putus satu
utas.
Dari irama kecapinya itu sekarang Lenghou Tiong merasa mengandung kegelisahan sehingga sangat
berlawanan dengan lagu Jing-sim-boh-sian-ciu yang semula. Lewat tidak lama pula, selagi heran, mendadak
senar kecapi putus satu utas pula.
Ing-ing tampak tercengang dan mendorong kecapinya ke depan. Lalu omelnya, “Kau duduk di situ hanya
mengganggu saja, tentu saja tak dapat membunyikan kecapi ini dengan baik.”
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Sejak tadi aku duduk tenang-tenang mendengarkan di sini, bilakah aku
pernah mengganggu kau?” tapi segera ia paham, “Ya, dia sendirilah yang pikirannya tidak tenang sehingga
akulah yang disalahkan.”
Tapi ia pun tidak membantah omelan si nona, ia lantas merebahkan diri di atas tanah berumput itu dan
pejamkan mata untuk istirahat. Rupanya saking lelahnya sehingga akhirnya tanpa terasa ia terpulas.
Besok paginya waktu dia mendusin, dilihatnya Ing-ing sedang mencuci muka di tepi sungai. Habis cuci muka si
nona mulai menyisir rambut dengan sebuah sisir, lengannya putih bersih, rambutnya panjang terurai, Lenghou
Tiong sampai kesima.
Waktu Ing-ing menoleh, dilihatnya Lenghou Tiong sedang memandanginya dengan termangu-mangu, muka
Ing-ing menjadi merah, omelnya dengan tertawa, “Setan tidur, baru sekarang mendusin.”
Lenghou Tiong rada rikuh juga, katanya mengada-ada, “Coba kupergi menangkap kodok, entah aku sudah kuat
belum.”
Memang benar juga, waktu Lenghou Tiong bermaksud berbangkit, terasa tangan dan kakinya masih lemas linu,
sedikit pakai tenaga saja darah lantas bergolak di rongga dadanya. Sungguh tidak kepalang rasa dongkolnya,
kalau mau mati biar mati saja daripada mati tidak hidup tidak seperti sekarang ini, jangankan orang lain
merasa jemu terhadap keadaannya itu, sedangkan dirinya sendiri juga merasa keki.
Melihat air muka Lenghou Tiong bersungut, Ing-ing lantas menghiburnya, “Luka dalam yang kau derita belum
pasti sukar disembuhkan, di sini adalah tempat yang sunyi, toh tiada pekerjaan apa-apa, boleh kau merawat
badanmu perlahan-lahan kenapa mesti gelisah?”
Begitulah mereka terus tinggal di lembah pegunungan itu selama belasan hari. Luka Ing-ing sudah lama
sembuh, setiap hari dia yang menangkap swike sebagai bahan makanan. Sebaliknya badan Lenghou Tiong
makin hari makin susut tampaknya, melihat tangannya yang kurus itu hakikatnya tinggal kulit membungkus
tulang belaka. Meski Ing-ing sering membunyikan kecapi untuk menenangkan pikiran Lenghou Tiong dan
membuatnya bisa tidur nyenyak, tapi bagi kesehatannya itu ternyata tiada berguna sama sekali.
Lenghou Tiong tahu ajalnya sudah mendekat, untunglah dia adalah seorang pemuda yang berpikiran lapang, ia
pun tidak merisaukan nasibnya itu. Setiap hari dia masih tetap bersenda gurau dengan Ing-ing. Karena tiada
punya sesuatu sirikan, maka senda guraunya menjadi semakin bebas.
Di lembah pegunungan yang terpencil sunyi itu, sejak perginya Keh Bu-si bertiga pada malam itu, untuk
seterusnya tidak pernah lagi didatangi orang lain sehingga suasananya benar-benar aman tenteram.
Watak Ing-ing sebenarnya sangat tinggi hati dan suka main perintah, tapi demi ingat bahwa setiap saat ada
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kemungkinan riwayat Lenghou Tiong bisa tamat, maka dia tambah ramah dan mesra melayani pemuda itu
dengan segala cara. Terkadang ia pun suka muring-muring, tapi segera ia menjadi menyesal dan minta maaf
kepada Lenghou Tiong.
Hari ini ketika dilihatnya Lenghou Tiong setiap hari hanya makan swike melulu dan tentu juga merasa bosan,
maka Ing-ing telah pergi memburu seekor ayam hutan untuk dipanggang, ia mencari pula beberapa biji buah
tho. Kedua orang dapat bersantap dengan kenyang.
Bab 60. “Ih-kin-keng” Penyambung Jiwa Lenghou Tiong
Habis makan, Lenghou Tiong merasa letih pula, sayup-sayup ia tertidur lagi akhirnya. Di tengah mimpinya tibatiba
seperti didengarnya suara orang menangis. Waktu ia membuka mata perlahan-lahan, dilihatnya Ing-ing
mendekam di samping kakinya, pundaknya tampak bergerak naik turun, terang nona itu sedang menangis.
Lenghou Tiong terkejut, baru bermaksud tanya si nona mengapa mendadak berduka, tapi segera ia paham
duduknya perkara, tentu dia tahu ajalku sudah hampir tiba, makanya dia merasa sedih.
Perlahan-lahan ia mengulurkan sebelah tangan untuk meraba dan membelai rambut si nona.
Tahu bahwa Lenghou Tiong sudah mendusin, Ing-ing tidak angkat kepalanya lagi, sebaliknya menangis
semakin sedih.
“Jangan menangis, jangan menangis!” hibur Lenghou Tiong dengan sengaja tertawa, “Umurku masih ada 80
tahun lamanya, masakah begini cepat aku mau bersanakan dengan Giam-lo-ong (raja akhirat)?”
Dengan menangis Ing-ing berkata, “Tapi makin hari kau semakin kurus, aku ... aku ....”
Mendengar ucapan si nona, yang simpatik dan penuh kecemasan itu, sungguh hati Lenghou Tiong sangat
terharu. Seketika ia merasa langit dan bumi seakan-akan berputar-putar, darah seperti mau menyembur keluar
dari kerongkongannya. Lalu ia tidak ingat diri lagi.
Pingsannya itu entah sudah lewat berapa lamanya, hanya terkadang ia dapat merasakan sedikit tubuhnya
seperti terapung di atas langit, habis itu dia lantas kehilangan ingatan pula. Begitulah terkadang ia bisa sadar
sebentar, tapi tidak lama ia lantas pingsan lagi. Terkadang merasa ada orang mencekoki minuman padanya,
tempo-tempo terasa ada orang membakar badannya dengan api.
Suatu hari, pikiran Lenghou Tiong terasa rada jernih. Didengarnya suara seorang lelaki sedang berkata,
“Apakah dia dapat hidup, hal ini mesti melihat rezekinya.”
“Ai, memang sukar untuk diramalkan,” terdengar suara seorang lelaki lain sambil menghela napas.
Mestinya Lenghou Tiong bermaksud membuka matanya untuk melihat siapakah gerangan orang-orang yang
berbicara itu, akan tetapi kelopak matanya dirasakan amat berat, betapa pun sukar dipentang. Didengarnya
orang yang pertama tadi berkata pula, “Biarlah kita berusaha sepenuh tenaga, kita jangan mengecewakan
kepercayaan orang kepada kita.”
Menyusul Lenghou Tiong lantas merasa kedua pergelangan tangannya dipegang orang, masing-masing ada
suatu hawa hangat yang menyalur ke dalam tubuhnya melalui urat nadi pergelangan itu, maka terjadilah
pergolakan hebat dengan tenaga murni yang telah mengeram lebih dulu di dalam tubuhnya itu.
Sekujur badan dirasakannya sangat menderita, ia bermaksud berteriak, tapi sedikit pun tak dapat
mengeluarkan suara. Saat itu dia benar-benar tersiksa seperti mengalami berbagai macam alat penyiksa yang
paling hebat.
Begitulah ia terus dalam keadaan sadar tak-sadar dan entah sudah lewat berapa lamanya, ia hanya dapat
merasakan setiap kali terasa ada hawa murni menyalur masuk ke dalam badannya, maka rasa derita yang
hebat itu lantas rada berkurang. Lambat laun ia paham juga bahwa pasti ada dua orang yang mempunyai
lwekang amat tinggi sedang menolong dan menyembuhkan penyakitnya. Pikirnya ragu-ragu, “Apakah
barangkali Suhu atau Sunio telah mengundang tokoh sakti dari mana untuk menolong jiwaku? Dan ke mana
perginya Ing-ing sekarang?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Karena rasa sangsi dan ingin tahunya, pada hari ini sesudah menerima saluran hawa murni ia lantas
mengajukan pertanyaan, “Banyak terima kasih atas pertolongan Cianpwe? Entah saat ini aku berada ... berada
di mana?”
Waktu ia membuka mata, dilihatnya suatu wajah yang penuh berkeriput, tapi mengulum senyum yang sangat
ramah.
Lenghou Tiong merasa sudah kenal baik wajah orang tua ini, yang pasti bukanlah suhunya, dalam keadaan
samar-samar ia memandangnya sejenak, tapi mendadak ia dapat mengingatnya dari kepala orang tua yang
gundul dengan sembilan titik bekas selomot api dupa itu, terang kepala ini adalah seorang hwesio, segera
teringat olehnya, katanya, “Engkau adalah ... adalah Hong-sing Taysu.”
Hwesio tua itu tersenyum dan menjawab, “Kau masih kenal padaku. Ya, aku Hong-sing adanya.”
“Ya, ya, engkau memang Hong-sing Taysu,” kata Lenghou Tiong pula. Kini ia dapat merasakan dirinya ternyata
berada di dalam sebuah kamar yang gelap, di tengah kamar hanya diterangi oleh sebuah pelita yang bercahaya
guram, dirinya terasa terbaring di atas balai-balai dengan berselimut.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Hong-sing.
“Sudah banyak lebih baik,” sahut Lenghou Tiong. “Di ... di manakah aku berada ini?”
“Kau berada di dalam Siau-lim-si,” kata Hong-sing. “Selama tiga bulan ini untuk pertama kalinya kau membuka
suara.”
Keruan Lenghou Tiong kaget, serunya, “Haaah? Aku ... aku berada di Siau-lim-si? Dan di ... di manakah Inging?
Mengapa aku bisa ... bisa sampai di Siau-lim-si sini?”
“Kau baru saja sadar, pikiranmu tentu belum jernih kembali, lebih baik kau jangan banyak berpikir supaya
penyakitmu tidak kambuh kembali,” ujar Hong-sing dengan tersenyum. “Jika ada urusan apa-apa biarlah
dibicarakan kelak secara perlahan-lahan.”
Begitulah untuk selanjutnya setiap hari Hong-sing selalu datang ke kamar itu pada waktu pagi dan malam
untuk menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh Lenghou Tiong untuk bantu menyembuhkan penyakitnya.
Lewat belasan hari lagi keadaan Lenghou Tiong sudah tambah baik, dia sudah mulai bisa berduduk dan dapat
pula turun dari pembaringan untuk berjalan, tapi setiap kali ia tanya tentang Ing-ing dan ke mana perginya
nona itu pula tentang cara bagaimana dirinya bisa berada di Siau-lim-si, pertanyaan-pertanyaan ini selalu
dijawab oleh Hong-sing dengan tersenyum saja tanpa penjelasan.
Suatu hari, kembali Hong-sing datang memberi saluran hawa murni pula kepada Lenghou Tiong, katanya,
“Lenghou-siauhiap, sekarang jiwamu boleh dikata sudah dapat diselamatkan, cuma kekuatan Lolap sangat
terbatas, selama ini masih tidak sanggup memunahkan hawa murni yang sangat aneh di dalam badanmu itu
sehingga terpaksa hanya bisa mengulur waktu saja, tapi besar kemungkinan tidak sampai setahun penyakitmu
sudah akan kambuh lagi, tatkala mana biarpun ada malaikat dewata juga sukar menolong jiwamu.”
“Ya, tempo hari Peng It-ci, Peng-tayhu juga berkata demikian kepadaku,” sahut Lenghou Tiong mengangguk.
“Taysu telah berusaha sekuat tenaga untuk menolong Wanpwe, sungguh aku merasa terima kasih tak
terhingga. Tentang usia seseorang memang sudah takdir Ilahi, betapa pun keinginan orang juga tak dapat
berbuat melawan takdir.”
Hong-sing menggeleng, katanya, “Dahulu pernah kukatakan padamu bahwa ketua kami Hong-ting Taysu
memiliki lwekang yang mahatinggi, jika beliau ada jodoh dengan kau dan suka mengajarkan ‘Ih-kin-keng’ yang
hebat itu kepadamu, maka otot tulang saja dapat diperbarui apalagi cuma memunahkan hawa murni di dalam
tubuhmu? Marilah sekarang juga akan kubawa kau pergi menemui Hongtiang Suheng, semoga kau dapat
menjawab pertanyaannya dengan baik-baik.”
Memang sudah lama Lenghou Tiong mendengar nama kebesaran ketua Siau-lim-si Hong-ting Taysu, tentu saja
ia sangat girang. Jawabnya cepat, “Banyak terima kasih atas kesudian Taysu mempertemukan Wanpwe kepada
Hongtiang, seumpama Wanpwe tidak berjodoh dengan beliau dan tidak memenuhi syarat, tapi asalkan dapat
berjumpa dengan padri agung yang terkemuka pada zaman ini juga sudah bahagia bagiku.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Habis itu ia lantas ikut Hong-sing Taysu keluar dari kamar itu. Setiba di luar, seketika matanya menjadi silau
oleh cahaya sang surya yang gemilang. Sudah sekian lamanya ia tidak melihat matahari, kini mendadak
pandangannya menjadi silau, rasanya seperti memasuki suatu dunia lain, semangatnya lantas terbangkit dan
segar.
Di waktu melangkah sesungguhnya kedua kaki Lenghou Tiong masih terasa sangat lemas. Dilihatnya Siau-limsi
itu terdiri dari suatu kompleks gedung-gedung atau istana-istana yang sangat megah. Sepanjang jalan yang
dilalui telah banyak bertemu dengan kawanan padri, tapi waktu melihat Hong-sing semuanya lantas menyingkir
ke tepi jalan sambil menundukkan kepala memberi hormat dengan sikap yang sangat segan.
Setelah menyusuri tiga jalanan serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai di luar sebuah rumah batu.
Hong-sing lantas berkata kepada seorang hwesio cilik yang menjaga di luar rumah itu, “Hong-sing ada urusan
dan mohon bertemu dengan Hongtiang Suheng.”
Hwesio cilik itu mengiakan dan melaporkannya ke dalam. Tidak lama kemudian ia telah keluar lagi dan
memberi hormat, katanya, “Hongtiang menyilakan Taysu masuk.”
Segera Lenghou Tiong ikut di belakang Hong-sing memasuki rumah batu itu. Terlihatlah seorang hwesio tua
bertubuh pendek kecil duduk di atas satu kasuran di tengah-tengah ruangan.
“Hong-sing menyampaikan sembah kepada Hongtiang Suheng,” demikian Hong-sing lantas memberi hormat
kepada hwesio tua itu. “Bersama ini pula Hong-sing memperkenalkan murid pertama dari Hoa-san-pay,
Lenghou Tiong, Lenghou-siauhiap.”
Cepat Lenghou Tiong lantas berlutut dan memberi sembah.
Hong-ting Hongtiang, ketua Siau-lim-si, sedikit membungkuk tubuh sambil mengangkat tangan kanannya dan
berkata, “Siauhiap jangan banyak peradatan. Silakan duduk!”
Selesai memberi hormat, lalu Lenghou Tiong mengambil tempat duduk di atas kasuran yang terletak di
samping Hong-sing. Dilihatnya paras ketua Siau-lim-si itu rada-rada muram, seakan-akan orang yang sedang
bersedih, usianya sukar untuk ditaksir. Diam-diam ia heran, “Sungguh tidak nyana bahwa padri agung yang
namanya mengguncangkan dunia ini ternyata cuma begini saja mukanya. Jika bertemu dengan dia di luar Siaulim-
si mungkin tiada seorang pun yang akan menduga bahwa dia adalah ketua suatu aliran terbesar di dunia
persilatan pada zaman ini.”
Dalam pada itu terdengar Hong-sing Taysu telah bicara pula, “Lapor Suheng, sesudah mendapat perawatan
selama lebih tiga bulan, kini kesehatan Lenghou-siauhiap sudah jauh bertambah baik.”
Lenghou Tiong terkejut lagi, “Kiranya sudah lebih tiga bulan lamanya aku dalam keadaan tak sadarkan diri, tadi
aku sih mengira paling lama baru belasan hari saja.”
Terdengar Hong-ting Taysu telah berkata, “Baik sekali,” lalu ia menoleh kepada Lenghou Tiong dan
meneruskan, “Siauhiap, gurumu Gak-siansing adalah ketua Hoa-san-pay, pribadi beliau terkenal sangat tegas
dan jujur, namanya berkumandang di seluruh penjuru Kangouw, Lolap sendiri selamanya juga sangat kagum
kepada beliau.”
“Ah, Hongtiang terlalu memuji,” sahut Lenghou Tiong dengan rendah hati. “Wanpwe menderita penyakit parah
dan tak sadarkan diri, syukur mendapat pertolongan dari Hong-sing Taysu sehingga jiwaku dapat diselamatkan.
Selama Wanpwe tidak sadarkan diri kiranya sudah lebih tiga bulan lamanya. Selama itu Suhu dan Subo kami
tentulah dalam keadaan baik-baik juga?”
Tentang guru dan ibu-gurunya sendiri apakah baik-baik atau tidak mestinya tidak layak ditanyakan kepada
orang luar, cuma lantaran Lenghou Tiong sangat memikirkan kedua orang tua itu sehingga tanpa pikir ia telah
mengajukan pertanyaan demikian.
Maka terdengar Hong-sing telah menjawab, “Kabarnya Gak-siansing, Gak-hujin, serta para murid Hoa-san-pay
kini berada semua di Hokkian.”
Mendapat keterangan itu, legalah hati Lenghou Tiong, katanya, “Banyak terima kasih atas pemberitahuan ini.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lalu Hong-ting mulai berkata pula, “Menurut keterangan Hong-sing Sute, katanya ilmu pedang Lenghousiauhiap
mahahebat dan sudah memperoleh ajaran asli ‘Tokko-kiu-kiam’ dari kaum cianpwe Hoa-san-pay
Hong-losiansing, hal ini sungguh sangat menggirangkan dan pantas diucapkan selamat kepada Siauhiap. Sudah
lama sekali Hong-losiansing mengasingkan diri, selama ini Lolap menyangka beliau sudah wafat, siapa kira
beliau masih berada di dunia fana ini, sungguh membuat orang girang tak terhingga dan Lolap juga ikut
bersyukur.”
Lenghou Tiong hanya mengiakan saja. Diam-diam ia berpikir, “Menurut tingkatan angkatan, Hong-thaysusiokco
memang lebih tua daripada kedua padri agung Siau-lim-si ini, mereka ini memang harus menyebut beliau
sebagai locianpwe.”
Dalam pada itu kedua mata Hong-ting tampak rada tertutup, lalu berkata pula dengan perlahan, “Sesudah
Lenghou-siauhiap terluka, tapi karena mendapat penyembuhan yang keliru dari orang yang tidak mahir
sehingga di dalam tubuhmu terhimpun berbagai macam hawa murni yang aneh dan sukar dipunahkan, hal-hal
ini Lolap sudah diberi tahu oleh Hong-sing Sute. Setelah Lolap meninjau persoalan ini dengan teliti, kukira
hanya ada satu jalan, yaitu melatih ‘Ih-kin-keng’, yaitu inti lwekang yang paling tinggi dari Siau-lim-pay kami,
dengan demikian barulah kelak Siauhiap mampu memunahkan macam-macam hawa murni jahat itu dengan
kekuatan yang timbul dari tubuhmu sendiri. Sebaliknya kalau mau memunahkannya dengan kekuatan dari luar,
walaupun jiwamu dapat diulur dan ditunda untuk sementara waktu, namun sebenarnya tiada gunanya, bahkan
akan lebih merugikan dirimu malah. Selama lebih tiga bulan Hong-sing Sute telah menyelamatkan jiwamu
dengan tenaga dalamnya, akan tetapi dengan tersalurkannya tenaga dalamnya ke dalam tubuhmu, maka kini
di dalam tubuhmu menjadi bertambah pula semacam hawa murni yang aneh. Untuk ini boleh Siauhiap cobacoba
buktikan dengan mengerahkan tenagamu, coba.”
Lenghou Tiong menurut, ia coba-coba mengerahkan tenaga sedikit saja, benar juga lantas terasa darah
bergolak, sakitnya bukan kepalang, seketika butir-butir keringat berketes-ketes dari dahinya.
“Lolap tidak becus sehingga makin menambah penderitaan Siauhiap,” ujar Hong-sing sambil merangkap kedua
tangannya.
Jawab Lenghou Tiong, “Ah, mengapa Taysu berkata demikian? Taysu telah menolong jiwa Wanpwe dengan
sepenuh tenaga sehingga banyak mengorbankan tenaga murni, bisanya Wanpwe hidup lagi seperti sekarang
adalah berkat budi pertolongan Taysu.”
“Aku tidak berani,” sahut Hong-sing. “Dahulu Hong-losiansing pernah menolong Lolap, maka sedikit
perbuatanku ini tidak lebih hanya sebagian kecil saja batas budi kebaikan Hong-losiansing itu.”
Tiba-tiba Hong-ting mengangkat kepalanya dan berkata, “Bicara tentang budi kebaikan atau dendam sakit hati
apa segala? Budi kebaikan adalah jodoh, dendam sakit hati tidak boleh dipegang teguh. Segala kejadian di
dunia fana ini laksana asap saja yang akan buyar dalam sekejap mata, setelah mencapai kesempurnaan takkan
ada soal budi kebaikan dan dendam sakit hati lagi.”
“Ya, terima kasih atas petuah Suheng ini,” sahut Hong-sing.
Perlahan-lahan Hong-ting berkata pula, “Anak murid Buddha harus mengutamakan welas asih. Jika Siauhiap
sudah menderita penyakit sedalam itu, sudah seharusnya akan kutolong sepenuh tenaga. Tentang ‘Ih-kin-keng’
itu adalah ciptaan cikal bakal Siau-lim-si kami Tat-mo Cosu yang kemudian diwariskan kepada Cosu kedua,
Hui-ko Taysu. Asalnya Hui-ko Taysu bergelar Sin-kong, beliau adalah orang Lokyang, waktu mudanya banyak
mempelajari agama-agama lain, pengetahuannya sangat luas. Waktu Tat-mo Cosu sampai bersemayam di sini,
Sin-kong Taysu telah berkunjung kemari dan mohon diterima sebagai murid, namun Tat-mo Cosu merasa apa
yang dipelajari Sin-kong Taysu terlalu ruwet dan sukar memahami ajaran Buddha melulu, maka telah menolak
permohonannya. Sin-kong Taysu masih terus memohon dengan sangat dan tetap tidak dapat diterima,
akhirnya beliau lantas melolos pedang dan mengutungi lengan kiri sendiri.”
“Ah!” Lenghou Tiong sambil bersuara kaget. Pikirnya, “Ternyata tekad Sin-kong Taysu itu sedemikian
teguhnya.”
Hong-ting melanjutkan pula ceritanya, “Melihat begitu teguh maksud Sin-kong Taysu barulah kemudian Tat-mo
Cosu mau menerimanya sebagai murid dan mengganti nama sucinya sebagai Hui-ko, kelak Hui-ko Taysu yang
menjadi pewaris Tat-mo Cosu dan pada Zaman Sui-tiau (Dinasti Sui) beliau diberi sebutan sebagai ‘Sian-kat
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Taysu’. Ih-kin-keng yang diperoleh Hui-ko Taysu masih tertulis dalam huruf Hindu kuno, arti dalam kitab itu
sangat luas, Hui-ko Taysu memperoleh kitab itu di tempat semadi Tat-mo Cosu ketika wafat sehingga isi kitab
itu tak dapat dipelajari.
“Menurut tafsiran Hui-ko Cosu, kitab yang ditinggalkan Tat-mo Cosu sesudah bersemadi menghadapi tembok
selama sembilan tahun, walaupun isi kitab hanya sedikit saja, tapi maknanya pasti lain daripada yang lain.
Maka beliau lantas membawa kitab itu dan menjelajahi berbagai pegunungan ternama untuk mencari padri
saleh yang dapat memberi pemecahan tentang arti isi kitab itu.
“Namun dapatlah dibayangkan, tatkala itu Hui-ko Cosu sudah terhitung padri saleh pada zaman itu, apa yang
beliau renungkan saja sukar dipecahkan, apalagi mau mencari padri saleh lain yang lebih pintar daripada Huiko
Cosu sendiri, terang hal ini sangat sulit dicari. Sebab itulah selama lebih dari 20 tahun arti dari isi kitab Ihkin-
keng yang dalam itu tetap tak terpecahkan.
“Pada suatu hari, berkat jodoh Hui-ko Cosu yang amat terpuji, beliau telah dapat bertemu dengan seorang
padri Hindu di puncak Go-bi-san, padri Hindu itu bernama Panji Miti, keduanya telah saling tukar pendapat
tentang ajaran Buddha dan masing-masing merasa sangat cocok satu sama lain. Akhirnya Hui-ko Cosu telah
mengeluarkan Ih-kin-keng yang dibawanya untuk dibaca dan dipelajari bersama dengan Panji Miti. Kedua padri
saleh itu saling tukar pendapat di puncak Go-bi-san selama 7x7=49 hari dan akhirnya dapat mencapai maksud
tujuannya, isi kitab itu telah dapat dipecahkan dengan baik.”
“Omitohud! Siancay! Siancay!” demikian Hong-sing mengucapkan sabda Buddha.
Lalu Hong-ting melanjutkan pula, “Tapi apa yang dapat dipecahkan oleh padri saleh Panji Miti itu sebagian
besar adalah ajaran Buddha melulu, baru 12 tahun kemudian ketika Hui-ko Cosu bertemu dengan seorang
muda yang mahir ilmu silat di Tiang-an, mereka saling tukar pikiran pula selama tiga hari tiga malam, akhirnya
segala intisari ilmu silat yang terkandung di dalam Ih-kin-keng itu dapatlah dipahami seluruhnya.”
Setelah merandek sejenak, kemudian disambungnya, “Orang muda itu bukan lain adalah pahlawan berjasa
pada pendirian dinasti Tong yang terkenal dengan gelaran Wei-kok-kong Li Ceng adanya. Sebabnya Li Ceng
dapat mendirikan begitu besar pahala tak lain adalah berkat manfaat yang diperolehnya dari isi Ih-kin-keng
itu.”
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, “O, kiranya begitu hebat asal usulnya ‘Ih-kin-keng’ ini.”
Hong-ting lantas melanjutkan pula, “Ilmu di dalam Ih-kin-keng itu melingkupi segenap urat nadi seluruh tubuh
dan mengikat semangat semua anggota badan, kekuatan akan timbul dari dalam tubuh dan darah akan
mengalir lancar. Jika kitab itu sudah dapat diyakinkan isinya, maka tenaga dapat timbul menurut keinginan
tanpa terputus. Lenghou-siauhiap, meyakinkan Ih-kin-keng adalah laksana sebuah perahu kecil yang
terombang-ambing di tengah gelombang ombak samudra dan perahu kecil itu akan naik-turun mengikuti tinggi
rendahnya gelombang sehingga sukar untuk dikekang, tapi kalau ingin mengekangnya, dari mana tempatnya
yang dapat dikekang?”
Lenghou Tiong hanya manggut-manggut mengikuti uraian ketua Siau-lim-si itu, ia merasa teori perahu di
tengah damparan ombak yang diuraikan itu rada cocok dengan teori ilmu pedang ajaran Hong Jing-yang itu
dan ternyata memang betul Ih-kin-keng itu adalah ilmu silat yang amat luas dan susah dijajaki.
Lalu Hong-ting menyambung, “Lantaran Ih-kin-keng mengandung daya kekuatan sedemikian hebat, maka
selama beberapa ratus tahun tidak diajarkan kepada siapa pun juga kecuali kepada seorang yang ada jodoh.
Sekalipun anak murid pilihan dari Siau-lim-si sendiri jika memang tidak punya rezeki, tidak ada jodoh,
kepadanya juga tidak diberikan ajaran Ih-kin-keng ini. Misalnya Hong-sing Sute, ilmu silatnya sudah amat
tinggi, pribadinya juga sangat baik, dia adalah tokoh terkemuka dari Siau-lim-si, namun dia toh tidak mendapat
pelajaran Ih-kin-keng dari guru kami.”
“Jadi kitab suci ini tidak sembarangan diajarkan kepada orang, hal ini telah jelas diterangkan oleh Taysu,
Wanpwe sendiri merasa tidak punya rezeki dan tidak ada jodoh, maka Wanpwe tidak berani mengajukan
permohonan sesuatu apa pun,” kata Lenghou Tiong.
“Tidak, Siauhiap justru adalah orang yang ada jodoh,” ujar Hong-ting.
Jantung Lenghou Tiong berdebar-debar seketika mendengar keterangan itu. Sungguh tidak tersangka bahwa
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ilmu yang dirahasiakan oleh Siau-lim-si, sampai-sampai tokoh terpilih dan padri agung sebagai Hong-sing
Taysu saja tidak mendapat pelajarannya, tapi dirinya sendiri ternyata dikatakan ada jodoh.
Perlahan-lahan Hong-ting berkata lagi, “Buddha mahabesar dan hanya terbuka bagi yang ada jodoh. Siauhiap
adalah ahli waris Tokko-kiu-kiam ajaran Hong-losiansing, ini adalah suatu jodoh, Siauhiap dapat datang ke
Siau-lim-si sini, ini pun adalah jodoh. Siauhiap kalau tidak meyakinkan Ih-kin-keng tentu jiwamu akan tamat,
sebaliknya umpama Hong-sing Sute mempelajari Ih-kin-keng memang ada manfaatnya, tapi kalau tidak
meyakinkan juga tidak ada halangan baginya. Perbedaanmu dengan Hong-sing Sute ini pun suatu jodoh pula.”
“Rezeki dan jodoh Lenghou-siauhiap ternyata amat besar, sungguh aku pun merasa sangat bersyukur,” ujar
Hong-sing Taysu sambil merangkap kedua tangannya.
“Sebenarnya di antara ini masih ada suatu rintangan, tapi saat ini rintangan itu pun sudah dilalui,” kata Hongting.
“Sejak Tat-mo Cosu sampai kini, Ih-kin-keng hanya diajarkan kepada murid Siau-lim-si sendiri dan tidak
diturunkan kepada orang luar, tata tertib ini tak boleh dilanggar olehku, maka Siauhiap harus masuk Siau-limsi
dan diterima sebagai murid dari keluarga partikelir.”
Setelah merandek sejenak, lalu ia melanjutkan, “Dan kalau Siauhiap tidak menampik, bolehlah kau kuterima
sebagai murid dan terhitung murid dari angkatan ‘Kok’ dengan nama baru Lenghou Kok-tiong.”
Yang memperlihatkan rasa girang lebih dulu adalah Hong-sing, segera ia berkata, “Terimalah ucapan selamat
dariku, Lenghou-siauhiap. Selama hidup Hongtiang Suheng hanya pernah menerima dua orang murid, hal ini
pun sudah terjadi 30 tahun yang lalu. Kini Siauhiap adalah murid penutup dari Hongtiang Suheng bukan saja
akan dapat menyelami ilmu silat mahatinggi dari Ih-kin-keng, bahkan ke-12 macam ilmu silat Siau-lim-pay kita
juga akan diajarkan Hongtiang Suheng kepadamu, kelak Siauhiap pasti dapat lebih mengembangkan perguruan
kita dan membawa nama Siau-lim-pay lebih jaya di dunia persilatan.”
Mendadak Lenghou Tiong berbangkit, sahutnya, “Banyak terima kasih atas segala maksud baik Hongtiang
Taysu. Cuma Wanpwe sudah masuk sebagai murid Hoa-san-pay, maka tidak berani ganti perguruan lagi.”
Hong-ting tersenyum, katanya, “Rintangan yang kukatakan tadi justru adalah soal ini. Siauhiap, saat ini kau
sudah bukan murid Hoa-san-pay lagi. Mungkin hal ini kau sendiri pun belum tahu.”
Lenghou Tiong terkesiap, tanyanya tidak habis mengerti, “Ken ... kenapa aku bukan ... bukan murid Hoa-sanpay
lagi?”
“Silakan Siauhiap membaca sendiri,” kata Hong-ting sambil mengeluarkan sepucuk surat. Sedikit tangannya
bergerak, surat itu lantas melayang lurus ke arah Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong menangkap surat itu dengan kedua tangannya. Terasalah badannya tergetar. Keruan
kejutnya tak terkatakan. Pikirnya, “Lwekang ketua Siau-lim-si ini benar-benar dalamnya susah diukur. Melulu
sepucuk surat seenteng ini ternyata bisa juga membawa tenaga dalam sekuat ini. Untung tenagaku sudah
punah, jika tidak tentu aku akan menangkap sampul surat ini dengan mengerahkan tenaga dan dari benturan
kedua arus tenaga pasti aku sendiri akan terpental.”
Ketika ia mengamat-amati sampul surat itu, ternyata di atas sampul terdapat stempel tanda ketua Hoa-sanpay
dan terdapat pula tulisan: “Diaturkan kepada Ciangbun Taysu Siau-lim-pay”. Dari tulisan yang indah dan
goresan yang kuat itu jelas memang betul adalah tulisan tangan Gak Put-kun, gurunya sendiri.
Bab 61. Si Kakek Berjubah Putih
Samar-samar Lenghou Tiong merasakan firasat yang tidak enak, dengan tangan gemetar ia membuka sampul
surat itu dan dibaca. Ia benar-benar tidak percaya apa yang tertulis pada surat itu. Ia coba mengulangi baca
lagi sekali seketika ia merasa seakan-akan langit berputar putar dan bumi terbalik, “bluk”, ia jatuh tak
sadarkan diri.
Ketika siuman kembali ia merasa tubuhnya berada dalam pangkuan Hong-sing Taysu. Saking sedihnya
menangislah Lenghou Tiong tersedu-sedan.
“Sebab apakah Lenghou-siauhiap merasa susah, apakah gurumu mengalami sesuatu?” tanya Hong-sing.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Silakan Taysu membacanya,” kata Lenghou Tiong terguguk-guguk sambil menyodorkan surat itu.
Ketika Hong-sing membaca surat itu, isinya tertulis:
Diaturkan kepada yang terhormat ketua Siau-lim-si.
Selama menjabat ketua Hoa-san, teramat jarang mengaturkan salam hormat, mohon maaf.
Perihal murid murtad kami Lenghou Tiong, perangainya jelek, kelakuannya buruk, berulang-ulang melanggar
larangan, paling akhir bahkan bergaul dengan orang jahat dan berkomplot dengan kaum iblis. Put-kun telah
berusaha mendidiknya, tapi tidak berhasil. Untuk menegakkan kebesaran Bu-lim, sekarang murid murtad
tersebut bukan lagi murid kami. Jika terjadi lagi perkomplotannya dengan kaum iblis dan merugikan kawan
Kangouw umumnya, maka diharapkan kawan-kawan sekalian bangkit membinasakannya bersama. Tulisan
singkat ini tidak mencerminkan seluruh maksud kami, mohon Taysu maklum adanya.
Isi surat juga sangat di luar dugaan Hong-sing Taysu, ia menjadi bingung dan tidak tahu cara bara bagaimana
harus menghibur Lenghou Tiong. Setelah mengembalikan surat itu kepada Hong-ting, ketika melihat Lenghou
Tiong masih menangis sedih, lalu katanya, “Siauhiap, pergaulanmu dengan orang-orang Hek-bok-keh itu
memang tidak patut.”
Hong-ting juga berkata, “Saat ini para ketua dari berbagai aliran cing-pay tentu juga sudah menerima surat
gurumu ini dan telah memberi petunjuk kepada anak murid masing-masing. Sekalipun kau tidak terluka, begitu
kau keluar dari sini, setiap langkahmu akan selalu merupakan rintangan bagimu. Para murid golongan cing-pay
akan menganggap dirimu sebagai musuh mereka.”
Lenghou Tiong melengak, teringat olehnya kata-kata yang diucapkan Ing-ing di tepi sungai kecil tempo hari.
Memang benar, saat ini bukan saja setiap orang dari kalangan sia-pay ingin membunuhnya, bahkan orangorang
dari cing-pay juga menganggapnya sebagai musuh. Dunia selebar ini terasa tiada tempat berpijak lagi
baginya.
Teringat pula budi kebaikan guru dan ibu-gurunya yang telah mendidiknya sejak kecil mirip ayah-bunda
kandung sendiri, tapi dirinya yang sembrono tingkah lakunya sehingga dipecat dari perguruan. Dapat diduga
kepedihan gurunya waktu menulis surat ini mungkin lebih hebat daripada dirinya sekarang.
Begitulah Lenghou Tiong merasa sedih dan malu pula, sungguh ingin sekali kepalanya ditumbukkan dinding dan
biar mati saja.
Dengan air mata meleleh samar-samar dilihatnya wajah Hong-ting dan Hong-sing Taysu sama menampilkan
rasa kasihan padanya. Tiba-tiba Lenghou Tiong teringat ketika di kota Heng-san dulu waktu Lau Cing-hong
hendak cuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia persilatan, soalnya dia bergaul dengan gembong Mo-kau
Kik Yang, akhirnya jiwanya melayang di tangan jago-jago Ko-san-pay.
Dari peristiwa itu dapat diketahui bahwa antara cing-pay dan sia-pay tak mungkin hidup bersama, sampaisampai
tokoh masam Lau Cing-hong juga tak terhindar dari kematian lantaran bergaul dengan kaum sia-pay,
apalagi dirinya yang tidak punya sandaran apa-apa, lebih-lebih sesudah terjadi keonaran besar yang diperbuat
kawanan iblis sia-pay di Ngo-pah-kang.
Terdengar Hong-ting berkata dengan perlahan, “Lautan derita tak bertepi, berpaling kembali ada gili-gili.
Sekalipun penjahat yang tak terampunkan, asalkan mau sadar dan bertekad memperbaiki, maka pintu Buddha
akan selalu terbuka baginya. Usiamu masih muda, kau baru kejeblos dan salah bergaul dengan orang jahat,
masakah seterusnya tiada jalan bagimu untuk memperbaiki? Hubunganmu dengan Hoa-san-pay sekarang
sudah putus sama sekali, selanjutnya boleh masuk Siau-lim-pay kami, perbaikilah semua kesalahan yang lalu
dan jadilah manusia baru. Dengan begini kiranya orang Bu-lim juga tiada yang dapat membikin susah
padamu.”
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir dirinya sedang menghadapi jalan buntu, jika sekarang mau berlindung di
bawah pengaruh Siau-lim-pay, bukan saja akan mendapatkan lwekang yang tinggi dan jiwa sendiri dapat
diselamatkan, bahkan dengan nama kebesaran Siau-lim-pay, terang tiada seorang Kangouw pun berani cari
perkara pada murid Hong-ting Taysu.
Namun pada saat itu juga mendadak timbul wataknya yang kepala batu, katanya dalam hati, “Seorang laki-laki
sejati tidak mampu berdikari di atas bumi ini dan mesti merendahkan diri mohon perlindungan kepada
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
golongan lain, terhitung orang gagah macam apakah ini? Sekalipun beribu orang Kangouw ingin membunuh
aku, biarkan mereka membunuh saja. Suhu tidak sudi padaku lagi dan memecat aku dari Hoa-san-pay, apa
alangannya jika selanjutnya aku pergi-datang sendirian dengan bebas?”
Terpikir demikian, seketika darahnya bergolak dan mulut terasa dahaga, ingin rasanya minum arak sepuaspuasnya
dan tak terhiraukan lagi akan mati atau hidup. Bahkan bayangan Gak Leng-sian yang biasanya
senantiasa terbayang sekarang juga tak terpikirkan lagi.
Ia berbangkit dan menjura beberapa kali kepada Hong-ting berdua, lalu berkata dengan suara lantang,
“Wanpwe tidak disukai perguruan lagi, tapi juga malu untuk masuk perguruan lain. Welas asih kedua Taysu
sungguh tak terhingga terima kasih Wanpwe, biarlah Wanpwe mohon diri saja sekarang.”
Hong-ting melengak melihat kepala batu pemuda yang tak gentar mati itu. Segera Hong-sing berkata,
“Siauhiap, persoalan ini menyangkut mati-hidupmu, hendaknya kau pikir masak-masak dan jangan keburu
nafsu.”
Namun Lenghou Tiong tidak bicara pula, ia putar tubuh dan keluar dari kamar itu, dadanya penuh rasa
penasaran, tapi langkahnya sangat cepat dan enteng, dengan tindakan lebar ia keluar dari Siau-lim-si. Anak
murid Siau-lim-si sama heran melihatnya, tapi juga tidak merintangi kepergiannya.
Keluar dari kuil agung itu, Lenghou Tiong menengadah dan tertawa panjang, suara tawa yang penuh rasa pedih
dan duka. Pikirnya, “Setiap orang cing-pay sekarang sama anggap aku sebagai musuh, orang-orang sia-pay
juga bertekad akan membunuh aku. Besar kemungkinan hidupku ini takkan melampaui hari ini. Lihat saja
siapakah yang akan mencabut nyawaku ini.”
Ia coba meraba baju sendiri, ternyata sakunya tak beruang, pedang pun sudah tidak punya, bahkan kecapi
hadiah Ing-ing pun entah hilang di mana, ia benar-benar dalam keadaan rudin tak miliki apa-apa. Tanpa
khawatirkan apa pun segera ia turun dari pegunungan itu.
Menjelang petang, cukup jauh ia meninggalkan Siau-lim-si, badan terasa penat dan perut sangat lapar. Ia pikir
ke mana mencari sedikit barang makanan.
Tiba-tiba terdengar suara tindakan orang ramai, tujuh-delapan orang tampak lari mendatang dari sebelah barat
sana. Pakaian orang-orang itu sama ringkas kencang dari membawa senjata, lari mereka sangat tergesa-gesa.
“Apakah kalian hendak membunuh aku? Jika begitu silakan saja supaya aku tidak perlu repot-repot mencari
makanan segala?” demikian pikirnya.
Maka ia lantas berdiri bertolak pinggang di tengah jalan dan berseru, “Ini dia Lenghou Tiong berada di sini.
Yang ingin membunuh aku lekas beri tahukan dulu namanya!”
Siapa duga sesampai di depannya orang-orang itu hanya memandang sekejap saja padanya, lalu lewat di
sebelahnya.
“Orang ini tentu orang gila!” demikian kata seorang di antaranya.
“Ya, jangan gubris dia, supaya tidak bikin runyam urusan penting kita,” kata seorang pula.
“Benar, jika keparat itu sampai kabur tentu bisa celaka,” tambah lagi orang ketiga. Dan hanya sekejap saja
beberapa orang itu sudah menghilang di kejauhan.
Baru sekarang Lenghou Tiong mengetahui bahwa orang-orang itu sedang mengejar seorang lain. Baru saja
rombongan tadi menghilang, tiba-tiba terdengar pula dari arah barat tadi berkumandang suara derapan kaki
kuda yang riuh. Lima penunggang kuda tampak membalap tiba dan lalu di sampingnya.
Kira-kira belasan meter jauhnya, sekonyong-konyong seorang penunggang kuda itu memutar balik,
penunggangnya adalah seorang wanita setengah umur, tanyanya kepada Lenghou Tiong, “Numpang tanya,
apakah Anda melihat seorang kakek berjubah putih? Kakek itu bertubuh tinggi kurus dan membawa sebatang
golok melengkung.”
“Tidak,” sahut Lenghou Tiong sambil menggeleng.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Wanita itu tidak tanya lebih jauh, segera ia putar kembali kudanya terus menyusul kawan-kawannya.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Apa barangkali mereka sedang mengejar dan hendak menangkap kakek
berjubah putih yang mereka tanya itu? Aku lagi iseng, coba aku ikut ke sana untuk melihat keramaian.”
Segera ia putar haluan dan menyusul ke jurusan orang-orang tadi.
Tidak seberapa lama, kembali dari belakang ada belasan orang berlari datang lagi. Orang ini semuanya adalah
laki-laki kekar dan berbaju hijau, tiap-tiap orang bersenjatakan dua batang badik mengilap. Dari seragam
pakaian dan senjata mereka terang mereka adalah orang-orang dari suatu perguruan.
Ketika melihat Lenghou Tiong, seumur 50-an tahun berpaling dan bertanya, “Eh, adik cilik, apakah kau lihat
seorang kakek berjubah putih? Badannya tinggi kurus dan membawa golok melengkung?”
“Tidak, tidak melihat orang begitu,” jawab Lenghou Tiong.
Tidak lama kemudian, sampailah di suatu persimpangan tiga, terdengar pula suara kelening kuda bergema dari
barat daya sana, tiga penunggang tampak mendatang dengan cepat. Kuda-kuda itu semuanya sangat gagah,
penunggangnya adalah pemuda berumur 20-an.
Sambil mengacungkan cambuknya, pemuda yang paling depan menegur Lenghou Tiong, “He, numpang tanya
apakah kau lihat seorang ....”
“Seorang tua berjubah putih, berbadan tinggi kurus dan membawa senjata golok melengkung bukan?”
demikian Lenghou Tiong menyambung.
Keruan ketiga pemuda itu menjadi girang, berbareng mereka berkata, “Benar! Di manakah dia?”
Tapi Lenghou Tiong lantas angkat bahu sambil menghela napas, jawabnya, “Entah, aku tidak melihatnya.”
Pemuda pertama kali menjadi gusar, bentaknya, “Kurang ajar! Jadi kau sengaja mempermainkan kami saja?
Jika tidak melihatnya dari mana kau tahu orang tua itu?”
“Apakah tidak melihatnya lantas tidak boleh tahu?” sahut Lenghou Tiong tersenyum.
Pemuda itu angkat cambuknya hendak menyabat kepala Lenghou Tiong, tapi seorang kawannya telah
mencegahnya, “Jite, jangan bikin onar! Marilah kita lekas susul ke sana.”
Pemuda pertama tadi mendengus sambil membunyikan cambuknya di udara, lalu melarikan kudanya ke
jurusan semula.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Tampaknya orang-orang itu adalah jago-jago silat semua, beramairamai
mereka mengejar seorang kakek, entah apa sebabnya? Hal ini sungguh menarik, biarlah aku ikut pergi
ke sana untuk melihat ramai-ramai. Tapi kalau mereka tahu aku adalah Lenghou Tiong tentu aku akan
dibunuhnya seketika.”
Terpikir demikian ia menjadi rada takut. Tapi lantas terpikir pula, “Saat ini baik dari cing-pay maupun dari siapay
sama-sama ingin membunuh aku, walaupun aku dapat main sembunyi-sembunyi dan dapat menunda
masa hidup ini untuk beberapa lama, tapi akhirnya toh sukar terhindar dari kematian. Lalu apa artinya toh
sukar tertunda sehari-dua hari? Kan lebih baik terserah keadaan saja, coba ajalku ini akan tamat di tangan
siapa?”
Begitulah segera ia menyusul ke arah kepulan debu yang dijangkitkan oleh ketiga penunggang kuda tadi.
Untuk selanjutnya ada beberapa kelompok orang lagi yang sama menanyakan padanya tentang si kakek jubah
putih, Lenghou Tiong menjadi heran, pengejar-pengejar itu tidak mengetahui di mana beradanya si kakek,
yang mereka tempuh adalah satu jurusan yang sama, hal ini benar-benar aneh.
Setelah beberapa li jauhnya, sesudah menyusuri sebuah hutan cemara, tiba-tiba di depan terbentang sebuah
dataran yang lapang, di situlah berkerumun banyak orang sedikitnya ada enam-tujuh ratus orang, tanah datar
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
itu sungguh sangat luas sehingga beberapa ratus orang itu hanya mengambil sebagian kecil tanah lapang itu.
Sebuah jalan besar lurus menembus ke tengah-tengah kerumunan orang-orang itu, segera Lenghou Tiong
melangkah ke sana mengikuti jalan itu.
Sesudah dekat, terlihat di tengah-tengah kerumunan orang-orang itu ada sebuah gardu kecil. Orang-orang itu
hanya mengepung di sekitar gardu itu dari jarak beberapa meter jauhnya dan tidak berani mendekat.
Gardu itu sebenarnya digunakan untuk istirahat bagi kaum pelancong yang lalu di situ, bangunannya sederhana
dan rada buruk. Ketika Lenghou Tiong lebih mendekat lagi dilihatnya di tengah gardu itu ternyata ada seorang
kakek berjubah putih, kakek itu seorang diri dan duduk menyanding sebuah meja dan sedang minum arak.
Apakah kakek itu membawa golok melengkung atau tidak seketika sukar diketahui. Biarpun berduduk tapi
tingginya hampir menyamai berdirinya orang biasa, jelas menandakan perawakan si kakek pasti sangat tinggi.
Walaupun dikepung orang sebanyak itu, tapi si kakek tampaknya tenang-tenang saja dan minum arak
seenaknya, mau tak mau timbul rasa kagumnya Lenghou Tiong, terasa kesatria-kesatria yang pernah
dijumpainya selama hidup ini tiada seorang pun yang segagah seberani si kakek.
Perlahan-lahan ia melangkah maju dan menyusup di tengah orang banyak. Orang-orang itu semuanya sedang
memandang si kakek jubah putih dengan mata tak berkedip sehingga kedatangan Lenghou Tiong itu tidak
menimbulkan perhatian mereka.
Ketika Lenghou Tiong mengamat-amati si kakek, dilihat jenggotnya yang panjang jarang-jarang itu sudah
memutih dan terjulai di depan dada, tangannya memegang cawan arak, matanya memandang jauh ke ujung
langit sana, sedikit pun tidak ambil pusing terhadap beberapa ratus orang yang mengepung di sekitarnya itu.
Waktu memerhatikan pinggangnya, nyata di situ tergantung sebuah golok panjang berbentuk melengkung.
Sudah tentu Lenghou Tiong tidak tahu nama dan asal usul si kakek, juga tidak tahu mengapa dia bermusuhan
dengan orang Bu-lim sebanyak itu, lebih-lebih tidak tahu apakah si kakek dari golongan cing-pay atau sia-pay,
soalnya cuma kagum kepada sikapnya yang gagah berani sehingga timbul rasa simpatinya yang senasib.
Segera ia melangkah maju dan menyapa, “Locianpwe, kau sendirian tanpa teman, tentu merasa kesepian, biar
aku mengiringimu minum arak.”
Tanpa diundang ia lantas masuk ke gardu itu, setelah memberi hormat lalu ia duduk di sebelah sana.
Kakek itu berpaling, sorot matanya yang tajam mengawasi Lenghou Tiong dari muka sampai ke ujung kaki.
Terlihat pemuda yang tak dikenal ini tidak membawa senjata, wajahnya rada pucat. Ia rada heran, tapi ia pun
tidak menjawab melainkan cuma mendengus saja.
Lenghou Tiong lantas angkat poci arak, lebih dulu ia menuangi cawan di depan si kakek, lalu menuang pula
sebuah cawan yang lain.
“Mari!” ajaknya, arak secawan penuh itu terus ditenggak habis sekaligus.
Arak itu sangat keras, mulut serasa disayat-sayat dan laksana api membakar perut. “Ehmm, arak bagus!”
demikian puji Lenghou Tiong.
“He, bocah itu!” mendadak seorang laki-laki di luar gardu sana membentak dengan nada kasar. “Lekas keluar
dari situ. Kami hendak mengadu jiwa dengan Hiang-lothau, jangan kau mengacau dan mengalang-alangi di
situ.”
“Aku minum arak sendiri bersama Hiang-locianpwe, alangan apa mengenai urusanmu?” sahut Lenghou Tiong
dengan tertawa. Segera ia menuang secawan lagi dan ditenggak habis pula. Sambil mengacungkan ibu jari ia
memuji, “Arak bagus!”
Tiba-tiba dari sebelah kiri sana seorang berseru, “Hei, lekas enyah bocah itu, jangan kau bikin jiwamu
melayang percuma di sini. Atas perintah Tonghong-kaucu kami hendak menangkap pemberontak Hiang Bunthian
itu, jika orang luar berani ikut mengacau tentu akan kami bikin dia mati tak terkubur.”
Waktu Lenghou Tiong memandang ke arah datangnya suara, kiranya pembicara itu adalah seorang laki-laki
kurus kecil dan bermuka kuning. Di sebelah laki-laki kurus kecil itu berdiri dua-tiga ratus orang berbaju
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
seragam hijau, ada laki-laki dan ada perempuan, ada hwesio dan juga ada orang biasa. Baju mereka hijau
seragam, hanya ikat pinggang mereka yang beraneka warna dan berbeda-beda. Ikat pinggang laki-laki kurus
kecil itu berwarna kuning, di antara dua-tiga ratus orang itu hanya dia sendiri yang pakai ikat pinggang kuning.
Lenghou Tiong jadi teringat kepada Kik Yang, itu gembong Mo-kau yang dilihatnya di luar kota Heng-san
dahulu, baju yang dipakai Kik Yang juga berwarna hijau, kalau tidak salah ikat pinggangnya juga berwarna
kuning. Sekarang laki-laki kurus kecil ini menyatakan hendak menangkap pemberontak atas perintah
Tonghong-kaucu, jika demikian orang-orang itu terang adalah anggota Mo-kau setingkat dengan Kik Yang
sama-sama tianglo (tertua) dari agama sesat itu.
“Arak bagus!” demikian kembali ia menenggak habis secawan arak. Lalu katanya kepada si kakek berjubah
putih yang bernama Hiang Bun-thian itu, “Hiang-locianpwe, Cayhe telah minum tiga cawan arakmu, banyak
terima kasih!”
Pada saat itulah mendadak di sebelah timur sana ada orang berteriak, “Bocah itu adalah murid Hoa-san-pay
yang dipecat, namanya Lenghou Tiong!”
Lenghou Tiong coba memerhatikan siapa yang bicara itu, kiranya adalah murid Jing-sia-pay yang bernama Kau
Jin-hong. Sekarang dengan jelas dapat dilihatnya bahwa di sekitar Kau Jin-hong masih banyak pula jago-jago
Ngo-gak-kiam-pay.
“Hei, Lenghou Tiong,” terdengar seorang tosu di antaranya berseru, “gurumu mengatakan kau berkomplot
dengan kaum iblis, nyatanya memang benar. Kedua tangan Hiang Bun-thian itu berlumuran darah kaum
kesatria dan pendekar, apa yang kau lakukan bersama dia? Jika kau tidak lekas menyingkir, sebentar orang
banyak akan mencencangmu hingga hancur luluh.”
“Yang bicara itu Susiok dari Thay-san-pay bukan?” tanya Lenghou Tiong. “Cayhe selamanya tidak kenal Hianglocianpwe
ini. Tapi kalian berjumlah beberapa ratus orang dan mengepung dia sendirian, terhitung perbuatan
macam apakah ini? Sejak kapan lagi jago Ngo-gak-kiam-pay bersatu dengan orang Mo-kau? Cing-pay dan siapay
sekarang telah bersatu menghadapi Hiang-locianpwe sendiri, apakah hal ini takkan ditertawai oleh setiap
kesatria di dunia ini?”
Tosu itu menjadi gusar, jawabnya, “Bilakah kami bersatu dengan orang Mo-kau untuk menangkap anggota
murtad mereka? Kita hanya ingin menuntut balas bagi kawan-kawan kita yang terbunuh oleh bangsat keparat
ini. Masing-masing mengerjakan kepentingannya sendiri, satu dan lain tiada sangkut paut.”
“Bagus, bagus, bagus, jika begitu, asalkan kalian bertempur satu lawan satu, maka aku akan menyaksikan
keramaian ini sambil duduk minum arak di sini,” ujar Lenghou Tiong tertawa.
“Kau ini kutu macam apa?” bentak Kau Jin-hong. “Ayolah beramai-ramai binasakan dulu bocah ini, kemudian
baru bikin perhitungan dengan bangsat she Hiang itu.”
Dengan tertawa Lenghou Tiong berkata, “Untuk membinasakan aku Lenghou Tiong seorang kenapa mesti pakai
maju beramai-ramai segala? Silakan Kau-heng maju sendiri saja dan beres!”
Dahulu Kau Jin-hong pernah ditendang terjungkal ke bawah loteng restoran di kota Heng-san, ia tahu
kepandaian sendiri masih kalah jauh maka sekarang ia pun tidak berani maju, ia tidak tahu bahwa tenaga
dalam Lenghou Tiong sudah punah. Sedangkan kawan-kawannya rupanya jeri terhadap kelihatan Hiang Bunthian
sehingga tidak berani menyerbu ke dalam gardu itu.
“Orang she Hiang,” demikian terdengar laki-laki kurus kecil dari Mo-kau tadi berteriak, “urusan sudah begini,
jika kau tahu gelagat, lebih baik ikut saja dengan kami untuk menghadap Kaucu dan mohon keringanan
keputusannya. Kau pun terhitung jago agama kita, apakah perlu kita harus bertempur mati-matian sehingga
ditertawai orang luar?”
Hiang Bun-thian tidak menjawab, ia hanya menjengek sambil angkat cawan arak dan diminum seceguk.
Berbareng itu terdengarlah suara gemerencingnya logam.
Lenghou Tiong dapat melihat jelas di antara kedua tangan orang tua itu ternyata terikat oleh seutas rantai besi.
Keruan ia sangat heran, “Kiranya dia baru melarikan diri dari kurungan sehingga rantai tangannya belum
sempat dihilangkan.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Seketika rasa simpatinya timbul lebih meluap, pikirnya, “Orang tua ini sudah tidak mampu melawan, biarlah
aku membantu dia menahan musuh-musuhnya dan masa bodoh jiwaku jika mesti melayang di sini.”
Dengan ketetapan pikiran itu segera ia berdiri, sambil bertolak pinggang ia berseru lantang, “Hiang-locianpwe
ini masih terantai, mana dia bisa bertempur dengan kalian? Aku sudah minum tiga cawan araknya yang enak,
apa boleh buat terpaksa aku membantu dia melawan musuh-musuhnya. Nah, siapa saja yang mengganggu
orang she Hiang harus membunuh dulu Lenghou Tiong ini!”
Melihat kelakuan Lenghou Tiong yang angin-anginan dan seperti orang sinting itu, tanpa sebab terus tampil ke
muka untuk membelanya, keruan Hiang Bun-thian sangat heran dan tertarik, dengan suara perlahan ia tanya,
“Nak, kenapa kau membantu aku?”
“Melihat ketidakadilan angkat golok membantu,” sahut Lenghou Tiong singkat.
“Mana golokmu?” ujar Hiang Bun-thian.
“Aku memakai pedang,” jawab Lenghou Tiong. “Cuma sayang tidak ada pedang.”
“Bagaimana ilmu pedangmu?” tanya Hiang Bun-thian. “Kau adalah murid Hoa-san-pay, kukira ilmu pedangmu
juga cuma begitu-begitu saja.”
“Memang cuma begitu-begitu saja, apalagi sekarang aku terluka dalam, tenaga sudah punah, lebih-lebih tak
keruan lagi,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Kau ini benar-benar aneh,” ujar Hiang Bun-thian. “Tapi baiklah, akan kucarikan sebilah pedang bagimu.”
Mendadak bayangan putih berkelebat, tahu-tahu Hiang Bun-thian sudah menerjang ke tengah-tengah
kerumunan orang itu. Dalam sekejap tertampaklah sinar senjata yang menyilaukan mata, berpuluh macam
senjata memapak kedatangannya, tahu-tahu Hiang Bun-thian menyusup ke samping dan menubruk ke arah si
tosu dari Thay-san-pay tadi.
Kontan pedang si tosu menusuk, tapi Hiang Bun-thian berkelit ke belakangnya, sikut kiri terus menyodok,
“bluk”, dengan tepat punggung si tosu kena disodok. Waktu tangan Hiang Bun-thian terangkat, pedang si tosu
kena dibelit oleh rantainya berbareng kaki lantas menggenjot, seperti anak panah terlepas dari busurnya ia
melayang kembali ke dalam gardu tadi.
Beberapa gerakan itu terjadi dengan cepat luar biasa, baru saja para jago cing-pay berniat mengejar, namun
sudah terlambat. Seorang laki-laki paling cepat memburunya, ia sempat menyusul sampai dua-tiga meter di
luar gardu, goloknya diangkat terus membacok.
Namun punggung Hiang Bun-thian seolah-olah ada matanya, tanpa menoleh sebelah kakinya terus mendepak
ke belakang, dengan telak dada penyerang itu kena didepak. Orang itu menjerit dan mencelat, saking keras
goloknya tadi membacok sehingga sebelah kaki sendiri sampai terkutung oleh senjatanya sendiri.
Sedangkan tosu Thay-san-pay tadi seperti orang mabuk arak, ia terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh
terkapar, darah segar tiada hentinya mengucur keluar dari mulutnya.
Pada saat itulah terdengar anggota Mo-kau sama bersorak gemuruh, berpuluh orang sama berteriak, “Hebat
benar kepandaian Hiang-yusu.”
Hiang Bun-thian tampak tersenyum, ia angkat kedua tangannya sebagai tanda terima kasih atas pujian
anggota-anggota Mo-kau itu. Waktu ia ayun tangannya, “cret”, pedang yang terbelit di rantainya itu menancap
di atas meja.
“Nah, pakailah?” katanya.
Alangkah kagum Lenghou Tiong, katanya di dalam hati, “Orang ini menerjang musuh seakan-akan memasuki
daerah tak berpenduduk, ternyata dia memiliki kepandaian yang benar-benar luar biasa.”
Ia tidak mencabut pedang yang menancap di atas meja itu, tapi katanya, “Ilmu silat Hiang-locianpwe
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sedemikian hebat, rasanya Wanpwe tidak perlu ikut-ikut lagi.”
Lalu ia memberi salam hormat dan berkata pula, “Aku mohon diri saja.”
Tapi sebelum Hiang Bun-thian bersuara, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, tiga batang pedang
tahu-tahu menyambar ke dalam gardu. Kiranya adalah murid Jing-sia-pay, Kau Jin-hong bertiga telah
menyerang berbareng.
Ketiga pedang itu semuanya mengancam tubuh Lenghou Tiong, yang satu mengarah punggungnya dan yang
dua menusuk kanan kiri pinggang bagian belakang. Jaraknya tidak lebih dari belasan senti saja.
“Berlututlah Lenghou Tiong!” bentak Kau Jin-hong, berbareng itu ujung pedangnya terus mendesak maju
sehingga menempel kulit daging Lenghou Tiong.
“Biarpun mati juga tidak sudi mati di tangan murid Jing-sia-pay yang pengecut seperti kalian ini,” demikian
pikir Lenghou Tiong. Ia tahu dirinya sudah terkurung di bawah ancaman ujung pedang lawan, asal putar tubuh
segera ujung pedang yang satu akan menancap di dada dan kedua pedang yang lain menusuk ke dalam
perutnya.
Mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, “Baiklah, berlutut juga boleh!”
Sebelah kaki kanan sedikit bertekuk seperti hendak berlutut, tapi secepat kilat tangan kanan terus menyambar
pedang yang menancap di atas meja tadi dan berbareng diputar ke belakang.
Tanpa ampun lagi tiga tangan ketiga murid Jing-sia-pay itu terkurung sebatas pergelangan dan jatuh ke lantai
dengan masih mencengkeram pedang.
Muka Kau Jin-hong bertiga pucat bagai mayat, mereka tidak pernah membayangkan bisa terjadi demikian.
Setelah tertegun sejenak barulah mereka melompat mundur. Seorang di antaranya adalah anak murid Jing-siapay
yang masih sangat muda, umurnya paling-paling baru 16-17 tahun, saking kesakitannya dia sampai
menangis dan menjerit-jerit.
Lenghou Tiong merasa menyesal, katanya, “Maaf adik cilik, kau sendirilah yang lebih dulu bermaksud
membunuh aku!”
“Kiam-hoat bagus!” terdengar Hiang Bun-thian bersorak memuji. Lalu katanya pula, “Pedangnya kurang kuat,
tenaga dalamnya terlalu lemah!”
“Bukan saja tenaga dalam lemah, pada hakikatnya memang tidak bertenaga dalam lagi,” ujar Lenghou Tiong
tertawa.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru